
Masih segar dan cukup menarik sekali bila melihat dan tangkap “kesan-kesan” yang kita pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2009 yang lalu. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg. Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat. Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja. Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.
“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap anak bangsa kal itu. Indonesia merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik. Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian, kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya, mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar