
Saya bukan menafikan tidak adanya kebaikan-kebaikan dari acara-acara infotainment yang teramat digandrungi publik tanah air. Ada yang baik, inspiring dan edukatif. Tapi secara umum, kehidupan glamour dan selalu memblow-up perselingkuhan, perceraian, hamil diluar nikah dan sejenisnya justru menjadi "point penting" yang diingat oleh publik. Materi tontonan yang berkelanjutan seperti ini dari para pesohor publik, dalam bahasa Gunnar Myrdal, justru akan melahirkan referensi kolektif bagi masyarakat. Dan lihatlah, terjadi perenggangan defenisi keluarga dalam konstruksi sosial, terutama pada masyarakat perkotaan. Dahulunya, orang dewasa yang dianggap normal, menjalani empat hal dalam satu paket utuh : pernikahan, hubungan seksual (sehat), punya keturunan dan keluarga. Urutannya tetap. Tapi, sebagaimana halnya yang terjadi pada pesohor tanah air, kini orang bisa memilih salah satu atau dua tanpa yang lain. Misalnya, menikah dan berhubungan seksual, tanpa mau memiliki keturunan. Menikah dan punya anak, tanpa mau berhubungan seksual. Atau berhubungan seksual dan punya anak, tapi tidak menikah. Atau bisa juga, menikah setelah "menabung" sekian bulan terlebih dahulu "embrio" anaknya. Urutannya pun boleh dibolak balik.
Di sejumlah negara-negara maju, yang "aromanya sudah kental di tanah air", perceraian tidak lagi memalukan atau menyedihkan. Di negara-negara maju, perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik. Bagaimanapun jua, hal-hal diatas, menjadi perbandingan "menarik" bagi publik yang bukan pesohor negeri. Janganlah heran kemudian, bila dilingkungan kita, akan kita dapati fenomena sebagaimana diatas : membina keluarga (sementara), bangga "memproklamirkan" perceraian, dan merasa tak bersalah ketika hamil tanpa diketahui siapa "penabungnya". "Zaman edan !", kata pujangga Jawa, Ranggowarsito. Wallahu a'lam.
Foto : balita.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar