Senin, 27 September 2010

Misbach - Si Haji Merah

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

.......... Membuat agama Islam bergerak .. !! (H. Misbach)

Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis.

Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan. Ia lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach. Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera "Ongko Loro". Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco.

Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya. Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach: ".. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut "Haji". Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu. Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang. "... di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama." Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah. Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918. Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari "kaum putihan" Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti "korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam". Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini, Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. "Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig."

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan. SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi "Islam lamisan", "kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri." Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya "menggerakkan Islam": menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

Referensi Utama : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003. Foto: pusatdatamedia.org

Selasa, 21 September 2010

Hitler (Terkadang) Masih "dihidupkan"

Oleh : Muhammad Ilham

"Yahudi dan Negro dilarang mampir" (Penggalan Billboard dalam film Life is Beatiful)

"Hitler memang belum mati", demikian celetukan seorang teman saya. Dan saya kembali memutar film Life is beautiful yang terkenal itu. Film Life is Beautiful yang dalam bahasa Italianya, La Vita e Bella, ini kembali mengingatkan saya tentang sejarah panjang ummat manusia .... pasti ada komunitas yang "dipinggirkan" dan ada satu dua orang tokoh yang berperan sebagai pemusnah atau yang ingin memusnahkan komunitas itu.Komunitas disini mungkin kumpulan orang, mungkin juga seperangkat ideologi/aliran/ajaran normatif agama. Saya nikmati film yg dibintangi oleh Roberto Benigni yang mendapat penghargaan di Cannes Film Festival & juga Oscar. Film ini diambil dari kisah nyata dengan setting penceritaan gerakan anti Yahudi yg dilancarkan Nazi. Guido Orefice dan putranya Joshua termasuk diantara mereka yg dibawa ke kamp konsentrasi. Guido ingin putranya memandang hidup dengan cara terindah walau apapun situasinya. Guido menunjukkan kepada anaknya bahwa hidup ini indah tergantung bagaimana kita memandangnya. Kehidupan dalam kamp yang mengerikan dan menyedihkan terasa menyenangkan bagi Joshua karena hal itu tidak lebih dari pada permainan. Sungguh, sebuah kisah menyedihkan ditengah "teror" yang bernama Nazi dengan penjaga ruh-nya bernama Hitler. Film ini menggambarkan bagaimana sebuah komunitas (dalam hal ini Yahudi) menjadi korban dari "ganasnya" ideologi Fasisme dan Rasisme-Ultra. Guido dan anaknya bukan siapa-siapa, tapi bagi Hitler, mereka "salah memilih takdir" ..... mereka berasal dari ras Yahudi. Sebagaimana halnya doktrin Fasisme diatas, "mereka pantas dan sudah seharusnya dimusnahkan", karena pemusnahan itu harus sampai tuntas.

Film ini, sama juga halnya dengan film-film lainnya seumpama Schlinder List kembali memperlihatkan kepada sejarah tentang peran besar dari seorang orator ulung, pribadi menakutkan sekaligus menarik, Hitler. Hitler, lengkapnya Adolf Hitler, lahir di Branau Austria tahun 1889. Waktu Perang Dunia I (1914-1918), Hitler muda masuk Angkatan Perang Jerman. Kekalahan Jerman membuatnya terpukul. Tahun 1999, ia bergabung dengan partai kecil berhaluan kanan di Munich dan kemudian partai ini merubah namanya menjadi Partai Buruh Nasionalis Jerman (NAZI). Dalam tempo dua tahun ia kemudian menjadi pemimpin Jerman yang sungguh sulit mencari tandingannya kala itu. Julukan "Fuehrer" setidaknya memperlihatkan kedigdayaan Hitler ini. Setelah gagal melakukan kudeta yang dikenal dengan The Munich Beer Hall Puts dan melalui lika-liku politik yang dinamis, akhirnya pada bulan Januari 1933, Hitler dalam usia 44 tahun, ia menjadi Kanselir Jerman. Dan kemudian, mulailah Hitler menjalankan keyakinan politik kepemimpinanya, bahwa "matahari" tak boleh dua serta musuh harus dimusnahkan sampai tuntas. Oposisi dilabraknya tanpa proses pengadilan. Musuh politiknya "dihabisi", dan ia kemudian mampu menciptakan kestabilan politik karena ditangannya terpegang kekuatan kediktatoran absolut. Dan rakyat Jerman kala itu mendukung karena kestabilan politik ini berkorelasi dengan kestabilan dan peningkatan ekonomi yang dirasakan rakyat Jerman kala itu.

Nafsu "de Fuehrer"nya rasa tak terbendung. Tahun 1936 ia mencaplok Austria, dan ini berarti Hitler mengangkangi Perjanjian Versailles. Tapi Hitler tak bergeming. Ini diperlihatkannya dengan pencaplokan negaralain, Cekoslovakia. Tahun 1940 menjadi tahun "emas" Hitler. Denmark dan Luxemburk dilabraknya. Belanda, Perancis dan Belgia bertekuk lutut tahun ini juga. Sebuah prestasi yang mengejutkan dan membuat banyak orang kala itu terhenyak. Negara-negara utama di Eropa masa itu berada dalam genggaman Hitler. Hanya Inggris yang mampu bertahan mati-matian terhadap serangan udara Jerman yang dikenal dengan sebutan Battle Britain. Hitler tak sanggup menjejakkan kakinya di Ingggris. Tahun 1942, Hitler telah berhasil menguasai sebagian daerah Eropa tanpa pernah sanggup dilakukan oleh siapapun dalam sejarah. Menariknya, selain Eropa, Hitler juga mencaplok Afrika Utara.

Selama berkuasa, Hitler terlibat dalam pembunuhan massal yang tak ada tandingannya dalam sejarah ummat manusia .... mungkin hanya Kaisar Nero yang bisa mendekati keberingasan putra seorang petani Austria ini. Hitler sangat rasialis yang ultra, khususnya terhadap kaum Yahudi yang dibencinya dengan kebencian yang meletup-letup. Dalam awal film Schlinder List terlihat nyata bagaimana kebencian ini diselipkan menjadi sebuah bagian ideologi : "kehancuran ekonomi Jerman, dan orang yang bertanggung jawab terhadap kelaparan orang Jerman adalah orang Yahudi. Mereka merampas peluang kerja kita. Sebagai bangsa Aria, ras paling pilihan di muka bumi ini, tentunya kita tidak mau dihina oleh ras paling rendah dan telah membuat kita menderita, ras bangsa Yahudi". Untuk memenuhi ambisi kebenciannya ini, maka dibuatlaj kamp-kamp konsentrasi sebagaimana yang terlihat dalam dua film di atas. Sejarah kemudian mencatat, lebih kurang enam juta orang dibunuh, mayoritas Yahudi selain Rusia, Gypsi dan Ras-Ras yang dianggapnya sebagai ras rendah serta orang-orang yang dianggapnya berpotensi merusak "peradaban ummat manusia" seperti orang gila dan idiot. Hitler membangun kamp-kamp maut itu dengan organisasi yang cukup rapi dan cermat seakan-akan ia sedang merancang sebuah perusahaan bisnis besar. Data-data tersusun rapi, jumlah ditetapkan dan mayat-mayat secara sistematis dipreteli anggota badannya yang berharga seperti cincin ataupun gigi emas. Bahkan banyak mayat yang dimanfaatkan untuk pabrik sabun.

Namun, sebagaimana hikmah asali tugas kekhalifahan manusia di muka bumi ini, bahwa perbuatan melawan hakikat kemanusiaan dan kebenaran yang tersusun dengan baik dan sistematis serta didukung oleh mayoritas orang, pada gilirannya akan menemui kehancuran. Sejarah mencatat, Fir'aun yang kuat hancur lebur di lautan merah. Dan Hitler, pada musim semi tahun 1945, bersama dengan Eva Braun, pacarnya, bunuh diri dalam kamp pertahanan mereka di Berlin. Tujuh hari kemudian, Jerman-pun menyerah. Dan ..... hingga hari ini kebencian seorang Hitler masih tetap banyak terjaga di benak kita semua, orang-orang disekeliling kita. Kita terkadang mengutuk seseorang karena "takdir" mereka harus dikutuk. Terkadang kita juga tidak bisa membedakan mana YAHUDI, mana ZIONIS (ME) dan mana Bani ISRAEL. Hitler masih "hidup". Wallahu 'alam !

::: (artikel ini dipublish di Harian Umum Singgalang, Ramadhan 2010)

Senin, 20 September 2010

Bahasa Melayu Juga "Diangkut" ke Belanda

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Apa yang dibawa oleh orang Belanda ke negerinya selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia? Orang mungkin akan langsung menjawab: berbagai jenis hasil bumi dan hasil tambang dari negeri kita.

Memang demikianlah halnya. Selama zaman kolonial Indonesia telah dijadikan sebagai ‘gabus tempat mengapung’ oleh Belanda, terutama saat mereka mengalami kesulitan ekonomi. Bila kita ke Belanda sekarang dan melihat banyak gedung-gedung klasik yang interiornya memakai kayu-kayu kuat yang tahan lama, maka kita dapat menduga bahwa kayu-kayu itu dulu diambil dari hutan-hutan Indonesia. Tapi kita mungkin lupa bahwa ada yang bersifat non material yang juga banyak diambil orang Belanda dari bumi Indonesia: yaitu (unsur) bahasa Melayu (sekarang bahasa Indonesia). Ada ratusan kosakata Melayu yang pernah menjadi bagian dari khazanah kosakata bahasa Belanda, dan banyak di antaranya yang masih bertahan sampai sekarang di mulut orang Belanda. Nicoline van der Sijs pernah mendatanya dalam Leenwoordenboek: de invloed van andere talen op het Nederlands (Kamus pinjaman: pengaruh bahasa-bahasa lain dalam bahasa Belanda) ( Den Haag: Sdu Uitgevers, 1996). Kata pinjaman dari bahasa Melayu dalam bahasa Belanda mencakup berbagai konsep: mengenai kuliner, hewan, musik, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, banyak terjadi kawin campur antara orang Belanda dan penduduk pribumi, baik secara resmi maupun melalui sistem per-nyai-an. Faktor perkawinan campur ini merupakan salah satu jalan bagi masuknya kosakata Melayu ke dalam bahasa Belanda.

Dulu ada ungkapan di Belanda: “
Beladjar bahasa dalam klamboe”. Maksudnya: untuk mempelajari bahasa Melayu orang Belanda mengawini perempuan Melayu. Jadi, ia memakai ‘kamus hidup’ untuk belajar bahasa Melayu.
Sampai sekarang ‘taktik’ ini masih sering dipraktekkan oleh beberapa Indonesianist asal Belanda.
Ambil contoh kosakata yang terkait dengan makanan: kata-kata seperti kropoeks, sambal, martabak, teloer mata sappi, saté kambing, agar-agar dan tjendol – contoh ini bisa diperbanyak – sudah menjadi bagian dari leksikon bahasa Belanda. Di Belanda kuliner Indonesia memang sangat disukai, khususnya di kalangan indo (orang-orang Belanda yang berdarah Indonesia). Untuk buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan, kata-kata seperti djeroek, doerian, kapok (kapuk), lombok, nangka, ramboetan, mangoe (mangga), djati, bamboe, alang-alang, rotan, waringin (beringin) – untuk sekedar menyebut contoh – juga sudah menjadi bagian dari khazanah kosakata bahasa Belanda. Dulu para pejabat Belanda, mulai dari Gubernur Jendral sampai Tuan Kortroleur, suka sekali pergi berburu binatang. Umumnya orang Belanda juga suka meneliti alam Nusantara. Maka tak salah jika banyak nama hewan (termasuk jenis-jenis ikan) dalam bahasa Melayu juga menjadi kata pinjaman dalam bahasa Belanda, sebutlah misalnya ajam (ayam), babi, badak, banteng, kantjiel, kaketoe (kakatua), karbouw (kerbau), kalong, tjitjak, oerang-oetan, (ikan) doejoeng dan kaalkop (kakap).

Beberapa kosakata bahasa Melayu yang terkait dengan konsep geografi tradisional juga menjadi kata pinjaman dalam bahasa Belanda, seperti
doesoen, kampoeng, negorij (negeri) dan rimboe (rimba). Demikian juga halnya kata ladang, sawa (sawah) dan gejala alam seperti bandjir.
Kata-kata yang terkait dengan pekerjaan seperti tandil, mandoer, koeli, baboe, sinjo, toean dan njonja juga menjadi kata pinjaman dalam bahasa Belanda. Demikian juga halnya kata-kata yang mengodifikasikan sistem pemerintahan tradisional, khususnya di Jawa, seperti kata adipati, penghoeloe, pangeran, raden, ratoe dan keraton. Kosakata Melayu yang terkait dengan musik dan seni pertunjukan juga banyak dipinjam oleh bahasa Belanda: seperti angkloeng, gamelan, gong, wajang (wayang), krontjong, dalang, tandak dan nontonnen (menonton). Beberapa jenis senjata tradisional Nusantara juga akrab di lidah orang Belanda, seperti blatie (pisau belati), kris (keris) dan kelewang.

Dulu Militer Belanda menggunakan banyak kosakata bahsa Melayu untuk berkomunikasi dengan penduduk pribumi Indonesia, yang kemudian banyak yang diadopsi ke dalam bahasa Belanda. Demikianlah umpamanya, kata
ambil, apa, ajo, awas!, ada, bagoes, baik, banjak, barangkali, begini, brapa (berapa), bersih, betoel (-betoel), binatang, boeng (bung), dimana, djalannen (berjalan), goedang, habis, lekas, lihatten (lihat), mataglap (mata gelap), oeroessan (urusan), amok (amuk), moeloet, panas, perkara, slamat, sobat, soerat, dan orang toetoepan (residivis) sudah menjadi bagian dari khazanah kosakata bahasa Belanda. Pendek kata, banyak kosakata Melayu sudah memperkaya leksikon bahasa Belanda. Karena keterbatasan ruang, cukuplah saya tambahkan beberapa kosakata lagi, seperti aloen-aloen, bale-bale, goena-goena, kakoes, mandiën (mandi), djimat, rampok, sado, kartjangsaus (kuah kacang), kammer ketjil (WC), kontol, snapan (senapan), tjoelikken (culik) dan kassian (kasihan).

Demikianlah, dalam bahasa Belanda kita misalnya sering mendengar kalimat (garis bawah oleh Suryadi): “
Maak niet zo’n riboet” (Jangan bikin ribut); “Mag ik een portie saté kambing bestellen? (Boleh saya pesan satu porsi sate kambing?); “De commandant wild at telegram getoetoept hebben” (Komandan ingin telegram itu segera dikirim).
Ternyata kolonialisme Belanda di Indonesia telah memperkaya kosakata bahasa Belanda sendiri. Orang Belanda meminjam kosakata Melayu jauh lebih banyak dari orang Inggris yang seringnya hanya tahu kata amock (amuk). Nah, mijnheer, tak jadi masalah kalau kosakata bahasa Melayu ‘dicuri’ oleh orang Belanda. Sebab bahasa tidak akan jadi rusak atau berkurang walau banyak kosakatanya diambil oleh bahasa lain


@ Suryadi Sunuri dari Harian Padang Ekspres, Minggu, 29 Agustus 2010/gambar : google.com

Letusan Krakatau Dalam Syair Melayu

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Judul : Syair Lampung Karam (Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883). Penulis : Suryadi, Penyunting : Yurnaldi, Penerbit : KPSP, Padang/Cetakan : II, Januari 2010, Tebal : 200 halaman. Resensator : Muhammad Damhuri @ Yonk (Kompas, 19/9/2010).


Kepulan awan panas membubung setinggi 70 km. Gelombang tsunami menyapu bersih kawasan pantai sebelah Sumatera (Lampung) dan Jawa (Banten dan sekitarnya). 36.000 orang tewas. Ribuan permukiman luluh-lantak. Harta-benda hanyut tergilas arus. Begitu para peneliti menggambarkan suasana kalut selepas letusan gunung Krakatau, 1883. Ombak setinggi 40 m dari perairan Selat Sunda mencapai pantai Australia, Srilangka, Calcutta, bahkan Cape Town, selang beberapa jam kemudian. Sementara letusan terdengar hingga 3000 mil. Tak mengherankan bila seorang peneliti menyebutnya letusan terbesar sepanjang sejarah bumi. Lebih dari 1000 kajian tentang letusan Krakatau telah ditulis, sejak dari geologi, vulkanologi, metereologi hingga oseanografi. Bermunculan pula sejumlah prosa karya seniman Eropa dari tahun 1889 hingga 1969. Beberapa film yang menggambarkan bencana akbar itu telah diproduksi. Sebutlah misalnya Krakatoa—The Last Days (2006). Tapi, beragam kajian dan karya seni berlatar letusan Krakatau, melulu dari perspektif orang asing. Maka, buku "Syair Lampung Karam" (Sebuah Dokumen Pribumi tentang Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883) karya Suryadi ini patut ditimbang sebagai penemuan yang mengejutkan. Ahli filologi dan peneliti sastra klasik di Universitas Leiden itu menemukan naskah usang mengenai peristiwa letusan Krakatau 1883, bertajuk "Syair Lampung Karam" karya Muhammad Saleh, terbit di Singapura pada akhir abad 19. Suryadi mencatat, SLK pernah terbit dalam bentuk litografi (cetak batu) dengan aksara Arab-Melayu sebanyak 4 kali. Edisi 1 berjudul "Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu" (1883/1884), kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan The Russian State Library, Moscow. Edisi 2, "Inilah Syair Lampung Dinaiki Air laut" (1884), juga tersimpan di PNRI. Edisi 3, "Syair Lampung dan Anyer dan Tanjung Karang" (1886)─tersimpan di Cambridge University Library─dan edisi 4, "Inilah Syair Lampung Karam Adanya" (1888), penyalinnya Encik Ibrahim dan penerbitnya “Al-Hajj Muhammad Tayib” di Singapura, tersimpan di PNRI, Perpustakaan Universitas Leiden, SOAS University of London, Universiti Malaya dan dalam koleksi kitab-kitab Melayu milik penginjil Methodist Emil Luring di Frankfurt, Jerman.

Muhammad Saleh menulis SLK di Kampung Bengkulu─kini Bencoolen Street─Singapura. "Di Singapura duduk mengarang/Di kampung Bangkahulu disebut orang" (bait 369). Ia berasal dari Tanjung Karang (Lampung) tempat ia secara langsung menyaksikan bencana itu. "Awal mula hamba berpikir/Di Tanjung Karang tempat musyafir" (bait 4). Boleh jadi ia salah seorang pengungsi dari Lampung yang menyeberang ke Singapura selepas bencana. "Orang banyak nyatalah tentu/bilangan lebih daripada seribu/mati sekalian orangnya itu/ditimpa lumpur, api dan abu" (bait 128). Demikian salah satu potret suasana setelah letusan Krakatau dalam SLK. Sejumlah peneliti menyebutnya “syair kewartawanan”, semacam laporan pandang mata tentang sebuah peristiwa, sebagaimana kerja jurnalistik masa kini. Namun, aspek “khayali” (imajinasi) dan efek dramatik tentu tak lepas dari kerja kepenyairan. Tak diragukan bahwa SLK bersandar pada fakta-fakta di seputar peristiwa letusan Krakatau 1883, tapi penyair biasanya tidak semata-mata menyalin rupa peristiwa. Mata kepenyairan lebih menukik pada labirin “suasana hati” saat berhadapan dengan fakta (bukan fakta itu sendiri), atau yang disebut “Stimmung” oleh filsuf eksistensialis Jerman, Martin Heidegger (1889-1976).

Tengoklah pengakuan Muhammad Saleh pada bait 3: "Fakir yang daif dagang yang hina/mengarang syair sebarang guna/sajaknya janggal banyak tak kena." Ungkapan perihal kekhilafan yang bisa saja terjadi. Lagi pula, bukankah teks sastra terikat pada bahasa yang digunakannya? Sementara realitas itu semakin dibahasakan, bukan semakin terang, tapi justru semakin menyusut. Itu sebabnya Ludwig Wittgeisten (1889-1951) mensinyalir bahwa bahasa “sewenang-wenang” terhadap realitas. Lalu, argumentasi apa yang dapat memperkuat hipotesis bahwa SLK bisa ditempatkan sebagai dokumentasi historis tentang letusan Krakatau? Sementara dalam ulasannya untuk bait penutup─"Kerana hati gundah gulana/Terlalu banyak pikir kiranya/Terkena demam hampir matinya"─Suryadi mengakui, tak ada jaminan apa yang digambarkan penyair sepenuhnya benar, sebab dalam sastra selalu terbuka ruang untuk berimajinasi (hal.18). Pada bait 235 penyair bahkan menegaskan permohonan maaf bila penggambarannya tentang peristiwa penting itu salah; "Sekedar itulah hamba sebutkan/Khabar yang betul hamba katakan/tetapi tidak dengan penglihatan/Jikalau salah Tuan maafkan." Terbuka kemungkinan bahwa beberapa bagian dari 375 bait dalam SLK bukan sebagai laporan pandang mata, tapi sebatas tafsir terhadap cerita yang didengar penyair dari sumber tertentu, sebagaimana diakuinya pada bait 84; "Neneknya sendiri yang membilang/Bukannya hamba mengarang-ngarang."

Kesulitan menjangkau rujukan faktual dari naskah kuno berupa teks sastra pernah pula dialami Henri Chambert-Loir (2009) saat menelaah "Hikayat Nakhoda Asik" dan "Hikayat Merpati Mas," terbit pada paruh kedua abad ke-19. Rujukan geografis dalam kedua teks itu kabur. Hanya ada satu unsur yang dipertahankan pengarang—itupun hanya dalam HNA—yaitu laut. Nakhoda Asyik terus berlayar dari satu negeri ke negeri lain. Di laut ia bertemu dengan putri Asma Penghibur. Di laut pula ia dicelakai menteri yang zalim. Laut di sini sukar ditimbang sebagai rujukan geografis, karena lebih terasa sebagai laut simbolik. "Hikayat Merpati Mas" juga menggambarkan tentang sebuah negeri yang dilanda petaka. "Pada suatu malam datanglah air dari sebekah wetan, gemuruh suaranya, maka segala isi negeri habislah, ada yang berlari ke sana ke mari, ada yang mencari pohon yang tinggi-tinggi." Menurut Henri, teks ini erat kaitannya dengan SLK. Ketimbang menegaskan bahwa Hikayat Merpati Mas mengandung fakta-fakta tentang letusan Krakatau 1883, Henri hanya merujuk pada SLK yang berusia lebih tua. Lagi pula, siapa yang menjamin tidak akan ditemukan lagi naskah yang lebih tua? Maka, daripada memartabatkan SLK dalam kerangka kerja historiografi, akan lebih bebas-risiko menempatkannya sebagai teks yang menjalankan fungsi konservasi terhadap sebuah kenangan yang mengharukan, tentang bencana besar yang pernah melanda negeri ini, agar kita tak lupa, tak lena, dan selalu waspada.

Jumat, 17 September 2010

Patologic Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Oleh : Muhammad Ilham

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, merupakan salah satu "berkah" reformasi. Bila pada masa Orde Baru, suara rakyat bisa dipreteli dan ditunggangi oleh anggota legislatif daerah dalam pemilihan Kepala Daerah, maka sekarang ini, suara rakyat betul-betul dihargai. Namun, setiap perubahan, tidak pernah berjalan bergandengan secara linier dengan kebaikan dan kemashlahatan. Pasti ada sisi-sisi patologis yang ditimbulkannya. Tak terkecuali dengan fenomena pemilihan kepala daerah yang belakangan ini telah, sedang dan akan berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Banyak kejadian-kejadian patologik yang dipandang normal. Dalam Acara "Save Our Nation" yang dipandu Anies Baswedan dan dipublish di Media Indonesia beberapa waktu lalu, banyak catatan-catatatn "sakit" yang dianggap normal berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah langsung ini. Ada kepala daerah yang sudah dua kali menjabat rela turun pangkat sebagai calon wakil kepala daerah asalkan tetap menjadi penguasa. Patologis karena tidak bisa membedakan antara promosi dan degradasi. Ada lagi kepala daerah yang mendorong anaknya menjadi peserta pemilu kepala daerah untuk menggantikannya. Ini sakit dari jenis yang lain lagi, yaitu memandang jabatan kepala daerah bagaikan jabatan di ranah privat. Bahkan yang lebih sakit, ada juga yang mengajukan istrinya untuk menjadi suksesor. Bahkan, tak kepalang tanggung, ada kepala daerah yang dua istrinya maju serentak bertarung dalam pemilu kada untuk menggantikan sang suami yang poligami.

Semua itu melibatkan kepala daerah yang sedang menjabat. Pertanyaannya, ada apa gerangan sehingga incumbent ngotot mewariskan jabatannya itu kepada anak atau istri? Sedikitnya ada dua jawaban. Pertama, para kepala daerah itu menganggap diri mereka sebagai raja-raja kecil. Dan seperti layaknya kerajaan, takhta pun diwariskan kepada anak. Bahkan, lebih hebat daripada kerajaan, diwariskan kepada istri. Kedua, agar borok dan bobrok semasa jabatannya tidak terungkap. Bila yang meneruskan jabatan itu adalah anak atau istri, selamatlah sang mantan kepala daerah dari upaya sang pengganti untuk membongkar korupsi yang dilakukannya. Tapi, dinasti politik itu tidak akan terjadi bila tidak didukung kekuasaan. Incumbent memiliki kekuatan ini, apalagi kalau kepala daerah yang sedang menjabat itu merangkap ketua atau penasihat partai. Terbukalah jalan untuk memaksa partai untuk mencalonkan kroni incumbent. Selain kekuasaan, ada politik transaksi. Kroni incumbent bisa membeli tiket calon kepala daerah dari partai politik karena mempunyai uang. Tragisnya, uang itu hasil korupsi. Perlu diingat bahwa pemimpin daerah hanya becermin pada tabiat buruk para pemimpin di level nasional. Bukan rahasia lagi, dinasti politik terus dibangun di pusat dengan menjadikan istri atau anak sebagai anggota DPR atau pengurus partai. Sadar atau tidak sadar, politik telah dijadikan seperti perusahaan keluarga. Trah kekuasaan dirawat tidak hanya untuk mempertahankan kekuasaan politik, tetapi juga penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi dan finansial.

Sumber : Diskusi "Save Our Nation" dan Media Indonesia

Menghargai Proses : "Dari Pulau A yang Dihuni Etnik N" (Cerita Satu)

Oleh : Muhammad Ilham

Saya ingin berbagi tentang beberapa pengalaman empirik, interaksi dengan beberapa kalangan, selama Ramadhan dan Syawal ini. Pengalaman yang sangat subjektif, over-analyze bahkan bisa saja terkesan generalitatif. Tapi setidaknya, apa yang terasa, mungkin juga dirasakan yang lain. Apa yang terlihat, bisa saja telah terlihat oleh yang lain sebelum saya. Dalam bahasa penelitian kuantitatif, sample yang merepresentasikan populasi.

Lebaran kemaren, saya merasa beruntung. Mendapat kesempatan pergi melaut dengan beberapa teman satu kampung. Maklum, kampung saya berada di tepi laut - menghadap Lautan Hindia nan "gagah". Setelah dua hari, bersilaturrahim kepada handai taulan-tetangga karib kerabat, hari berikutnya saya ditawari oleh salah seorang teman saya untuk pergi mengail di lautan dalam - "ma irik" istilah dalam ranah per-bahasa-an nelayan. Tentu saya jawab tantangan itu dengan "iya" berkali-kali. Selepas sholat shubuh, kami berangkat dengan bekal kail berbagai ukuran - dan tentunya makanan "enak" a-la lebaran buatan istri (seperti pergi camping). Kapal yang kami bawa seukuran/agak kecil dari kapal tunda, di kampung saya biasa disebut dengan "Kapal TS". Setelah 3 jam berlayar menuju tengah lautan yang mulai agak berwarna biru-pekat, tali kail diturunkan dalam ukuran yang cukup panjang. Beberapa buah dengan berbagai ukuran tali dan mata kail. Pada mata kail, diletakkan ikan seukuran dua jari. Dan selanjutnya, kapal pun berjalan menuju ketengah sambil terus membawa kail ini sambil jalan, sehingga ikan yang seukuran dua jari yang ditancapkan di ujung mata kail terkesan "berlari-lari". Ini akan memancing ikan-ikan yang lebih besar untuk menangkapnya. Karena itulah, "style" memancing jenis ini diistilahkan dengan ma irik (mengheret). Satu persatu ikan tenggiri dan gambolo naik. Kapal terus berlayar ke tengah. Tanpa terasa, sudah 7 jam berlayar. Matahari sepenggalahan, air laut makin biru pekat. Rasanya sudah sangat jauh kami ketengah. Daratan sudah tinggal entah dimana. Kala istirahat, dari kejauhan, terlihat ada satu pulau., ya .. hanya satu pulau, tanpa ada gugusan pulau lainnya. Saya tanyakan pada kawan saya yang kebetulan kulitnya hitam legam dan rambut berwarna kecoklatan (maklum, selalu diterpa mentari terik dan air lautan) tentang pulau yang terlihat dari kejauhan itu. "Pulau A (sengaja saya inisialkan), umumnya dihuni etnik N", katanya. Saya sarankan untuk beristirahat di pulau tersebut. setelah kami merapat, terlihat beberapa anak-anak dan wanita sedang menjemur ikan dan kopra. Rupanya pulau ini cukup ramai di huni, terlihat dari jumlah rumah yang cukup banyak. Setelah kapal kami tambatkan, seperti biasa, kedai-pun di cari. Pada awalnya, saya berencana mencari masjid atau musholla, tapi saya yakin, tak ada terlihat oleh saya puncak gubah dari kejauhan. Apalagi gelengan kepala seorang wanita muda nan cantik lagi putih yang sedang membersihkan ikan di tepian pantai (maklum, biasanya wanita dari etnik N ini terkenal putih bak Cina) pada saya ketika saya tanya, dimana letak masjid atau musholla. Stelah sholat di kapal, kami pun turun. Ada satu kedai di tepian pantai yang menarik perhatian saya. Beberapa pemuda dan orang tua duduk-duduk sambil memandang curiga pada kami. Awalnya kami kecut dan takut, tapi berusaha memberanikan diri untuk menyapa. "Assalamu'alaikum, pak !". Tak ada yang menjawab. Sambil menghilangkan nervous, saya berbasa-basi. "Boleh saya duduk pak. Kami kebetulan pergi melaut, ingin sekedar istirahat sebentar di pulau ini", kata saya. Mereka tetap memandangi kami dengan curiga. Kebetulan beberapa diantara pemuda di kedai itu sedang memegang kelewang. Ukuran dan kilatan kelewang tersebut cukup membuat kami (saya terutamanya) merasa takut luar biasa. Untunglah, ada Pak Tua yang sedang merokok (kalau tak salah, Rokok Pucuk) tersenyum pada saya. "Silahkan pak, disini saja duduknya," katanya dalam dialek etnik N. Bak orang "terkantuk diberi bantal", tawaran Pak Tua itu kami sambut dengan hati senang. Singkat cerita, suasana pun mulai mencair. Apalagi setelah kami keluarkan/tawarkan rokok Sampoerna dan Surya. Bak mendapatkan "anak gadis ranum", mereka berebutan mengambil rokok itu. Abih tandeh. Kami ditawari air manis rasa apek, mungkin Air Nira. Perbincangan pun mulai mengalir. Rupanya pulau ini dihuni hampir 100 Kepala Keluarga dari etnik N. Mayoritas bekerja sebagai petani Kelapa-Kopra dan Nelayan-Penyelam. Membeli kebutuhan harian mereka ke Kota S dengan terlebih dahulu berlayar 8 jam. Hanya ada satu Sekolah Dasar yang "jarang buka". Tapi mereka tampaknya masa bodoh. Mereka lebih menikmati kententraman - lebih tepatnya, keterasingan. Bau badan mereka agak sedikit "anyir", entah kenapa. Mungkin faktor laut atau makanan. Kebetulan, banyak terlihat beberapa ekor B yang berkeliaran. Perbincangan terus mengalir, dan Air Nira-pun terus diminum (saya sempat ke belakang, karena mau muntah minum Air yang konon dahulunya disukai kakek saya). Karena rokok sudah habis untuk membayar "suap" pada beberapa pemuda di kedai ini, maka saya "rampok" pula Rokok Pucuk mereka. Entah kenapa, sambil menghisap Rokok Pucuk ini, keluar saja pertanyaan saya yang (sangat) sensitif, "Pak, masyarakat disini agama-nya apa?". Pak Tua dan beberapa orang pemuda langsung melihat saya, mungkin mereka tak senang mendengar pertanyaan saya itu. "Maafkan saya, Pak!", kata saya kemudian. Pak Tua tadi kemudian tersenyum, menunjukkan pada kami bahwa mereka tak marah. Dari Pak Tua itulah saya pun tahu, bahwa seluruh penduduk Pulau A ini beragama K. Dan menariknya, tahun 1980-an hingga awal 1990-an, setengah penduduk pulau ini beragama Islam. Mereka diIslamkan oleh muballligh dari suatu organisasi sosial keagamaan. Bahkan sempat ada satu musholla kecil. Beberapa orang muballigh pada tahu 1980-an ini berdatangan untuk memberi pencerahan dari Kota S. Konon, muballigh ini disubsidi oleh salah satu organisasi sosial keagamaan. Tapi sayangnya, muballigh yang datang ke pulau A ini tidak merasa betah, bahkan kedatangan mereka tidak pernah dalam waktu yang lama. Biasanya hanya beberapa hari, kemudian pulang lagi ke Kota S. Begitu seterusnya, padahal mereka digaji. Hal ini terus berlangsung hingga awal 1990-an. Kemudian, tak satu-pun lagi muballigh yang datang.

Pertengahan tahun 1990-an, datanglah seorang Pastor dari Negara I ke pulau A ini. Datang dengan niat berdakwah bagi agamanya. Ia menetap secara permanen, mendirikan kapel dan melayani masyarakat dengan hati, bukan gaji. Terkadang ia menolong warga menjemur kopra dan ikan, terkadang ia mengajar anak-anak membaca. Pastor ini mendapat simpati luar biasa dari penduduk pulau A. Ia memutuskan "sejarah"nya, tak mau pulang ke negaranya. Tak mengharapkan uang ataupun gaji. Bahkan makannya justru lebih banyak diberi penduduk, hingga kini. Hanya beberapa tahun, 100 persen, warga pulau ini menganut agama K. Kata Pak Tua yang terus "memupuh" rokok Surya saya, beberapa tahun lalu, datang beberapa orang muballigh dari Kota S memprotes si Pastor. "Kami usir itu muballigh!", kata Pak Tua itu dengan mata membelalak melihat saya. "Ia hanya mau enak, tak mau susah. Coba lihat pastor itu, mau tinggal bersama kami dari dulu, tanpa gaji. Mau hidup di pulau kami. Mau merasakan hidup kami ... blablabla. Eh, tahu-tahu mereka datang, marah-marah, mengapa banyak diantara kami pindah agama". Dan saya pun mengangguk-angguk. Terbayang oleh saya, seandainyalah, militansi muballigh-muballigh itu dahulu semilitan si Pastor, tentu saya tak kesulitan mencari musholla untuk sekedar menumpang sholat. Seandainyalah, muballigh-muballigh itu mau menyatu dan bersungguh-sungguh berdakwah tanpa subsidi sebagaimana halnya yang dilakukan si Pastor, tentu "Assalamu'alaikum" saya waktu mau masuk ke kedai tadi akan dijawab dengan fasih. Jadi tidaklah mengherankan apabila Pak Tua dari etnik N di Pulau A ini, mengetawakan protes muballigh yang "datang kemudian" beberapa tahun lalu karena melihat "jandanya" yang selama ini dipupuknya "diambil" orang. Bak kata mendiang nenek saya, "janganlah sering meninggalkan janda, bila ingin kembali lagi. Dekat-dekati teruslah, kalau tidak, si Janda kamu itu akan berpaling ke lelaki lain". Menjelang sore, setelah saya menumpang sholat Ashar di sebuah ruangan di kedai tersebut, kami berpamitan. "Selamat Sore, Pak. Do'akan kami selamat sampai ke kampung kami", kata saya - tanpa mengucapkan Assalamu'alaikum. Karena salam ini, sudah mulai terasa asing bagi mereka. Sebuah pelajaran berharga saya dapatkan !!

(Teringat ungkapan mendiang Anduang saya yang menanam bibit pohon kelapa diusianya yang hampir renta. "Untuk apa pohon kepala ini Andung tanam, bukankan 40 tahun baru bisa menghasilkan, Andung tidak akan dapat menikmati hasilnya nanti", kata saya. "Mungkin bukan untuk saya, tapi untuk generasi saya berikutnya. Bukan sekarang, tapi nanti. Jangan kamu harapkan nanti, sementara tidak kamu tanam sekarang". Saya-pun terdiam. Andung saya sangat menghargai Proses). BERSAMBUNG !!

Menghargai Proses : "Ketika Tidak Lagi Fungsional" (Cerita Tiga)

Oleh : Muhammad Ilham

Mari sobat kita berjabat tangan/Tak perlu saling mengunggulkan/Berlombalah membuat kebajikan/Siapa tahu di surga k'lak kita bertemu/Mengapa masih saling memaki/Mengapa ada saja yang dipertentangkan/Pun buruk sangka dan praduga/Ku ingin tersadar dari lamunan/Karena kita lupa saling mengingatkan/Karena kita, saudara yang lain jadi berbeda/ (Puisi kiriman salah seorang mahasiswa saya beberapa bulan yang lalu)

Dalam bahasa sosiologi, suatu fenomena atau struktur sosial akan tetap eksis dan tetap digunakan ataupun diakui keberadaannya, apabila fungsional dalam sebuah realitas sosial. Poligami, misalnya, pada masa dulu dipandang fungsional bagi masyarakat. Apalagi yang melakukannya elit sosial dan elit agama. Bahkan akan dipandang patologic bila mereka mempraktekkan monogami. Namun jangan ditanya sekarang. Poligami ataupun Monogami, menjadi standar keluhuran pribadi seseorang. Elit sosial maupun elit agama yang mempraktekkan poligami justru dianggap patologic. Dahulu memiliki banyak anak dianggap "kaya". Sekarang justru dipandang asing. Nilai anak dari sudut kuantitatif dipandang dalam perspektif fungsional. Aksioma yang menyatakan : "Bila ingin menghilangkan suatu fenomena atau sebuah nilai sosial, dis-fungsikan nilai atau fenomena itu, ia akan hiang dengan sendirinya".

Hal ini juga terlihat dalam praktek ritual keagamaan (dalam hal ini : praktek ritual ibadah Islam). Selama Ramadhan berlangsung, karena memang secara kuantitatif, begitu banyak orang yang "berkunjung" ke masjid-musholla, melaksanakan qiyam ul-lail. Beragam style teknis beribadah akan kita lihat. Ada yang sholat dengan "memicingkan mata", menggelengkan kepala dari kiri ke kanan kala berzikir, menaik-naikkan telunjuk waktu tahyat akhir dan seterusnya. Terlepas dari dalil dan perdebatan syar'iyah-fiqh, namun kala kita tanyakan "dalil keyakinan dan empirik" mereka melakukan style demikian, akan didapatkan secara umum dua jawaban, pembelajaran dan fungsional. Mereka lakukan seperti itu, karena memang seperti itu yang mereka pelajari dari guru atau tokoh panutan yang diyakini. Kemudian, mereka juga merasa "nyaman", merasa "at-home" dan merasa menikmati beritual demikian. Orang yang melihat, mungkin merasa heran, tapi bagi mereka yang melakukan, justru merasa nikmat senikmat-nikmatnya. Bagi orang lain terkesan lebay, bagi mereka justru fungsional. Dalam bahasa sosiologi agama, diinilah letak kelebihan agama. Agama menawarkan kegairahan fungsional bagi penganutnya.

Setelah melaksanakan sholat maghrib di salah satu masjid di kampung satu hari setelah Lebaran kemaren, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan salah seorang sahabat yang dulunya pernah masuk kedalam komunitas Islam "Antah Barantah" (kalau boleh saya istilahkan demikian). Beberapa tahun lalu, komunitas Islam ini pernah eksis di kampung saya. Namun beberapa tahun belakangan ini, komunitas ini sudah mulai hilang, bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi. Pengikutnya tidak banyak, dan praktek ritual-ibadah mereka tidak menyimpang dari apa yang dilakukan oleh mayoritas. Tapi setiap orang yang masuk kedalam komunitas ini, dijamin tidak akan pernah (tidak mau) mengikuti pengajian di masjid atau musholla. Mereka tetap sholat berjamaah di masjid-musholla, tapi ketika ceramah akan dimulai, mereka akan keluar dan pulang. Akibatnya, bagi laki-laki yang masuk komunitas ini, praktis tidak akan pernah sholat Jum'at, karena memang khutbah Jum'at merupakan bagian wajib (rukun) sholat Jum'at. Mereka akan melakukan sholat Jum'at tersendiri di rumah pimpinan atau yang mereka tuakan. Ini sempat menjadi pergunjingan bahkan melahirkan suasana "panas" kala itu di kampung saya, karena terkesan unik dari mayoritas, ditambah lagi, pengikutnya dari hari ke hari makin bertambah.

Baru malam siap sholat maghrib itulah saya mendapatkan jawaban mengapa komunitas ini dulu pernah ada di kampung saya, dan alasan apa yang menyebabkan sahabat saya ini mau menjadi bahagian aktif dari komunitas tersebut. Semuanya tidak terlepas dari kesalahan kita (mungkin juga termasuk saya dan yang lainnya). "Kami tidak ingin mendengarkan ceramah ataupun khutbah Jum'at waktu itu, karena bagi kami khutbah ataupun ceramah tersebut tidak berguna bagi kami. Kami tidak pernah merasa nyaman mendengar setiap khutbah atau ceramah yang disampaikan oleh khatib ataupun penceramah. Isi ceramah lebih banyak tentang politik, mungkin karena awal reformasi, banyak orang yang merasa bebas bersuara sehingga muballigh, ulama, masjid dan mimbarpun tidak luput dari imbas reformasi tersebut, menaikkan seorang tokoh, menjelek-jelekkan tokoh atau ulama lain, membuka aib dan menjadikan mimbar sebagai corong politik. Karena itulah, saya dan kawan-kawan banyak yang tidak mau mengikuti khutbah Jum'at, bahkan menganggap tidak penting. Saya merasa nyaman masuk komunitas ini, kami saling bertausyiah dengan kebaikan bukan menunggangi agama demi kepentingan pribadi atau golongan, tak memanfaatkan mimbar untuk membuka dan menjelekkan orang lain", kata sahabat saya ini. "Setelah banyak protes dari masyarakat, dan setelah banyak pula masyarakat yang memprotes para muballigh untuk tidak menjadikan mimbar sebagai ajang kepentingan pribadi dan kelompok, dan tentunya mendengar masukan bersahabat dari beberapa kelompok yang bisa memahami alasan kami, akhirnya saya dan teman-teman kembali bisa menikmati ceramah dan khutbah itu sendiri", lanjut sahabat saya ini kembali.

:: Terkadang kita lebih mudah memvonis atau menunjukkan "telunjuk" kita pada mereka yang kita anggap berbeda dengan kita yang mayoritas tanpa mau mengedepankan pertanyaan, "mengapa mereka tidak merasa nyaman dengan kita". Ada sesuatu yang tidak fungsional yang mereka rasakan. Buktinya, sahabat saya dan teman-temannya di atas, merasa tidak "at-home" mengikuti suatu ritual ibadah wajib ataupun sunnat yang sudah umum dilakukan kalangan mayoritas. Mereka kemudian pergi meninggalkan kita. Kala kita kembalikan ke substansi dan fungsi awalnya, justru mereka kembali lagi. Wallahu a'alam bish shawab..... (BERSAMBUNG)

Menghargai Proses : "Suatu Malam di Musholla Pinggiran Sawah" (Cerita Dua)

Oleh : Muhammad Ilham

Kalian Marahi/Tapi Tak Kalian Pupuk (Kuntowijoyo : Ma'rifat Daun)

Setelah selesai memberikan ceramah di sebuah Musholla pinggiran Padang, seperti biasa saya berdiskusi dengan satu dua orang jemaah. Tentang berbagai hal. Biasanya, dari diskusi ini, sangat yang bodoh ini banyak mendapatkan inspirasi, pembelajaran dan kearifan yang saya dapatkan. Kebetulan, dalam Ramadhan tahun ini, saya lebih memfokuskan memberi ceramah Taraweh di musholla-musholla, khususnya di daerah-daerah pinggiran Padang. Entah kenapa, saya lebih tertarik menjadi "teman diskusi" jamaah pinggiran Padang ini. Biasanya penceramah - apalagi yang kondang - di bulan Ramadhan tersebut lebih suka memberikan ceramah di masjid-masjid, dan sedapat mungkin "menghindari" musholla kala diminta. Apalagi musholla pinggiran Padang yang cukup jauh dan menyita waktu untuk pergi kesana. Pertimbangan pragmatis, menjadi dasar utama para penceramah tidak "sreg" memilih ceramah di musholla-musholla tersebut. Biasanya, setelah pulang dari kampus pada sore hari, saya akan mandi lebih cepat. Sebelum berbuka, dengan dibekali perbukaan oleh istri, saya akan berangkat menuju musholla tempat saya ceramah. Ini sering saya lakukan, karena lokasi musholla itu cukup jauh. Maghrib dan berbuka ditengah jalan, bukan satu dua kali saya lakukan dalam Ramadhan tahun ini.

Malam itu, disebuah musholla pinggiran Padang dekat bukit, setelah sholat Taraweh selesai dilaksanakan, saya berkesempatan berdiskusi dengan beberapa jamaah yang rata-rata sudah tua. Musholla tersebut berada di pinggiran sawah. Tidaklah mengherankan apabila Honda Supra "Paling FIT" saya berlepotan ketika melewati pematang sawah. Sambil meminum dan memakan sisa-sisa perbukaan yang disuguhkan, terutama jagung rebus yang masih hangat, kami-pun mulai berdiskusi, tapi lebih tepatnya "curhat" dari mereka. Saya dengarkan satu persatu, curahan hati "terpendam" mereka tentang Ramadhan. Diantara banyak curahan hati tersebut, ada satu topik-isu yang menurut saya sangat menarik. Rupanya, sudah sekian malam mereka tidak melaksanakan ceramah taraweh. Setelah sholat 'Isya berjamaah, mereka langsung sholat taraweh. Biasanya menjelang sholat Taraweh setelah sholat 'Isya, akan diisi dengan tausyiah dari penceramah yang diundang. Kebetulan malam-malam sebelum saya memberikan ceramah di musholla ini, penceramahnya tidak datang. Karena tidak ada diantara jamaah ini yang bisa memberikan ceramah, tausyiah jelang taraweh ini-pun mereka "lewatkan". Ini terjadi bukan hanya pada Ramadhan tahun ini saja, tapi hal yang sama juga terjadi pada Ramadhan-Ramadhan tahun sebelumnya. Dari diskusi malam itu saya dapatkan kesimpulan "sepihak" dari jamaah Musholla yang tidak asri ini, seringnya penceramah tidak datang ke musholla mereka tersebut karena letak musholla yang agak terpelosok dan di tepian sawah. Padahal, jauh sebelum Ramadhan, pengurus musholla telah membuat janji dengan beberapa penceramah. Ditambah lagi dengan "isi amplop" yang tak gemuk, diasumsikan memberikan kontribusi malasnya beberapa penceramah untuk datang memberikan ceramah. Bahkan, menurut salah seorang pengurus yang bekerja sebagai pembuat batu bata, "isi amplop" tidak pernah tetap, tergantung jumlah infak yang didapatkan pada setiap malam. Jadi tidaklah mengherankan apabila "isi amplop" tersebut cenderung fluktuatif. Biasanya, infak yang didapatkan tidak akan pernah banyak, maklum mayoritas jamaah berasal dari ekonomi lemah. "Sebenarnya kami juga segan memberikan uang transportasi (demikian si pengurus itu mengistilahkannya) yang tidak seperti masjid atau musholla lainnya, tapi apa mau dikata, itu yang sanggup kami berikan. Kami sebenarnya ingin sekali seperti musholla dan masjid yang lain, setiap malamnya mendapat tausyiah dari penceramah-penceramah cerdas. Tapi karena tempat kami yang jauh, dan jumlah uang transportasi yang tidak memadai, banyak diantara para penceramah tahun-tahun terdahulu yang tidak mau lagi berceramah pada Ramadhan tahun berikutnya di musholla kami ini. Kami sangat menyadari hal itu, tapi sekali lagi apa mau dikata, baru itu kemampuan kami", kata salah seorang pengurus yang usianya separuh baya tersebut. "Padahal, yang paling penting diberikan tausyiah itu kan kami, bukan hanya jamaah-jamaah di kota atau dimasjid-masjid sana. Kami berharap sekali, sekali dalam setahun dibulan Ramadhan ini, kami mendapatkan pengetahuan agama dari para penceramah. Tapi yang terjadi, justru para penceramah banyak yang tidak mau datang. Mungkin karena kami miskin, tak bisa beri amplop sebagaimana amplop yang diberikan pengurus masjid di daerah lain", sela seorang ibu yang dari tadi saya lihat menyimak diskusi kami dengan khidmat.

Malam itu, saya lebih banyak menjadi pendengar terbaik, sambil menawarkan satu-dua solusi mengatasi kegundahan mereka ini. Pukul 11 malam, lebih kurang, saya pamitan sambil dibekali dua bekal. Bekal pertama, amplop yang "tebal" (maklum ketebalan isi amplop tersebut karena diisi uang kertas seribu). Bekal kedua, jagung rebus beberapa buah. Bekal pertama saya tinggalkan, bekal kedua saya "kamehi", maklum, jagungnya sangat enak sekali. Malam itu saya dapatkan dua pelajaran berharga. Pertama, merekalah sebenarnya yang "membutuhkan" pencerahan keagamaan. Karena peluang dan akses mereka sangat minim memperoleh pengetahuan agama dibandingkan dengan masyarakat yang berada di kota atau masjid-musholla yang mampu mendatangkan penceramah cerdas. Peluang itu hanya mereka dapatkan satu kali satu tahun. Terkadang peluang itu tidak "dimanfaatkan" oleh mereka yang bekerja dibidang ini dengan baik (termasuk saya). Kedua, saya teringat dengan sebuah kasus di sebuah daerah kecil di pinggiran pantai Sumatera Barat. Beberapa masyarakatnya pernah menjadi anggota salah satu "kelompok sempalan". Dan masyarakat ini kemudian disalahkan. Padahal daerah yang hampir terisolir dan jarang dikunjungi muballigh ini membutuhkan pencerahan dari orang-orang yang "memarahi" mereka itu. Seandainyalah, musholla tempat saya ceramah malam itu rajin dikunjungi oleh penceramah dari salah satu kelompok Islam "antah barantah" (katakanlah demikian), niscaya mereka akan menjadi bagian dari kelompok Islam "antah barantah" tersebut. Wallahu A'lam bisshawab ..... (BERSAMBUNG)

Sabtu, 11 September 2010

Inilah Kritik Sang Kolonel Pada Presiden : "Pemimpin, Keberanian dan Perubahan"

Oleh : Muhammad Ilham

"Jangan sesekali kalian mendebat saya, apalagi mengkritik, karena militer hanya akan maju dengan satu perintah", demikian suatu waktu De Fuhrer Adolf Hitler mewanti-wanti pasukan Gestapo-nya.

Kritik adalah sebuah keniscayaan dalam alam demokrasi. Bila tak ada kritik (biasanya dipersonifikasikan dengan "oposisi" yang terlembaga), demokrasi berubah menjadi otoritarianisme. Dan tidaklah mengherankan, sebuah negara akan dicap sebagai sebagai negara "anti-demokrasi" ataupun "semi-demokrasi" bila ruang kritik dibungkam. Apatah lagi, pers dikekang dan diarahkan sesuai dengan keinginan pemegang otoritas politik yang berkuasa. Tidaklah mengherankan, pasca reformasi, Indonesia diharu birukan dengan kritik pedas anak bangsa pada pemimpin mereka. Sekecil apapun kesalahan sang pemimpin, akan "dikuliti" habis-habisan. Media massa tak pernah kehabisan stock berita, karena memang, celah untuk mengkritik begitu mudah untuk dilakukan. Lihatlah misalnya, bermulanya BJ. Habibie menjadi Presiden, seluruh tingkah polah suami Almarhumah Ainun Besari Habibie ini tak pernah luput dikritik. Santapan empuk yang tak pernah sudah. Berlanjut dengan Abdurrahman Wahid yang bahkan menjadi kisah telenovela. Bahkan "affair" putra Jombang ini dengan seorang wanita (konon : pengagumnya) di-blow up lengkap dengan foto syur Gus Dur dengan celana "Hawaii" menggendong sang wanita yang berbaju youcansee. Masyarakat begitu menikmatinya. Lucunya, kala Gus Dur lengser foto ini tak lagi jadi perbincangan hangat.

Keadaan ini terus berlanjut pada Megawati yang juga "luluh lantak" dikritik sebagai Presiden Diam Seribu Basa. Beberapa fotonya yang digambarkan dengan mulut texture judes (walau terkadang terkesan diskriminatif-genderisme) jadi suguhan menarik bagi publik. Dan, Susilo Bambang Yudhoyono mulai merasakan hal serupa mulai tahun 2004. Putra Pacitan menantu Sarwo Edhi Wibowo ini bahkan telah di-labelling-kan sebagai Presiden Lembek dan peragu. Setiap hari, segala kebijakan SBY dibungkus dalam mainstream lembek dan peragu ini. Sungguh alam demokrasi telah memberikan corak dan warna tersendiri. Masyarakat diberi keleluasaan untuk membedah tingkah polah pemimpin mereka. Dan, pasca reformasi, hal ini menjadi biasa, bahkan sebagai bentuk pembelajaran politik publik. Tapi, tidak untuk dunia militer. Dan ini berawal dari Adjie Suradji. Adjie Suradji yang merupakan perwira aktif TNI Angkatan Udara, seakan-akan mendobrak pakem selama ini yaitu kepatuhan terhadap komando tertinggi. Dan SBY adalah pimpinan tertinggi TNI. Dan kala Adjie Suradji berani melanggar pakem ini, Indonesia "tersentak". Biasa dalam dunia sipil, tapi sebuah "kepantangan" bagi dunia militer.

Dalam tulisannya, secara gamblang Adjie membandingkan kepemimpinan SBY dengan presiden-presiden RI sebelumnya. Dalam tulisannya, ia menyebutkan keberhasilan-keberhasilan presiden Indonesia. Ia menyayangkan kepemimpinan SBY yang tidak mampu mengubah hal buruk dari presiden RI terdahulu, yakni memberantas korupsi. Seperti diketahui, tulisan Adjie yang Kolonel ini berjudul Pimpinan, Keberanian, dan Perubahan dimuat di halaman opini salah satu media nasional. Dalam coretannya, pria yang sudah mengabdi sekira 30 tahun di TNI AU itu mengkritik gaya kepemimpinan Presiden SBY. Atas perbuatannya, Adjie terancam mendapat sanksi dari kesatuannya. Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu 'Bersama Kita Bisa' (2004) dan 'Lanjutkan' (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional," kritiknya.

Dalam tulisan berjudul 'Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan' yang menjadi perbincangan hangat di Twitter serta media massa lainnya, Adjie juga meragukan keberanian SBY. "Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin, kepentingan rakyat, keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri. Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya," tulis Adjie. "Kritik ini membuktikan adanya pandangan umum dari TNI terhadap pemerintahan SBY. Jadi bukan karena pandangan dia sendiri," kata pengamat militer M T Arifin. Seorang bawahan mengkritik atasan dalam dunia TNI melanggar kode etik (begitu kira-kira isi artikel yang tadi saya baca). Tetapi sebuah keberanian yang besar bagi seorang Kolonel TNI AU Adjie Suradji yang mengkritik atasannya, seorang Panglima Tertinggi TNI yaitu SBY selaku Presiden RI.

Berikut saya kutip Opini Adjie di Kompas :

Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan


Oleh: Adjie Suradji, Anggota TNI AU

Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain. Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan. Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503-1564). Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan. Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan. Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri. Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya. Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi? Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan. Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan. Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela). Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya. Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

:: Sumber tulisan yang "dimiringkan" (artikel Adjie Suradji) dari kompas.com/diunggah tanggal 4 September 2010.

"Mencurigai" Soeharto di Balik Gerakan 30 September 1965

Oleh : Muhammad Ilham

Setiap kali memasuki bulan September dan Oktober, ingatan selalu menerawang jauh ke belakang, tepatnya ke peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang sampai kini masih menyimpan misteri.

Ada pepatah yang menyatakan bahwa orang yang menguasai informasi, akan menguasai dunia. Pepatah itu tidak mengada-ada, karena kenyataan itulah yang terjadi pada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto sewaktu Peristiwa G30S terjadi. Ia adalah satu-satunya perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tahu persis tentang apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari itu. Data yang telah dipublikasikan selama ini menyebutkan, pada tanggal 30 September 1965 malam, Soeharto telah diberi informasi oleh Kolonel Infanteri Abdul Latief, Komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam V Jaya, bahwa akan dilakukan penjemputan paksa terhadap para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno. Agak aneh, mengapa Soeharto tidak melaporkan informasi yang diterimanya dari Latief kepada Jenderal Ahmad Yani, atasannya. Kemungkinannya hanya dua, ia terlibat atau ia hanya menggunting dalam lipatan, yakni mengambil keuntungan dari gerakan yang dilakukan orang lain.

Dalam pleidoinya, Latief mengungkapkan, selain bertemu dengan Soeharto pada tanggal 30 September 1965 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), dua hari menjelang tanggal 1 Oktober 1965 (tanggal 29 September 1965), ia juga menghadiri acara kekeluargaan di kediaman Soeharto di Jalan Haji Agus Salim. Pada pertemuan pertama, Latief memberi tahu adanya isu Dewan Jenderal akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Menanggapi pemberitahuan itu, Soeharto mengatakan, ia sudah mengetahui hal itu dari seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang datang sehari sebelumnya (28 September 1965). Oei Tjoe Tat, salah seorang menteri dalam Kabinet 100 Menteri Soekarno (Kabinet Dwikora), dalam Memoir of Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, menyebutkan ia bertemu dengan Subagiyo di dalam tahanan, dan Subagiyo, ia telah memberi tahu Soeharto mengenai akan adanya peristiwa penting pada tanggal 30 September 1965 itu. Dan, pada pertemuan kedua di RSPAD, Latief menyebutkan ia dan rekan-rekannya akan menjemput paksa para jenderal pimpinan teras Angkatan Darat untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno.

Adanya pertemuan antara Kolonel Abdul Latief dengan Mayor Jenderal Soeharto menjelang peristiwa G30S membuat kecewa Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, yang sebagai Kepala Staf Kostrad pada tanggal 11 Maret 1966 memimpin pasukan tanpa identitas yang ditempatkan di sekitar Monumen Nasional. Ditemui wartawan melayat ke rumah Jenderal Besar Purnawirawan AH Nasution, 6 September 2000, Kemal Idris mengatakan, dengan meninggalnya Pak Nas makin sulit pula upaya bangsa ini untuk mengorek tuntas misteri G30S yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.“ Apa yang kita kecewa adalah (karena) Soeharto dua kali didatangai Kolonel Abdul Latief dan dia (Soeharto) menerima laporan bahwa akan terjadi sesuatu pada tanggal 30 September 1965. Saya sangat kecewa sekali kepada Soeharto yang tidak mengambil tindakan apa pun untuk pengamanan (hingga timbul kesan) saat itu, seolah-olah biarlah ada orang mati supaya dia berkuasa, “ ujar Kemal Idris.

Ternyata setelah Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998, muncul data baru, yang diungkapkan oleh Wakil Komandan Batalyon 530/Para Brigade 3/Brawijaya Kapten Soekarbi (kini, Mayor Purnawirawan). Dalam wawancaranya dengan tabloid berita Detak, yang dimuat dalam edisi 29 September – 5 Oktober 1998, Soekarbi mengatakan, dalam Radiogram Panglima Kostrad Nomor 220 dan Nomor 239 tanggal 21 September 1965, yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal Soeharto, isinya perintah agar Batalyon 530/Para Brogade 3/Brawijaya disiapkan dalam rangka HUT ke-20 ABRI tanggal 5 Oktober 1965 di Jakarta dengan “perlengkapan tempur garis pertama.” Pertanyaan yang segera muncul, mengapa Soeharto meminta Batalyon 530 disiapkan dengan “perlengkapan tempur garis pertama” ? Apalagi kemudian yang terjadi adalah sebagian dari angota pasukan Batalyon 530 terlibat dalam peristiwa G30S. Tidak diketahui apakah perintah serupa diberikan pula kepada Batalyon 454/Para/Diponegoro, yang sebagian anggotanya juga terlibat dalam peristiwa G30S. Dengan adanya radiogram tersebut, muncul dugaan bahwa Soeharto sudah tahu mengenai akan adanya peristiwa G30S paling tidak sejak tanggal 21 September 1965 atau sembilan hari sebelumnya. Sebab, dengan memberikan pasukan Batalyon 530 itu “perlengkapan tempur garis pertama”, Soeharto telah memfasilitasi anggota pasukan tersebut untuk melakukan “gerakannya”. Itu sebabnya, pada saat G30S berlangsung, Soeharto hanya menunggu perkembangan, dan pada saat yang tepat, dengan cepat mengambil langkah-langkah yang diperlukan, di saat orang-orang lain, termasuk panglima dan perwira tinggi angkatan lainnya, masih bertanya-tanya apa yang sesungguhnya terjadi.

Pertanyaan besar yang mengganjal, adalah mengapa sama sekali tidak ada yang mempersoalkan, mengapa Soeharto tidak melaporkan adanya gerakan untuk menjemput paksa para jenderal Angkatan Darat kepada atasannya, Jenderal Ahmad Yani, yang tewas dalam aksi penjemputan paksa itu ? Ah ... biarlah sejarah yang akan terus "berbicara" !!

Sumber : dari berbagai sumber, terutama J. Luhulima