
Walau tidak semuanya benar, tapi itu adalah realitas bentukan masa sekarang. Kebebasan dalam transformasi informasi ke publik, membuat "nasib" para politisi masa kini menjadi makhluk malang. Padahal banyak diantara mereka yang inspiratif, reflektif dan dedikatif. Pada sisi lain, tak semua politisi tempoe doeloe yang negarawan-cendekia. Banyak juga yang ultra-primordial, licik dan corrupt. Buktinya, Soekarno sampai membubarkan Konstituante karena sang "Putra Fajar" ini muak melihat akrobat dan primordialisme politisi masa itu. Tapi karena zaman teramat berbeda, primordialisme dan kelicikan politisi tempoe doeloe tidak tertransformasi secara sistemik kepada publik, dibandingkan dengan masa sekarang. Namun kalau lihat secara umum (tidak secara keseluruhan), ada perbedaan yang signifikan antara "kehidupan" para politisi tempoe doleloe dibandingkan dengan politisi masa sekarang. Aktifis politik tempo doeloe terdiri daripada figur-figur cendekiawan yang secara intelektual sangat artikulatif. Pada umumnya, mereka adalah aktifis yang sekaligus juga pemikir politik. Dalam diri mereka berpadu intelektualisme dan aktifisme secara integral. Karena itu tak salah bila curiculum vitae mereka dikenang oleh publik hingga sekarang "siapa" mereka dan "bagaimana" dialektika antara gagasan dan sepak terjang kepolitikannya. Sesuatu yang secara umum (sekali lagi, secara umum) tidak terlihat pada politisi masa sekarang.
Kemudian, politisi yang hidup pada episode masa A Decade of Ideology, diskursus intelektualisme di bidang politik diwakili sepenuhnya oleh para aktifis kepartaian itu sendiri. Herbert Feith & Lance Castel (ed.) dalam buku mereka yang terkenal, Indonesian Political Thinking 1945-1965 (sudah diterjemahkan) melihat bahwa kehidupan politisi tempo doeloe mencerminkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari pengamatan yang tajam dan penghayatan yang dalam tentang masyarakat mereka. Mereka, bukan hanya politisi tulen, tapi rauzan fikr - meminjam istilah sosiolog Iran Ali Shariati. Disitulah letak kekuatan mereka sehingga berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan original. Bung Karno, misalnya, dalam sejarah tidak hanya dikenal sebagai orator politik jempolan dan menggetarkan semata. Ia juga dikenal sebagai sosok cendekiawan yang memiliki pemikiran melalui karya-karya yang profokatif dan menggelora : Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi adalah dua contoh dari begitu banyak karya intelektual Soekarno. Demikian juga dengan Mohammad Hatta melalui karya reflektifnya : Indonesia Merdeka dan Kumpulan Karangan yang terdiri dari beberapa jilid. Dan jangan tanya tentang Tan Malaka. Masterpiece-nya Madilog - disamping beberapa karyanya yang lain seperti Pacar Merah Indonesia, Dari Penjara ke penjara, Aslia dan lain-lain - memperlihatkan kualitas intelektual sekaligus aktifitas politik Ibrahim Tan Malaka ini. Aktifis politik Islam seperti Mohammad Natsir juga dikenal dengan karya-karya visioner-nya seperti dua jilid Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologie, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs dan "seabrek" karya visioner-nya yang lain. Syafruddin Prawiranegara yang menulis Sistem Ekonomi Islam, HOS. Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme, Zainal Abidin Ahmad dengan Membentuk Negara Islam serta SH. Amin yang menulis Indonesia di Bawah Demokrasi Terpimpin. Singkatnya, sebutkanlah nama-nama aktifis politik tempo doeloe, hampir semuanya meninggalkan jejak politik dan intelektual yang mengagumkan. Publik mengenal mereka bukan semata-mata karena sepak terjang politiknya, akan tetapi juga melalui jejak-jejak dinamis gagasan dan pemikirannya, bahkan literal. Sesuatu yang (secara umum) tidak kita temui pada politisi masa sekarang.
"Apa beda politisi Indonesia zaman dulu dibandingkan dengan masa sekarang?" tanya seorang kawan saya sepulang dari musholla, maghrib tadi. Rasanya "hampir" terjawab. Setidaknya secara umum. Tapi memang, kehidupan dan langgam politik tergantung pada masanya. "....... mereka adalah politisi zaman" (meminjam dan mengimprove puisi Kahlil Gibran), adalah rumusan yang terkesan justifikasi, bisa menjawabnya. Atau bisa jadi apa yang diutarakan politisi vocal PKS - Fachri Hamzah - bisa pula menjawabnya dalam versi lain : "tugas politisi adalah bicara, dengan bicara itu kami dibayar".

"Apa beda politisi Indonesia zaman dulu dibandingkan dengan masa sekarang?" tanya seorang kawan saya sepulang dari musholla, maghrib tadi. Rasanya "hampir" terjawab. Setidaknya secara umum. Tapi memang, kehidupan dan langgam politik tergantung pada masanya. "....... mereka adalah politisi zaman" (meminjam dan mengimprove puisi Kahlil Gibran), adalah rumusan yang terkesan justifikasi, bisa menjawabnya. Atau bisa jadi apa yang diutarakan politisi vocal PKS - Fachri Hamzah - bisa pula menjawabnya dalam versi lain : "tugas politisi adalah bicara, dengan bicara itu kami dibayar".
Referensi : Herbert Feith & Lance Castle (1997, terjemahan), Hajriyanto Tohari (1999). Photo : politicalnetwork.com
1 komentar:
Pak Ilham, Memang menarik apa yang Pk Ilham tulis. Pada pandangan aku bila dikatakan politisi memang tidak ada beda dari sisi tugasan dan tanggungjawab. Yang mebedakan bukanya tempo doeloe ataupun kini tapi NIAT perjuangan masing masing politisi maupun yang di era dahulu atau diera kini.Kalau ada politisi sekarang yang korupt, yang dulu ada juga yang korupt.According to statistical analysis it is not wrong to conclude that politician are now more corrupted than their earlier predecessors.
Posting Komentar