
Laporan yang dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruk Residen Cirebon ketika melaksanakan haji tahun 1893. Saat membeli tiket, Adiningrat - sang Residen, dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.” Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba. J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai. Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit. Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal : “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”. Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.
Referensi : Imam Shofwan (11-2010)/Foto : republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar