"Aku berwasiat kepadamu tentang sepuluh hal : jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang tua jompo, jangan memotong pohon berbuah, atau merobohkan rumah, jangan membunuh kambing atau unta, kecuali untuk dimakan, jangan membakar pohon kurma atau menenggelamkannya, jangan menganiaya dan jangan berbuat khianat"
(Abu Bakr ash-Shiddiq : Tarikh At-Thabari Bab Thahaqat)
Ketika konflik berlangsung, kewarasan manusia menjadi hilang. Karena itulah, misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan sepuluh "pantangan" dalam perang, atau Umar bin Khattab mengatakan : "jangan sekali-sekali membunuh anak-anak dan pelayan". Ya ... pelayan !. Bahkan Umar bin Khattab memberikan sebuah reward bagi para prajurit Islam yang membunuh anak-anak dalam perang .... dihukum bunuh (pula). Khalifah "terbaik" Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz bahkan pernah berkata : "Bertakwalah kamu kepada Allah dalam hal anak-anak dan para petani yang tidak mengangkat senjata melawan kamu (peliharalah nyawa mereka)". Dan, dalam sahibul hikayat yang mutawatir, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah membunuh para petani dan tukang kebun, disamping tentunya anak-anak, orang tua dan perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnul Munzhir dalam al-Qurthubi. Intinya adalah, sebetapapun bengis dan kejamnya konflik dan perang, ketika pemimpin dan penguasa menghormati kesepakatan universal yang telah ada, tentunya konflik dan perang-pun bisa dianggap sebagai "jalan keluar" sebagaimana yang dikatakan Clausewitz bahwa perang adalah jalan keluar dari konflik. Tapi ketika para pemimpin dan penguasa (termasuk yang menganggap sebagai "penguasa") tidak atau terbebani oleh catatan sejarah perang yang buruk, jangan salahkan pula bila Basheer al-Assad mengatakan : "saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan".
"Bang, ternyata ada perang yang baik", kata istri saya beberapa hari lalu.
"Ah masa, perang selalu meninggalkan cerita kesedihan", bantah saya padanya.
"Perang harga !", katanya sambil berlalu.
(Dan, perang jenis ini meninggalkan cerita bahagia, setidaknya bagi saya dan istri. Buktinya, kaus kaki saya yang selama ini hanya tiga pasang, beberapa hari lalu, telah bertambah 6 pasang lagi. Dan itu, dibeli istri saya pada suatu sore sepulang dari sekolah. Kebetulan ia melewati sebuah jalan padat pedagang "berteriak", saling berperang menjatuhkan harga dengan menggiurkan. Dengan hanya Rp. 20.000,- ia membeli 2 pasang kaus kaki berwarna hitam, 1 pasang biru, 2 coklat dan 1 pasang berwarna pink. Dan untuk warna terakhir ini, saya protes karena pilihan warna yang tak cerdas. Rupanya, yang warna pink ini merupakan warna kesukaannya, dan ia ingin, bila suatu waktu tertentu nanti, kaus berwarna pink ini saya pakai. Karena saya belum berminat menggunakannya, kaus kaki warna norak itu masih dijadikan koleksi dan diletakkan di lemari. Dan saya pun tidak merasa pusing dengan cuaca yang belakangan ini tidak bersahabat, selalu hujan lebat ketika pulang sore dari kampus. Dengan koleksi tiga pasang yang telah ada, ditambah dengan 5 pasang lagi, maka setiap hari saya bisa menggunakan kaus kaki berlainan jenis, bahkan memiliki stock pula, kaus kaki berwarna pink)....... ternyata perang jenis ini membahagiakan !!.
Referensi : Syu'bah Asa (2000). Foto : kaskus.us
Tidak ada komentar:
Posting Komentar