Sabtu, 10 April 2010

P.a.j.a.k

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam film sejarah perjuangan masyarakat Skotlandia yang dibintangi oleh Mell Gibson, Braveheart, ada sebuah penggalan dialog : "Siapakah Raja dan siapakah bandit ? ... kedua-duanya sama-sama selalu menodong rakyat untuk mendapatkan uang dan pajak, termasuk dengan jalan kekerasan dan represif. Penggalan dialog ini setidaknya mengingatkan kepada kita, bahwa sejak zaman "negara-tradisional" (yang dipersonifikasikan oleh raja), usaha negara untuk menghimpun dana lewat pajak, merupakan sesuatu yang sangat penting. Bila kita baca sejarah kerajaan-kerajaan tradisional masa lampau, begitu kuatnya usaha negara (kerajaan) tersebut mengumpulkan dana lewat pajak sehingga menimbulkan kesan kuat dalam masyarakat bahwa tugas negara (kerajaan) hanyalah satu : "mengumpulkan pajak". Dengan menggunakan perspektif historis, dapat dilihat perbedaan hakekat dan fungsi pajak pada kerajaan-kerajaan tradisional dan berbagai kesatuan politik masa lampau dengan negara-negara modern masa sekarang. Dalam kerajaan-kerajaan tradisional, pajak dianggap sebagai sebuah kewajiban yang dipaksakan, sewenang-wenang dan karena itu mereka sering menentangnya dalam berbagai bentuk gerakan protes ataupun perlawanan fisik. Bahkan untuk kasus kolonialisme di Hindia Belanda, sejarah mencatat begitu banyak perlawanan rakyat bermula atau tersebabkan oleh pajak (biasa diistilahkan dengan belasting). Gerakan perlawanan masyarakat ini sangat terasa sepanjang abad 18 dan 19 M. ketika pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan intervensi ekonomi dan politik ke dalam masyarakat tradisional Indonesia, terutama di Jawa (pernah dibahas secara elaboratif oleh sejarawan seperti H.J. de Graaft, Takashi Shiraishi dan Ongho Kham).

Dalam masyarakat tradisional (baca : kerajaan tradisional, termasuk zaman kolonial), pada prinsipnya masyarakat merasakan manfaat dari pungutan pajak yang dilakukan oleh negara (kerajaan), seumpama perlindungan terhadap keamanan, pembiayaan pemelihaaan bagunan-bangunan keagamaan dan seterusnya. Namun, karena tidak adanya birokrasi yang baik menyebabkan tanggungjawab keuangan dari kerajaan tradisional tersebut tidak memuaskan masyarakat, bahkan masyarakat sangat merasakan disparitas kesejahteraan yang ekstrim. Penyelewengan-penyelewengan merupakan cerita biasa dalam kerajaan-kerajaan tradisioanal bersangkutan dengan pajak ini. Tidak semua pajak yang dikumpulkan dari masyarkat digunakan untuk kepentingan negara atau rakyat. Bahkan seringkali sejarah mencatat, pajak yang dikumpulkan dari masyarakat tersebut justru digunakan untuk membangun istana raja nan mewah, memperbesar kemegahan raja dan dinastinya. Tentu ini menimbulkan protes kuat dari masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh sejarawan-sejarawan di atas. Revolusi Inggris pada abad ke 17 M., misalnya, merupakan refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap penggunaan uang oleh raja untuk membiayai kehidupan "foya-foya" di istana. Contoh lain, di China pada masa dinasti Ching (dinasti terakhir), pajak juga menjadi (salah satu) pemicu runtuhnya tradisi dinasti yang panjang di China. Karena dinasti Ching sering mengalami kekalahan dalam peperangan dengan Barat dan Jepang, maka pihak kerajaan mengambil kesimpulan bahwa permasalahan substansial dari kekalahan tersebut adalah karena peralatan militer yang sudah terbelakang. Maka diambil kebijakan untuk mengumpulkan pajak secara massif dari masyarakat dengan tujuan memodernisasi peralatan militer. Namun ketika pajak telah terkumpul dalam jumlah yang cukup banyak, uang pajak ini diselewengkan oleh ibu suri. Alih-alih memodernisasi peralatan militer Dinasti Ching, justru yang terjadi adalah ibu suri membangun sebuah istana nan-megah dari marmer disebuah danau yang asri. Tentu kebijakan ibu suri ini menimbulkan kemarahan rakyat yang berlanjut dengan gerakan ANTI PAJAK. Konsekuensinya, dinasti tidak lagi memiliki sumber pemasukan dan hal ini kemudian berakibat kepada "daya tahan" militer dinasti Ching yang makin lama makin keropos ..... (rasanya, apa yang terjadi belakangan ini, rumah-rumah nan mewah para pejabat dan pegawai pajak dengan gerakan ANTI PAJAK yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bisa ditempatkan dalam konteks ini).

Pada masa kerajaan tradisional dan masa kolonialisme, rakyat menganggap pajak merupakan suatu kewajiban yang dipaksakan, maka pada negara-negara modern dewasa ini, terdapat konsepsi lain tentang hakekat dan fungsi pajak. Pajak tidak lagi dipandang sebagai paksaan, melainkan bersifat kewajiban-kewajiban warga terhadap negara dan negara terhadap masyarakat (simbiosis mutualis). Dalam masyarakat modern, terdapat kesadaran ataupun sikap rasional bahwa pajak yang dikumpulkan negara ini penting untuk melindungi kepentingan masyarakat secara umum. Kesediaan warga negara untuk membayar pajak secara sukarela dalam negara-negara modern yang demokratis karena terdapat sebuah konsensus mutlak bahwa si pembayar pajak dapat mengontrol dan mempengaruhi proses penggunaan dana yang berasal dari pajak, sesuatu yang tidak didapatkan pada masa kerajaan-kerajaan tradisional atau masa kolonialisme. Mereka bisa memprotes bila menganggap negara mempergunakan dana pajak untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, apalagi protes massif karena penggunaan dana pajak yang menguntungkan segelintir orang, sebagaimana yang terlihat di Indonesia belakangan ini.

Tidak ada komentar: