Kamis, 01 November 2012

Dusta Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Malam kemaren, saya menonton MATA NAJWA di METRO TV, menghadirkan Marzuki Ali (Ketua DPR-RI) & Dahlan Iskan (Meneg. BUMN). Topik yang dibahas, rasanya semua masyarakat Indonesia sudah tahu, karena topik tersebut sedang menjadi "darling-issue" - "kongkalingkong DPR/DPRD dengan eksekutif". Bahkan judul yang diblow-up (bahkan) lebih ekstrim, "DPR si Pemeras". Saya tidak ingin membahas bagaimana jalannya diskusi yang menurut saya sangat objektif, maklum, Dahlan Iskan dihadapkan face to face dengan Ketua DPR-RI Marzuki Ali. Saya hanya teringat dengan Hannah Arendt yang mengatakan :

"Barangsiapa tidak menghendaki apa-apa selain mengatakan kebenaran, berdiri di luar pertarungan politis”.

Pernyataan Hannah Arendt dalam Wahrheit und Lüge in der Politik ini sangat dimengerti oleh para politikus. Kejujuran tidak pernah menjadi keutamaan politis. Untuk menutupi celah antara pernyataan dan kenyataannya, politikus tidak memberi kebenaran, tetapi pembenaran. Karena memang demikianlah... TAKDIR politik. Sejak politik dipikirkan, dusta dalam politik sudah mendapat alasannya. Dalam buku kedua The Republic, Plato membenarkan dusta demi kepentingan umum. Dusta kuasa berfungsi—katakanlah—sebagai obat penangkal bahaya sebagaimana dokter juga tidak mengatakan yang sebenarnya agar semangat hidup pasiennya tetap ada. Demi stabilitas negara, dalam krisis yang mengadang, berdusta kepada rakyat tampaknya lebih bermanfaat daripada mengatakan kebenaran. ”Dusta mulia” atau noble lie—demikian sebutan Plato—lalu diizinkan karena memiliki tujuan ”mulia”. Tapi benarkah "tujuan mulia?" ..... (selanjutnya : mari kita menonton dusta-dusta)

Catatan Tambahan : 
Headline hari ini : "Dahlan Iskan dan Dipo Alam mengatakan agar Kementerian dan pihak BUMN jangan kongkalingkong dengan anggota DPR". Beberapa anggota DPR, meradang-marah, dan ada yang berkata : "Pak Dahlan Iskan, tunjuk hidung anggota DPR yang suka memeras, jangan main tuduh saja".

 _____ (lalu) saya berfikir : Berani nggak anggota DPR, walau hanya beberapa orang berkata, "sayalah orangnya" !!. Atau sesama anggota DPR saling menunjuk "belang" kawan mereka masing-masing. Itu baru  "Macho" namanya !!

Referensi : Hannah Arendt, cc. Ramlan Surbakti (1999) & detik.com