Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Kafeel Yamin
|
(c) erepublik.com |
Suatu saat saya menerima kiriman tautan-tautan dari seorang fesbuker
yang tak saya kenal, ke inbox. Tautan-tautan itu terhubung kepada
situs-situs yang mempromosikan Aceh merdeka, di penuhi foto-foto para
demonstran di Eropa yang membawa spanduk menuntut berpisah dari NKRI. “Aceh mau pisah dari NKRI?” tanya saya, yang langsung dia jawab: “Tak
ada bukti hitam diatas putih (Referendum) kalau Aceh bersatu dengan
NKRI. Aceh bisa hidup tanpa NKRI tapi NKRI tdk bisa hidup tanpa Aceh.” Saya
bilang Juga tidak ada bukti hitam di atas putih kalau Sumatra Utara,
Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Timur, Bali, bersatu dengan NKRI.
Tapi faktanya bersatu karena kehendak bersama. Tidak semua integritas nasional ditentukan oleh referendum. Negara-negara bagian di AS masuk The United States of America tidak melalui referendum, tapi kehendak bersama semua negara bagian.
Saya
bilang anda itu hidup dengan pikiran negatif. Aceh sekarang sudah
merdeka. Semua kekuasaan pemda dipegang orang Aceh. Royalti
perusahaan-perusahaan masuk ke pemda Aceh. Orang Aceh sebagai individu
pun lebih merdeka daripada anda yang dipenjara oleh pikiran sendiri.
Orang
Aceh bisa pergi ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan
usaha. Anak-anak bisa sekolah. Pendeknya, tak ada yang menghambat orang
Aceh untuk maju dan berkembang.
Sebagaian orang Papua
berpikir sama: Pepera itu tidak sah. Papua bukan bagian dari NKRI.
Sejarah, budaya, ras, berbeda dengan ‘NKRI’. Dan yang mereka maksud NKRI
itu Jawa. Mereka ‘berjuang’ untuk lepas dari NKRI yang penjajah dan
penindas.
Papua sekarang adalah kawasan paling merdeka
dan otonom. Seluruh pejabat provinsi, kabupaten, anggota DPRD adalah
orang Papua. Dana Otsus [Otonomi Khusus] Papua paling besar: 30 trilyun
rupiah per tahun, sementara jumlah penduduknya paling sedikit: tak
sampai 3 juta. Tapi kebanyakan dari dana-dana itu dikorupsi orang Papua
sendiri.
Seorang Papua berkomentar: “Di seluruh dunia,
kelompok minoritas yang berambut kriting seperti kita ini, orang papua
yg paling maju dan paling hebat. jadi harus disyukuri..”
Tentu,
yang mengembangkan sikap dan cara pandang negatif ini bukan hanya orang
Aceh atau Papua, juga orang-orang dari negara ‘maju’: Australia, New
Zealand, Belanda, Inggris, Swedia, Amerika. Mereka menggosok-gosok kaum
pribumi supaya lepas dari negaranya dan mereka bantu mencari dukungan
internasional.
Padahal, dengan cara pandang itu, orang-orang kulit
putih harus angkat kaki dari benua Amerika, Australia, Selandia Baru,
Afrika Selatan. Itu semua penjarahan yang sangat telanjang. Genosida
asli. Bahkan di Tasmania, Selatan Australia, seluruh penduduk asli
Tasmania dibantai habis. Punah sama sekali. Prinsip-prinsip dasar dan
konvensi Hak Asasi Manusia bisa berlaku surut. Dan kalo itu dilakukan,
perang dan konflik tak berkesudahan.
Bagaimana dengan kelompok
keagamaan? Sama: ada kelompok Islam yang ‘berjuang’ mendirikan
kekhalifahan di Indonesia. Mereka pun mengembangkan sikap negatif: NKRI
itu sekuler, Pancasila itu batil, pemerintah itu togut. Pokok jahat bin
biadab.
Saya tanya salah seorang dari mereka: “coba
sebutkan satu saja perintah Allah dan Rasul-Nya yang tak bisa
dilaksanakan di Indonesia.”
Tidak ada. Semua orang bisa
melaksanakan ajaran agamanya dengan leluasa. Tentu buka ajaran Islam
bila mendesakkan syari’ah jadi hukum negara, karena Allah dan rasul-Nya
melarang pemaksaan dalam agama.
Ada juga kelompok Nasrani yang
selalu merasa ‘dimusuhi’ di mana-mana di Indonesia ini, terutama oleh
kelompok Islam yang radikal, yang jumlahnya tak sampai 20persen dari
ummat Islam Indonesia keseluruhan.
Bila di tempat permukiman kaum
Islam radikal didirikan gereja, hampir bisa dipastikan menimbulkan
konflik — apalagi bila dipaksakan.
Bila yang demikian
terjadi, mereka beranggapan bahwa ‘ummat Islam’ menentang pendirian
gereja, tidak toleran. Padahal, berkali-kali lipat pendirian gereja
berjalan mulus tanpa konflik.
Ironisnya, agama yang menekankan sikap positif dan toleran justru sering menjadi sumber sikap bermusuhan dan kebencian.
Ironisnya
lagi, kekerasan berdasarkan agama itu sering timbul antar kelompok
dalam satu agama: seperti syi’ah dan sunni, wahabi dan syi’ah. Bahkan
dalam satu gereja HKBP jama’ah saling berseteru.
Mayoritas
kita kehilangan sikap positif dan kemampuan bersyukur. Betapa banyak
yang ‘wajib’ disyukuri dari Indonesia, tapi kita hanya tertarik kepada
yang negatif-negatifnya. Kita pun kehilangan kemampuan menghargai
prestasi para pendahulu, kita lebih pandai mengorek-orek kesalahan dan
cacat mereka. Soekarno bagi Soeharto adalah ‘penyelewengan dari
Pancasila dan UUD-45’, Soeharto bagi kaum reformis adalah tiran penindas
dan pembunuh; dan seterusnya. Setiap ganti kekuasaan, penguasa baru
menghabisi program-program penguasa sebelumnya, termasuk yang baik-baik.
Padahal, tak ada yang sempurna dalam sejarah.
Bukan
berarti NKRI sekarang sudah sempurna, tapi ia harus dibangun, dibenahi,
dire-orientasi di atas kebersihan dan kesucian jiwa. Utopis ya?
Merahnya
darah NKRI bertumpu di atas putihnya kalbu manusia Indonesia. Warna
putih itu kini agak kelam, dia harus dibersihkan kembali. Dan…tetaplah
NKRI.