Rabu, 07 Desember 2011

Asyura dan Kesyahidan Husein dalam Sastra Melayu (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Abdul Hadi WM.

Kesyahidan Husein dikenal luas di dunia Islam. Kematiannya yang mengenaskan, tubuh bersimbah darah, tangan terpotong dan kepala terpisah dari badan, senantiasa diingat oleh banyak orang Islam. Hari wafatnya yang jatuh pada tanggal 10 Muharam pun selalu diperingati di banyak negeri, baik yang mayoritas penduduknya Sunni maupun Syiah. Semua itu menunjukkan bahwa tragedi Kerbela yang terjadi hampir tiga belas abad yang lalu itu memiliki arti tersendiri bagi kaum Muslimin. Di Indonesia kisah kesyahidan Amir Husein, demikian ia disebut dalam teks Melayu, telah dikenal sejak masa awal pesatnya perkembangan Islam pada abad 13 – 15 M. Pada masa inilah hikayat tersebut mulai dikarang dalam bahasa Melayu. Dua versi paling masyhur yang dijadikan sumber penulisan versi-versi lain pada masa berikutnya ialah yang berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyahh dan Hikayat Sayidina Husein. Yang disebut pertama dikarang sekitar abad ke-14 atau 15 M berdasarkan sumber Persia, sedangkan yang belakangan dikarang sekitar abad ke-17 M di Aceh. Dalam hikayat ini dijelaskan arti penting peringatan 10 Muharam, begitu juga cara pelaksanaannya. Tetapi dalam kenyataan kemudian muncul dua bentuk penyelenggaraan yang berbeda. Yang pertama, peringatan yang lebih bersahaja sebagaimana terdapat di Aceh, pulau Jawa, Madura dan Sulawesi Selatan.

Di Aceh peringatan 10 Muharam disebut Hari Asan dan Usin. Di Jawa dan Madura disebut Hari Sura atau Asura. Sehari sebelum 10 Muharam tiba, orang melakukan puasa sunat. Esok harinya penduduk membuat bubur merah yang dibagi-bagikan kepada tetangga atau kerabat. Malam harinya diadakan pengajian, dan tidak jarang pula diadakan majlis untuk mendengarkan pembacaan hikayat tragedi Kerbela dan perang Muhammad Ali Hanafiyah melawan Yazid. Penyelenggaraan Hari Sura atau Hari Asan Usin jelas merujuk pada keterangan yang terdapat dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Yang kedua, bentuk penyelenggaraan yang lebih kompleks dan mirip dengan perayaan 10 Muharam di Iran dan India. Bentuk perayaan seperti ini dijumpai di Bengkulu dan Sumatra Barat , dan mulai diadakan sejak akhir abad ke-18 M ketika Inggris menguasai Bengkulu dan bersamanya membawa banyak orang Syiah dari India. Perayaan di Bengkulu dan Padang dimeriahkan dengan arak-arakan tabut yang aneka ragam bentuknya melambangkan kesyahidan Husein dan pernikahannya dengan Syahrbanum, putri khusraw Persia terakhir Yazgidird II yang setelah tertawan pasukan kaum Muslimin pindah menganut agama Islam. Arak-arakan dimeriahkan dengan musik tambur yang gemuruh. Hal Ini menggambarkan suasana pasukan Husein dan Muhammad Ali Hanafiyah yang dengan gagah berani maju ke medan perang. Sepuluh hari sebelum perayaan dimulai, diadakan upacara ma` ambil tanah (mengambil tanah) dan pada ketika itulah tabut-tabut mulai dibuat (Brakel 1975).

Tatacara penyelenggaran Asura itu merujuk pada teks Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah. Pembuatan bubur merah misalnya disarankan pada bagian awal hikayat tersebut, yaitu ketika malaikat Jibril menyerukan agar “Pada sepuluh Muharam memberi makan bubur Asura akan segala yang syahid pada tanah Padang Kerbela.” Sedangkan anjuran puasa sunat dapat dirujuk pada kata-kata Jibril menjawab pertanyaan arti pentingnya puasa sunat itu dilakukan. Kata Jibril, “Yang kasih akan segala isi rumah rasul Allah pada setahun sekali pada sepuluh hari bulan Muharam muwafakat puasa pada ketika Asura serta akan segala syahid pada tanah padang Kerbela syahdan memberi makan bubur Asura.” Arti hari Asura juga dikemukakan pada bagian berikut ini: “…hari Asura artinya menangis engkau akan isi rumah rasul Allah bermula barang siapa yang tulus ikhlas hatinya dan kasih rasanya akan segala anak cucu rasul Allah.” Semua itu menunjukkan bukan saja populernya kisah kesyahidan Amir Husein, tetapi juga betapa kesyahidannya memiliki makna tersendiri dalam hati penganut agama Islam di Nusantara. Di antara arti penting itu ialah simpati dan solidaritas atas pengurbanan dan perjuangannya melawan penguasa atau rejim yang zalim, sebab penguasa seperti itu sebagaimana diperlihatkan Muawiyah dan putranya Yazid merupakan “Bayang-bayang setan di muka bumi.” Pertanyaan timbul: Daya tarik apa yang menyebabkan hikayat yang semula muncul dalam bahasa Melayu itu kemudian mendapat sambutan luas di kepulauan Nusantara, sehingga selama lebih tiga abad digubah dan dikarang kembali dalam versi agak berlainan dalam bahasa-bahasa Nusantara lain seperti Aceh, Gayo, Minangkabau, Palembang, Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Banjar, Bima, Bugis, Makassar, dan lain sebagainya? Kecuali itu apa pula relevansinya sehingga hikayat ini memperoleh tempat istimewa dibanding epos-epos Islam lain seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dan Hikayat Malik Saiful Lisan? Untuk menjawab persoalan ini kita perlu melihat berbagai aspek dari kesejarahan teks ini, termasuk latar belakang dan motif penyusunannya sebagai epos atau hikayat perang, dan dalam konteks sejarah yang bagaimana hikayat ini dikarang dalam bentuknya seperti yang kita kenal sekarang? Begitu pula dalam konteks sejarah seperti apa ia disadur ke dalam sastra Melayu dan Nusantara yang lain.




Peringatan Hari Asyura di Iran (ab-na.com)

Tabuik/Tabot Pariaman (padangekspres.com)

Tidak ada komentar: