
Ketika melalui Gunung Thai bersama-sama dengan murid-muridnya, Kong-hu Chu melihat seorang perempuan sedang menangis dekat sebuah kuburan. Filosof yang ahli hikmah ini kemudian mendekati perempuan ini dan bertanya, mengapa dia menangis. Perempuan itu menjawab, "Dulu ayah suamiku disergap harimau disini hingga mati. Kemudian suamiku-pun diterkam harimau. Malah sekarang anak laki-lakiku juga mengalami hal yang serupa". Kong-hu Chu kemudian bertanya, "Kalau seperti itu, mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ?". Sambil terus menangis, si perempuan itu kemudian menjawab, "Karena disini tidak ada pemerintah yang menindas". Lalu Kong-hu Chu berkata kepada murid-muridnya, "Ingatlah, pemerintah yang menindas jaub lebih mengerikan dari pada harimau".

Selanjutnya, demokrasi harus menekankan perlindungan terhadap individu-individu dan minoritas-minoritas dari tirani. Kemudian, penguasa harus "mengajarkan/memperlihatkan" kepada masyarakat bahwa kekuasaan yang dipegangnya tersebut sebagai hal yang biasa, manusiawi dan hanya merupakan titipan dari Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ini tercermin ketika kekuasaan tersebut lepas dari genggamannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal "the untouchable" Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, "saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup". Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia. Presiden yang tadinya "di atas", ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang "dianggap di bawah" (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa "isi dompet" bengkak-memelar, melainkan kembali ke "khittahnya" sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi, karena itu perlakuan kita terhadap subjek dan objek kekuasaan juga harus manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar