Teringat kita dengan ucapan Syekh Muhammad Djamil Djambek :
Kitab dibantah dengan kitab. Dan itu ia kemukakan pada akhir kolonial Belanda bercokol di nusantara. Sebuah "sikap" intelektual yang sangat inspiratif. Ulama "modernis" Minangkabau ini ingin mengajarkan bahwa tradisi tulis harus terus ditumbuhkembangkan. Sebetapapun sebuah tulisan sungguh menyakitkan, harus dibalas dengan tulisan. Buku versus buku. Karena ini pulalah mungkin, penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "
Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?.
Indonesia, dibangun oleh banyak sekali orang, yang beberapa di antara mereka adalah para pecinta buku, para pemamah buku dan para penulis buku.
Banyak sekali fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hal itu. Saya akan langsung ingat kutipan Hatta yang sangat terkenal yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini : "
Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas." Hatta, lewat kutipannya itu, tampak benar sebagai orang yang sangat mencintai dan menghargai buku. Jika ingatan saya tidak berkhianat, kutipan itu muncul dalam buku Memoir yang ditulis Hatta sendiri. Kutipan itu muncul dalam konteks ketika Hatta sedang mengisahkan hari-harinya yang sepi di tanah buangan di Digul pada 1934, yang lantas berlanjut di pulau Ende pada 1936. Saya kira orang tak cukup alasan untuk menyebut kutipan itu tak lebih sebagai sok pamer. Bukti konkrit dari kutipan Hatta itu bisa kita temukan dalam buku
Alam Pikiran Yunani. Buku itu ditulis selama pembuangan Hatta di Digul yang berlanjut di Ende. Hatta memang memutuskan untuk menghabiskan waktu pembuangannya dengan melakukan studi mendalam ihwal filsafat Yunani klasik. Untuk keperluan itu, Hatta meminta bantuan kawan-kawannya di Batavia untuk mengirimkan buku-buku yang ia butuhkan yang sudah ia kumpulkan sedari ia sendiri masih berada di Belanda. Tiga peti besar datang sewaktu Hatta sedang berada di Digul. Satu peti buku menyusul sewaktu Hatta sudah berada di pulau Ende.
Bagi para intelektual yang banyak melakukan aktivitas politik, pengasingan justru menjadi momentum terbaik untuk lebih memerkaya batin dan memertajam perspektif. Bagi orang seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau Gramsci hingga Jamaluddin al-Afghani, pengasingan dan pemenjaraan dihayati tak ubahnya sebagai laku yogi. Laiknya seorang empu keris, waktu yang lapang, tenaga yang penuh dan laku batin yang khidmat, digunakan untuk menempa-lipat bahan baku keris yang beratnya puluhan kilo menjadi keris yang siap pakai dengan bobot hanya ratusan gram saja. Penjara, dengan menggunakan analogi empu keris, adalah tempat terbaik bagi para intelektual untuk menempa-lipat bahan baku yang dimilikinya untuk dijadikan ratusan helai tulisan yang punya pamor cemerlang. Maka, begitu kurun pengasingan itu usai terlewati, ketajaman perspektif, kedalaman batin serta kekukuhan keyakinan menjadi modal berharga untuk melanjutkan jalan hidup yang dengan sesadarnya diabdikan untuk hidup dan kehidupan banyak orang. Bersamaan dengan Hatta menulis
Alam Pikiran Yunani, Sjahrir dari hari ke hari menuliskan catatan ihwal banyak pokok yang ia minati, dari soal kebudayaan, politik, seni, kesusastraan, psikologi massa hingga ekonomi politik. Catatan-catatan itu ia kirimkan dalam bentuk surat kepada istrinya di Belanda, Maria Duchateau. Surat-surat inilah yang kelak terbit dalam bentuk buku dengan judul
Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul
Rantau dan Perjuangan yang diterjemahkan oleh HB Jassin dan dikatapengantari oleh Charles Wolf Jr.). Saya tidak ragu untuk menyebut karya ini sebagai salah satu renungan kebudayaan cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini dipenuhi oleh refleksi dan komentar Sjahrir atas pelbagai gagasan kebudayaan yang serius. Kita akan menjumpai bagaimana Sjahrir membelejeti pokok pikiran sekaligus kepribadian Johan Huizinga dengan Ortega y Gasset. Berkali-kali Sjahrir bercerita bagaimana impresinya atas karya-karya Nietzsche, Dante, Dostoyevski hingga Benedotte Croce. Sjahrir mampu menjelaskan seperti apa "hubungan darah" antara satu filsuf dengan filsuf yang lain.
Dari pembacaan yang lebih detail ketimbang sebelumnya, Sjahrir lebih punya kecenderungan memihak pragmatisme yang menjadi khas pemikiran di Britania Raya ketimbang rasionalisme Prancis atau romantisme Jerman. Sjahrir memang lebih dekat dengan Julian Huxley, John Stuart Mill atau Gustav Meyer dari Britania ketimbang Kant, Hegel, dan Goethe dari Jerman atau Andre Malraux dan Rosseau dari Prancis. Orang yang sama ini pula yang dalam pekik perang kemerdekaan, persis saat pertempuran 10 November di Surabaya baru saja dimulai, masih sempat-sempatnya menerbitkan buku yang berjudul
Perjuangan Kita.
Perjuangan Kita memang buku yang relatif tipis, tapi ini bukan buku sembarangan. Beberapa karib dekat Sjahrir menyebut pamflet itu menunjukkan cara berpikir Sjahrir yang ternyata begitu dekat dengan Mao Tse Tung sehingga bahkan ada yang berpikir kalau dua orang itu sempat bertemu. Franklin Weinstein, sarjana Amerika yang menulis disertasi seputar kaum elit Indonesia, menyebut Perjoeangan Kita sering dibandingkan dengan
On New Democracy-nya Mao dan bahkan rakyat di dunia komunis menerima
Perjoeangan Kita sebagai sumbangan yang setaraf dengan sumbangan Mao. Seorang sejarawan yang mengkaji politik Indonesia pasca proklamasi nyaris mustahil melewatkan Perjuangan Kita. Pamflet politik Sjahrir ini amat membantu menjelaskan bagaimana garis perjuangan Republik menghadapi tekanan politik, ekonomi dan militer Belanda yang berniat kembali menduduki koloni terbesarnya ini.
Sejumlah ilmuwan yang mengkaji politik Indonesia pada periode 1945-1949, semisal Ben Anderson dan George Kahin, punya kesimpulan yang nyaris sama kendati dengan impresi yang berbeda, Perjuangan untuk keluar dari jepitan Belanda nyaris sepenuhnya bergerak di sepanjang garis yang dirumuskan Perjuangan Kita. Buku
Perjuangan Kita inilah yang memaksa seorang penulis tangguh lainnya untuk menulis dan menerbitkan buku tandingan berjudul
Moeslihat. Penulisnya adalah Tan Malaka. Tan Malaka, saya kira, harus masuk dalam deret teratas para penulis Indonesia yang paling tangguh dan prolifik. Produktivitas dan stamina orang ini betul-betul tanpa tanding. Saya bahkan berani bilang, hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tak akan pernah mampu membuatnya berhenti menulis. Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog. Tan Malaka menulis
Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa buku-buku acuan, yang seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dan dalam persembunyian penuh marabahaya yang memaksanya menulis
Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil.
Madilog adalah suara modern dari seorang Asia, seorang Timur, yang juga diperuntukkan bagi bangsa Asia, bangsa Timur, persisnya bangsa dan rakyat Indonesia yang masih diselimuti pola pikir mitis dan irasional.
Madilog berbicara nyaris tentang semua aspek kehidupan, dari mulai filsafat, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, sejarah hingga sains modern, yang meliputi dari matematika, kimia, fisika hingga astronomi. Dengan menulis
Madilog, tampak benar betapa Tan Malaka sedang berambisi menguraikan keyakinan filsafat, politik dan ideologisnya secara terus terang, terbuka, dan komprehensif. Ini pekerjaan yang tak sepele dan terbilang langka dalam tradisi intelektual Indonesia.
Sejarah Indonesia juga mengenal kisah buku yang tragis dari seorang Amir Sjarifuddin. Amir adalah Perdana Menteri kedua dalam sejarah Indonesia. Dia naik sebagai Perdana Menteri menggantikan Soetan Sjahrir. Amir bukan orang baru dalam pergerakan nasional. Namanya sudah meroket sejak ia aktf di Gerindo. Dia ikut aktif membangun gerakan anti-Jepang pada masa Jepang sendiri sedang berkuasa di Indonesia. Sayangnya Amir tertangkap dan divonis mati oleh pengadilan militer Jepang. Hanya atas intervensi Soekarno dan Hatta sajalah Amir diampuni. Sebagai Perdana Menteri Amir tak banyak berbuat. Perundingan Renville memaksa dirinya lengser dari kekuasaan. Sejak itulah Amir makin bergerak ke "kiri", terutama setelah Moesso datang kembali ke Indonesia pada Agustus 1945. Kenyataan itulah yang membuat namanya tersangkut dalam peristiwa Madiun 1948. Beberapa jam sebelum di ekseskusi mati di Solo, Amir sempat mampir di Jogjakarta. Dalam pengawalan yang sangat ketat, Amir duduk sendirian di Stasiun Tugu, menunggu kedatangan kereta yang akan membawanya ke Solo untuk ditembak mati. Ketika perwira yang bertugas menjaganya bertanya apakah membutuhkan sesuatu, Amir tidak meminta makan, minum, pakaian, atau apa pun. Permintaan terakhirnya adalah meminta buku. Maka disodorkanlah buku
Romeo and Juliet karangan William Shakespeare, satu-satunya buku yang dibawa oleh perwira yang menjaganya (bahkan seorang perwira dalam situasi perang masih sempat-sempatnya membawa buku!). Dikisahkan, Amir menghabiskan waktunya di Stasiun Tugu dengan buku di tangannya. Ketika kereta yang akan membawanya ke Solo untuk dieksekusi mati datang, Amir langsung naik ke gerbong yang sengaja dikosongkan. Ketika kereta bergerak ke arah timur dengan perlahan, tampak jelas ratusan orang berjubel di sepanjang rel ingin menyaksikan wajah mantan Perdana Menteri mereka yang hendak dihukum mati. Amir, dikisahkan oleh Soe Hok Gie, tetap tenang dan penuh khidmat membaca buku Romeo and Juliet yang sedang berada di tangannya.
Saya kehabisan tenaga dan waktu kalau harus mengisahkan satu demi satu fragmen sejarah yang bisa menggambarkan hubungan yang intens antara Indonesia dengan buku. Betapa banyak. Betapa melimpah. Salah satu anugerah yang bisa dinikmati para pecinta buku negeri ini adalah kenyataan di mana mereka berhayat di sebuah negeri yang kemerdekaannya diusahakan oleh orang-orang yang begitu mencintai buku. Sebagai para pecinta buku, mereka mewariskan banyak sekali buku yang mereka tulis sendiri. Dalam bayangan saya, membaca kembali warisan-warisan tak ternilai yang ditinggalkan para pendiri republik ini adalah salah satu cara terbaik mengkhidmati kemerdekaan yang diusahakan sekuat tenaga oleh orang-orang yang begitu mencintai buku dan menuliskan apa pun yang mereka anggap perlu untuk ditulis, tanpa pandang kapan waktunya dan di mana tempatnya. Politik dan gagasan, bagi mereka, adalah dua keping mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Sebab, politik tanpa gagasan hanya menjadi gerak sempoyongan orang-orang kebingungan. Sementara gagasan tanpa politik (baca: pergerakan) tak ubahnya kepala yang gentayangan tanpa kaki yang menjejak bumi. Dari buku ke buku, sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia. Sayangnya, itu Indonesia zaman dulu. Hari ini, ada Profesor Sejarah yang
bangga ikut-ikutan membakar buku sejarah. Memalukan!