Jumat, 12 Agustus 2011

(Tanggapan) Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim” (Bagian : 3)

Tulisan ini merupakan tanggapan dari beberapa "sahabat" facebookers terhadap tulisan "Darah Tetes di Tengah Rumah : Bila Muslim Melawan Muslim". Pada bagian-bagian tertentu saya edit dan tidak semua tanggapan "sahabat" facebookers yang saya nukilkan dalam blog ini. Pendapat-pendapat mereka sangat bernas, mencerahkan dan memiliki kearifan argumentasi. Sungguh teramat sayang seribu kali sayang, bila di"biarkan" untuk tidak dinikmati oleh yang lain. Berikut :


Mas'oed Abidin :

Tilka al ayyamu nudawiluhaa baina an-Naas .. bagaimana semestinya menyikapi semua perubahan yang sedang dan akan selalu terjadi, tidak hanya air mata, darah dan juga nyawa .. Na'udzubillah .... Makasih telah ingatkan .. l'histoire ces't repete ... Inna az zamaan qad istadara .. Subhanallah !!

Faisal Zaini Dahlan :

Mohon tidak ada stressing "Muslim" sebagai predikat dari tragedi-tragedi kemanusiaan seperti itu. Selama aktornya manusia, bisa saja terjadi oleh siapa dan dari agama mana saja. Sekedar mengingatkan, jika terus dikaitkan dengan agama, seakan membenarkan bahwa agama adalah the tragedy of mankind. Bisa muncul pula Islam phobia, padahal akar persoalan adalah ketidakmampuan "penganut"nya sendiri untuk mengimplementasikan ajaran agamanya dalam realitas sejarah.


Nurul Firmansyah :

Salut, paparan yang lugas tentang kondisi umat. Akankah sejarah berulang kembali atau kita mau belajar dari sejarah

Muhammad Ilham :

Bang SuhArmen Kini dan bang Faisal Zaini Dahlan ....... konteks-nya bukan menuhankan sejarawan. Sebagaimana halnya ilmu Hadits (yang secara epistimologik, kerjanya mirip dengan sejarawan), ilmu sejarah pun dan ilmu lainnya, juga berhak untuk didebat. Yang salah menurut saya adalah ketika kita mengatakan bahwa sebuah Disiplin Ilmu tidak sepenuhnya benar. Persoalan Rahmatan Lil 'Alamin, ibarat memahami memahami CANTIK. Cantik bagi orang Nias, berbeda dngan pemahaman CANTIK bagi orang Pushtun ataupun Tajik dan Indian sono. Sejarah hanya memaparkan kondisi yang ada bedasarkan FAKTA/SUMBER sejarah yang ditulis oleh sumber primer yang ada. Sementara kita, hanya menafsirkan. Namanya menafsirkan, sangat debatable. Persoalan bias kepentingan, saya fikir tak ada manusia sejak Nabi Adam hingga sekarang yang Objektif. Semuanya memiliki motivasi tersendiri. Untuk itulah ILMU/EPISTIMOLOGI ilmu ada disana. Ibarat Survey Pemilu, ada metodologinya. Metodologinya itu yang dikritik, buka kepentingannya saja. Kalau demikian adanya, maka kita hanya akan menerima kebenaran menurut Versi "habitat" kita sendiri. Bang Faisal Zaini Dahlan ...... tragedi kemanusiaan juga ada pada siapun juga, pada entitas sosial manapun jua. Tapi stressing artikel saya pada alinea terakhir. Saya fikir, agama apapun di dunia ini, baik Samawi maupun Ardhi, memiliki melodramatika-tragedi masing-masing, termasuk peradaban Islam. Kemudian, menyikapi kalimat dari bang SuhArmen Kini yang mengatakan : "Kalau tidak begitu maka saya harus siap dengan resiko bahwa islam itu memang bukanlah sumber kedamaian", saya fikir kita harus membedakan, ya MEMBEDAKAN antara entitas kultural yang bernama ARAB/ARABISME ataupun Orang Arab dan Sejarah ARAB dengan Ajaran ISLAM itu sendiri. Ibaratnya, antara ILMU POLITIK dengan POLITISI, satu "kandungan-rahim" tapi bisa berbeda tingkah polah, bahkan terkesan saling tak kenal mengenal. Wallahu A'lam bish Shawab.

Faisal Zaini Dahlan :

Saya lebih setuju jika menguak sejarah yang berlumuran darah, analisis yang dipakai bukan teologis tapi lebih pada sosiologis politis. Kalaupun berjalin berkelindan, tapi mestinya dibaca secara sosiologi agama.


Muhammad Ilham :

Apapun pendekatannya bang Faisal Zaini Dahlan tidak masalah. Disanalah bemaknanya : "begitu lemah rasio manusia", sehingga dibutuhkan banyak pendekatan dalam melihat (hanya) satu-dua buah fenomena/entitas sosial historis yang terjadi. Dalam konteks artikel tersebut, saya mempertentangkan Konsep TEOLOGIS yang adiluhung - rahmatan Lil 'Alamin (sebagaimana hadits Rasulullah yang prediktif diatas tentang perpecahan) dengan Kultur Arab dan juga kultur lainnya, seperti kasus Amangkurat II atau sebagaimana yang di"novelkan"oleh Pramoedya Ananta Tour tentang seorang Ulama dalam novel "Gadis Pantai"nya.


Faisal Zaini Dahlan :

Ya, mudah-mudahan kita tidak teperosok sendiri dalam lobang pemikiran yang kita gali sendiri yang justru merugikan diri kita sendiri juga, bahwa agama adalah tragedi kemanusiaan. Saya belum baca "Gadis Pantai" nya Pramudia, tapi prediksi saya itu menggambarkan sesosok manusia yang ulama. Stressingnya mestinya pada "sosok manusia" nya, bukan Ulama sebagai warisatul anbiya'. Ya, samalah dengan kasus-kasus pastor yang terlibat skandal, stressingnya bukan pada kepasturannya, tetapi pada sosok manusianya.


Muhammad Ilham :

Bang Faisal Zaini Dahlan.... intinya, konstruksi interpretasi sangat dipengaruhi oleh kultur. Dalam konteks ini pulalah kita berupaya memahami suatu peristiwa. Bukan secara a-priori mengatakan "menuhankan" atau menganggap sesuatu itu dengan pendekatan under-estimate. Begitu kan bang
?

Muhammad Ilham :

Kalau olah masuak ko intinyo, bo'a le..he-he-he... Saya memang bukan sejarawan, tetapi menaruh kekhawatiran terhadap pembacaan yang seringkali menyeret-nyeret agama secara paksa untuk menjadi "latar" peristiwa. Nah, jika ini terjadi, maka menjadi "kultur" yang mempengaruhi konstruksi interpretasi/ analisis. Lihatlah bagaimana Islam dan Muslim "dibaca" dan "dipahami" bahkan menjadi under-estimate secara salah oleh generasi Islam phobia di Barat, sebagai hasil (kultur) yang dikonstruksi berabad-abad. Dan celakanya, seringkali seorang Muslim ikut pula melanggengkan konstruksi interpretasi itu... !


Suharmen (Kini) :

Saya hanya seorang pedagang, bukan akademisi, akibatnya cara berpikir saya cenderung sangat sederhana, jadi tolong dimaafkan kalau ada kesalahan. Dalam kesederhanaan pemikiran saya, sangat sulit bagi saya untuk begitu saja mempercayai sejarah yang lebih ingin mengesankan islam itu disebarkan dengan jalan kekerasan. Bagaimana tidak, saya lihat Belanda dan banyak negara salibis lainnya yang nota bene melakukan ekspansi dengan kekerasan terbukti memang negaranya jauh lebih makmur dari daerah jajahannnya. Negara-negara penjajah Eropa kaya raya sedangkan wilayah yang diekspansinya terlilit kemiskinan yang menyedihkan. Dan itu wajar karena memang demikian logika yang bisa diterima ketika kekayaan dan kekuasaan diperoleh dengan jalan perampasan dan jalan kekerasan semata. Sedangkan hal tersebut tampaknya tidak terjadi sebagai akibat dari perkembangan islam. Turki yang jauh dari Makkah dan Madinah pun bisa menjadi pusat pemerintahan islam, begitu juga Gordova yang sempat berjaya, sesuatu yang sangat sulit dibayangkan bagaimana mungkin Indonesia menjadi wilayah yang lebih makmur dan lebih berkembang dari Belanda sebagai ekspansionisnya. Eropa sebagai sumber penjajahan kaya raya sedangkan Makkah dan Madinah sebagai sumber islam praktis begitu-begitu saja, malah jejak sejarah tampaknya lebih memewahkan wilayah teranyar yang kemudian dijadikan pusat pemerintahan islam itu sendiri.

Kalau dikaitkan dengan Minangkabau maka bisa kita ambil contoh tentang adanya versi yang menyebut bahwa islam disebarkan di Minangkabau juga dengan jalan kekerasan dengan diikuti dalil sejarah yang diungkap. Tuanku Nan Renceh dideskripsikan berdarah-darah sampai-sampai konon eteknya yang makan sirih pun ditikamnya karena makan sirih dianggap Tuanku nan Renceh sudah keluar dari koridor islam. Bagaimana seorang pedagang seperti saya akan bisa mempercayai begitu saja kisah sejarah di atas karena saya terlahir sebagai orang Minang dimana dalam budayanya, pemimpin itu hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah saja. Bagaimana mungkin seorang Tuanku Nan Renceh masih memperoleh dukungan yang solid dari loyalis Minangkabaunya kalau perangainya seperti itu? Membayangkannya pun nyaris saya tidak mampu. Tetapi karena ini wilayah bernama sejarah maka berlaku hukum pasar, barang siapa yang bisa mengemukakan jalur dan lajur yang lebih runtut melalui rangkaian peristiwa demi peristiwa maka versinya akan mendominasi dan bisa dianggap sebagai kebenaran sekalipun ketidak-logisan yang dikandung pekabarannya sangat menyolok.

Apakah ada yang mencoba menegasikan perilaku Tuanku Nan Renceh secara lebih logis, misalnya pembunuhan terjadi karena kesalahan yang telah dilakukan eteknya memang layak menerima hukuman mati (bukan karena sedang mengunyah sirih) tapi tidak ada yang mau menjadi eksekutor karena kesalahan lahir dari etek pemimpin mereka sendiri, sehingga kemudian Tuanku Nan Renceh terpaksa mengambil alih tugas ini secara langsung dan kebetulan saja eteknya adalah seorang yang suka memakan sirih, bukan dieksekusi karena makan sirihnya? Seorang pemimpin dengan karakter “tibo di paruik indak dikampihkan, tibo di mato indak dipiciangkan” seperti itu memang akan lebih mudah diloyali dan jadi panutan di lingkaran orang berbudaya Minang yang tidak feodalisitik. Atau bisa juga kita mencari alasan logis lainnya untuk menidak-mungkinkan kisah tersebut karena memang tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Tuanku Nan Renceh lebih mengutamakan membunuh wanita pemakan sirih ketimbang pejudi, pemabuk, penyabung ayam dan para perokok yang sampai sekarang masih menjadi bagian dari adat istiadat di Minangkabau dan kemudian tetap menjadi seorang pemimpin yang disegani? Atau kita kembali terpaksa harus menerima deskripsi kekejaman Tuanku Nan Renceh ini demi menuhankan sejarah yang telah berusaha sungguh-sungguh mengggambarkan islam memang identik dengan pedang dan jalan kekerasan.

Cukup banyak yang tetap menelan ketidak-logisan pekabaran apabila sudah masuk wilayah yang disebut SEJARAH, malah sebagian mengcopy-pastekannya begitu saja. Penulisan sejarah memang telah menjadi tuhan di zaman kita, tidak ada yang melakukan pensortiran kredibilitas dan akseptabilitas kepribadian para penulisnya sebagaimana intelektual muslim dahoeloe telah melakukannya secara bermartabat terhadap hadits-hadis palsu dan yang sejenisnya. Jangan coba-coba membantah sejarah berdasar dugaan semata, sebetapapun logisnya dugaan dan analisis tersebut kalau kita tidak ingin dicap sebagai pembela “habitat” kita saja, sektarian dan seperti katak di bawah tempurung. Di mata non muslim, membela ketidakmungkinan islam disebarkan dengan kekerasan adalah ahistoris dan terlalu memaksakan diri membela “habitat” sendiri. Tapi, syukurnya saya hanya seorang pedagang, lebih bebas berimprovisasi ke sana kemari menggunakan logika saya sendiri. Wallahu ‘Alam.

Muhammad Ilham :

Bang SuhArmen Kini ..... demikianlah adanya. Setiap kita memiliki hak untuk berimprovisasi karena kita memang memiliki parameter sendiri berdasarkan apa yang kita "dekati" selama ini. Terima kasih bang SuhArmen Kini ..... perspektif yang mengayakan. Salam Ramadhan !

Tidak ada komentar: