Rabu, 17 Maret 2010

Pater Beek : Spindoctor Orde Baru

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Setelah kudeta PKI berhasil digagalkan di tahun 1965, Jenderal Soeharto memerintahkan untuk menangkap setengah hingga satu juta penganut paham komunis di Indonesia. Ada indikasi, Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto tidak lepas dari peran seorang pater asal Belanda, Josephus Beek.

Josephus Beek lahir 12 Maret 1917 di Amsterdam. Tahun 1935, ia bergabung dengan Ordo Yesuit Belanda di Mariƫndaal, Grave. Ia menjadi novis di Jawa Tengah antara 1931 dan 1939. Di masa pendudukan Jepang (1942-1945) ia sempat mendekam di penjara. Setelah perang usai, ia melanjutkan pendidikannya di Maastricht, Belanda Selatan. Ia ditahbiskan menjadi pastur pada tahun 1948 dan ditugaskan kembali ke Indonesia sejak 1956. Mula-mula ia aktif sebagai misionaris di Yogyakarta, kemudian pindah ke Jakarta. Di tahun 70-an ia dinaturalisasi menjadi WNI. Pater Joop Beek wafat 17 September 1983 di Jakarta dan dimakamkan di Giri Sonta, Jawa Tengah. Di tahun 2005 terbit buku Dit was Brandpunt, goedenavond (Demikian Fokus kali ini, selamat malam) tulisan Aad van den Heuvel, mantan presenter radio dan televisi Katholik Belanda, KRO. Cukup banyak media yang menyorot buku ini, tapi tidak banyak yang menyebut pertemuan mantan presenter itu dengan Pater Beek di tahun 1966.

Di sebuah kantor di Jalan Gunung Sahari 88, Jakarta, Van den Heuvel sempat mewawancarai Pater Beek. Pada kesempatan itu, Pater Beek menyatakan keprihatinannya tentang komunisme dan menganggap Islam sudah membahayakan. Ia berambisi ‘menyelamatkan’ minoritas pemeluk agama Katholik saat itu. Pater Beek berpendapat, hal itu dapat diwujudkan dengan memberi dukungan dan penyuluhan ke TNI. Ia tak segan mengirim satuan tentara untuk memperkuat Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto. Van den Heuvel sendiri mencap Pater Beek sebagai ‘dalang wayang politik’ di Indonesia. Sebetulnya, Van den Heuvel sudah menyinggung peran misterius Pater Beek dalam sejarah Indonesia di sebuah roman (1991) dan wawancara (1993). Bahkan, di tahun 1993 Van den Heuvel menyebut Beek sebagai otak genius penggagalan kudeta PKI di tahun 1965 dan makar-makar lainnya setelah itu.

Meskipun banyak kritisi yang menganggap pernyataan Van den Heuvel sebagai isapan jempol belaka, di bukunya Dit was Brandpunt, goedenavond ia kembali menekankan peran Beek di peristiwa sekitar bulan September dan Oktober 1965. Menurutnya, Beek banyak bekerja sama dengan satuan militer Jenderal Soeharto, terutama dengan dua penasehatnya: Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Van den Heuvel sendiri menyaksikan di tahun 1966 Pater Beek sedang menyusun naskah pidato di mesin tik tua merek Remington dan keesokan harinya pidato tersebut dibacakan oleh Soeharto. Selain itu, Van den Heuvel melihat beberapa catatan Beek di tahun 1963 mengenai rencana pembentukan Golkar. Menurut Van den Heuvel, Golongan Karya – ‘kendaraan politik’ kekuasaan Soeharto hingga tahun 1998 – adalah grup fungsional yang terdiri dari petani, nelayan, wanita, buruh, pegawai dan sebagainya. Partai ini sangat mirip dengan bentuk korporatisme di Eropa yang berakar dari tradisi Katholik. Korporatisme menyerukan kerjasama yang erat di antara kelompok-kelompok fungsional tersebut. Pendekatan yang sama sekali bertolak belakang dengan paham komunisme yang justru menyerukan perbedaan kelas. Mungkinkah penggambaran Van den Heuvel meleset? Atau mungkin halusinasinya saja?

Majalah Tempo di tahun 1999 mewawancarai Dick Hartoko, salah seorang Yesuit. “Bentuk awal Golkar adalah ide Beek sepenuhnya,” ujar Hartoko tanpa rasa ragu sedikit pun. Setahun sebelumnya, sosiolog George Aditjondro menulis pernyataan yang sama di majalah Islam Media Dakwah. Aditjondro berpendapat bahwa Beek menerapkan ‘teori hierarki lawan’ dalam membasmi ‘pengaruh buruk’ bagi umat Katholik di Indonesia hingga komunisme dapat dibendung di tahun 1965. Untuk Beek tersisa dua musuh utama, tentara dan Islam. Ia menganggap Islam sebagai musuh yang lebih berat dibanding tentara. Lambert Giebels, penulis biografi Soekarno pada tahun 2001 menulis peran Beek di dalam demonstrasi mahasiswa di tahun 1966 yang dapat menggulingkan Soekarno. Akhirnya, Soeharto dapat duduk di kursi kepresidenan. Hanya saja, data-data Giebels sering dianggap tidak akurat. Data-data lengkap mengenai aktivitas Beek baru dapat ditelusuri tahun 2006 lalu di publikasi ilmiah seorang mahasiswa doktoral asal Kalimantan Selatan di Universitas Utrecht. Mujiburrahman menulis Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order, sebuah thesis yang jauh dari sorotan media massa.

Mujiburrahman mengkonfirmasi fakta-fakta tersebut di dalam thesisnya dan ia juga menggambarkan kelompok minoritas Kristen di Indonesia yang merasa terancam dengan merebaknya komunisme pada awal tahun 60-an. Kaum Katholik mencoba mencari jalan keluar dengan menyusupi organisasi-organisasi militer. Pater Beek pun ingin satuan militer tersendiri. Bersama-sama dengan beberapa pastur dan uskup, ia mengumpulkan dan mengorganisasi latihan militer bagi pemuda dan mahasiswa Katholik. Khalwat dimulai di Asrama Realino di Yogyakarta dan selanjutnya dipindahkan ke Jakarta. Sebagian dana – selain dari Indonesia – didapat Beek dari Belanda dan Jerman. Dalam training kader militernya, tentara-tentara Beek dilatih selama sebulan penuh. Menurut Richard Tanter, peneliti asal Australia, calon militer tersebut diperlakukan tidak manusiawi. Seringkali mereka mendapat hukuman pukulan dan dibangunkan tengah malam untuk menjalani latihan fisik. Beberapa anggota militer tersebut memberikan detail secara anonim. Salah seorang dari mereka dikurung selama tiga hari tanpa diberi makan atau diikat di kursi di sebuah ruang yang sengaja digelapkan dan seekor ular – kendati tak berbisa – dibiarkan menjalar di bahu mereka. Ada lagi yang diikat setengah telanjang di pohon dilumuri lumpur dan dibiarkan semalaman digigiti nyamuk.

Setelah Khasebul usai, tentara didikan Beek ditugasi menjadi mata-mata handal untuk kepentingan jemaahnya. Konon, setelah kematian Beek di tahun 1983 bentuk pendidikan militer ini masih terus berlangsung. Di tahun 1971, peran Pater Beek juga disinggung dalam pembentukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Selain keterlibatan langsung dengan lembaga prestisius CSIS semasa Orde Baru ini, Beek dan tentaranya juga membuat banyak manuver politik dan terkait erat dengan BAKIN (kini BIN) dan OPSUS. Bahkan, ada desas desus ia berhubungan dekat dengan lembaga intelijen Amerika, CIA. Friksi dan konflik pun mulai bermunculan. “Secara teoretis idenya sebetulnya positif, tetapi pada prakteknya menjadi kisruh,” ujar salah seorang kolega Beek. Banyak pastur-pastur muda waktu itu yang menentang Beek dan membentuk gerakan-gerakan protes. Jenderal Soetopo Joewono, Kepala BAKIN saat itu pun memohon Vatikan untuk menarik Beek dari Indonesia. Beek sempat kembali ke Belanda, namun melanjutkan aktivitasnya lagi di Indonesia.

Sumber: Harian Noordhollands Dagblad “Wajangspeler trok aan vele touwtjes” (20-10-2007), Ilustrasi: Harian de Volkskrant dan kompas.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sebenarnya islam mempunyai pandangan yang lebih luas dari nasionalis
kunjungi blog saya ya
www.ngobrolislami.wordpress.com

ferry