Selasa, 10 Agustus 2010

Menjaga Bulir-Bulir Bernas Peradaban Islam : Sebuah Pengantar

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel ini merupakan Makalah Pengantar penulis untuk Jurnal Internasional Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 9 Tahun 2009/2010 yang diterbitkan olehJabatan Pengajian Agama dan Tamaddun Islam Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia, Selangor Darul Ehsan Malaysia dan FIBA IAIN Padang.

Peradaban ummat Islam pada masa dahulu pernah menjadi peradaban avant garde. Sumbu dan pusat sejarah terdepan ummat manusia pada masanya. Dan sejarah membuktikan, posisi terdepan peradaban ummat Islam tersebut muncul dengan gagah-berkualitas karena peradaban tersebut mampu menjadi wadah untuk bersemai dan berseminya bulir-bulir bernas intelektual, tanpa sekat, tanpa batas primordialisme maupun egoisme sektoral. Pada masa ini, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh sang filosof Muhammad Iqbal dalam khudi-nya bahwa peradaban Islam betul-betul merupakan peradaban universal dan tidak hanya terpaku kepada latar belakang munculnya ilmu tersebut. Pada masa tradisi Cordoba dan tradisi Baghdad, ilmu tidak memiliki nasionalisme. Sejak zaman Rasulullah SAW., peradaban Islam berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan pemikiran dan meluasnya wilayah teritorial kekuasaan politik ummat Islam. Salah satu letak keunikan peradaban Islam yang berpusat pada al-Qur’an tersebut adalah keberanian dan kedinamisannya untuk keluar dari “relung sunyi habitat sosial mereka” dan kemudian menyerbu untuk keluar dari keterbelakangan kebudayaan bangsa Arab yang hidup dan terisolir di “belantara” gurun-gurun pasir tandus-gersang dan kemudian mengambil apa yang yang dapat diambil dari peradaban-peradaban tua yang telah menyejarah dan berevolusi selama ribuan tahun.

Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan.
Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.

Dibelahan peradaban Islam Timur Tengah, ilmu pengetahuan berhasil berkembang pada masa Khalifah Al-Mansur, harun al-Rasyid dan al-Makmum. Pada masa al-Mansur amat berkembang ilmu bahasa dan kesusasteraan. Proyek penterjemahan dilakukan secara besar-besaran, terutama dari bahasa Pesia, India dan Yunani. Pada masa al-Mansur ini hidup Ibnu al-Muqaffa, pakar bahasa Arab dan Persia. Beliaulah yang menterjemahkan buku monumental Kalilah wa Deminah yang memuncak dalam cerita Seribu Satu Malam (1001 Malam). Ia juga menterjemahkan buku Shah Namah yang memuat cerita-cerita raja dan pahlawan-pahlawan Iran. Dibawah kepemimpinan al-Mansur yang liberal, faham rasionalisme muktazilah mendapat kesempatan untuk berkembang. Pada masa ini juga sarjana-sarjana Islam berkesempatan menyusun Hadits dan hukum Islam secara baik. Imam Abu Hanifah menyelesaikan sistem hukumnya pada masa kekuasaan al-Mansur, sedangkan Imam Maliki dan Syafei pada masa Harun al-Rasyid. Sedangkan dibawah al-Makmum dikenal adanya institusi yang menampung begitu banyak buku yang disebut dengan Baitul Hikmah. Di perpustakaan yang kaya dengan buku ini – konon koleksinya mendekati bahkan mungkin lebih 400.000 jilid buku – bekerja sarjana-sarjana dari berbagai ragam bangsa dan agama.

Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim da tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak. Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun.


Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan tidak mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, "penguasa Gurun Gobi" demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam. Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”.
Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.

Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi.
Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal.

Dalam konteks diataslah, spirit tematik artikel-artikel dalam Jurnal Fikr wa Adab Volume 5 Nomor 9 ini hadir. Beberapa artikel dari Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum, Dr. Zamri Arifin, Zanarita Abdul Malik, Prof. Dr. Maidir Harun dan Drs. Yulizal Yunus, M.Si bisa kita tempatkan. Artikel-artikel tersebut memberikan pencerahan historis kepada kita bahwa peradaban Islam pada masa dahulu telah mampu memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia, baik aspek ilmu pengetahuan maupun kesusasteraan…… dan kehadirannya hingga hari ini pantas untuk kita hayati dan terus dikembangkan. Sementara itu, Hetti Waluati Triana, Ph.D., Lisna Sandora, M.Pd. dan Suci Humairah, MA memperkenalkan sebuah studi kasus linguistic, threshold reality budaya, sejarah sosial dan sejarah hukum adat. Setidaknya, kehadiran dua artikel yang sangat bagus tersebut bisa memberikan komparasi antropologis bagi perhubungan akademik dua hala (Melayu-Minangkabau) untuk masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: