Jumat, 05 Maret 2010

Achmad Mubarok : "Partai Demokrat Belum Berpengalaman dalam Lobi Politik"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Stigma kontroversial melekat pada sosok Achmad Mubarok. Pemicu utamanya terjadi di ranah politik Indonesia, menjelang pemilihan umum tahun 2009 lalu. Isu 2,5% (perolehan suara Partai Golkar, Red) yang dipersepsikan berasal dari Wakil Ketua Partai Demokrat itu, telah menghidupkan dinamika politik yang sangat meriah. Sebagian teman-teman Mubarok pun akhirnya mengambil kesimpulan, kiai yang juga guru besar dan banyak menulis tentang psikologi ini, telah berhasil menggerakkan sebuah perubahan dan kebuntuan politik. Achmad Mubarok juga bicara soal rivalitas SBY-JK, soal tim lobi SBY yang kurang terampil, dan arah politik paska sidang paripurna terkait Century, serta kemungkinan reshufle yang dilakukan satu tahun mendatang.

Pansus Century sudah tahap paripurna dan di sidang hari pertama telah terjadi keributan di ruang sidang, dan juga di luar. Menurut Anda, ke depan Pansus ini akan mengarah ke mana?
Opini sudah dibangun melalui media seperti sekarang, kemudian digiring opininya seperti ini, sehingga timbul statement di jalanan. Antara lain meneriakkan, "Budiono maling". Kalau nggak itu, rakyat ngamuk lah segala macem, opini bisa dibangun meskipun opini itu salah, tapi kebenaran nggak bisa diotak-atik. Pada saatnya, kebenaran yang akan muncul itu harus menjadi keyakinan. Dari awal kenapa ada Pansus dan Demokrat kenapa menyetujui ini? Karena sudah dihembuskan bahwa uangnya itu mengalir kepada demokrat dan ke tim sukses. Karena dibuat begitu maka untuk mewujudkannya dibuat Pansus. Seyakin-yakinnya Pansus akan membuka, karena semangatnya Pansus ngejar itu, tapi kemudian nggak terbukti. Nah, seperti mukul angin, kan orang kerja harus ada hasilnya. Kalau nggak ada hasilnya kan konyol. Sekarang ini posisi teman-teman yang ada di Pansus itu seperti maju kena mundur kena, sudah terlanjur maka kemudian sasarannya adalah soal penyebutan nama. Bagi Demokrat soal penyebutan nama itu masalahnya bukan ranahnya Pansus. Nama itu kan terdakwa. Nanti hukum, kalau rekomendasi Pansus, cukuplah gubernur BI, sudah cukup, Ketua KSSK cukup. Orangnya itu-itu juga.

Apa bedanya antara menyebut Gubernur BI tanpa nama, dengan menyebut nama Boediono?
Kalau nyebut Boediono itu nanti di opini publik Budiono-nya yang salah. Tapi kalau Gubernur BI, itu ada sistemnya. Nanti akan ketahuan yang betul-betul salah itu siapa, dan itu hukum yang menentukan. Kebenaran politik dan kebenaran hukum itu beda. Kalau kebenaran hukum, sesuai dengan pasal-pasal hukum, fakta hukum. Sedangkan kebenaran politik yang memuaskan syahwat politik. Itu masalahnya. Kebenaran filosofis, itu lain lagi. Kebenaran matematik lain lagi, dan kebenaran sosial lain lagi.

Nah, kalau Pansus ini, kebenaran apa yang mereka kejar?
Politis

Lantas kepentingannya apa dengan menyebut nama pejabat yang bertanggung jawab?
Ada karena kepentingan, ingin menjatuhkan Sri Mulyani. Paling nggak Sri Mulyani. Kenapa? Ketua Umum Golkar (Aburizal Bakrie/Ical, Red) ada masalah pribadi, yakni kasus saham Bumi. Terus yang kedua soal budget. Maka bagi Pak Ical itu harus dicermati, apa pun yang penting Sri Mulyani turun. Budiono itu banyak yang mimpi. Kalau Budiono turun, kan PKS boleh mimpi, Hidayat Nurwahid kan? Sesungguhnya PAN juga boleh mimpi gitu, Golkar juga boleh mimpi. Jadi syahwat politik yang memandu aktivitas, sehingga yang dikejar adalah kebenaran politis.

Sekarang kan sudah ada yang menyebut nama, itu berarti masuk wilayah hukum. Menurut Anda apakah masyarakat sudah terpengaruh dengan program yang mereka canangkan?
KPK sudah mengatakan, tidak akan terpengaruh oleh Pansus, karena rekomendasi itu bukan produk hukum, tetapi harganya adalah berlawanan dengan publik. Nah kalau opini publik sudah seperti itu, maka yang terjadi adalah instabilitas. Berarti seakan-akan hukumnya yang dibeli. Nah kalau instabilitas yang terjadi, maka korbannya adalah rakyat, karena pembangunan menjadi terganggu. Jadi sangat mahal

Menurut Anda, apakah sekarang ini sudah sampai ke tahap itu?
Ya, demo nggak habis-habis meskipun pemainnya itu-itu juga

Jadi tujuan mereka sudah tercapai dong?
Belum juga. Seandainya Sri Mulyani jatuh, belum tentu kemenangan bagi Golkar. Belum tentu SBY mau nego. Bisa jadi diangkat orang yang lebih galak dari Sri Mulyani, dan habis ini nanti. Tinggallah dibentuk pansus pengemplang pajak.

Kalau kemudian itu yang terjadi, ada kesan bahwa ini sudah mulai adu kekuatan. Ketika muncul Pansus Century, kemudian Demokrat dan Pak SBY lantas membuka kasus–kasus rawan?
Itu kan persepsi. Itu lah persepsi yang dibangun oleh opini publik itu. Jadi kalau Century itu benar, kalau penegakan hukum yang lain itu salah, seakan akan negara ini hanya ada Century. Itu keberhasilan Pansus, membuat Indonesia seolah hanya Century, informasi yang lain tertutup, program 100 hari tertutup, nggak ada beritanya. Betapa merugikan bagi kepentingan bangsa ini. Mestinya orang itu memikirkan kapal, kapal NKRI ini. Jangan hanya mikirin kamar mereka sendiri. Sebab kalau kapal NKRI tenggelam, ya kamarnya ikut tenggelam juga. Kebanyakan partai-partai politik hanya mikirin kamarnya saja. Maka wacana pemakzulan kalau mungkin, kenapa tidak? Gitu kan? Padahal kalau itu dilakukan, itu artinya apa? Itu hanya gerilya pemakzulan, akhirnya instabilitas. Jadi ibaratnya begini. mestinya elit itu pandangannya sama tentang arah. Ibarat orang di jalan tol Cikampek, semua orang tahu tol Cikampek arahnya ke sana. Pembangunan ini jelas, setelah konstitusi baru, presiden itu hanya dua kali, maka sudah jelas Pak SBY lima tahun lagi sudah selesai. Cikampek itu sekian kilo, jelas. Di Cikarang lihat sebelah kiri, ada jalan kecil, ada yang menarik, masuk. Oh di situ bagus ya? Masuk ke dalam lagi, ke dalam lagi. Akhirnya lupa pada Cikampek. Itu filosofinya. Seperti itu. Kebanyakan orang politik sekarang itu orang kecil. Pemimpin besar adalah orang yang cita rasa, dan perhatiannya jauh menembus sekat ruang dan waktu. Ruang kerjanya mungkin hanya 5 x 5 meter, tapi cakupanya ke seluruh wilayah negeri ini. Masa kerjanya mungkin hanya lima tahun, tapi yang dipikirkan mungkin untuk lima puluh tahun ke depan. Itu orang besar. Nah, kalau orang kecil ketika duduk di kursi itu yang terbaik kursinya aja nggak bisa lihat yang lain, maka bagaimana supaya tidak turun dari kursinya. Ketika dia masih punya lima tahun, ya mumpung masih lima tahun kita ambil sebanyak-banyaknya. Nah setelah pak Harto kita memang nggak punya lagi pemimpin besar. Pak SBY itu baru dalam proses menjadi orang besar. Pemimpin besar itu biasanya lahir dari dua pintu. Pertama biasanya dari revolusi. Dari revolusi muncul pemimpin besar. Yang kedua dari keharusan menghadapi problem-problem besar. Nah kalau dia berhasil, wujudnya dia jadi orang besar. Nah SBY masuk yang kedua ini. Sesungguhnya tuduhan kepada SBY itu dari dulu nggak berubah. SBY itu orang katakan peragu, lambat. Dari dulu orang mengatakan begitu. Selama lima tahun begitu. Tapi nyatanya, rakyat nyaman. Buktinya satu putaran selesai. Itu luar biasa. Rakyat nyaman, masih tetap aja mengatakan ragu, lamban, ragu-lamban. Jadi masyarakat lupa, masyarakat ternyata merindukan kembali sosok seperti Pak Harto. Padahal Pak Harto baru aja dihujat, SBY tidak mau mengulangi seperti itu. Lagipula eranya sudah berubah. Seperti contoh, kasus Bibit-Candra, Tim 8 sudah naruh bola, silahkan tendang Pak. Dua belas pas masuk. SBY nggak mau, tetap aja... Kapolri ini urusanmu. Kejagung ini urusanmu kenapa? Pak SBY tidak mau menggunakan kekuasaan, tapi obsesinya adalah pada bagaimana sistem berjalan.

Pada posisi seperti ini kenapa SBY tidak segera mengambil keputusan itu?
Sekarang itu tidak mungkin. Pada era demokrasi seperti ini, dirigen itu tidak dipatuhi, nggak akan dipatuhi. Karena bebas sekali foto presiden dibakar, polisi enggak nangkap. Kalau presiden pakai... malah semakin tidak berwibawa, karena semakin dilarang, semakin orang melanggar. Eranya beda. Pak Harto dulu, ada kasus... ingat pak Cacuk Sudarjanto, manajer terbaik di Telkom? Dia menolak proposalnya Tommy atau Bambang, sehingga terjadi gejolak. Menteri Telekomunikasi Pak Susilo Sudarman menemui Pak Harto. Pak gimana Pak soal Pak Cacuk? Sudah, selesaikan saja dengan baik. Kata-kata yang begitu baik, diterjemahkan sangat efektif oleh Susilo Sudarman. Nah, ketika ketemu Pak Harto, tanya kenapa Cacuk dipecat, kan gitu yah? Lah kan Bapak minta selesaikan dengan baik. Tuh, betapa efektifnya Pak Harto. Era sekarang nggak bisa begitu. Maka Pak SBY sebagai presiden hanya memutuskan sesuatu ketika semua persoalan sudah terang benderang. Selagi belum, dia tidak akan memutuskan, karena pasti banyak yang menentang. Sebagai contoh. Kasus Alzier (Alzier Dianis Thabranie, Red) Gubernur Lampung, MA memutuskan Alzier tidak bersalah, maka kemudian Golkar menuntut sebagai Gubernur, presiden tidak melantik-lantik. Golkar marah-marah, ini Pak SBY betul-betul tidak ada belanya kepada Golkar, karena Pak SBY punya argumen, waktu tanya kepada menteri Hukum Andi Mattalata, Pak iya Pak, dilantik bisa Pak. Tanya kepada ahli hukum Tata Negara Pak Yusril. Kata Yusril, nggak bisa Pak, kalau ada perlawanan hukum, pemerintah kalah. Pak presiden nggak puas. Tanya kepada dua ahli hukum independen, dua-duanya mengatakan no way, nggak bisa Pak dilantik. Makanya nggak berani. Kata Golkar SBY penakut, nggak berani. Sama soal kasus Century. Kenapa presiden nggak pernah ngomong. Percuma ngomong. Nah sekarang baru dia ngomong di depan ahli perbankan. Baru dia bicara

Setelah berbulan-bulan kenapa kok baru sekarang, baru mengatakan bertanggung jawab atas kebijakan bailout?
Kalau ngomong dari dulu, nggak bakal didengar, dianggap intervensi. Wong hanya mengatakan demo itu harus dengan etika, itu dikatakan intervensi. Iya kan? Eranya berubah.

Tapi yang terjadi kemudian, ini yang dirasakan masyarakat. Akhirnya kasusnya menjadi berlarut-larut. Kemudian baru beliau bersuara?
Iya memang. Karena undang-undang penghinaan presiden kan udah dicabut, jadi sistem yang harus jalan. Ada bias nih di sini. Sistem kita presidensil, mestinya kalau presidensil, presiden kita boleh begini, boleh begitu. Tapi di dalam praktek itu, parlemen sangat kuat. Maka seperti parlementer. Kemudian apa boleh buat, terpaksa harus berpikir tentang koalisi, meskipun konstitusi kita tidak mengenal adanya koalisi. Dulu pak Harto nggak ada koalisi. Nah pengalaman Reformasi, ada koalisi coba-coba, koalisi kebangsaan, koalisi kerakyatan seumur jagung. Koalisi kali ini agak konsepsional, yaitu koalisi di parlemen, di kabinet, bahkan kalau perlu, juga di DPRD. Dalam praktek sulit, karena di DPRD partainya berbeda-beda. Koalisi ini pun ternyata sulit juga. Contoh Tifatul, Presiden PKS, jadi menteri dicopot. Ketika terjadi begini-begini, coba Tifatul bicara, jawabannya apa, wah Pak, saya di partai sudah tidak punya kekuatan untuk ini. Lah kalau begitu, ini untuk apa?

Di parlemen sendiri, kalau terakhir saya dapat info dari menteri asal PKS, itu beberapa kali kumpul sama SBY. Katanya, nggak ada persoalan, tapi kalau di parlemen bagaimana?
Bukan, efektivitas. Mestinya menteri di kabinet harus punya pengaruh di parlemen.

Itu harusnya jadi ketua umum, seperti Pak Hatta Radjasa, Pak Surya Darma Ali?
Atau parlemennya harus ngerti bahwa itu menteri kita.

Tapi yang muncul sekarang ini kan seperti Golkar, sampai buat tantangan terbuka?
Itulah yang terjadi. Jadi koalisi itu masih belajar. Oleh karena itu, menurut saya, peristiwa sekarang ini menjadi catatan yang sangat penting. Habis Pansus mungkin belum ada reshuffle, setahun mungkin saya kira akan ada resuffle.

Pertimbangannya apa? Saya dengar Presiden SBY itu sudah ngomong ke beberapa orang --mungkin termasuk Anda-- bahwa tidak mau kalah dua–kosong. Dengan Pansus, seolah-olah SBY sudah kalah satu–kosong. Karena itu, kalau ada desakan untuk reshuffle dia tidak akan melakukan itu. Kalau dia lakukan, berarti dia kalah dua-kosong lagi mengikuti kemauan partai-partai?

Tapi nggak begitu, Pak SBY orang yang sangat hati-hati. Seratus hari itu belum waktunya, menteri baru kayak menteri lingkungan hidup itu baru belajar mengenali departemennya. Jadi kalau diresuffle saya kira belum waktunya. Reshuffle itu harus pada kinerja dan profesionalitas. Saya kira setahun lah baru ada reshuffle. Tetapi catatan sudah dibuat dari sekarang, dan menurut saya, ke depannya ada keseimbangan menampung partai-partai itu perlu dicantumkan maka lebih baik murni membuat second gabungan, partai partai hanya diambil sekedar panjangan saja

Apakah itu mungkin bisa terjadi kalau kondisi partai kita yang demikian banyak, sehingga tidak ada mayoritas pemenang?
Ketika koalisi, nggak ada gunanya juga. Apa gunanya? Sekarang menampung partai-partai nggak ada gunanya juga. Mendingan ndak, tidak punya beban.

Mengenai Pak Budiono yang non-partai, apa itu juga menjadi salah satu penyebab kenapa serangan terhadap Pak Budiono itu demikian kerasnya?
Kalau Sri Mulyani kasusnya dengan dua itu. Pertama, dengan pak Ical. Kedua dengan BPK, Hadi Poernomo, Ketua BPK kan? Waktu ia jadi dirjen pajak, dicopot. Kenapa dicopot? Karena temuan (Ketua) BPK yang dulu, Pak Nasution, laporannya dirjen pajak itu disclaimer. Ada 26 trilyun nggak jelas. Nah itu jadi dinonaktifkan, tetapi dengan cara apa Pak Poernomo kemudian masuk tim penasihat, dan di kemudian hari masuk menjadi ketua BPK? Ketika dia jadi ketua BPK, audit, wah. Ketika dia membaca laporan BPK di DPR, kayak orang perang melawan menteri keuangan.

Hadi Poernomo hanya satu orang, perumusan laporan BPK merupakan hasil tim?
Ada yang mengkritisi audit BPK tidak memenuhi standar. Boediono, orang non partai dan tidak nengok kiri-kanan tidak berpihak kemana-mana, posisinya empuklah. Memang itu antiklimaks dari sosok pak JK (Jusuf Kalla). Kalau JK itu wapres tapi bertindak seperti presiden. Pak Boediono adalah orang yang betul-betul menjadi wakil presiden. Kalau jamannya normal ya ini cocok sekali sehingga kebijakan pak SBY itu bisa jalan terus, jaman pak Jk dulu gagasan –gagasan pak SBY justru banyak di cut oleh pak JK

Apakah benar SBY-JK terjadi rivalitas?
Iya betul.

Apa karena dugaan awal seperti Anda katakan tadi?
Nah, karena ada dugaan seperti itu, dan ternyata nggak ada bukti, ternyata Bu Sri Mulyani, Pak Budiono, tidak ada memperkaya diri sendiri. Bahwa di dalam proses ada masalah, mungkin-mungkin saja lah.

Hasil tim pansus tadi kan sudah jelas menyebutkan nama, ada yang menyebut sembilan indikasi pelanggaran hukum dari bailout itu segala macam. Ke depan arahnya akan seperti apa?
Ya itu kan politik. Sementara itu harus dibuktikan di ranah hukum. Jangan lupa ada kasus-kasus soal kebijakan itu. Pak Habibie, umpamanya, membuat kita kehilangan Timor-timur. Tapi itu kebijakan. BLBI Rp. 600 trilyun, itu kebijakan. Jadi ada pelajarannya kan?

Artinya, Anda optimis kalau ini ke ranah hukum, tidak berjalan atau tidak bisa diteruskan?
Kecuali kalau nanti terbukti pak Budiono terima uang atau memperkaya orang lain, ternyata kan nggak ada itu memperkaya orang lain. Uang kembali ke nasabah. Bahwa nasabahnya pinter, nah itu ya, punya uang ya harus pinter. Umpamanya, Sampurna punya uang sekian, kalau nggak diakalin, cuma dapat Rp 2 miliar. Lalu dipecah sampai ada nama-nama fiktif. Ya prosesnya main dengan orang dalem, ya mungkin-mungkin aja

Menurut Anda, itu yang harusnya diproses?
Iya.

Bukan kebijakannya? Tapi, kan ada anggapan kalau kebijakan itu menyebabkan orang menjadi ...?
Oh itu kebijakan, enggak bisa, ya sama kebijakan Habibie menyebabkan Timor-timur hilang.

Tapi bagaimana kalau kebijakan itu dimanfaatkan orang untuk memperkaya diri?
Ketika bankir memecah nasabah itu, BI sudah nggak ikut

Yang lagi ramai menjelang paripurna Pansus itu kan banyak tim SBY yang melobi. Sebenarnya apa sih cerita di balik itu?
Nggak banyak.

Yang muncul ke permukaan kemudian, kesannya kubu SBY ini kayak orang kalap, Anda akui itu?
Ya saya akui terus terang, gini partai Demokrat sebagai pimpinan koalisi itu masih belum terampil. Kenapa ini, partai baru orang baru? Itu belum berpengalaman, termasuk pengalaman korupsi. Oleh karena itu, ada sedikit aja langsung ketahuan. Kalau partai yang lama korupsinya banyak nggak ketahuan. Kalau partai yang banyak korupsinya pasti partai pemerintah, partai lama. Kalau Demokrat masih baru, belum pengalaman.

Apa harapan Anda terkait rekomendasi Pansus?
Saya berharap, pada ujungnya ada usulan atau rekomendasi yang jujur.

Jujur menurut siapa dulu?
Ya itu masalahnya. Paling tidak, yang secara struktur bisa menjadi solusi bukan menimbulkan masalah baru. Sebab, kalau rekomendasi itu, justru menimbulkan masalah baru, kita akan tersandera kembali.

Ini akan menjadi borok selama lima tahun ini nggak selesai lho?
Iya. Seandainya juga tidak dibailout, negara juga harus nanggung. Jadi sesungguhnya nggak perlu ada Pansus, tapi karena tuduhannya uangnya itu masuk partai Demokrat, maka Demokrat oke buka. Pak SBY mengatakan, sumpah saya tidak menerima sepeser pun. Tapi karena sumpah politik tidak dipercaya, ketika nggak terbukti lalu kebingungan, apa ini apa ini. Carilah hal yang baru.

Anda sendiri, apakah diminta presiden untuk turun melobi?
Nggak, saya tidak diminta. Saya selama ini jalan sendiri, inisiatif sendiri. Tapi under cover, dan hasilnya saya lapor presiden, dan presiden mengatakan bagus-bagus. Teruskan cara seperti itu.

Menurut Anda apakah setelah Pansus Century ini urusan lantas selesai?
Saya tidak membayangkan segera selesai. Karena apa? Secara mendasar, masyarakat kita belum siap melakukan reformasi. Ketika mulai globalisasi. POdahal masyarakat kita itu ada lima strata. Pertama, ini masyarakat ultra modern, kemudian masyarakat modern, di bawahnya urban yang sangat besar, di bawahnya masyarakat tradisional, di bawahnya masih ketinggalan, prasejarah. Nah, lima strata ini mendapat stimulus yang sama dari dunia global, TV yang sama, mode yang sama, makanan yang sama. Padahal kemampuan memfilter itu berbeda-beda. Maka dampaknya, perilaku menyimpang ini masih berlanjut terus, ketika orang seperti saya sudah muak melihat ekspresi kebebasan, kelompok urban yang sangat besar lagi nikmat-nikmatnya mengekspresikan diri, bisa lempar polisi dengan batu, bisa bikin macet jalan tol. Luar biasa nikmatnya bagi mereka. Jangan lupa, demo itu kebanyakan orang urban, mahasiswa, datang dari kampung, belum modern mereka. Oleh karena itu, ini yang penting sekarang ini, di desa. Maka di desa pun sekarang kalau demo ke lurah mereka bisa mengatakan, lurah maling, lurah maling, karena nonton teve. Padahal ada tiga pilar budaya masyarakat bermartabat, yaitu menghormati orangtua, menghormati guru, menghormati pemimpin. Ini paket yah. Ketika pemimpin dikuyo-kuyo seperti sekarang, maka guru juga tidak dihormati oleh muridnya, ada yang nggak lulus ngamuk muridnya. Ini dampak dari pemimpin yang tidak dihormati. Kalau itu berlanjut, pada giliranya orangtua juga nggak didengar oleh anak-anaknya. Nah, politisi itu sama sekali nggak berpikir begitu. Nanti itu akan menimpa dirinya ketika anaknya tak mau mendengarkan. Lalu kapan berhentinya? Ketika masyarakat sudah bosan, maka satu ketika nanti orang demo bakar ban di jalan raya, yang demo akan dipukuli oleh masyarakat, atau ditangkap oleh polisi, karena merasa terganggu. Demo di Tangerang diusir oleh ibu-ibu pakai batu. Nanti suatu saat, kalau DPR rusuh, juga DPR-nya akan "dipukuli" oleh masyarakat. Pertanyaannya kapan? Sangat mungkin. Ada contoh yang menarik. Di Amerika, 50 tahun lalu, orang kulit hitam itu didiskriminasi. Arogansi orang kulit putih itu luar biasa. 50 tahun lebih, bosan mereka, kemudian dia memilih presiden yang tidak kulit putih. Tapi Amerika tingkat pendidikannya relatif merata.

(c) : http://www.gatra.com/

Tidak ada komentar: