Kamis, 10 Mei 2012

"Menggugat" Kartini

Oleh : Muhammad Ilham   

Artikel ini dipubish di padangmedia.com yang merupakan tanggapan dari artikel  Arjuna Nusantara "Jangan Jadi Kartini" di rubrik Opini Harian Padang Ekspres 23/4/2012       

“Jangan Tiru Kartini”, kata Arjuna Nusantara dalam artikelnya di Padang Ekspres 23 April 2012 yang lalu. Memanfaatkan momentum Hari Kartini 21 April 2012, pimpinan Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang ini, ingin “menggugat”  keabsahan figur Kartini sebagai icon emansipasi wanita Indonesia. Bahkan sedikit profokatif – “Kartini Anak Manja lagi tak tahu secara baik tentang agama (Islam)”, lanjut Arjuna. Arjuna tidak salah. Ia sedang mempraktekkan apa yang dikemukakan oleh filosof Karl R. Popper, “cari angsa putih dalam kerumunan angsa yang semuanya hitam, agar ilmu makin berkembang”.  “Jangan Tiru Kartini” adalah bagian dari mempertanyakan kehadiran sosok historis  Kartini ditengah-tengah konsensus anak bangsa yang mendudukkan Kartini sebagai icon emansipasi wanita Indonesia.  Bagi saya, mempertanyakan justru membuat sosok historis Kartini menjadi lebih “hidup”. Ketika  “si putri sejati”  ini dipualam-kan, di-prasasti-kan bahkan dimitoskan, ia akan menjadi kerdil. Kita tidak lagi mengetahui proses, langgam dan latar perjuangannya yang menjadi nilai-nilai inspiring bagi generasi berikutnya. Dalam konteks ini, seharusnya artikel “Jangan Tiru Kartini” kita tempatkan.  Namun mengkerdilkan kehadiran  seorang figur historis, tanpa memahami proses, langgam dan latar dimana figur itu hidup dan berproses, rasanya juga tidak adil. Melihat Kartini dari “kacamata” Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi Cut Nya’ Dien yang maskulin itu, (sekali lagi) rasanya juga tidak adil. Dalam konteks ini pula, kita juga ingin mengkritisi pandangan-pandangan yang selama ini menggugat keabsahan posisi historis Kartini.      

Catatan sejarah memang memperkatakan Kartini demikian adanya. Ia tampil dalam panggung sejarah, tidak seperti  Rohana Kudus, Rahmah el-Yunusiyyah, Rasuna Said ataupun semaskulin Cut Nya’ Dien.   Bak kata salah seorang sejarawan,  “wanita yang emansipatoris itu, bukan wanita lembut diam di rumah, wanita santun, ramah penurut, tapi wanita yang tegas lagi kritikal”. Kalau defenisi ini yang ingin kita pegang, nampaknya Kartini tak masuk kategori pionir wanita emansipatoris. Siti Manggopoh, Cut Nya’ Dien atau Rasuna Said, adalah contoh yang paling pas.  Tapi seperti itukah kita melihatnya ? Untuk itu, saya mulai dengan contoh lain, tentang Soekarno - Hatta.  Kalau Soekarno hidup pada era sekarang nan kritis ini, tentu Soekarno akan dicela-sinis bahwa masyarakat tidak akan "kenyang" dengan pidato menggelora. Tapi karena Soekarno hidup pada "zamannya", masyarakat Indonesia menjadi terkesima pada seorang orator ulung. Konon, sejarawan, tepatnya biografer, spesialis Soekarno - Cyndi Adams - begitu terkesima dengan "langgam" kata indah nan menggelegar Putra Ida Ayu Rai ini. Soekarno memang ditakdirkan punya kemampuan olah verbal luar biasa. Ia ekspressionis seperti Hitler yang "bergetar" kala pidato di depan Gestapo. Soekarno diterima dengan hangat melalui pidatonya dan hingga sekarang masih inspiratif itu, karena memang ia hidup pada masa teknologi audio-visual (lagi) absen. Ini menyebabkan pesan-pesan politik berlangsung secara lisan, karena itu-lah tokoh yang muncul megah-meriah dihadapan rakyat adalah para singa podium. Karena itu pula-lah, Soekarno bisa menggeser posisi Hatta yang "dingin" serta "rasional", bahkan di kampung halamannya sendiri. Lihatlah, bagaimana kedatangan Soekarno ke Sumatera Barat (kala itu : Sumatera Tengah) disambut dengan gegap gempita. Kedatangannya membawa pesan pada masyarakat Minangkabau kala itu, sebuah kehadiran "pidato" luar biasa.   

Fachry Ali pernah menukilkan dalam sebuah artikelnya dengan mengutip laporan "pandangan mata" Kedaulatan Ra'jat tanggal 7 Juni 1948. "Satu kilometer menjelang Solok, penyambutan rakyat luar biasa meriahnya. Sesampai di kota, rombongan Presiden Soekarno tenggelam dalam lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Mereka menantikan pidato luar biasa dari seorang Presiden yang dikenal sebagai ahli pidato". Sambutan spontan luar biasa, jauh dari Tanah Jawa, yang membuktikan bahwa Soekarno milik "semua tanah" Indonesia. Hatta yang rasional dan dingin itu tak disambut segempita Soekarno. Bahkan tokoh proklamator yang oleh Michael Vatikiotis dianggap sebagai "Ayam Gadang Minangkabau" ini dianggap terlampau rasional pada masa itu. Seandainyalah Hatta hidup pada masa sekarang yang lebih mengedepankan rasionalitas dan moralitas, tentu ia akan disambut gegap gempita, oleh ranah sosial politik Indonesia sekarang. Bukan pidato menggelora. Sayang Hatta hidup pada masa dulu.   

Dalam konteks di atas, Kartini juga harus kita tempatkan pada ranah sosial budayanya. Ia hidup dalam masyarakat tipikal feodal murni. Bukan hidup dalam ranah haru biru konflik-peperangan Aceh yang melahirkan Cut Nya’ Dien.  Atau ranah dinamika-dialektik  a-la Minangkabau yang memunculkan Rohana Kudus, Rahmah el Yunusiyyah, atau Rasuna Said.  Rohana Kudus, misalnya,  memiliki kesempatan untuk berkiprah dalam dunia yang dianggap sebagai “dunia laki-laki” pada masanya, dunia pendidikan dan pers. Alam budaya Minangkabau pada masa itu membolehkan dan memungkinkan  Rasuna Said, saudara perempuan satu ayah Sutan Syarir ini,  berbuat demikian.  Rohana Kudus  anak Moehammad Rasjad Maharadja Soetan yang Jaksa itu, memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School. Ia berasal dari keluarga terpandang-terdidik, dan besar kemungkinan memiliki “DNA pergerakan”.  Demikian juga halnya dengan Rahmah el-Yunusiyyah yang hidup dalam era “keemasan” dunia pendidikan Minangkabau awal abad ke 19, dengan epicentrumnya Padang Panjang. Saudara laki-lakinya, Zainuddin Labay el-Yunussiy, dikenal sebagai pionir-penggagas lembaga pendidikan modern pada masanya, adalah mentor Rahmah.  Dan, amat tidak mengherankan apabila pendiri Diniyyah Schooll ini, berkiprah total mengikuti jejak dan “langgam” mentornya pula. Sementara Cut Nya’ Dien, tidak akan mungkin tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pemimpin perang Aceh yang heroik, apabila kita tidak memahami kondisi historis dan sosial cultural masyarakat Aceh masa itu. Cut Nya’ Dien ditempa oleh “masanya” untuk harus mengangkat pedang dan senjata melawan colonial Belanda. Ia tidak dibesarkan dalam lingkungan “emas dunia pendidikan” Padang Panjang dan tidak memiliki mentor seumpama Zainuddin Labay el-Yunusiyy. Cut Nya’ Dien ditempa oleh mentor tipe lain, suaminya, Teuku Umar Johan Pahlawan dan aura Hikayat Perang Sabil yang menggetarkan.   

Karena itulah, memahami Kartini, dan kemudian membandingkannya dengan Rahmah el Yunusiyyah, Rohana Kudus apalagi dengan Cut Nya’ Dien, sepertinya membandingkan Soekarno dengan Hatta pada masanya. Kartini harus kita tempatkan dalam nilai-nilai feodal masyarakat Jawa pada awal abad ke-19 tersebut.  Dalam kungkungan budaya feodal itulah, Kartini justru memiliki kepedulian besar terhadap kaumnya, walaupun itu hanya terefleksi dalam surat-suratnya dengan Stella Zeehenlander yang fenomenal itu. Surat-surat yang luar biasa inspiratif. Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Bila dibandingkan Cut Nya’ Dien yang berperang ataupun Rahmah yang mendirikan sekolah, tentu “bobot” kiprah Kartini bias dipertanyakan. Apalah daya surat menyurat itu ?.   

Saya teringat dengan Karl Marx, bahwa  “Kebenaran sebuah teori bukan terletak pada betul atau tidaknya teori tersebut dari aspek ilmu pengetahuan, akan tetapi terletak pada apakah teori itu menggerakkan orang untuk melakukan perubahan atau tidak". Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda), surat-surat Kartini telah mampu menjadi “penggerak” dan  menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda.  Surat-surat Kartini bukanlah surat-surat biasa sebagaimana halnya dalam sejarah, kita juga mengenal adanya foto yang juga menjadi corong dan perubah pergerakan sejarah ummat manusia.  Perang Vietnam “berakhir”, setelah dipublishnya foto Eddie Adams (fotographer Associated Press)  yang “memberitakan” Jenderal Nguyen Ngoc Loan, kepala kepolisian Vietnam Selatan menembak kepala seorang komandan gerilyawan vietkong. Foto Eddie Adams tersebut hanyalah satu, oleh seorang wartawan yang tidak memiliki daya tawar tinggi seperti Presiden Amerika Serikat kala itu – Nixon.  Eddie Adams memperoleh penghargaan jurnalisme tertinggi, Pulitzer, lewat foto yang diambilnya ini. Namun lebih dari itu, foto ini mengubah opini masyarakat Amerika terhadap Perang Vietnam, memicu gerakan anti perang dan menginspirasi lahirnya generasi bunga di Amerika waktu itu. Demikian halnya dengan surat-surat Kartini tersebut. Kartini langsung berkorespondensi dengan “penjajahnya”,  sesuatu yang tidak dilakukan wanita-wanita Indonesia tangguh lainnya. Kartini memberitakan nurani paling dalam dan menjadi miniatur harapan-harapan anak bangsa terjajah. Dalam konteks ini, posisi historis Kartini harus kita tempatkan.      

Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut.  Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.  Kartini nampaknya tidak bisa “melawan” mainstream budaya-nya kala itu. Tapi ini bukan berarti Kartini lemah atau manja. Ketergantungannya dan penghormatannya yang luar biasa pada ayahnya tersebut sehingga mau dipoligami (contradiction interminis dengan konsep emansipasi secara “umum”), harus dilihat dalam konteks budaya dimana Kartini hidup. Sama halnya ketika kita mempertanyakan legalitas moral  Islam Politik Kekhalifahan Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmany yang selalu dibangga-banggakan oleh sebagian besar ummat Islam, karena praktek hedonis yang membudaya dari para Sultannya, seperti memiliki ratusan selir dalam harem-harem nan sensual. Mereka ini adalah pemimpin Islam politik sedunia lho, pada masa mereka.  Kartini, Rahmah el-Yunusiyyah, Rohana Kudus, Cut Nya’ Dien dan wanita-wanita tangguh lainnya adalah actor sejarah.  Saya lebih suka melabelkan mereka dengan istilah ini. Aktor sejarah adalah insane-insan yang memiliki implikasi positif terhadap gerak langkah perubahan masyarakat, sedangkan pahlawan, lebih bertendensi politis. Karena itu, bagi saya, selalu mengkritisi kehadiran aktor sejarah, adalah sebuah keharusan. Bukan memitoskan, karena memitoskan seseorang akan membuat kita menjadi insane yang tidak waras, kata Bung Hatta.  Dengan selalu mengkritisinya, maka kita bisa mendialogkan nilai-nilai inspiratif seorang actor sejarah yang hidup pada masa lalu dengan “dunia kita” pada masa sekarang, dengan tentunya bersikap adil, empati dan kontekstual. “Ashbabun” actor sejarah itu, juga harus kita pertimbangkan supaya kita tidak terjebak dalam proses pengkerdilan ataupun pemitosan.





Foto 01 : Partitur lagu "Ibu Kita Kartini" (sumber : hadisutrisno.com)
Foto 02 : RA. Kartini bersama suami (sumber : id.wikipedia.org)


JANGAN JADI KARTINI :  
Oleh : Arjuna Nusantara (Padang Ekspres/24-4-2012)

Hampir semua media menerbitkan tulisan yang sifatnya menabikan Raden Ajeng Kartini. Penulis merasa risih. Di sini, penulis mencoba menganalisa keperempuanan Kartini sebagai perempuan tangguh dan pahlawan, dengan melihat sejarahnya dan membandingkan dengan keperempuanan tokoh-tokoh perempuan Minangkabau. Kartini hanya perempuan manja dan tak paham agama. Kartini hidup dengan segala fasilitas terhebat ketika itu. Buktinya, menurut sebagian orang, Kartini bisa mengirim surat ke Belanda. Selain itu, Kartini selalu ditemani pembantu. Namun, dengan fasilitas sekelas bangsawan itu, membuatnya terkekang. Tak bisa memenuhi keinginannya untuk melakukan hal yang dianggapnya bermanfaat di luar rumah, seperti melanjutkan pendidikan. Tidak paham agama. seperti diceritakan oleh Wikipedia, dalam suratnya kepada para sahabat di Belanda, Kartini tidak setuju dengan poligami dalam bahasa mempertanyakan agama yang memperbolehkan berpoligami, sehingga itu menjadi alasan bagi kaum Adam untuk berpoligami. Ini keluar dari pikiran seorang Kartini karena, ayahnya menikah dengan perempuan lain untuk mendapatkan posisi Bupati. Kartini tidak tahu, bahwa dalam Islam, agamanya sendiri, membolehkan berpoligami jika seorang laki-laki bisa berlaku adil. Bagi seorang Bupati seperti Adipati Ario Sosroningrat ayah Kartini, penulis kira mustahil baginya tidak bisa berlaku adil. Dan Kartini, ketika akan menikah dengan bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, mulai menyadari dan menerima dijodohkan –yang sebelumnya menolak budaya jodoh menjodohkan. 

Kartini punya buah pikiran tentang nasibnya dan perempuan Jawa lainnya. Ini dipengaruhi oleh bacaan tentang surat kabar Eropa yang mengisahkan kehidupan sekuler di sana. Perempuan bebas tanpa batas. Tak ada kekangan keluarga, tak ada kekangan budaya, dan tak ada kekangan agama. Ini yang didamba oleh seorang Kartini sebelum ia sadar ketika menjadi istri ketiga dari Bupati Rembang. Renungkan, seorang keturunan Jawa, yang hidup di bumi nusantara, yang berbudaya timur menginginkan kehidupan bebas seperti kaum muda Eropa. Hanya karena, tidak diizinkan melanjutkan pendidikan ke Belanda. Ia menceritakan keluh kesahnya pada teman-teman Belandanya. Lalu dibukukan JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Belanda ketika itu. Setelah menikah, dengan dukungan suami, Kartini mendirikan sekolah. Dan kemudian muncul ke permukaan, RA Kartini seorang tokoh emansipasi perempuan. Diagung-agungkan. Bahkan seperti dinabikan oleh sebagian kalangan. Tidak masuk akal, karena Kartini tidak pernah berbuat apa-apa terhadap bangsa ini, selain memperlihatkan keluh-kesahnya melalui surat yang dibukukan dan mendirikan sebuah sekolah untuk perempuan. Dan surat itu pun diragukan, ”siapa yang bisa membuktikan, surat Kartini itu benar adanya? Hadirkan!”. Dan benarkah, Kartini, anak seorang bupati tidak diizinkan sekolah karena budaya Jawa yang melarang anak-anak perempuan bersekolah? Setelah ini, penulis akan paparkan perempuan dari negeri kita Ranah Minang yang punya pemikiran lebih hebat tentang emansipasi dan jasa terhadap kemajuan pendidikan perempuan serta kemerdekan yang lebih pantas disebut tokoh ketimbang Kartini.  

Sebelum mengkaji tokoh perempuan Minangkabau, mari kita lihat realita sosial perempuan masa kini memahami emansipasi, khususnya emansipasi yang berkiblat ke pemikiran Kartini. Kartini ingin bebas seperti perempuan Eropa. Eropa yang notabene sekuler. Kalau memang Kartini sempat berkeinginan seperti itu, mungkin disebabkan oleh kekangan orangtua dan dorongan jiwa remaja yang penasaran. Tapi, pemikirannya tentang kemajuan perempuan, itu bagus dan perlu didukung. Penulis ingin mengarahkan keinginan Kartini untuk bebas itu adalah dalam hal pendidikan. Bukan bebas sebebas-bebasnya seperti budaya Eropa. Sekarang, kita menyaksikan, perempuan-perempuan Indonesia memahami hal negatif dari pemikiran Kartini, bebas. Bebas di seluruh aspek. Buktinya, anak-anak sekarang tak mau ditunjuk-ajar dan diatur oleh orangtua. Akibatnya, banyak remaja perempuan Indonesia hilang kegadisannya sebelum menikah. Menurut penelitian Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi pada bulan Januari-Juni 2008, menyimpulkan empat hal; pertama, 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; kedua, 93,7 persen remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin dan oral seks; ketiga, remaja SMP tidak perawan; dan terakhir, 21,2 persen remaja mengaku pernah aborsi. (dikutip: Majalah Cegak, Maret 2012).

Kasus seks bebas, perselingkuhan, itu hanya dua contoh dampak buruk dari kesalahpahaman terhadap emansipasi Kartini. Barangkali, ini tak akan terjadi jika budaya Indonesia dipertahankan sesuai suku masing-masing. Mungkin ini juga tidak akan terjadi, jika Kartini tidak diagungkan. Karena pemikiran emansipasinya tidak didukung dengan nilai-nilai Islam. Bahkan, menurut salah satu isi suratnya, Kartini mengatakan bahwa ia hanya Islam keturunan. Kami bernama orang-orang Islam karna kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih (Kompasiana.com). Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah adalah perempuan Minang yang tepat dijadikan contoh dalam emansipasi wanita, khususnya Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan Minang). Rohana mempunyai pandangan yang jelas dan positif terhadap emansipasi. Menurutnya, ”Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Begitu juga dengan Rahmah, ia dikenal sebagai tokoh perempuan yang religius. Terbukti dengan pendidikan utama di sekolah yang didirikannya adalah pendidikan agama. Bahkan, pada 1935, dalam Kongres Perempuan di Jakarta, Rahmah memperjuangkan ide tentang busana perempuan Indonesia hendaknya memakai selendang (kerudung). Ide ini menggambarkan pandangan hidupnya yang religius, dan sedapat mungkin berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.

Rahmah dan Rohana sama-sama memperjuangkan pendidikan perempuan dengan tidak mengurangi ajaran-ajaran Islam. Rohana seorang anak pegawai di masa belanda. Kreatif, itulah kepribadiannya. Sama dengan Kartini, Rohana juga belajar dari buku bacaan yang diberikan oleh ayahnya. Dari bacan-bacaannya, Rohana yang peduli dengan pendidikan perempuan, lahir sebagai wanita Minang yang menguasai berbagai ilmu dan bahasa. Di samping itu, Rohana juga ahli dalam menyulam dan menjahit. Ia belajar dari istri orang Belanda atasan ayahnya ketika bertugas di Alahanpanjang, ia kembali ke kampung halaman dan mendirikan sekolah setelah menikah dengan Abdul Kudus, dalam usia 24 tahun. Di kampungnya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda.   Hasil kerajinan dari sekolah tersebut, diekspor ke Eropa. Sekolahnya berkembang pesat. Perkembangan itu membuat petinggi Belanda terkagum-kagum. Jika Kartini rajin menulis surat kepada teman-temannya, Rohana juga rajin menulis puisi dan artikel. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumbar. Dari kegemarannya menulis, akhirnya diterbitkan surat kabar yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Surat kabar pertama di Indonesia yang dikelola oleh perempuan, mulai dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya. Kemampuan menulisnya ia gunakan untuk membakar semangat kaum muda dengan tulisan-tulisan yang provokatif. Ia bahkan ikut dalam menyelundupkan senjata.

Sama dengan Kartini dan Rohana, Rahmah juga mempunyai sekolah yang didirikan atas keprihatinannya terhadap pendidikan kaum perempuan. Diniyah School Putri yang kini dikenal dengan Diniyah Puteri. Sekolah yang didirikan 1 November 1923 ini terkenal di Nusantara bahkan mancanegara. Keberhasilan Rahmah dalam mengelola Perguruan Diniyah Putri ini menarik perhatian Rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Dr Syaikh Abdurrahman Taj. Maka pada 1955 dia mengadakan kunjungan khusus ke perguruan ini. Di kemudian hari, ia mengambil sistem pendidikan Diniyah Putri ini untuk mahasiswinya. Pada saat itu, Universitas Al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus untuk perempuan. Tidak lama setelah itu berdirilah Kulliyat al-Banat, sebagai bagian dari Universitas al-Azhar Kairo. Sebagai penghargaan, Rahmah diundang berkunjung ke universitas itu. Dalam kunjungan balasannya (1957) yang dilakukan sepulang menunaikan ibadah haji, Rahmah dianugerahi gelar Syaikhah oleh Universitas al-Azhar Kairo. Dengan gelar tersebut kedudukan Rahmah setara dengan Syeikh Mahmoud Syalthout, mantan Rektor al-Azhar, yang pernah berkunjung ke Indonesia tahun 1961. Hamka, yang mengaku sebagai adiknya, sangat mengaguminya dan mengatakan bahwa gelar tertinggi itu biasanya dikenakan bagi seorang laki-laki pakar ilmu agama (Syeikh). Sepengatahuannya selama beberapa ratus tahun ini, hanya Rahmahlah yang memperoleh anugerah gelar penghargaan tersebut di dunia Islam (aisyahiadha.wordpress.com)

Perempuan Minang, jangan jadi Kartini, tapi jadilah Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah. Dengan tanpa bermaksud meremehkan Kartini, Rohana dan Rahmah tetap lebih hebat dari Kartini. Meskipun tanggal lahir Kartini dijadikan hari besar, tetap saja kebesaran Rohana dan Rahmah tidak terkalahkan oleh Kartini. Siapa berani membantah?

Tidak ada komentar: