Sabtu, 27 Februari 2010

Konflik dan Tatanan Sosial

Oleh : Muhammad Ilham

Seorang peneliti Hoover Institute, Larry Diamond, pernah mengatakan bahwa paradoks utama demokrasi hadir dalam bentuk konflik dan konsensus. Demokrasi bagi Diamond dalam berbagai hal, tidak hanya seperangkat aturan-aturan untuk menata konflik. Konflik tersebut haruslah "ditata" dalam batasan-batasan tertentu sehingga menghasilkan konsensus, kesepakatan-kesepakatan dan kompromi yang diterima secara "legitimate". Dalam konteks ini, nampaknya Diamond memandang sebuah demokrasi dibangun dari unsur-unsur konflik, kompromi atau kesepakatan. Semua unsur harus mendapat perhatian yang proporsional ketika persamaan akan diterjemahkan maknanya. Jika sebagian masyarakat menganggap demokrasi sebagai tidak lebih dari sekadar sebuah forum dimana mereka dapat mendesakkan tuntutannya, tatanan masyarakat demokratis dapat hancur dari dalam. Namun, jika negara menggunakan tekanan untuk mencapai konsensus atau cara lain dalam membungkam suara-suara rakyat, hal ini merupakan penghancuran masyarakat dari atas.

Konflik diyakini sebagai suatu fakta utama dalam masyarakat, baik itu masyarakat agraris maupun masyarakat modern. Konflik lebih banyak difahami sebagai keadaan tidak berfungsinya, komponen-komponen masyarakat sebagaimana mestinya atau gejala penyakit dalam masyarakat yang terintegrasi secara tidak sempurna. Tetapi, secara empiris, tidak diakui karena, orang lebih memilih stabilitas sebagai hakikat masyarakat. Sebaliknya konfik mempunyai fungsi-fungsi positif, salah satunya ialah mengurangi ketegangan tersebut tidak bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Salah satu fungsi tersebut ialah berdampak kepada penyegaran pada sistem sosial. Konflik memang tidak mengubah sistem sosial itu sendiri, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan dalam sistem. Sehingga dengan keberadaan konflik tersebut berimplikasi terhadap sistem tersebut, yakni sistem akan lebih sedikit efektif dari sebelumnya.

Charles Watkins yang memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat dua hal. Konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat. Secara potensial artinya, mereka memiliki kemampuan untuk menghambat. Secara praktis/operasional maksudnya kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada didalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah. Artinya, bila kedua belah pihak tidak dapat menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak akan terjadi. Konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan mencapainya. Dalam politik, konflik dan integrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Konflik mempunyai hubungan yang erat dengan proses integrasi. Hubungan ini disebabkan karena dalam proses integrasi terdapat sebuah proses disoraganisasi dan disintegrasi. Dalam proses disorganisasi terjadi perbedaan faham tentang tujuan kelompok sosialnya, tentang norma-norma sosial yang hendak diubah, serta tentang tindakan didalam masyarakat. Apabila tidak terdapat tindakan dalam menghadapi perbedaan ini, maka dengan sendirinya langkah pertama menuju disintegrasi terjadi. Jadi, disorganisasi terjadi apabila perbedaan atau jarak antara tujuan sosial dan pelaksanaan terlalu besar. Suatu kelompok sosial selalu dipengaruhi oleh beberpa faktor, maka pertentangan atau konflik akan berkisar pada penyesuaian diri ataupun penolakan dari faktor-faktor sosial tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yang menuju integrasi tersebut ialah tujuan dari kelompok, sistem sosialnya, tindakan sosialnya.

Di dalam komunitas manusia yang besar, terutama di dalam negara modern, pertikaian politik dilancarkan antara organisasi-organisasi. Organisasi-organisasi ini kelompok-kelompok yang berstruktur, dengan kemampuan artikulasi, dan hirarkis, terutama terlatih bagi perjuangan merebut kekuasaan. Hakikat organisatoris dari kekuatan- kekuatan sosial ini adalah fakta yang fundamental dari kehidupan politik masa kini. Tentu saja, ada selalu sejumlah organisasi kekuatan-kekuatan sosial yang bersungguh-sungguh pada aksi politik, akan tetapi selama seratus tahun terakhir, teknik organisasi kolektif dan metode memasukkan orang ke dalam kelompok aksi kolektif telah sangat disempurnakan. Wajah yang sungguh asli dari perjuangan politik sekarang bukanlah bahwa dia terjadi antar organisasi, akan tetapi karena organisasi ini begitu rapi dikembangkan. Salah satu alat strategi yang digunakan dalam setiap jenis rezim ialah kamuflase. Kamuflase merupakan upaya untuk menyembunyikan tujuan-tujuan yang sebenarnya dan motif-motif aksi politik yang sebenarnya di balik tujuan dan motif yang semu yang lebih populer, dan karena itu, mengambil keuntungan dari dukungan rakyat yang lebih besar. Alat ini dipakai oleh individu-individu, partai-partai, dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam perjuangannya untuk memenangkan atau mempengaruhi kekuasaan. Dia juga dipakai oleh pemerintah untuk memperoleh kepatuhan dari para warga dan untuk mengembangkan integrasi sosial dan politik yang nyata. Kamuflase mempunyai beberapa bentuk diantaranya ialah teknik kamuflase yang paling biasa adalah menutupi suatu tujuan yang kurang terhormat di balik sesuatu yang lebih terhormat dalam hu-bungan dengan sistem nilai dari suatu masyarakat tertentu. Teknik lain dalam kamuflase adalah membuat kasak-kusuk terhadap sebagian besar penduduk bahwa kepentingannya berada dalam ancaman, sedangkan isu tersebut hanya menyangkut kepentingan pribadi dari sebuah minoritas yang kecil

Tidak ada komentar: