Muhammad SAW., Muhammad SAW., tidak habis-habisnya kami memujimu. Betapa aku makin mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta ku padamu tak bisa dibendung oleh apapun. Dan seandainya cintaku ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah. Akan tetapi nampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu padamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, shalawat, lagu lagu ruhani yang memuja mujimu. Dalam keseharian kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain. Seperti juga kalau kami bersembahyang, shalat, Mi'raj , sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami nasing-masing. Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. We love you yet we dont really follow your way of life.. !
Muhammad, Muhammad. Engkau didatangkan untuk dijadikan agen rahmatan lil alamin, anugerah bagi seluruh alam. Bahwa Muhammad seorang Nabi dan Rosul, itu juga cuma urusan birokratik, ditugasi membawa amanah keselamatan, dengan juklak tertentu, misalnya “ Bilhikmati wa- lmau’idlati-lhasanah”. Muhammad bukan Nabi karbitan atau Nabi mendadak. Proses dari maqom Muhammad Manusia menuju Muhammad Nabi ia tempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia siapa saja. Ia berjuang untuk jujur, tekun, bersih, kerja keras, sehingga dijuluki Al-Amin. Ia terlibat sosial, kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, berjuang untuk mengembangkan wawasan wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya. Sampai usia 40 tahun, wawasan nya masih kurang, sehingga Tuhan bilang : IQRA, bacalah. Baca apa? Quran? Kan Quran belum ada, baru beberapa ayat pertama. Jadi bacalah problem disekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya bukan ini ARAB itu non ARAB, melainkan itu jahiliyah ini Islam, itu kebodohan, ini ilmu. Itu penindasan, ini perlawanan untuk keadilan. Itu Superioritas-inferioritas, ini kesamaan manusia di hadapan Allah. Itu monopoli ini distribusi. Itu kekuasaan manusia atas manusia, in pengabdian manusia kepada Allah langsung dan lewat sesama. Itu hidup untuk makan, ini makan untuk hidup. Itu akumulasi dan kerakusan, ini “ yang kupunya tinggal Allah”. Itu dominasi, ini Islam. Semua pengetahuan tentang nilai alternatif itu tidak datang “gratisan” dari Tuhan, melainkan “dibeli” olehnya dengan laku panjang dan sakit. Muhammad frustasi bertahun tahun sendirian di tengah zaman edan yang bisa menikamkan pedang kapan saja ke perutnya. Ia sendirian merenung di GUA HIRA, karena belum ada workshop, sarasehan atau seminar. Muhammad bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain yang hanya bersujud 17 kali, berpuasa lebih lapar, belajar tanpa buku, otodidak teladan. Itu semua tidak untuk cita-cita ke Araban, melainkan kemanusiaan dalam ke ILAHIAN. Tidak untuk obsesi “ ARAB UBER ALLES, melainkan internasionalisme dan Universalisme. Sesudah menggarap kepribadian sedemikian rupa Muhammad pun mulai mengkreatifi pokok pokok ajaran Quran, menggali dan mengembangkan metode metode perubahan sosial, perubahan masyarakat, perubahan sejarah. Diterapkannya metode sirri (tersembunyi), jahri (terang-terangan), usaha-usaha mengenali setiap entry point sosial kultural, mengorganisasi, koperasi, dan menerapkan konsep hijrah. Sesudah ia berhasil total merombak sejarah lingkungannya dalam waktu yang teramat singkat apalagi menurut takaran periode sejarah ketika itu yang tanpa komputer dan tanpa grand dan foundation manapun Muhammad tidak “ menguasai “ apa yang dihasilkannya. Muhammad tidak bertengger di singgasana Bapak Pembangunan Arab, tidak memonopoli perdagangan ke Syam, tidak punya perusahaan, dan tidak merancang sebukit pasir pun untuk makamnya.
Muhammad terus berjalan tetap melanjutkan perjuangannya untuk menjadi pribadi yang kuat dalam keimanan, kuat terhadap lapar dan haus, kuat memberikan apapun kepada keluarganya, kuat dalam berpakaian dan berharta pas-pasan, kuat dalam mempertahankan sifat mulia, jujur, bersahaja dan terpercaya. Ia seorang pejuang dan wakil rakyat yang bersedia terluka, kehidupan materilnya sama sekali tak berbeda dengan tetangga-tetangganya yang miskin, seorang pekerja keras dan pekerja kasar, sekaligus pemikir dan perenung, seorang yang tenggelam bersama orang banyak, sekaligus seorang sufi yang frekwensi ibadatnya tak alang kepalang. Hari itu, karena tak ada kurma atau roti sekeratpun, maka ia mengajak Aisyah istrinya untuk berpuasa. Muhammad lantas bersembahyang, berzikir, beristighfar, seharian. Namun menjelang sore ia kecapaian, dan tertidur di bawah pohon kurma, di atas sesobek daun yang membuat pipinya tergores-gores. Ibnu Mas’ud melintas dan terbengong bengong menyaksikan peristiwa ini. “ Ini orang menguasai seluruh jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini. Ibnu Mas’ud bermaksud mengambilkannya bantal, dan Muhammad pun menjawab, “ Apa yang bisa diperbuat oleh bantal? Aku ini musafir di tengah padang pasir gersang kehidupan dunia yang panas. Aku menjumpai sebuah pohon rindang, dan karena aku letih dan lelah, aku berteduh dan istirahat. Nanti kulanjutkan perjalanan untuk menemui Tuhanku.”
Jika segala nilai nilai dan makna hidup, segala konsep digali dan dikelola oleh manusia karena kualitas kepribadiannya, maka komitmen kebangsaan Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras atau geografi, bukan saja meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah “ bangsa” tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan nafsu ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam, melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam koridor “ laa ikraha fid-din”. Muhammad tidak pernah disebut kuno, meski kita punya Mercedes paling mutakhir, super komputer, serta segala jenis teknologi yang paling dibangga-banggakan. Setiap Masyarakat, setiap kelompok yang mengakui mencintaimu dan memasang besar besar spanduk yang mengiklankan kecintaan padamu, dan setiap orang mengagung-agungkannya. Muhammad tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman ultra modern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan “ Dewa”. Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa lahir dan lahir kembali. Memunculkan “dirinya” dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan.
Setiap saat disudut sudut bahkan diseantero Indonesia namamu dipanggil-panggil dan diagung-agungkan. Telah ribuan kali umatmu melakukan peringatan itu, setiap hari, minggu, setiap bulan, bahkan setiap tahun, tetapi lihatlah, umat Islam jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tak terlihat output personal maupun sosial dari proses perenungan tentang kekonsistenan. Acara peringatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi. Zaman telah mengubah kami, dan kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu pengetahuan dan teknologi kami makin dasyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu. Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju namun kami semakin tidak beriman. Kami semakin berkembang namun kami tidak semakin berihsan.sel-sel memuai, dedaunan memuai, pohon-pohon memuai, namun kesadaran kami tidak. Keinsafan kami tidak, cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar nya kebudayaan kami. Padahal engkau adalah penyelamat dan pembebas kemanusiaan. Engkau adalah moralis kelas utama dibandingkan kemunafikan kami. Engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding kan keprajuritan dan keserdaduan kepribadian kami. Engkau adalah mujahid pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama. Engkau adalah organisator dan manager yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami. Muhammad, Muhammad, pantaskah kami mengaku umatmu?
Sumber : (c) FB Yusuf Daud (cc) Nico V. Vargas (cc) Muhammad Ilham Fadli
Foto : www.luvislam.com