Senin, 20 September 2010

Letusan Krakatau Dalam Syair Melayu

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Judul : Syair Lampung Karam (Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883). Penulis : Suryadi, Penyunting : Yurnaldi, Penerbit : KPSP, Padang/Cetakan : II, Januari 2010, Tebal : 200 halaman. Resensator : Muhammad Damhuri @ Yonk (Kompas, 19/9/2010).


Kepulan awan panas membubung setinggi 70 km. Gelombang tsunami menyapu bersih kawasan pantai sebelah Sumatera (Lampung) dan Jawa (Banten dan sekitarnya). 36.000 orang tewas. Ribuan permukiman luluh-lantak. Harta-benda hanyut tergilas arus. Begitu para peneliti menggambarkan suasana kalut selepas letusan gunung Krakatau, 1883. Ombak setinggi 40 m dari perairan Selat Sunda mencapai pantai Australia, Srilangka, Calcutta, bahkan Cape Town, selang beberapa jam kemudian. Sementara letusan terdengar hingga 3000 mil. Tak mengherankan bila seorang peneliti menyebutnya letusan terbesar sepanjang sejarah bumi. Lebih dari 1000 kajian tentang letusan Krakatau telah ditulis, sejak dari geologi, vulkanologi, metereologi hingga oseanografi. Bermunculan pula sejumlah prosa karya seniman Eropa dari tahun 1889 hingga 1969. Beberapa film yang menggambarkan bencana akbar itu telah diproduksi. Sebutlah misalnya Krakatoa—The Last Days (2006). Tapi, beragam kajian dan karya seni berlatar letusan Krakatau, melulu dari perspektif orang asing. Maka, buku "Syair Lampung Karam" (Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883) karya Suryadi ini patut ditimbang sebagai penemuan yang mengejutkan. Ahli filologi dan peneliti sastra klasik di Universitas Leiden itu menemukan naskah usang mengenai peristiwa letusan Krakatau 1883, bertajuk "Syair Lampung Karam" karya Muhammad Saleh, terbit di Singapura pada akhir abad 19. Suryadi mencatat, SLK pernah terbit dalam bentuk litografi (cetak batu) dengan aksara Arab-Melayu sebanyak 4 kali. Edisi 1 berjudul "Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu" (1883/1884), kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan The Russian State Library, Moscow. Edisi 2, "Inilah Syair Lampung Dinaiki Air laut" (1884), juga tersimpan di PNRI. Edisi 3, "Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang" (1886)─tersimpan di Cambridge University Library─dan edisi 4, "Inilah Syair Lampung Karam Adanya" (1888), penyalinnya Encik Ibrahim dan penerbitnya “Al-Hajj Muhammad Tayib” di Singapura, tersimpan di PNRI, Perpustakaan Universitas Leiden, SOAS University of London, Universiti Malaya dan dalam koleksi kitab-kitab Melayu milik penginjil Methodist Emil Luring di Frankfurt, Jerman.

Muhammad Saleh menulis SLK di Kampung Bengkulu─kini Bencoolen Street─Singapura. "Di Singapura duduk mengarang/Di kampung Bangkahulu disebut orang" (bait 369). Ia berasal dari Tanjung Karang (Lampung) tempat ia secara langsung menyaksikan bencana itu. "Awal mula hamba berpikir/Di Tanjung Karang tempat musyafir" (bait 4). Boleh jadi ia salah seorang pengungsi dari Lampung yang menyeberang ke Singapura selepas bencana. "Orang banyak nyatalah tentu/bilangan lebih daripada seribu/mati sekalian orangnya itu/ditimpa lumpur, api dan abu" (bait 128). Demikian salah satu potret suasana setelah letusan Krakatau dalam SLK. Sejumlah peneliti menyebutnya “syair kewartawanan”, semacam laporan pandang mata tentang sebuah peristiwa, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Namun, aspek “khayali” (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa SLK bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883, tapi penyair biasanya tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut “Stimmung” oleh filsuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger (1889-1976).

Tengoklah pengakuan Muhammad Saleh pada bait 3: "Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena." Ungkapan perihal kekhilafan yang bisa saja terjadi. Lagi pula, bukankah teks sastra terikat pada bahasa yang digunakannya? Sementara realitas itu semakin dibahasakan, bukan semakin terang, tapi justru semakin menyusut. Itu sebabnya Ludwig Wittgeisten (1889-1951) mensinyalir bahwa bahasa “sewenang-wenang” terhadap realitas. Lalu, argumentasi apa yang dapat memperkuat hipotesis bahwa SLK bisa ditempatkan sebagai dokumentasi historis tentang letusan Krakatau? Sementara dalam ulasannya untuk bait penutup─"Kerana hati gundah gulana/Terlalu banyak pikir kiranya/Terkena demam hampir matinya"─Suryadi mengakui, tak ada jaminan apa yang digambarkan penyair sepenuhnya benar, sebab dalam sastra selalu terbuka ruang untuk berimajinasi (hal.18). Pada bait 235 penyair bahkan menegaskan permohonan maaf bila penggambarannya tentang peristiwa penting itu salah; "Sekedar itulah hamba sebutkan/Khabar yang betul hamba katakan/tetapi tidak dengan penglihatan/Jikalau salah Tuan maafkan." Terbuka kemungkinan bahwa beberapa bagian dari 375 bait dalam SLK bukan sebagai laporan pandang mata, tapi sebatas tafsir terhadap cerita yang didengar penyair dari sumber tertentu, sebagaimana diakuinya pada bait 84; "Neneknya sendiri yang membilang/Bukannya hamba mengarang-ngarang."

Kesulitan menjangkau rujukan faktual dari naskah kuno berupa teks sastra pernah pula dialami Henri Chambert-Loir (2009) saat menelaah "Hikayat Nakhoda Asik" dan "Hikayat Merpati Mas," terbit pada paruh kedua abad ke-19. Rujukan geografis dalam kedua teks itu kabur. Hanya ada satu unsur yang dipertahankan pengarang—itupun hanya dalam HNA—yaitu laut. Nakhoda Asyik terus berlayar dari satu negeri ke negeri lain. Di laut ia bertemu dengan putri Asma Penghibur. Di laut pula ia dicelakai menteri yang zalim. Laut di sini sukar ditimbang sebagai rujukan geografis, karena lebih terasa sebagai laut simbolik. "Hikayat Merpati Mas" juga menggambarkan tentang sebuah negeri yang dilanda petaka. "Pada suatu malam datanglah air dari sebekah wetan, gemuruh suaranya, maka segala isi negeri habislah, ada yang berlari ke sana ke mari, ada yang mencari pohon yang tinggi-tinggi." Menurut Henri, teks ini erat kaitannya dengan SLK. Ketimbang menegaskan bahwa Hikayat Merpati Mas mengandung fakta-fakta tentang letusan Krakatau 1883, Henri hanya merujuk pada SLK yang berusia lebih tua. Lagi pula, siapa yang menjamin tidak akan ditemukan lagi naskah yang lebih tua? Maka, daripada memartabatkan SLK dalam kerangka kerja historiografi, akan lebih bebas-risiko menempatkannya sebagai teks yang menjalankan fungsi konservasi terhadap sebuah kenangan yang mengharukan, tentang bencana besar yang pernah melanda negeri ini, agar kita tak lupa, tak lena, dan selalu waspada.

Tidak ada komentar: