Jumat, 17 September 2010

Menghargai Proses : "Suatu Malam di Musholla Pinggiran Sawah" (Cerita Dua)

Oleh : Muhammad Ilham

Kalian Marahi/Tapi Tak Kalian Pupuk (Kuntowijoyo : Ma'rifat Daun)

Setelah selesai memberikan ceramah di sebuah Musholla pinggiran Padang, seperti biasa saya berdiskusi dengan satu dua orang jemaah. Tentang berbagai hal. Biasanya, dari diskusi ini, sangat yang bodoh ini banyak mendapatkan inspirasi, pembelajaran dan kearifan yang saya dapatkan. Kebetulan, dalam Ramadhan tahun ini, saya lebih memfokuskan memberi ceramah Taraweh di musholla-musholla, khususnya di daerah-daerah pinggiran Padang. Entah kenapa, saya lebih tertarik menjadi "teman diskusi" jamaah pinggiran Padang ini. Biasanya penceramah - apalagi yang kondang - di bulan Ramadhan tersebut lebih suka memberikan ceramah di masjid-masjid, dan sedapat mungkin "menghindari" musholla kala diminta. Apalagi musholla pinggiran Padang yang cukup jauh dan menyita waktu untuk pergi kesana. Pertimbangan pragmatis, menjadi dasar utama para penceramah tidak "sreg" memilih ceramah di musholla-musholla tersebut. Biasanya, setelah pulang dari kampus pada sore hari, saya akan mandi lebih cepat. Sebelum berbuka, dengan dibekali perbukaan oleh istri, saya akan berangkat menuju musholla tempat saya ceramah. Ini sering saya lakukan, karena lokasi musholla itu cukup jauh. Maghrib dan berbuka ditengah jalan, bukan satu dua kali saya lakukan dalam Ramadhan tahun ini.

Malam itu, disebuah musholla pinggiran Padang dekat bukit, setelah sholat Taraweh selesai dilaksanakan, saya berkesempatan berdiskusi dengan beberapa jamaah yang rata-rata sudah tua. Musholla tersebut berada di pinggiran sawah. Tidaklah mengherankan apabila Honda Supra "Paling FIT" saya berlepotan ketika melewati pematang sawah. Sambil meminum dan memakan sisa-sisa perbukaan yang disuguhkan, terutama jagung rebus yang masih hangat, kami-pun mulai berdiskusi, tapi lebih tepatnya "curhat" dari mereka. Saya dengarkan satu persatu, curahan hati "terpendam" mereka tentang Ramadhan. Diantara banyak curahan hati tersebut, ada satu topik-isu yang menurut saya sangat menarik. Rupanya, sudah sekian malam mereka tidak melaksanakan ceramah taraweh. Setelah sholat 'Isya berjamaah, mereka langsung sholat taraweh. Biasanya menjelang sholat Taraweh setelah sholat 'Isya, akan diisi dengan tausyiah dari penceramah yang diundang. Kebetulan malam-malam sebelum saya memberikan ceramah di musholla ini, penceramahnya tidak datang. Karena tidak ada diantara jamaah ini yang bisa memberikan ceramah, tausyiah jelang taraweh ini-pun mereka "lewatkan". Ini terjadi bukan hanya pada Ramadhan tahun ini saja, tapi hal yang sama juga terjadi pada Ramadhan-Ramadhan tahun sebelumnya. Dari diskusi malam itu saya dapatkan kesimpulan "sepihak" dari jamaah Musholla yang tidak asri ini, seringnya penceramah tidak datang ke musholla mereka tersebut karena letak musholla yang agak terpelosok dan di tepian sawah. Padahal, jauh sebelum Ramadhan, pengurus musholla telah membuat janji dengan beberapa penceramah. Ditambah lagi dengan "isi amplop" yang tak gemuk, diasumsikan memberikan kontribusi malasnya beberapa penceramah untuk datang memberikan ceramah. Bahkan, menurut salah seorang pengurus yang bekerja sebagai pembuat batu bata, "isi amplop" tidak pernah tetap, tergantung jumlah infak yang didapatkan pada setiap malam. Jadi tidaklah mengherankan apabila "isi amplop" tersebut cenderung fluktuatif. Biasanya, infak yang didapatkan tidak akan pernah banyak, maklum mayoritas jamaah berasal dari ekonomi lemah. "Sebenarnya kami juga segan memberikan uang transportasi (demikian si pengurus itu mengistilahkannya) yang tidak seperti masjid atau musholla lainnya, tapi apa mau dikata, itu yang sanggup kami berikan. Kami sebenarnya ingin sekali seperti musholla dan masjid yang lain, setiap malamnya mendapat tausyiah dari penceramah-penceramah cerdas. Tapi karena tempat kami yang jauh, dan jumlah uang transportasi yang tidak memadai, banyak diantara para penceramah tahun-tahun terdahulu yang tidak mau lagi berceramah pada Ramadhan tahun berikutnya di musholla kami ini. Kami sangat menyadari hal itu, tapi sekali lagi apa mau dikata, baru itu kemampuan kami", kata salah seorang pengurus yang usianya separuh baya tersebut. "Padahal, yang paling penting diberikan tausyiah itu kan kami, bukan hanya jamaah-jamaah di kota atau dimasjid-masjid sana. Kami berharap sekali, sekali dalam setahun dibulan Ramadhan ini, kami mendapatkan pengetahuan agama dari para penceramah. Tapi yang terjadi, justru para penceramah banyak yang tidak mau datang. Mungkin karena kami miskin, tak bisa beri amplop sebagaimana amplop yang diberikan pengurus masjid di daerah lain", sela seorang ibu yang dari tadi saya lihat menyimak diskusi kami dengan khidmat.

Malam itu, saya lebih banyak menjadi pendengar terbaik, sambil menawarkan satu-dua solusi mengatasi kegundahan mereka ini. Pukul 11 malam, lebih kurang, saya pamitan sambil dibekali dua bekal. Bekal pertama, amplop yang "tebal" (maklum ketebalan isi amplop tersebut karena diisi uang kertas seribu). Bekal kedua, jagung rebus beberapa buah. Bekal pertama saya tinggalkan, bekal kedua saya "kamehi", maklum, jagungnya sangat enak sekali. Malam itu saya dapatkan dua pelajaran berharga. Pertama, merekalah sebenarnya yang "membutuhkan" pencerahan keagamaan. Karena peluang dan akses mereka sangat minim memperoleh pengetahuan agama dibandingkan dengan masyarakat yang berada di kota atau masjid-musholla yang mampu mendatangkan penceramah cerdas. Peluang itu hanya mereka dapatkan satu kali satu tahun. Terkadang peluang itu tidak "dimanfaatkan" oleh mereka yang bekerja dibidang ini dengan baik (termasuk saya). Kedua, saya teringat dengan sebuah kasus di sebuah daerah kecil di pinggiran pantai Sumatera Barat. Beberapa masyarakatnya pernah menjadi anggota salah satu "kelompok sempalan". Dan masyarakat ini kemudian disalahkan. Padahal daerah yang hampir terisolir dan jarang dikunjungi muballigh ini membutuhkan pencerahan dari orang-orang yang "memarahi" mereka itu. Seandainyalah, musholla tempat saya ceramah malam itu rajin dikunjungi oleh penceramah dari salah satu kelompok Islam "antah barantah" (katakanlah demikian), niscaya mereka akan menjadi bagian dari kelompok Islam "antah barantah" tersebut. Wallahu A'lam bisshawab ..... (BERSAMBUNG)

1 komentar:

Desembri Chaniago mengatakan...

"Kebetulan, dalam Ramadhan tahun ini, saya lebih memfokuskan memberi ceramah Taraweh di musholla-musholla, khususnya di daerah-daerah pinggiran Padang"

Bung Ilham, pilihan anda yang kebetulan memilih tempat berceramah di daerah pinggiran kota, secara kebetulan juga memberikan apa yang Bung sebut dengan banyak memberikan inspirasi, pembelajaran dan kearifan. sebuah peristiwa "kebetulan" yang kemudian secara sengaja saya baca dan sengaja pula saya komentari karena saya memang sangat tertarik membacanya.

oh ya Bung, tahun-tahun sebelumnya Bung ceramah tarawih di mana?? masjid/mushala pusat kotaa??
bung, mohon jadikan seluruh isi paragraf di atas sebagai sebuah gurauan saya saja. sekarang saya mau serius, hehehe.

Bung Ilham, sesungguhnya kita sama-sama pernah mengalami apa yang anda kemukakan dalam tulisan ini. berakibat saya sering menyindir teman-teman yang tak mau ceramah di tempat seperti yang bung gambarkan tersebut, lalu apa jawab mereka.., hahahahaha, hanya itu.

sungguh amat memilukan apa yang terjadi, namun tidak berarti kita mesti berpangku tangan membiarkannya berlarut-larut. tentu harus ada upaya sadar untuk merubah keadaan seperti itu. siapa yang harus melakukannya???
jawabnya, kita. kitalah yang harus melakukan perubahan itu.
bagaimana caranya??
pertama yahkinkan diri kita bahwa hal yang akan kita lakukan itu benar adanya.
kedua, cari dan kumpulkan teman yang memiliki pandangan yang sama. kalau tetap tak ada, jalani saja sendiri-sendiri.
kapan??
jangan tunggu ramadhan tahun depan, mari kita lakukan secara berangsur. saya, biasanya pada waktu tertentu berkirim pesan ke pengurus masjid bahwa saya akan datang pada waktu yang saya tentukan, kemudian pengurus akan memberitahukan dan kumpulkan jamaah..,
beberapa waktu berikutnya, saya ulang lagi, tapi saya mintak tolong pada teman saya untuk ke sana, dan sebelum ia berangkat, saya bekali dengan amplop pemberian pengurus masjid "tengah kota" setelah saya berkhutbah jum'at.. (yang isinya telah saya paruh dua terlebih dulu, hahahahaha), namun bagi teman saya itu sudah dianggap cukup, karena memang ia belum pernah merasakan amplop dari pengurus masjid "tengah kota" tersebut.

tak lama kemudian saya lakukan pula hal yang sama, ke masjid pinggir lainnya, saya utus pula seorang teman, juga setelah memaruh dua amplop kantor pemerintah pasca saya "ngaji pagi" di sana.

beberapa waktu kemudian, saya lakukan lagi (pada teman yang sama), tapi dengan mengurangi "ketebalan" amplopnyaa, sambil saya katakan cerita yang sesungguhnya, usai saya bercerita, ia kembalikan amplop ke saya sambil berkata "insya Allah saya mau ngaji ke sana bukan karena ini" ini kewajiban kita..,

bung ilham, kalau ada beberapa orang dengan militansi cukup.., saya kira teman-teman kita di pinggir itu akan tetap tercerahkan sebagaimana teman-tema di kota.
satu hal.., bung adalah dosen di perguruan tinggi Islam di kota padang. kenapa, kenapa tak menjadikan mahasiswa bung sebagai da'i untuk kesetiap pinggir tersebut?? bagi dosennya mungkin terasa "ketebalan amplop pinggir" itu terasa sedikit, tapi bagi adik-adik mahasiswa, mungkin akan "menambah".
atau, tri dharma perguruan tinggi..,
ahhhh, kok saya jadi ngaco ya bung??
bravo masjid/mushalla pinggir sawah.. heheheh