Kamis, 10 Mei 2012

Historiografi Sejarah Perempuan Indonesia : Sebuah Pengantar

Oleh : Muhammad Ilham 

Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)
 

Ketika manusia sudah mulai lebih dari satu,  maka dalam konteks ini, perspektif  bias sudah mulai terjadi.[1] Di saat  manusia itu sudah mulai terbentuk berdasarkan jenis kelamin (genetic), maka, pada titik itu, pertimbangan superior berdasarkan jenis kelamin, mulai ada. Secara tautologik, hal ini sudah menjadi kehendak sejarah, apalagi bila dihubungkan dengan relasi gender. Sudah menjadi rahasia umum dalam ranah penulisan sejarah (historiografi), khususnya di Indonesia,  kedudukan wanita dipandang secara bias. Ruth Indah Rahayu (2007) menyatakan bahwa sejarah hanya memberikan porsi pada wanita berdarah biru [2]. Pertimbangan takdir begitu signifikan sekali karena penulisan sejarah masih terpusat pada wanita yang ditakdirkan  berdarah biru, wanita yang dalam bahasa sosiologi, mendapatkan kemuliaan karena faktor ascribed bukan karena faktor achievement [3].

Penulisan-penulisan sejarah sejenis ini begitu kentara terlihat ketika sejarah wanita ditulis dalam konteks temporal masa dahulu, khususnya sejak zaman penjajahan. Pada masa itu, wanita dikategorisasikan kepada dua kategori, yaitu wanita yang melakukan kegiatan seperti memusuhi, menentang bahkan melawan penjajahan Belanda, kegiatan yang sebenarnya dianggap sebagai khas laki-laki. Ini dipersonifikasikan melalui tokoh-tokoh wanita utama yang berasal dari elit sosial komunitas dimana perlawanan itu berlangsung. Kategori kedua, kategori wanita yang melakukan kegiatan-kegiatan sosial-edukatif dan dianggap bersifat soft, walau juga masih dipandang sebagai kegiatan laki-laki, yaitu wanita-wanita yang bergerak di dalam dunia pencerahan edukasi seperti dunia pendidikan. Namun terlepas dari perdebatan-perdebatan epistimologis-historiografis sejarah, posisi dan peran wanita pernah dicatat sebagai bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa ini [4].

Terlepas dari dari kalangan mana para wanita pejuang dan wanita pemikir tersebut (sebagaimana yang dikategorisasikan di atas) berasal, kaum wanita pernah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan negara-bangsa ini. Sejarah mencatat, cukup banyak wanita-wanita tegar dan vokal yang pernah menjadi aktor sejarah dan berperan aktif dalam ranah politik yang dianggap sebagai ranah laki-laki, terutama pada masa proses pembentukan negara-bangsa Indonesia. Menurut Saskia, hubungan politik antara wanita dan laki-laki menjadi berubah secara mendasar dan signifikan ketika entitas Indonesia sebagai negara-bangsa terbentuk. Hal ini didasari karena tidak ada lagi musuh bersama [5] sehingga laki-laki cenderung mengklaim bidang politik sebagai bidang mereka an sich dan wanita lebih diposisikan untuk berperan di bidang sosial.[6]

Sumber foto : raf.com

[1] Keberadaan Hawa (Eva) di Sorga (Eden) merupakan refleksi dan simbolisasi “bermainnya” kuasa berdasarkan genetically. Hampir seluruh Kitab Suci agama-agama Ibrahim (abrahamic religion) mengatakan bahwa Hawa merupakan “pelengkap” bagi keberadaan spesies sempurna ciptaan Tuhan. Dalam kitab Perjanjian Lama, dikatakan bahwa Hawa didoktrin oleh sang Pencipta untuk membahagiakan Adam. Secara tidak langsung, Hawa “hadir” sebagai aksesoris kebahagian Adam. Dan itu didoktrin Tuhan. Doktrin ini diterjemahkan – dalam bahasa eksistensialisme - sebagai bentuk “teror” eksistensi Hawa yang kemudian menjadi justifikasi-historis-teologis. Inilah bentuk dan simbolisasi teror dan kekuasaan pertama dalam sejarah manusia. Lihat, Muhammad Baqr al-Shadr, Falsafatunna, terjemahan (Bandung: Mizan, 1993), hal. 141-143; lihat juga Nawel el-Sa’adawi, Catatan Seorang Perempuan (Buku Mini), terjemahan (Jakarta: PSWUIN Jakarta, 2006), hal. 7-19 Novel Saman karangan Ayu Utami – dalam bagian-bagian tertentu - juga mendeskripsikan  justifikasi-historis-teologis ini (walau terkesan “olok-olok”). Mengenai dialog-teologis  abrahamic religion mengenai  nilai-nilai perrenialis penciptaan Hawa, lihat buku monumental Karen W. Amstrong, Sejarah Agama-Agama, terjemahan, (Bandung: Mizan, 2005), bab II

[2] Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal 7 September 2011). Lihat juga Yudi Lathief dan Idy Subandy Ibrahim (et.al), Bahasa dan Kekuasaan : Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), terutama bab I, III dan VI 

[3]  Ascribed mengacu kepada status seseorang dalam struktur sosial yang didapatkannya secara otomatis karena pertimbangan non-prestasi seperti keturunan (genealogic) yang berbeda dengan achievement yang menjadikan prestasi sebagai pertimbangan status seseorang dalam struktur sosial. Biasanya ascribed berkembang dan menjadi tipikal masyarakat tradisional, atau dalam bahasa sosiolog Emille Durkheim, masyarakat jenis mekanik, gemeinschaaft menurut Ferdinand Tonnies. Sedangkan achievement berkembang pada masyarakat organik (Durkheim), gesselschaaft (Ferdinand Tonies), masyarakat dalam tahap positivistic (Auguste Comte).  

[4] Kategorisasi ini dianggap masih “berbau” androcentric yang masih menggunakan pendekatan patriarki dalam penulisan sejarah. Kalimat kegiatan yang dianggap sebagai “khas” kaum laki-laki merupakan refleksi bahwa kegiatan perlawan fisik ataupun kegiatan kontributif-edukatif pada masa kolonialisme, merupakan monopoli kaum laki-laki. Walaupun sejarah mencatat, ada beberapa perempuan – tentunya yang berasal dari elit sosial – melakukan dua kategori kegiatan ini, masih tetap dianggap sebagai sesuatu hal yang menarik, keluar dari mainstream pakem sosial masa itu. Sehingga tidaklah mengherankan beberapa studi/buku yang menganggap bahwa perlawanan kaum perempuan baik dalam ranah perlawanan fisik mapun kontribusi yang bersifat edukatif, merupakan sesuatu yang “asing” sekaligus menarik. Asing dan menarik dilihat dari perspektif androcentric. Ini dibahas dengan baik oleh Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme dari Tutur Perempuan”, Makalah, Yogyakarta: 2007 (diunggap dalam bentuk edisi PDF tanggal 7 September 2011); Saskia Eleonora Wieringa, Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah Tahun 1950, (Jakarta: Kalyanamitra, 1999); Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta: Hasta Mitra, 2000); Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999) dan Nur Imam Subono, Sejarah, Laki-Laki, Kekerasan dan Gender (Jakarta: Kalyanamitra, 2004). Makalah dan buku-buku yang penulis sebuat di atas merupakan buku yang integratif.   

[5] Dalam kajian-kajian sosiologi politik dikenal konsep integrasi sosial. Biasanya integrasi sosial akan tercipta dengan sendirinya karena beberapa faktor, diantaranya faktor historis dan kesamaan nasib. Kesamaan nasib bisa dipahami sebagai kesamaan tujuan, kesamaan latar dan kesamaan perlakuan. Kesamaan nasib ini biasanya akan mendikotomikan ingroup outgroup : “kita/kami vs mereka”. Integrasi akan tercipta apabila tujuan dan dikotomi ini hadir, sehingga dalam kajian politik ada dikenal diktum : “bila ingin bersatu, ciptakan musuh bersama”. Dalam konteks sejarah, perspektif ini bisa dibaca dalam Smith Al Hadar, Arab dan Arabisme : Sejarah Etnisitas dan  Entitas Negara Bangsa (Bandung: Mizan, 1997), hal. vi  

[6] Saskia Eleonora Wieringa, ibid., hal. 222-223

Tidak ada komentar: