Minggu, 12 Februari 2012

Harakiri Ala Demokrat

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

”Dusta mulia” diizinkan karena memiliki tujuan ”mulia”
(Plato)


Betapa piciknya Partai Demokrat. Kader terlilit korupsi bukan ditepis dan diredam agar tidak berimbas pada partai, tetapi justru berkelahi sendiri. Hanya demi diri dan uang receh mereka rela meluluhlantakkan partai. Ini harakiri gaya Demokrat. Citra buruk sedang digalang Partai Demokrat. Partai ini menuju kehancuran. Itu bukan infiltrasi luar, tetapi karena rendahnya rasa memiliki dari kader partai ini sendiri. Mereka ambisius dan individual. Belum merasa sebagai komunal yang senasib dan sepenanggungan. Adalah ucapan Nazaruddin yang dipersamakan dengan mantra. Yang dikatakan diramaikan di internal partai. Ditafsir dan dikaji untuk dijadikan bahan celotehan. Itu disebarkan ke berbagai sektor. Akibatnya persis mengusik rumah semut. Seluruh anggota partai ribut. Mereka bak gabah diinteri, panik dan kalang-kabut. Uniknya, pengakuan mantan bendahara Partai Demokrat itu hanya berfungsi sebagai stimulan. Yang berkembang kemudian justru isu money politics. Masa lalu ketika partai ini melakukan Kongres di Bandung. Ada yang mengaku dibayar agar memilih Anas. Ada yang gagap menjawab. Tetapi ada pula yang sigap menepis tidak ada duit haram. Pantun berjawab ini pasti kontraproduktif. Kewibawaan partai dipertanyakan. Runtuh kepercayaan rakyat pemilih. Gaya kadernya mirip suami membuka aib istrinya yang selingkuh. Berlagak hero padahal bajingan tengik. Memalukan diri sendiri dengan cara tidak terpuji.

Cap sebagai partai besar dan partai penguasa rasanya tidak layak disandang Partai Demokrat. Partai ini tidak dihuni orang-orang yang punya loyalitas dan dedikasi. Dari kekisruhan yang 'dilestarikan' terkesan partai ini terbanyak menampung para oportunis. Dihuni para pemain yang bermain sekadar mencari jabatan, peluang, dan uang. Jangan tuding pihak luar jika Partai Demokrat amburadul. Kekisruhan itu selalu bersumber dari kader sendiri. Kader yang ada seperti berharap partai ini bubrah. Tiap masalah tidak diselesaikan dalam internal partai tapi ditambah dengan masalah baru. Ya, kader Partai Demokrat memang tipe perindu. Rindu, jika citra buruk itu cepat berlalu. Sebagai kader partai, bicara money politics di era politik transaksional itu seperti orang bloon. Menelanjangi diri sendiri. Sebab itu kohesi tiap pilihan. Apalagi pilihan ketua partai politik. Kemasan 'duit' itu saja yang heterogen. Ini untuk menyamarkan agar uang yang dibayarkan tidak menjerat yang membayar. Amunisi apalagi yang disiapkan kader partai ini untuk mengkerdilkan diri hingga titik nadir? Terus apa pangkal kisruh yang tak kunjung selesai mendera partai ini? Rasanya amunisi yang paling dahsyat nanti adalah yang datang dari forum pendiri partai. Forum ini sepertinya baik-baik saja. Tapi di balik itu tersimpan dendam. Dendam itu membara dalam tumpukan jerami. Terbakar dan membakar apa saja jika ada percikan api. Sebab titah yang selalu datang dari Ketua Dewan Pembina mengucilkan para pendiri partai ini. Mereka merasa tidak dianggap ada. Tidak dianggap penting. Dan dianggap tidak punya peran dalam menjaga eksistensi partai. Itu yang menyakitkan. Kesakitan itu pula yang memperpanjang geger di partai yang sekarang mendapat sinisme baru sebagai partai gudangnya koruptor itu. Mampukah petinggi Partai Demokrat mengakomodasi dan mengobati rasa sakit mereka? Berdasar pengalaman yang sudah-sudah, rasanya kok akan belepotan.

(c) Djoko Suud Sukahar/detik.com
Foto : jppn.com

Tidak ada komentar: