Kalian Marahi/Tapi Tak Kalian Pupuk
(Kuntowijoyo : Ma'rifat Daun)

Malam itu, disebuah musholla pinggiran Padang dekat bukit, setelah sholat Taraweh selesai dilaksanakan, saya berkesempatan berdiskusi dengan beberapa jamaah yang rata-rata sudah tua. Musholla tersebut berada di pinggiran sawah. Tidaklah mengherankan apabila Honda Supra "Paling FIT" saya berlepotan ketika melewati pematang sawah. Sambil meminum dan memakan sisa-sisa perbukaan yang disuguhkan, terutama jagung rebus yang masih hangat, kami-pun mulai berdiskusi, tapi lebih tepatnya "curhat" dari mereka. Saya dengarkan satu persatu, curahan hati "terpendam" mereka tentang Ramadhan. Diantara banyak curahan hati tersebut, ada satu topik-isu yang menurut saya sangat menarik. Rupanya, sudah sekian malam mereka tidak melaksanakan ceramah taraweh. Setelah sholat 'Isya berjamaah, mereka langsung sholat taraweh. Biasanya menjelang sholat Taraweh setelah sholat 'Isya, akan diisi dengan tausyiah dari penceramah yang diundang. Kebetulan malam-malam sebelum saya memberikan ceramah di musholla ini, penceramahnya tidak datang. Karena tidak ada diantara jamaah ini yang bisa memberikan ceramah, tausyiah jelang taraweh ini-pun mereka "lewatkan". Ini terjadi bukan hanya pada Ramadhan tahun ini saja, tapi hal yang sama juga terjadi pada Ramadhan-Ramadhan tahun sebelumnya.
Dari diskusi malam itu saya dapatkan kesimpulan "sepihak" dari jamaah Musholla yang tidak asri ini, seringnya penceramah tidak datang ke musholla mereka tersebut karena letak musholla yang agak terpelosok dan di tepian sawah. Padahal, jauh sebelum Ramadhan, pengurus musholla telah membuat janji dengan beberapa penceramah. Ditambah lagi dengan "isi amplop" yang tak gemuk, diasumsikan memberikan kontribusi malasnya beberapa penceramah untuk datang memberikan ceramah. Bahkan, menurut salah seorang pengurus yang bekerja sebagai pembuat batu bata, "isi amplop" tidak pernah tetap, tergantung jumlah infak yang didapatkan pada setiap malam. Jadi tidaklah mengherankan apabila "isi amplop" tersebut cenderung fluktuatif. Biasanya, infak yang didapatkan tidak akan pernah banyak, maklum mayoritas jamaah berasal dari ekonomi lemah. "Sebenarnya kami juga segan memberikan uang transportasi (demikian si pengurus itu mengistilahkannya) yang tidak seperti masjid atau musholla lainnya, tapi apa mau dikata, itu yang sanggup kami berikan. Kami sebenarnya ingin sekali seperti musholla dan masjid yang lain, setiap malamnya mendapat tausyiah dari penceramah-penceramah cerdas. Tapi karena tempat kami yang jauh, dan jumlah uang transportasi yang tidak memadai, banyak diantara para penceramah tahun-tahun terdahulu yang tidak mau lagi berceramah pada Ramadhan tahun berikutnya di musholla kami ini. Kami sangat menyadari hal itu, tapi sekali lagi apa mau dikata, baru itu kemampuan kami", kata salah seorang pengurus yang usianya separuh baya tersebut. "Padahal, yang paling penting diberikan tausyiah itu kan kami, bukan hanya jamaah-jamaah di kota atau dimasjid-masjid sana. Kami berharap sekali, sekali dalam setahun dibulan Ramadhan ini, kami mendapatkan pengetahuan agama dari para penceramah. Tapi yang terjadi, justru para penceramah banyak yang tidak mau datang. Mungkin karena kami miskin, tak bisa beri amplop sebagaimana amplop yang diberikan pengurus masjid di daerah lain", sela seorang ibu yang dari tadi saya lihat menyimak diskusi kami dengan khidmat.
Dari diskusi malam itu saya dapatkan kesimpulan "sepihak" dari jamaah Musholla yang tidak asri ini, seringnya penceramah tidak datang ke musholla mereka tersebut karena letak musholla yang agak terpelosok dan di tepian sawah. Padahal, jauh sebelum Ramadhan, pengurus musholla telah membuat janji dengan beberapa penceramah. Ditambah lagi dengan "isi amplop" yang tak gemuk, diasumsikan memberikan kontribusi malasnya beberapa penceramah untuk datang memberikan ceramah. Bahkan, menurut salah seorang pengurus yang bekerja sebagai pembuat batu bata, "isi amplop" tidak pernah tetap, tergantung jumlah infak yang didapatkan pada setiap malam. Jadi tidaklah mengherankan apabila "isi amplop" tersebut cenderung fluktuatif. Biasanya, infak yang didapatkan tidak akan pernah banyak, maklum mayoritas jamaah berasal dari ekonomi lemah. "Sebenarnya kami juga segan memberikan uang transportasi (demikian si pengurus itu mengistilahkannya) yang tidak seperti masjid atau musholla lainnya, tapi apa mau dikata, itu yang sanggup kami berikan. Kami sebenarnya ingin sekali seperti musholla dan masjid yang lain, setiap malamnya mendapat tausyiah dari penceramah-penceramah cerdas. Tapi karena tempat kami yang jauh, dan jumlah uang transportasi yang tidak memadai, banyak diantara para penceramah tahun-tahun terdahulu yang tidak mau lagi berceramah pada Ramadhan tahun berikutnya di musholla kami ini. Kami sangat menyadari hal itu, tapi sekali lagi apa mau dikata, baru itu kemampuan kami", kata salah seorang pengurus yang usianya separuh baya tersebut. "Padahal, yang paling penting diberikan tausyiah itu kan kami, bukan hanya jamaah-jamaah di kota atau dimasjid-masjid sana. Kami berharap sekali, sekali dalam setahun dibulan Ramadhan ini, kami mendapatkan pengetahuan agama dari para penceramah. Tapi yang terjadi, justru para penceramah banyak yang tidak mau datang. Mungkin karena kami miskin, tak bisa beri amplop sebagaimana amplop yang diberikan pengurus masjid di daerah lain", sela seorang ibu yang dari tadi saya lihat menyimak diskusi kami dengan khidmat.
Malam itu, saya lebih banyak menjadi pendengar terbaik, sambil menawarkan satu-dua solusi mengatasi kegundahan mereka ini. Pukul 11 malam, lebih kurang, saya pamitan sambil dibekali dua bekal. Bekal pertama, amplop yang "tebal" (maklum ketebalan isi amplop tersebut karena diisi uang kertas seribu). Bekal kedua, jagung rebus beberapa buah. Bekal pertama saya tinggalkan, bekal kedua saya "kamehi", maklum, jagungnya sangat enak sekali. Malam itu saya dapatkan dua pelajaran berharga. Pertama, merekalah sebenarnya yang "membutuhkan" pencerahan keagamaan. Karena peluang dan akses mereka sangat minim memperoleh pengetahuan agama dibandingkan dengan masyarakat yang berada di kota atau masjid-musholla yang mampu mendatangkan penceramah cerdas. Peluang itu hanya mereka dapatkan satu kali satu tahun. Terkadang peluang itu tidak "dimanfaatkan" oleh mereka yang bekerja dibidang ini dengan baik (termasuk saya). Kedua, saya teringat dengan sebuah kasus di sebuah daerah kecil di pinggiran pantai Sumatera Barat. Beberapa masyarakatnya pernah menjadi anggota salah satu "kelompok sempalan". Dan masyarakat ini kemudian disalahkan. Padahal daerah yang hampir terisolir dan jarang dikunjungi muballigh ini membutuhkan pencerahan dari orang-orang yang "memarahi" mereka itu. Seandainyalah, musholla tempat saya ceramah malam itu rajin dikunjungi oleh penceramah dari salah satu kelompok Islam "antah barantah" (katakanlah demikian), niscaya mereka akan menjadi bagian dari kelompok Islam "antah barantah" tersebut. Wallahu A'lam bisshawab !! ............ Marhaban yaa Ramadhan 1432 H./2011 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar