Selasa, 02 Februari 2010

Anak-Anak Tengah Malam : Sebuah Sejarah Keluarga


Ditulis ulang : Muhammad Ilham


(Ditulis oleh salah seorang mahasiswa bimbingan saya ..... tepatnya mitra diskusi, dimana untuk beberapa hal, saya juga harus belajar padanya)

Pada tahun 1989, Imam Khomeini memfatwa mati Salman Rushdie. The Satanic Verses, novel penulis Mumbay itu, yang terbit setahun sebelumnya, membikin heboh dunia Islam. Novel itu dianggap melecehkan iman umat Muslim, mengolok-olok Tuhan dan rasulullah. Salman Rushdie kemudian ‘diburu’. Novel itu bahkan membunuh salah seorang penerjemahnya, seorang berkebangsaan Jepang, beberapa waktu setelah fatwa itu dikeluarkan Khomeini. Huh, tetapi tenang saja, novel ini berbeda dengan The Satanic Verses. Novel ini tak akan membikin iman saudara terancam. Hampir-hampir tak ada hujatan terhadap agama mana pun. Dan hampir-hampir tak ada olok-olok terhadap tuhan siapa pun.

Midnight’s Children sesungguhnya memiliki kisah yang sederhana, kisah seorang penulis Mumbay bernama Saleem Sinai yang menghabiskan hari-harinya ‘bekerja’ menulis (mungkin) novel di apartemennya. Dia ditemani pembaca dan komentator pertamanya, seorang ‘juru masak’, seorang ‘pengasuh’nya bernama Padma. Lewat Salem Sinai, kisah-kisah dalam novel ini dituturkan, digelindingkan, dari suatu masa ke masa berikutnya, dari satu peristiwa ke perisitwa lain. Berbagai topik disinggung dan berbagai mitos didedahkan. Mula-mula, kisah dalam novel ini melesat ke tahun 1912, ke kisah Aazam Aziz, seorang dokter barat modern pertama di lembah subur Khasmir. Dokter Aziz menjalani kisah unik menemukan cintanya pada seorang perempuan hampir fanatik yang selalu sakit-sakitan bernama Naseem Ghani, anak seorang tuan tanah Khasmiri. Dokter Aziz, diminta untuk mengobati Naseem, tetapi perempuan itu tak boleh dipandangi atau disentuh. ‘Seprei bolong’ lalu dijadikan strategi, tabir yang membatasi antara pasien dengan sang dokter. Di bagian mana dari tubuh si pasien yang sakit, ke arah bagian itulah bolongan seprei ditujukan. Hingga dokter dan pasiennya saling jatuh cinta. Mereka lalu menikah dan pindah ke kota suci Amritsar. Di titik inilah sejarah baru sebuah keluarga dimulai.

Pasangan itu, seiring perjalanan waktu, melahirkan bebarapa orang anak. Salah seorang dari mereka, Amina Sinai, setelah menjadi gadis besar, menikah dengan seorang pedagang kulit yang tinggal di Bombay, Ahmed Sinai. Dari pasangan inilah Saleem Sinai (si pusat cerita), lahir. Tetapi tunggu, Saleem Sinai sebenarnya bukan anak kandung dari pasangan itu. Mary Pereira, pembantu keluarga itu, melakukan dosa abadinya dengan menukar nama pada keranda bayi di rumah sakit. Saleem Sinai, Anak Tengah Malam, lahir tepat tengah malam di hari India memproklamirkan kemerdekaan. Dia mendapat ucapan selamat dari Nehru, Bapak Bangsa India. Dan seperti semua anak India yang lahir tengah malam di hari kemerdekaan itu, Saleem dianugrahi keajaiban: khusus untuk Saleem, ia bisa membaca pikiran manusia, menelurusi lorong-lorong tersembunyi yang tersimpan di otak manusia; ia memiliki kemampuan telepati lewat hidungnya yang penuh ingus, seperti Samson yang kuat karena bulu di kepalanya. Dan di kemudian hari, ketika hidung beringusnya telah disembuhkan, kemampuan itu pun lenyap, tetapi digantikan oleh kemampuan mengendus tiada tara.

Pada diri Saleem Sinai inilah cerita dalam novel ini memusar dan membentuk jejaring. Sejak kelahiran Saleem Sinan, kisah-kisah ‘ajaib’ meletus bagai kembang api menyertai perjalanan usianya. Bagaimana dia memaknai dirinya sebagai anak tengah malam, terlibat kisah cinta-anak-anak dengan Evie Burns seorang anak Amerika, belajar bersepeda dan menabrak kerumunan ‘demontrasi bahasa’, dan di usia mendekati sebelas tahun, rahasia bahwa dia bukan darah dan daging dari Amina Sinai terbongkar. Tetapi cinta tampaknya tak bisa memisahkan keluarga itu. Lalu di usia remaja Saleem, keluarga itu mengungsi ke Pakistan meninggalkan ayah angkatnya yang semakin dikuasai jin-jin alkoholik. Salem terlibat merencanakan kudeta militer di Pakistan, dan kembali ke India ketika ayah angkatnya hampir meninggal karena jantung yang membeku. Dan ketika usianya mendekati 16 tahun, Saleem dan keluarganya benar-benar memutuskan ‘menyeberang’ ke Pakistan untuk selama-lamanya, hidup di tengah orang-orang muslim yang sepenuhnya ‘murni’, ‘fanatik’, berbeda dengan masyarakat muslim kota asalnya (Mumbay, sebelum itu Bombay) yang ‘tak begitu patuh’. Peristiwa-peristiwa berjumpalitan dalam novel ini, melambung jauh ke awal abad ke 20, lalu ke tahun 1947 tahun kemerdekaan India, lalu ke tahun 1956 ketika Saleem Sinai berusia sepuluh tahun, lalu ke tahun 1961 ketika China dan India terlibat perang di perbatasan dan demam optimisme melanda hampir seluruh India, lalu tiba ke kehidupan Saleem Sinai masa ‘sekarang’ saat umurnya 30 tahun, saat dia menulis kisah keluarganya, ketika dia sulit membedakan dunia fiktif dan nyata, penyakit ‘burung yang tak bisa berdiri’, kehidupan keluarganya yang berantakan akibat kesuntukannya pada tulisannya….

Peristiwa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini bergerak di antara peristiwa-peristiwa besar dan bersejarah; novel ini seperti betul-betul diikatkan kepada benang sejarah bangsa-bangsa: India yang tercerai oleh berbagai praktisi dan kekacauan politik tak berkesudahan, lahirnya Pakistan, Banglades, perang India-Pakistan. Dan Saleem Sinai seperti refleksi dari perjalanan hidup bangsanya: Allah orang muslim yang bersengketa dengan dewa Hindu; mitos-mitos India kuno; Anglo-Saxon merebut tanah Hindustan dari sultan-sultan Mughal yang tambun; kelahiran India dan kemerdekaannya dari Inggris; konsep Dua Negara atau ‘Negara yang Murni’ yang dicetuskan Muhamad Ali Jinnah yang kemudian melahirkan Pakistan; migrasi besar-besaran muslim India ke negara baru penyair besar Islam Muhamad Iqbal; kematian Gandi; lalu tentang danau hijau di lembah Kasmir yang indah, lalu Mumbay, lalu kota suci Amritsar, lalu Gujarat, kota-kota yang luluh-lantak oleh perang agama yang panjang. Dalam lingkaran peristiwa sejarah seperti inilah peristiwa-peristiwa dalam novel ini bergerak dan tokoh-tokohnya berada, memaknai dirinya baik sebagai Islam, Hindu, Kristen, atau seseorang (seperti Dokter Aziz) yang trauma dengan tuhan agama-agama sehingga memproklamirkan diri atheis.

Membaca novel ini, kita seakan diajak ‘menyusun’ fragmen demi fragmen hidup seseorang, seseorang lagi, dan lagi. Begitu banyak tokoh yang hadir, kadang muncul seperti sembraut benang kusut tak terselesaikan. Fragmen-fragmen itu kadang seperti minta kita susun untuk mendapatkan suatu gambaran dan makna hidup yang utuh-lengkap—atau bisa jadi tidak, cukup kita ikuti saja alir novel ini ke mana membawa. Sebagai penutup, novel ini, huh, tentang sebuah sejarah keluarga; kelahiran, kematian, maju, dan mundur orang per orang dalam sebuah keluarga besar di tengah perubahan-perubahan besar yang terjadi di sekitar mereka. Selamat membaca!

(c) Deddy Arsa

1 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus bos ceritanya..by paijo