Senin, 01 November 2010

Pahlawan itu Integritas, Bukan (selalu) dari "Haru Biru" Peperangan

Oleh : Muhammad Ilham

"Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan” (Tao)

Al Pacino, sang aktor watak Hollywood secara filosofis dalam sebuah filmnya mendefenisikan siapa sebenarnya pahlawan itu? Pahlawan adalah manusia yang memiliki integritas dan menjadi inspirasi terbaik bagi zaman ketika dan setelah ia hidup. Sangat filosofis. Ada tiga kata yang perlu digarisbawahi disini. Manusia, Integritas dan Inspirator. Pahlawan bukan malaikat. Pahlawan adalah manusia. Hidupnya dipenuhi dengan perspektif. Suatu perspektif tidak akan pernah diterima secara bulat-menyeluruh. Ia terikat dengan zaman. Karena itu, terkadang kita tidak adil melihat seorang anak manusia dari perspektif kita atau “kekinian”. Parahnya lagi, tanpa menggunakan parameter yang jelas. Siapa yang bisa menjamin Sukarno adalah manusia yang sempurna, apalagi dilihat dari perspektif sekarang. Mengapa kita marah-bergejolak ketika ada yang “menggugat” kepahlawanan Imam Bonjol ? Siapa yang meragukan dedikasi total Tan Malaka terhadap Indonesia, walaupun oleh Rudolf Mrazek dan Harry Poetze, sang putra Pandan Gadang Suliki ini dianggap pernah berusaha “mengkudeta” supremasi ketokohan Sukarno-Hatta. Meniti episode demi episode kehidupan Tan Malaka, sungguh sangat menggairahkan. Mungkin, beliulah satu-satunya orang Asia Tenggara yang tercatat dalam Manifesto Politbiro Komunis Rusia sebagai salah seorang inspirator ideologi sosialis-komunis Asia.

Beliau dianggap jauh lebih besar dibandingkan Mao Tse Tung maupun "Paman" Ho Chi Minh si "pahlawan legendaris Dien Binh Phu" itu. Seluruh hidupnya dipenuhi oleh aura revolusioner demi martabat Indonesia. Sebagaimana halnya Muhammad Hatta, Tan Malaka adalah makhluk Tuhan yang cool pada wanita, karena beliau terlampau hot untuk berjuang demi Indonesia. Ibrahim Datuk Tan Malaka yang dikagumi orang Filiphina ini, mati secara tragis ditangan bangsanya sendiri. Padahal ditangan bangsa lain – ketika ditangkap oleh orang Belanda maupun ketika ditangkap di Filiphina dan Tiongkok – beliau selamat. Tapi sayang, Tan Malaka adalah “manusia” (manusia dalam tanda kutip). Sejarah hidupnya tidaklah konstan. Ketika sesuatu tidak sesuai dengan apa yang menjadi prinsipnya, ia melawan. Itulah konstanta Tan Malaka. Untung Tan Malaka diberi gelar Pahlawan pada masa Soekarno. Bila ia tak tertembak, dan hidup terus sampai Orde Baru, mungkin kita tidak akan mengenal ada Jalan Tan Malaka (walupun jalan-jalan Tan Malaka tak pernah diberikan untuk jalan-jalan protokol) saat sekarang ini. Dijamin : Tan Malaka tak akan menjadi pahlawan. Padahal, sebagaimana halnya Muhammad Natsir, garansi akademik dan kontribusi positif rasanya telah melebihi cum.

Siapa yang tidak kenal DN. Aidit ? Dipa Nusantara Aidit atau Danu Nusantara Aidit atau Dja’far Nawawi Aidit atau apalah namanya. Bersama-sama dengan “teman-teman mudanya”, seperti Soekarni dan Chairul Saleh, anak muda kelahiran Bangka Belitung dari ayah yang merupakan keturunan Maninjau ini, menculik Sukarno Hatta dan “memaksa” Dwi Tunggal ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Melalui biduk “ideologi komunis” beliau mengaktualisasikan potensi politiknya. Dalam usia yang relatif “hijau”, 27 tahun, ia mengambil alih kepemimpinan PKI dari Muso. Bersama dia, ada Lukman yang 30 tahun, Sudisman 31 tahun dan Nyoto 25 tahun. Dalam bukunya Indonesian Communism under Soekarno, Rex Mortimer mengatakan bahwa Aidit adalah figur yang menjunjung idealismenya, dan “miskin” dengan bumbu-bumbu politik seperti yang familiar terjadi pada saat sekarang yaitu uang dan seks. Sejarah menunjukkan bahwa Aidit kemudian “terjerambab” dalam kesalahan pilihan ideologis. Kemudian, ia bukan pahlawan. Kemudian ia terhina. Kemudian ia seakan-akan bukan bahagian dari “kita”. Ini bukan profokatif dan saya tak memiliki kepentingan politis apapun terhadap Aidit dan “anak cucu” ideologisnya. Saya pun tak memiliki referensi yang bisa meyakinkan saya untuk kagum pada Aidit. Tapi setidaknya, itulah yang namanya ketidakdilan sejarah (baca: sejarah versi pemegang kekuasaan).

google.picture.com
Dalam pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah – lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Melalui media massa yang didirikannya – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Persoalannya, bukan pilihan politiknya itu. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris HAMKA. Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Konon, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam Zabukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya. Coba lihat ending film The Lion of Desert, film biografi kepahlawanan Ahmad Mochtar (yang ini pahlawan Libya melawan Italia yang dibintangi Antony Quinn), dengan senyuman bahkan sempat bercanda dengan seorang anak kecil, dengan kepala tegak penuh martabat, Ahmad Mochtar menuju tiang gantungan yang telah dipersiapkan oleh Italia di bawah Mussolini. Diantara euforia pimpinan militer Italia menyaksikan kematian tragis musuh bebuyutan mereka tersebut, ada seorang elit militer Italia kala itu terpana-terpukau dan berlinangan air matanya melihat Ahmad Mochtar “kembali ke haribaan Tuhan”. Bukan kematian tragisnya yang membuat sang tentara menangis, tapi keyakinan dan idealisme Ahmad Mochtar-lah yang dikaguminya. Dalam keadaan yang bisa “menjilat”, beliau justru “pergi” karena membela keyakinannya.

Gelar Pahlawan bukan berarti menjadi garansi untuk menjadi referensi bagi generasi berikut tentang arti kepemimpinan dan keluhuran budi. Tao, sang filsuf Cina Klasik mengatakan : “Seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dia tak lasak seperti sungai di gunung, tapi tak dalam. Dia tak berada di puncak yang tinggi, tapi menampung. Dia tahu bahwa sumber airnya adalah air yang datang dari jauh di pedalaman, sebuah telaga tak bermula dari air yang tergenang setelah kebetulan hujan”. Karena itu, kepemimpinan dan figur yang baik itu bukan ditentukan atau dinilai dari keberanian bertindak. Kepemimpinan yang baik terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri …. Good leadership concist of doing less being more, setidaknya demikian nasehat Ahlan Ahmad Sahlan (diplomat Dinasti Abbasiyah yang diperankan oleh Antonio Banderas) dalam film The 13th Centuries Warrior.

Rasanya, tokoh-tokoh diatas dan begitu banyak aktor-aktor sejarah Indonesia lainnya adalah orang yang memiliki integritas. Integritas itulah yang pahlawan, bukan “haru biru” peperangan. Dari integritas itulah generasi berikutnya mampu mendapatkan “pelajaran berarti” agar yang namanya Pahlawan tersebut memiliki makna. Natsir, dan Datuk Batuah dan lain-lain adalah orang-orang yang pantas dan harus kita hormati dan hargai bukan karena mereka tidak dijadikan Pahlawan versi pemerintah sebagaimana kita juga kita menghormati Muhammad Hatta, Agus Salim dan lain-lain bukan karena gelar pahlawan mereka. Integritas dan totalitas perjuangan mereka yang memang akan terus kita kagumi. Karena itulah warisan paling berharga dari mereka. Sudah sepantasnya kita memandang putra-putra terbaik sejarah Indonesia dengan cara itu. Karena nilai-nilai substantif dari kepahlawanan itu bukan dari tampilan heroisme ataupun kepiluan episode pengorbanan hidupnya, akan tetapi pada kekuatannya untuk mempertahankan nilai-nilai integritasnya. Selamat memasuki bulan para Pahlawan !

:: Artikel ini pernah diterbitkan di PADANG EKSPRES, Minggu, 11 November 2008

Tidak ada komentar: