Minggu, 22 Januari 2012

Dunia dalam Tangan Perempuan

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Bundo Kanduang itu bukanlah Limpapeh Rumah Gadang, wanita santun, ramah penurut, suka dirumah tak banyak ota. Bundo Kanduang seumpama Rasuna Said, Rohana Kudus dan sejenis mereka ......... garang, kritikal !
(Gusti Asnan)

Penerapan dari konsep kesetaraan gender dan aturan-aturan main baru tentang hubungan gender telah membuka kesempatan yang lebih besar kepada perempuan untuk mengubah, menggerakan dan mengontrol tubuhnya sendiri. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat kekuasaan perempuan atas tubuhnya membesar. Mereka bisa menentukan sendiri kemana akan digerakan, dipakai untuk apa dan apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Di bawah kekuasaan ini hidup perempuan (juga laki-laki) tidak lagi tergantung kepada badan-badan yang memiliki kewenangan-kewenangan, melainkanoleh kekuasaan atas perekayasaan tubuh-tubuh manusia. Dalam manifestasi nya kekuasaan ini berupa ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk prosedur, alat-alat, teknik-teknik dan cara-cara yang dipakai untuk menetapkan keputusan atas itu. Saat ini rata-rata manusia sudah ditaklukan oleh kekuasaan ini. Tapi kekuasaan ini cendrung memisahkan manusia dari tubuh moralnya, tidak menumbuhkan kecerdasan spiritua, karena itu tidak bisa untuk melindungi.

Kekuasan untuk melindungi ada pada kekuasaan spiritual, yaitu kekuatan yang menguasai tubuh moral komunitas. Kekuasaan spiritual bekerja untuk mengurangi akibat-akibat buruk dari pemakaian bermacam-macam teknik kekuasaan, apakah itu di dunia politik, ekonomi maupun dalam sistem sosial. Kekuasaan atas tubuh moral membuat sebuah komunitas tidak mudah terkontaminasi, dikalahkan atau ditaklukan oleh kekuasaan. Karena itu juga dapat mengontrol, memodifikasi dan mengubah dunia fisik. Di banyak masyarakat kekuasaan spiritual umumnya dijalankan oleh para pemimpin agama, namun diarahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Di bawah kekuasaan ini tidak berarti hasrat kepada materi menjadi lenyap. Kehidupan material beroperasi dan semakin lama semakin menyerupai tubuh moral pemimpin spiritualnya. Sekalipun masih menjalankan fungsinya, kekuasaan spiritual semakin lama semakin terintegrasi kedalam kekuasaan material, melalui sistem-sistem yang mereka bentuk, dan pemakaian bermacam-macam teknik kekuasaan. Akibatnya kekuasaan spiritual tidak lagi bisa bekerja efektif untuk menguasai tubuh moral. Penyebaran kekuasaan material membuat individu-individu semakin sadar akan kebebasannya. Mereka menetapkan sendiri yang baik dan yang buruk bagi hidupnya, hingga meninggalkan kekuasaan spiritual-nya.

Sebagaimana yang dapat kita lihat, kerusakan masyarakat adalah hasil kemampuan manusia memilih apa yang dibutuhkan dan dimaui dalam hidupnya, perekeyasaan atas tubuh-tubuh dan menyebarnya kekuasaan pada individu-individu, berbarengan dengan surutnya sumberdaya spiritual yang dibutuhkan untuk menyehatkan tubuh moralnya. Pelemahan ini dimaklumi mengingat orang-orang hanya melihat dan memberi tekanan kepada kesempurnaan tubuh fisik dan daya tampung material. Pemahaman terhadap moral lalu diwujudkan dalam bentuk-bentuk tindakan yang tidak masuk akal dan menambah kerusakan, seperti terorisme, korupsi dan mengambil hak-hak hidup orang-orang lain. Sekalipun begitu kekuasaan adalah hasil proses yang kompleks, datang bersama kesadaran yang tumbuh pada individu-individu tentang adanya kekuasaan pada seseorang atau sekelompok orang. Penerimaan atas kekuasaan akibat dari melihat dan mengalami sendiri keberdayaan untuk menjalankan kekuasaan itu. Sekalipun hak-hak dimiliki, tanpa keanekaragaman yang luas dalam pemakaian hak-hak tersebut, maka bentuk-bentuk penilaian terhadap kekuasaan dan otonomi atas hak-hak itu bisa memudar, berpindah bahkan sampai menghilangkan legitimasinya. Secara pratik inilah yang menentukan diterima atau tidaknya seseorang untuk menjalankan kekuasaan. Jadi bukan hak-hak yang menetapkan kekuasaan, melainkan sifat dasar dari kekuasaan yang dijalankannya, menghasilkan bayangan pada individu-individu dimana terdapat kekuatan pemaksa atas tubuh-tubuh manusia.

Perempuan dapat menobatkan dirinya sebagai pemilik kekuasaan atas tubuh moral komunitas-komunitas, melalui hak-hak dan tanggungjawabnya untuk merawat tubuh-tubuh manusia, dalam keluarga dan masyarakat, dan dengan tidak membiarkan kekuasaan yang lain meracuni dirinya dan merusak orang2 yang berada dibawah kekuasaannya. Untuk menjalankan kekuasaan ini tidak terbatas ruang dan waktu. Perempuan dapat memakai segenap pengetahuan dan keahliannya, termasuk memanipulasi fungsi-fungsi dirinya, hak-hak dan wewenang yang khusus yang diwariskan dan ditetapkan oleh hukum adat, agama ataupun kebiasaan-kebiasaan lokal. Dengan menjalankan aktivitas ini secara tetap dan berkesinambungan maka kekuasaan perempuan atas tubuh moral akan membesar. Secara teoritik itulah yang menyokong bagi perkembangan kekuasaan perempuan. Nilai-nilai perempuan juga terbentuk melalui pengalaman menjalankan kekuasaan itu. Dengan mengetahui dimana terdapat peluang-peluang tersebut, dalam semua bentuk-bentuk kesejarahan dan budaya-budaya masyarakat, dengan tujuan akhir adalah untuk menetapkan sumber-sumber kekuatan diri perempuan dalam masyarakat, atau sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan kekuasaan atas tubuh moral, maka menjadi mungkin bagi kita untuk menetapkan kepemimpinan perempuan sebagai kategori analisa yang berdiri sendiri, yang memiliki kedaulatan atas tubuh moral komunitas. Klaim tentang kedaulatan perempuan atas tubuh moral membuat kekuasaan ini mengambil bentuk sebagai kekuasaan tertinggi dari sebuah kolektivitas. Kekuasaan inilah yang dijalankan oleh sejumlah tokoh perempuan Minangkabau di awal abad 20, dalam gerakan reformasi adat dan agama, seperti yang dikerjakan oleh Rasuna Said, Rahma El Yunusiah, dan banyak lagi lainnya. Banyaknya perempuan yang berdaulat atas tubuh moral dan berusaha membuat menjadi wujud maka bertambah mungkin sebuah komunitas keluar dari krisis yang dialaminya.

(c) Ranny Emillia/FB Ranny Emillia : terima kasih atas diskusi kita, bu !
Sumber foto : nc.com

Tidak ada komentar: