Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Tabuah (Ta'limat Budaya, Agama dan Sejarah Islam) Volume XIV Nomor 1 Tahun 2009/2010 yang diterbitkan oleh FIBA IAIN Padang.

Lalu apa kaitannya dengan tradisi merantau yang konon kabarnya menjadi salah satu ciri orang Minang? Merantau, walau istilah baru, tidak selama kisah raja-raja Minangkabau yang memerintah di negeri orang itu, tetapi dalam berbagai kurun waktu tetap hadir dengan berbagai nama atau istilah yang ditempelkan kepada tradisi hijrah ke negeri lain untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik itu.
Masyarakat Minangkabau menganggab manusia asal atau pribumi hanyalah orang yang pertama menduduki tempat itu. Orang yang pertama datang dan bermukim dari pengembaraan panjangnya. Tardisi hidup berpindah-pindah itu kemudian dalam kehidupan baru menjelma dalam bentuk tradisi merantau. Maka tersebutlah orang-orang sukses itu kerena dia merantau. Berani menghadang hidup keras dan memenangkan pertarungan dalam mengalahkan segala rintangan yang menghadang. Nama-nama perantau sukses itu diabadikan orang dan menjadi buah bibir oleh anak muda di kampung halamannya. Maka tersebut perantau-perantau itu sebagian kecilnya adalah Malewar dan Raja Kecil.
Timothy P. Bernard dalam tesisnya untuk meraih Master of Arts pada The College of Art and Science of Ohio University Amerika Serikat, (Maret 1991: 22) berkomentar tentang kesuksesan Raja Kecil dalam memamfaatkan mitos sebagai pendukung kesuksesan dalam merantau. Ia menyebutkan bahwa: “Mitos dalam Sejarah Melayu menghidangkan sebuah piagam bagi sistem politik dan inilah yang dimanipulasi Raja Kecil untuk mencapai tujuannya menguasai Johor. Kemampuannya mempengaruhi keadaan melalui motif-motif mitos oleh sarjana barat berkembang menjadi historiografi. Oleh karena pertentangan mitos dengan sejarah nampaknya tetap menjadi permasalahan dalam kajian teks-teks Melayu tradisional, muncul permasalahan pemahaman mengapa ia berbentuk demikian.”
Dengan demikian teranglah bagi kita bahwa tradisi merantau yang mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau bukan hanya tradisi “kemaren sore” atau tradisi baru karena telah “sempit” (susah) hidup di negeri sendiri. Tetapi merantau bagi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai sebuah cara untuk berkembangnya manusia di dunia dan tradisi ini telah ada semenjak leluhur nenek moyangnya. Seperti Maharaja Diraja anak Iskandar Zulkarnain yang merantau ke negeri yang kemudian bernama Minangkabau ini atau seperti merantaunya Malewar dan Raja Kecil ke tanah Melayu.
Dalam konteks diataslah – edisi Jurnal Tabuah kali ini menurunkan artikel kunci, dalam hal ini Nelmawarni melalui artikelnya tentang Merantau. Kandidat Ph.D Sejarah Sosial di FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia ini berusaha membedah faktor-faktor mengapa masyarakat Minangkabau menjadikan merantau sebagai “genuine tradition”-nya. “Walaupun tak baru, namun jalan harus selalu ditempuh”, demikian Tolstoy. Walaupun tulisan Nelmawarni yang dijadikan sebagai tulisan kunci TABUAH kali ini (karena tradisi ini sudah banyak ditulis para pakar), namun setidaknya, tulisan Nelmawarni tersebut berusaha melengkapi sisi-sisi “kosong” yang selama ini tidak terlengkapi oleh penulis-penulis atau peneliti tentang Merantau terdahahulu. Terlepas dari plus-minus artikel-artikel dalam TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini, keinginan untuk mentradisikan serta menumbuhkembangkan budaya tulis (sebagaimana yang menjadi spirit intelektualisme Islam Minangkabau), tetap terus dijaga. Semoga kehadiran TABUAH Volume XIV Nomor 1 ini bermanfaat dan menjadi bahagian “kecil” dari usaha besar menjaga peradaban ummat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar