Selasa, 21 Februari 2012

GENDER DAN TEROR OTORITAS KEKUASAAN (Dari Alya Rohali hingga Angelina Sondakh)

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini telah diterbitkan dalam Jurnal Pusat Studi Wanita (PSW) KAFA'AH Nomor 1 Edisi Tahun 2012. Karena artikel ini ditulis pada bulan Agustus 2011, maka substansi artikel, khususnya  yang berkaitan dengan Angelina Sondakh, harus ditempatkan dalam konteks sebelum terjadinya kasus "Nazaruddin Gate") 

Pernah ada anekdot feminis yang bagus. Bunyinya kira-kira begini. Konon, suatu hari para ahli angkasa luar Indonesia menerima pesan dari makhluk planet lain. Mereka menyatakan minat berkunjung dan mengadakan studi banding ke bumi. Sambutan meledak-ledak bukan saja dari kalangan ahli. Perusahaan pemancar televise, dan pembuat film berlomba-lomba mendapat tempat dalam acara tersebut. Pabrik sepatu, kemeja, minuman, kerupuk, tebu-panggang Kuranji bahkan cendol Pattimura-pun ikut menjadi sponsor.  Akhirnya tibalah hari “H”. Para tamu dari planet lain itu diajak berkeliling ke pusat-pusat peradaban manusia Indonesia, baik warisan budaya klasik-kuno hingga modern (yang klasik-kuno mungkin banyak, yang modern … entahlah, mana ada di Indonesia. Ya, namanya saja narasi-imajiner). Seluruh acara kunjungan diikuti ratusan juta penduduk Indonesia, bahkan bumi lewat siaran langsung. Di ujung kunjungan resmi itu, diadakanlah upacara perpisahan. Makan malam di istana negara a-la “keripik”, “bakso”, Obama kemaren-lah. Para tamu diminta memberikan kesan-kesannya. Puja puji berhamburan bak kembang api. Tepuk tangan silih berganti, orang Indonesia bangga. “Tapi”, kata sang tamu tiba-tiba, “ada keganjilan tentang kehidupan di bumi ini”. Serentak perhatian hadirin tertuju kepada wakil dari planet lain yang memberikan sambutan tersebut. “Apa? Katakan, apa yang ganjil?”, teriak hadirin berasama. “Yang aneh, “ kata sang tamu, “setiap kali kami berjalan-jalan di pusat-pusat kota pada malam hari, yang kelihatan hanya kaum laki-laki. Baik di Jakarta, Medan, Bandung ataupun  Padang”. Para hadirin menjadi lega. “Oh itu”. Seorang petinggi dari Indonesia menje-laskan, “itu lumrah.  Maklum, kalau pada malam hari pusat-pusat kota kurang aman. Demi alasan keamanan, kebanyakan wanita dan anak-anak tinggal di dalam rumah”. Penjelasan ini kurang memuaskan para tamu. Mereka kelihatan bingung dan sibuk berbisik-bisik dalam bahasa planet mereka, sampai-sampai tuan rumah bertanya, “Apakah penjelasan kami tadi kurang memuaskan?”. Salah seorang tamu tadi menjawab, “Terus terang, kami masih tak paham. Kalau di planet kami, ada binatang yang buas dan berbahaya bagi umum, maka yang dikurung adalah binatang itu. Bukan korbannya !”. Skak Ster.    

Agak sulit bagi saya untuk membuat makalah  tentang topik Gender dan Teror Kekuasaan ini. Kesulitan tersebut karena “begitu luasnya” cakupan pembahasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filosof-sejarah Milland Kundera bahwa sejarah teror dan kekuasaan itu “ seumur” homo-sapiens.[1] Ketika manusia sudah mulai “lebih dari satu”, dalam konteks itu, kuasa dan teror mulai tumbuh.[2] Apalagi manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, teror dan kuasa juga mulai ada. Secara tautologik, teror dan kuasa sudah menjadi kehendak sejarah. Apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Karena itu saya ingin membatasi pada beberapa sample isu-isu  berkembang bebeberapa waktu yang lalu, (yang kemudian) dikaitkan dengan gender dalam konteks teror dan kekuasaan yang kemudian dicari “benang merahnya” dengan fakta-fakta sejarah yang telah berlangsung selama ini. Pertanyaan kritisnya mungkin adalah : “Ketika wanita muncul dalam ranah publik (baik politik maupun sosial), mengapa public begitu mudah mencari “titik tembak” terhadap kemunculan wanita tersebut ?. “Titik tembak” disini saya pahami sebagai karena factor kewanitaannya, sehingga factor kewanitaan itu menjadi “titik tembak” publik. Publik, disini termasuk kalangan wanita, dan yang pasti adalah sebagian besar kalangan laki-laki.  Selanjutnya, menterjemahkan konsep teror juga begitu dilematis. Karena konsep teror biasanya merujuk kepada upaya untuk menciptakan instabilitas sebuah komunitas ataupun konsensus sosial.[3] Diantara berbagai macam defenisi (baik defenisi etimologis maupun semantik) dari teror tersebut, saya hanya ingin mengambil “benang merah” nya dengan topik makalah kali ini tentang Gender dan Teror Kekuasaan. Saya memahami pengertian teror disini sebagai bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan yang distruktur oleh pemegang kebijakan.[4]  Teror juga dimaknai sebagai bentuk memanfaatkan infra-struktur negara untuk mendiskreditkan secara tidak fair pihak-pihak tertentu dengan menggunakan nilai atau aspek yang didisain sedemikian rupa dengan target merugikan pihak yang didiskreditkan tersebut.   Dalam konteks (teoritis) diatas, maka saya mengambil tiga sample untuk melihat bagaimana kesewenang-wenangan dan ini terus di-blow up – sebuah teknik teror yang sistematis – pada publik yang dilakukan oleh pemegang otoritas politik bangsa ini yang mengesankan kekuasaan mendiskriminasi laki-laki dan wanita.


B. Kesewenangan Kekuasaan (Laki-Laki) yang Terlihat dari Beberapa Kasus
  1. Kasus Alya Rohali[5]
 Pertengahan bulan Mei 1997, berbagai media cetak Indonesia memuat foto “cantik” Alya Rohali, putrid Indonesia ’97. Ia diapit oleh Putri  Thailand dan Filiphina. Ketiganya dalam pakaian renang sebagai peserta kontes Miss Universe 1997 di Las Vegas Amerika Serikat. Pemuatan foto ini menimbulkan reaksi keras public. Tak kurang, Menteri Peranan Wanita kala itu, Ny. Mien Sugandhi, merasa “kebakaran sanggul” (jenggot tidak mungkin). Dalam siaran persnya, Mien Sugandhi mengatakan foto Arya Rohali itu sebagai “keseronokkan” (artinya : tidak pantas dan menjatuhkan martabat, karena bila dibawa kedalam bahasa Malaysia, keseronokkan justru berarti menyenangkan atawa mengasyikkan). Keikutsertaannya dalam Kontes Kecantikan Internasional tersebut dinilai merendahkan harkat martabat wanita Indonesia yang lagi-lagi diperjuangkan Mien Sugandhi via KeMenterian Peranan Wanita-nya.  Menurut ibu menteri, ia telah ditegur banyak kalangan. Dari kasus ini, timbul pertanyaan kritis : Bagaimana persisnya derajat wanita dapat dinaikkan atau diturunkan ? Siapa yang berhak menaikkan dan menurunkannya ?. Rangkaian pertanyaan ini bisa menjadi panjang. Namun yang pasti, telah terjadi kesewenangan (teror defenisi oleh pemegang otoritas kekuasaan).  

Jikalau-lah Alya merendahkan derajat kaum wanita Indonesia, apakah peserta lain dari kontes tersebut tidak juga merendahkan derajat kaumnya di negeri mereka masing-masing. Apakah peserta Kontes Internasional tersebut secara kolektif juga merendahkan derajat kaum wanita di seluruh permukaan planet bumi ini, tanpa terkecuali. Bila tidak, betapa malangnya wanita Indonesia yang mengalami kelainan. Sayangnya, tidak pernah dijelaskan siapa orang-orang yang menegur Ibu Menteri karena penampilan Alya Rohali. Tak jelas persis bagaimana alasan mereka. Atau mungkin kalangan-kalangan yang menegur bu Menteri ini merasa derajatnya direndahkan oleh Arya Rohali. Atau apakah mereka ini merupakan pejabat tinggi Negara, yang biasanya laki-laki, merasa lebih tahu tentang derajat wanita ketimbang Ibu Menteri ? Sebelum ramai-ramai mengecamnya (istilah lain lagi dari terror), perlu diperiksa apakah benar Kontes Miss Internasional ini sekedar melombakan kemolekan tubuh ? Bagaimanakah seandainya kontes semacam itu memang melulu memperlombakan kecantikan fisik ? Mungkin banyak orang Indonesia yang akan menolaknya. Pasti banyak yang berada dibelakang Mien Sugandhi dan menteri peranan wanita seterusnya. Tapi, Alya Rohali hanya menjalani “bagian kecil” dari prosesi yang sangat banyak yang harus dilaluinya. Bukan tubuh, tapi juga brain. Padahal bila kita jujur terhadap realitas sosial (fakta sosial) yang ada, penampilan yang dikecam Mien Sughandi pada Alya Rohali dan (juga pada Nadine Chandrawinata oleh Khofifah Indarparawansa), merupakan pemandangan sehari-hari yang lazim di kota-kota besar negeri ini.  

Penampilan perempuan seperti itu telah menjadi gambar baku dalam poster film di Indonesia, termasuk produksi dalam negeri. Bahkan pada era awal 2000-an, luar biasa parah. Poster-poster film di Padang Theater, misalnya,  membuktikan hal itu, sebagaimana yang saya alami, setidaknya. Di daerah lain, juga berlaku hal demikian. Bahkan, hingga hari ini, ada majalah yang sudah bertahun-tahun secara khusus menampilkan perempuan dalam pakaian “semlehoy” dengan dibungkus misi : “majalah keluarga”.[6] Tidak hanya seperti yang dikenakan oleh Arya Rohali, tetapi jauh lebih berani, vulgar dan ”bertensi tinggi”. Tidak ada kaitan langsung atau alamiah antara tubuh wanita dan martabat kaum wanita. Kaitan itu hanya ada kalau dibuat ada dalam masyarakat. Kesewenangan terhadap wanita, dalam hal ini pelecehan, terhadap martabat wanita telah mewarnai sebagian besar sejarah modern, tetapi ada yang membingungkan. Di satu pihak, pelecehan tersebut secara universal meliputi eksploitasi tubuh wanita. Dipihak lain, tidak semua penonjolan tubuh wanita yang merupakan pelecehan martabat mereka. Pelecehan martabat wanita tidak hanya bercorak eksploitasi jasmaniah.  Akhirnya, tubuh wanita, selalu menjadi “sasaran tembak” kelompok-kelompok kekuasaan karena mereka merasa bahwa eksistensi mereka akan tercederai oleh hal-hal seperti ini. Padahal, bila kita ingin jujur, industri “kemolekan tubuh wanita” itu, baik event maupun majalah, adalah industri yang dikuasai laki-laki.   

Saya hanya membayangkan dan teringat dengan dialog imajiner diatas, bila suatu hari wanita Indonesia – berkaca dari kasus ini – mempertanyakan manakah yang lebih penting diurus : peranan wanita atau pria ? yang menjadi sumber masalah tersebut, apakah kaum pria atau wanita ?. Bila wanita tidak boleh memamerkan semata-mata kehebatan tubuhnya, bagaimanakah dengan pria yang memamerkan kehebatan tubuhnya? Bukan hanya laki-laki yang bergaya seperti Ade Rai dengan menggunakan “kain sembat” , tapi disini juga bisa dicatat, laki-laki yang juga menampilkan kehebatannya : “membanting”, “meninju”, “menonjok” dan “menendang”.  Kita tidak mengetahui, mengapa dahulu tak banyak yang “menggugat” Soekarno kala memamerkan lukisan-lukisan naturalis – wanita semi telanjang. Saya yakin, banyak ulama-ulama yang masuk kedalam istana. Apalagi ulama-ulama yang “getol” dengan konsep Nasakom Soekarno. Hampir tak terdengar, kala Soekarno berkuasa, apakah ada ulama atau tokoh masyarakat yang menggugat Soekarno dengan kalimat : “merendahkan istana Negara”, “merendahkan simbol Negara”, atau “Soekarno merendahkan dirinya sendiri”.[7] Ada dua kemungkinan. Pertama, para ulama dan tokoh masyarakat Indonesia kala itu, “takut” melawan Soekarno dan meneror lukisan-lukisan seperti itu. Atau bisa jadi kemungkinan kedua, para ulama dan tokoh masyarakat tersebut “suka” dengan lukisan-lukisan naturalis tersebut.  

Kasus Arya Rohali dan juga kasus-kasus lain sejenis ini, hanya menempatkan wanita dalam posisi yang “sewenang-wenang” untuk ditafsirkan, diukur dan diparameterkan. Bukan berarti saya menyetujui pornografi. Itu jelas tidak, karena saya tidak menyukai pornografi. Namun yang menjadi catatan kritis disini adalah ketika eksistensi wanita selalu diletakkan dalam ukuran “tubuh”.  Tubuh menjadi sasaran tembak. Mereka diteror dengan  menjadikan tubuh mereka sebagai “titik tembak”, bahkan oleh kekuasaan, atas nama martabat wanita itu sendiri, tanpa melihat, persoalan substansi di seputar kelompok yang mengarahkan sasaran tembak itu – umumnya laki-laki. Sungguh, kata Cleopatra[8], wanita memiliki kelebihan dan kemolekan tubuh yang bisa mengguncang dunia. Mengguncang bisa jadi membuat orang terpana, bisa juga meruntuhkan mereka.

  1. Kasus Pasal Zina Bagi Kepala Daerah
Saya mulai dari potongan berita di vivanews.com, berikut :

“Saya tidak menghambat seseorang, katakanlah Julia Peres ataupun Maria Eva melaksanakan hak-hak konstitusinya. Tapi, saya juga tidak bertentangan dengan konstitusi. Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu. Jadi bukan menghambat hak konstitusi seseorang”[9]

Salah satu berkah reformasi adalah “meratanya” kesempatan bagi setiap warga negara untuk menjadi kepala daerah. Asal sesuai dengan kaedah-kaedah dan aturan konstitusi yang ada. Bila pada masa Orde Baru, mimpi untuk menjadi Kepala Daerah, harus diawali dengan masuk “biduk” Golongan Karya (bukan partai Golkar). Demikian juga, bila ingin menjadi Menteri dan Duta Besar serta pejabat BUMN dan seterusnya. Sehingga, pada masa Orde Baru, sulit kita jumpai – untuk mengatakan tidak pernah – ada Kepala Daerah dari kalangan artis. Kepala Daerah pada masa ini sejatinya adalah politisi, politisi Golkar. Kalau-pun ada, biasanya hanya menjadi anggota Parlemen. Itupun boleh dikatakan tidak ada. Kecuali dari Partai Demokrasi Indonesia – Sophan Sophian.  

Barulah pada tahun 2000-an, bermunculan nama-nama artis yang masuk dalam bursa Calon Kepala Daerah. Ada yang terpilih, ada yang tidak. Ada yang ingin coba-coba, ada yang ingin menaikkan “rating” di dunia keartisannya, ada yang benar-benar serius. Dan sejarah mencatat beberapa nama artis yang bisa menjadi Kepala daerah “produk” era reformasi seperti Rano Karno, Dede Yusuf dan lain-lain. Sedangkan di Senayan, berkibar nama-nama seperti Marissa Haque, Rachel Maryam, H. Qomar “Tiga Sekawan”, Jamal Mirdad, Eko Patrio dan lainnya. Ini kemudian menginspirasi beberapa artis lainnya untuk bersaing dalam pemilihan Kepala Daerah. Akhirnya, public disuguhi tontonan menarik, dimana artis-artis selama tahun 2009-2010, banyak yang mengadu peruntungan untuk (sekedar) menjadi Calon Kepala Daerah. Saya katakan sekedar, karena ada beberapa diantaranya yang gugur dalam proses seleksi. Persoalan financial, saya fikir bukan persoalan bagi artis-artis tersebut. Mereka memiliki uang yang cukup.  Maka., Ayu Azhari (yang juga dikenal sebagai artis seksi) mencalonkan diri menjadi Calon Bupati Sukabumi. Majunya Ayu Azhari yang merupakan kakak dari Sarah dan Rahma Azhari (yang dua ini, tak kalah seksinya pula) menjadi perbincangan public di beberapa kesempatan, terutama di jejaring sosial facebook dan twitter. Para fesbukiyah dan twit banyak yang mendukung, banyak yang menolak.  

Belum habis perbincangan hangat tentang Ayu Azhari, muncul pula Julia Peres yang melejit karena film horror (tapi lebih banyak erotica-sensualitanya) “Hantu Jamu Gendong” itu. Ini menjadi lebih heboh. “Pacar” Gastano (pemain bola LI asal Argentina, saya lupa nama lengkapnya) “membusungkan dada” untuk mencalonkan diri jadi Calon Bupati Pacitan, kampungnya Presiden SBY. Tak tanggung-tanggung, Julia Peres menwarakan pada adik sepupu SBY untuk menjadi Wakilnya. Partai Demokrat diincar jadi “biduk” politik. Julia Peres yang dalam dunia keartisan lebih dikenal sebagai artis “bodi semlehoy” ini mulai berpakaian rapi, tapi tetap lekuk-lekuk tubuhnya terlihat. Ia mulai wara-wiri kesana kemari mencari dukungan. Bahkan, ia minta izin pada salah seorang kiai sepuh Nahdatul Ulama. Sang kiai ini-pun dengan gembira mendo’akannya. Sebagaimana halnya Ayu Azhari, publik pun terbelah. Ada yang mendukung dengan argument bahwa siapapun sama dimata konstitusi, tapi tak sedikit pula yang menentang dengan alas alasan bintang Film Hantu Jamu Gendong ini tak layak untuk dicontoh, karena memiliki track-life sebagai pengumbar syahwat dibandingkan ide-ide cemerlang.   Bahkan di jejaring facebook dan twitter terlihat “modifikasi” foto Julia Peres di berbagai baliho membuat “jakun” anak bujang turun naik. Akhirnya Julia Peres, kandas. Ia kalah dalam proses penjaringan calon. Nampaknya Partai Demokrat tak mau berjudi.  

Cerita Ayu Azhari dan Julia Peres pun lanjut dengan episode yang lebih menggemparkan. Belum hilang ingatan public mengenai Video Hot anggota senior Partai Golkar, Yahya Zaini (waktu itu : Ketua Departemen Bidang Agama Partai Golkar/mantan Ketua HMI dan konon jadi ”nominasi” calon Menteri Agama waktu itu), “lawan mainnya” dalam video hot itu, Maria Eva, mencalonkan diri pula menjadi Calon Bupati di sebuah Kabupaten di Jawa Barat. Hal ini banyak menimbulkan kontroversi di tengah-tengah public. Maria Eva tetap kukuh mencalonkan diri jadi Calon Kepala Daerah. Tapi sebagaimana halnya Ayu Azhari dan Julia Peres, Maria Eva yang juga dikenal sebagai penyanyi dangdut yang tidak begitu terkenal (lebih dikenal karena affairnya), gagal dalam tahap penjaringan. Tapi, keadaan ini tak hanya terputus sampai di Maria Eva. Sebelumnya, artis Primus Yustisio, Penyanyi Dangdut Ayu Soraya dan lain-lain juga kalah dalam pertarungan. Mungkin hanya Andre “Opera van Java” Taulany yang (pernah)  “berkesempatan” bertarung di Tangerang Selatan hingga injury time.

Saya tak ingin mengomentari fenomena sosiologis munculnya artis-artis dalam ranah politik Indonesia. Serta kemenangan-kekalahan mereka  dan seterusnya. Saya hanya ingin menghubungkan dengan lontaran/ide Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi diatas. Pertanyaan kritis yang bisa dimunculkan adalah : “Mengapa tawaran pasal Zina begitu urgen ? Bisakah Mendagri menjamin, calon-calon yang lain bebas dari perzinaan ? Mengapa tawaran tersebut terkesan hanya pada calon wanita ? dan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang pada prinsipnya ingi menegaskan bahwa tawaran controversial tersebut, disamping (menurut sebagian kalangan) diskriminatif, juga hanya ditujukan pada maraknya calon-calon artis “semlehoy” dan identik dengan budaya hippies, maju menjadi calon kepala daerah.  

Tawaran Gamawan Fauzi ini keluar, kala perbincangan terhadap majunya Julia Peres dan Maria Eva. Bukan kala beberapa artis yang lain maju menjadi calon legislative atau Kepala Daerah, dan menjadi “meredup” kala Andre Taulany masih “bersaing” sekarang ini. Publik pun dengan mudah menilai, tawaran Gamawan Fauzi ini hanyalah ingin menjegal atau memberi warning pada Julia Peres dan Maria Eva. Ia tak memberikan “tawaran” lain, misalnya pada salah seorang Bupati di Sumatera Barat yang terpilih kembali menjadi Bupati, padahal baru selesai “membuang dosa” dalam penjara karena kasus korupsi-nya pada jabatan Bupati periode sebelumnya.  Sekali lagi, ini memperkuat anggapan bahwa kesewenangan kekuasaan selalu merugikan kaum wanita. Padahal, wanita dan laki-laki sama dalam hak konstitusi. Tubuh dan keseksian, menjadi “sasaran” tembak. Memang pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakatnya kepada yang lebih baik, tapi pemegang kekuasaan telah menteror dengan memblow-up dan membentuk opini pada public. Bila ingin konsisten, seharusnya tawaran ini dalam aplikasi merata dan tetap ditawarkan hingga sekarang. Sekali lagi, akhirnya telunjuk mengarah kepada pemegang kekuasaan yang dipegang laki-laki. Akhirnya, “Salah satu syarat adalah bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Maka, pasal zina ini adalah refleksi dari itu”, bagaimana dengan yang nyata-nyata pernah terlibat kriminalitas, bagaimana yang pernah terindikasi shabu-shabu dan seterusnya.

  1. Kasus Anggelina Sondakh
Angelina Sondakh itu cantik. Angelina Sondakh itu manis. Manis dan cantik, itu dua konsep berbeda. Pada Angelina Sondakh, kedua-duanya dimilikinya. Dengan muka tirus oriental, kita merasa nyaman memandangnya. Memandangnya bukan dengan libido, beda dengan memandang Malinda Dee. Semua kita pasti sepakat, apalagi saya. Ditambah lagi, ia smart.  Sekarang ia dianggap sebagai representasi artis dengan otak cemerlang dalam jagad perpolitikan Indonesia. Muda, pintar, bekas Putri Indonesia, artis dan suaminya gagah pula – (almarhum) Adjie Massaid. Ada yang bilang, Partai Democrat beruntung memilikinya.[10]  Anggie, demikian biasa ia dipanggil, juga dikenal santun dan humanis. Ia masuk dalam politikus muda “Negara demokrat” bersama-sama dengan Anas Urbaningrum, Ibas Yudhoyono dan Adjie Massaid.[11] Mungkin karena cantik, santun dan pintar itu-lah, maka Pimpinan Pusat Partai Demokrat mempercayakan padanya posisi Pelaksana Tugas Harian (Plth.) Ketua Partai Demokrat Daerah  Istimewa Yogyakarta.  

Sebagaimana yang kita ketahui belakangan ini, isu yang paling hangat dalam ranah politik Indonesia adalah (perseteruan) SBY versus Sultan Hamengkubuwono X  berkaitan dengan Keistimewaan daerah Yogyakarta. Keistimewaan yang didalam-nya in-clude penetapan Gubernur-Wakil Gubernur secara otomatis bagi Ngarso Dalem Sri Sulthan Hamengku-bowono X sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakilnya. Karena pemerintah memiliki perspektif lain tentang konsep penetapan Gubernur/Wakil Gubernur ini, maka konstelasi politik Yogyakarta menjadi panas. Imbasnya antara lain, mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY. KGPH. Prabukusomo  merasa Partai Demokrat adalah “aktor utama” penggerogotan dominasi politik Keraton di DIY. Sebagai Ketua Umum Partai penguasa, apalagi Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu legislatif di Yogyakarta (2009) mengalahkan Golkar[12], tentunya posisi Ketua Umum Partai Demokrat tersebut sangat prestisius dan memiliki bargaining position signifikan.  

Mundurnya KGPH. Prabukusomo sebagai Ketua Umum Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY hanya menimbulkan kontroversi yang tidak begitu lama. Walaupun media massa memblow-upnya, tetap isu ini tidak se-kontroversi, misalnya, isu wikileaks atau kematian mbah Maridjan kemaren. Justru yang menjadi perbincangan hangat di beberapa media massa dan jejaring sosial facebook serta twitter adalah siapa pengganti  KGPH. Prabukusomo tersebut. Orang akan biasa-biasa saja, bila pengganti adik Sulthan Hamengkubowono X ini seperti fungsionaris Pimpinan Pusat Partai Demokrat seperti KGPH. Roy Suryo, yang daerah pemilihannya di Yogyakarta, ditambah lagi keturunan keraton. Diskusi menjadi hangat ketika Angelina Sondakh nan cantik asli Kawanua ini yang menggantikan posisi strategis KGPH. Prabukusomo. Dari berbagai pendapat yang bermunculan dengan naiknya Anggelina Sondakh sebagai Plth. Pimpinan Daerah Partai Demokrat DIY  hampir semuanya menjadikan “kewanitaan” Anggelina Sondakh sebagai “sasaran tembak”. “Kita juga heran, mengapa bung Anas Urbaningrum meletakkan Anggie yang perempuan itu sebagai Plth di DIY. Ia tidak memiliki pengaruh besar. Walaupun dari pusat, ia tidak akan sekharisma KGPH. Prabukusomo yang gesit. Anggie yang wanita tersebut tak akan mampu menggantikan kegesitan KGPH. Prabukusomo”, demikian kata seorang pakar politik dan diamini oleh funsionaris partai lain yang bukan dari Partai Demokrat.[13] Bagi saya, analisisnya ngawur, menyamakan menara pisa dengan petronas, menyamakan pengaruh Fauzi Bahar dengan Eko Patrio di Kota Padang.  

Saya tidak ingin mencatat dengan kritis argumentasi perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Mungkin benar, mungkin saja tidak, tapi yang pasti, pendapat tersebut bernuansa politis. Buktinya, ada fungsionaris partai selain demokrat yang berkata sinis. Saya ingin mengatakan, bahwa beberapa hari ini, seandainya otak Angie sehebat Hillary Clinton atawa Sri Mulyani dan sekharisma Michele Obama ataupun Begum Khaleda Zia dari Bangladesh, smart seperti Condoleeza Rize atau Margareth “Iron Woman” Thacer, Indira Gandhi, Evita Peron dan Nicola Markel, tapi Angie yang Sondakh ini akan selalu tetap dianggap debatable memimpin Partai Demokrat Daerah Istimawa Yogyakarta, walaupun hanya Pelaksana Tugas Harian yang nota bene­-nya tidak permanen. Karena ia tak bisa mengalahkan charisma KGPH. Prabukusomo, karena ia “out-groups” DIY dan arena ia adalah seorang wanita. Ya, karena ia seorang wanita. Dan,  kewanitaannya itu diblow-up oleh media massa (setidaknya demikian yang terefleksi dari berbagai pendapat di media massa). Yang memblowupnya adalah para elit politik yang kebetulan memiliki kekuasaan, walau berseberangan dengan partai penguasa. Ini diopinikan kepada publik yang kemudian menjadi teror (kesewenang-wenangan) terhadap Anggie yang (kebetulan) wanita. Untunglah pengganti Mbah Maridjan almarhum laki-laki, kalau wanita, mungkin ia diperbinangkan dengan kewanitaannya sebagai sasaran tembak. Oleh semua orang dengan dimoderasi pemegang kekuasaan (baik media massa maupun politik).

C. Refleksi dan Simpulan

            Saya tidak memberikan kesimpulan yang bersifat teoritis tentang hal-hal diatas. Namun yang pasti adalah, kesewenang-wenangan penguasa dengan mempengaruhi opini public untuk tidak menerima sesuatu hal yang terjadi pada seseorang karena kewanitaannya, sering terjadi dalam sejarah. Kata “wanita” dengan seluruh varian “pembentuk” kewanitaannya seperti kemolekan tubuh, mudahnya bagian tubuh diperlihatkan pada orang lain, karena wanita tak bisa memimpin dan seterusnya, di-blow-up oleh pemegang kekuasaan (bisa media massa, bisa juga pihak otoritatif ataupun elit politik). Blow-up ini merupakan bentuk teror (kesewenang-wenangan) untuk menguntungkan pihak tertentu (dengan tujuan kekuasaan). Harold Laswell, filosof ilmu politik, mengatakan who get what how and when. Tujuan akhir adalah kekuasaan. Bagaimana cara mendapatkannya, maka ada cara. Cara itu pasti mencari kelemahan lawan. Dan tidak fairnya, bila menyangkut wanita, sejarah selalu mencatat, kelemahannya pasti karena kewanitaannya.

Catatan Pendukung :

1.       Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi Presiden RI, dalam bahasa Tipe Ideal-nya Max Weber, telah memiliki investasi politik. Ia memiliki  charisma yang turun karena factor genetic (ascribed, dalam bahasa sosiologinya). Tapi, ketika terjadi persaingan memperoleh kekuasaan, lawan-lawannya, terutama yang berasal dari kalangan agamawan, mencari celah yang tidak fair dengan ungkapan : “arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Ini selalu diblow-up oleh lawan-lawan politiknya. Topik itu saja. Topik tersebut membentuk opini bahkan “menteror” masyarakat. Bahkan ada seorang politisi Partai Politik Islam yang antusias memblow-up ini. Siapakah ia ….. kala Gus Dur turun, Megawati jadi Presiden, maka Wakilnya adalah politisi sebelumnya antusias mensosialisasikan arrijaalu qouwwamuuna ‘alan nisaa’. Harold Lasswell, benar.[14]

2.      Nyi Ontosoroh, dalam  Tetralogi[15] Pramoedya Ananta Toer, diceritakan sebagai wanita otodidak, simpanan tentara Belanda, mandiri dan tegar. Dalam sebuah percakapan Nyi Ontosoroh ini dengan anak perempuannya yang kebetulan akan menikah dengan Minke (saya ambil saja substansinya), ia berkata : “kamu harus pintar seperti mami. Belajar tentang hidup. Papimu yang laki-laki itu, kerjanya hanya mabuk, tapi karena ia laki-laki, ia dihormati. Mami mu yang lebih pintar dibandingkan papimu itu, masih dianggap hina oleh orang lain. Karena itu, kamu harus terus belajar untuk pintar karena orang melihat kita bukan pada otak kita, tapi karena kita wanita, itu takdir kita. Kamu harus robah, semampu yang kamu bisa”. Sebuah “jiwa zaman” awal abad ke 20 M., mungkin juga sebelumnya.

3.      Sebelum abad ke-15 M., Dennys Lombard[16] dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya mengatakan bahwa wanita-wanita nusantara banyak yang bekerja di ranah laki-laki. Sebagai panglima perang dan sebagai perompak ataupun pimpinan kelompok. Bila ditelaah variable ajaran normative agama, maka pola stratifikasi agama Hindu memegang peranan penting menyebabkan hal ini terjadi. Bisa saja, perompak dan wanita yang bekerja di “ranah” laki-laki tersebut berasal dari strata rendah yang tak puas dengan realitas sosial, tapi bisa juga dari strata Brahmana dan Ksatria yang memungkinkan wanita berada dalam posisi sosial demikian. Beberapa ratu kerajaan majapahit dan fenomena Ken Dedes memperkuat hal ini. Lalu, datanglah Islam yang dibawa oleh “laki-laki” dari budaya “patriarkhi” – para pedagang Hadramaut ataupun Persia. Akhirnya, atas nama ajaran normatif-teologis, dibentuk opini yang disosialisasikan/diindoktrinasi (di-blowup) oleh mereka yang memiliki kuasa (katakanlah : elit agama dan elit politik yang dekat dengan elit agama) bahwa suatu kelompok manusia tak layak untuk memimpin karena ia wanita. Cause dan sasaran tembaknya jelas. Walaupun untuk beberapa kasus seperti di Aceh, ada Sultanah, tapi tetap posisinya seumpama Anggelina Sondakh diatas.

Tulisan ini tidak sistematis. Hanya lebih bersifat parsial, terpilah-pilah karena hanya berangkat dari kasus per kasus untuk kemudian, secara kualitatif,  bisa digeneralisir terhadap kasus yang lain dalam perjalanan sejarah gender, khususnya di Indonesia.   Semoga dikritisi.



[1] Goenawan Mohammad, “Mithe Sysiphus”, Catatan Pinggir (Jakarta: Grafiti Press, 1999) hal. 408
[2] Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic releigion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa Eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan, Bandung: Mizan, 1993, hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan, Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006. Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan  justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis  Abrahamic Religion mengenai  nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, bandung: Mizan, 2005.
[3] Lihat lebih lanjut Edward Said, Terorisme : Sejarah dan Konflik Global, terjemahan, Bandung: Mizan, 1994, hal. 17-33

[4] Pemahaman ini saya ambil dari Nawel el-Sa’adawi, “Wawancara Eksklusif Tempo tentang Gerakan Feminisme di Dunia Arab” bulan September 2008. www.tempointeraktif.com (diunggah tanggal 10 Desember 2010)
[5] Ide tulisan dari beberapa artikel di http.://www.detik.com/ pada Mei 1997. Banyak artikel yang tidak tersusun dengan baik, disebabkan, pada tahun 1996 detik.com baru launching. Diasumsikan banyak data-data berupa tanggal yang tidak tertulis ketika di Search via Google. Kasus seumpama Alya Rohali ini sudah sering terjadi di Indonesia. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Putri Indonesia 2000 (?) Nadine Chandrawinata dan yang terakhir ini (2008/2009 : saya lupa namanya, tapi yang pasti ia cantik). Saya mengambil kasus Arya Rohali sebagai “starting” kasus, karena kasus Arya Rohali-lah yang pertama sekali menyedot perhatian public. 
[6] Tentang hal ini, pernah dibahas oleh Dian Nugraha (?), “Semiotika Tubuh dalam Sejarah Film Indonesia”. Saya lupa alamat URL. yang pernah saya ungguh.
[7] Kasus Madame Dewi Syuga  begitu “menggegerkan” jagad politik Indonesia era 1990-an. Padahal, Dewi Soekarno bilang, “seandainya Soekarno hidup, ia pasti tidak akan membuat hal ini menjadi geger”.
[8] Muhammad Ilham, “Seks dan Kekuasaan : Cleopatra” dalam ilhamfadli.blogspot.com diungguh tanggal 13 Desember 2010.  
[9] http.://www.detiknews.com/kontroversipasalzina/html. diunggah tanggal 1 Desember 2010

[10] Kepintaran dan track-record Anggelina Sondakh bisa dilihat di http.://www.anggelinasondakh.com/. Tapi sayang, artikel-artikel buah pemikirannya tidak bisa didownload.
[11]  Istilah ini saya pinjam dari dialog pakar politik Ikrar Nusabakti di Metro TV pasca kemenangan Anas Urbaningrum jadi Ketua Umum Partai Demokrat.
[12]  Padahal Sultan Hamengkubowono X merupakan fungsionaris Partai Golkar, tapi kemenangan fenomenal Partai Demokrat hampir disemua propinsi di Indonesia (kecuali : Sulawesi Selatan, Bali dan Gorontalo) memperlihatkan bagaimana strategisnya posisi ketua umum Partai Demokrat.
[13] Dikutip bebas dari http.://www.detik.com/mengapaanggelinasondakhdianggap taklayak/ html  (berita tanggal 8 Desember 2010), diungguh tanggal 12 Desember 2010
[14] Disadur dari Muhammad Ilham,  Kumpulan Kliping 3 (tidak dipublikasikan)
[15] Lebih lanjut lihat Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra, 1999
[16] Lebih lanjut lihat Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Bagian II), terjemahan, Jakarta: PT. Gramedia, 1999

Tidak ada komentar: