(Artikel ini pernah diterbitkan PADANG EKSPRES, Minggu, 10 November 2008. Memasuki bulan Nopember, bulan para "pahlawan", setidaknya artikel ini terasa aktual kembali. Konteks tulisannya sebelum Natsir ditahbiskan jadi Pahlawan).

Saya teringat, ketika itu bulan September 2007. Pemprov Sumbar mengundang beberapa pakar sejarah (diantaranya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong). Gawe ketika itu – Seminar untuk “kembali” mengusulkan Natsir jadi pahlawan. “Kembali” karena usulan pertama ditolak. Dari awal dan akhir seminar, semua sepakat, kontribusi Natsir jauh lebih besar dari cacat politiknya. Salah satu otak pemberontakan PRRI yang dianggap sebagai cacat politik tersebut, pada prinsipnya bisa dilihat dari latar belakang penyebabnya, tentunya dengan diperkuat data-data sejarah. Ketika itu, saya dan mungkin semua yang hadir hampir sepakat, tak ada lagi alasan rasional untuk tetap menolak Natsir memberikan label pahlawan. Peluh, keringat, nilai-nilai luhur, kemanusiaannya dan nilai-nilai adiluhung yang diberikan oleh Natsir bagi “peradaban sejarah Indonesia” ini, rasanya jauh “menggunung” dibandingkan “onggokan kecil” cacat politiknya. Tapi nyatanya, “kembali” Natsir ditolak. Majalah Tempo bahkan dalam tahun ini mengeluarkan edisi khusus untuk mengenang Natsir. Natsir dijulang. Sabak dan air mata berlinangan, kita baca riwayat hidup Natsir sebagaimana air mata juga berlinangan ketika kita baca Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib karangan sejarawan Yahudi, George Jordac. Kita tak menyamakan Natsir dengan Ali, tapi setidaknya episode kehidupan mereka yang sangat kontributif bagi ummat manusia, tidak diapresiasi oleh sejarah. Indonesia (baca: pemerintah Indonesia) menganggap Natsir bukan Pahlawan. Beliau yang bersahaja ini tetap dianggap sebagai pemberontak.

Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus dan 10 Nopember selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan. Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar