Selasa, 19 Januari 2010

Syarifah Nawawi : "Perempuan Platonik TAN MALAKA"

Oleh : Muhammad Ilham

"Tan menjadi Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama ....... Dia menjadi amat antiborjuis dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya " ......... (Bonnie Triyana ... "cuma anekdot dikalangan sejarawan spesialis Tan Malaka)

Membicarakan rentang kehidupan Tan Malaka, sungguh menggairahkan. Integritas dan kecintaannya terhadap perjuangan ideologinya, menjadi sesuatu yang mencerahkan dan inspiratif bagi siapapun. Seumpama Hatta dan Yasser Arafat, Tan Malaka bukanlah seorang pecinta ulung yang Platonik "flamboyan" seumpama Soekarno ataupun Kennedy. Hampir sulit menemukan nama wanita dalam "catatan hidupnya". Seperti juga DN. Aidit (Dipa Nusantara/Dja'far Nawawi Aidit), Tan Malaka hampir tak pernah memberikan porsi lebih untuk menceritakan atau memperkuat tesis Lavoisere dan Foucault bahwa : "wanita mejadi salah satu aspek terpenting merubah dan mempengaruhi jalannya sejarah". Namun, bukan berarti, Tan Malaka tidak memberikan apresiasi terhadap sosok manusia yang bernama wanita. Secara "diam-diam", Tan Malaka terkadang menyelipkan "harapan Platoniknya" kepada satu dua orang wanita. Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut ”Nona Carmen”, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris.

Setelah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25 tahun ini keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di paviliun rumahnya di Cikini. Tan sering datang ke sana. Saking lengketnya mereka, teman-teman dekatnya menganggap Paramita tunangan Tan. Padahal umur mereka terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang menemui Paramita pada 1980, perempuan yang tak menikah hingga meninggal pada 1986 itu mengaku mencintai Tan. Namun ”pertunangan” itu tak sampai ke jenjang pernikahan. ”Dia kelewat besar buat saya,” katanya. ”Dia menginginkan saya seperti sosok Raden Ajeng Kartini.” Seorang Tan Malaka ..... dengan kecerdasan, ketokohan dan segala hal yang dimilikinya, perempuan mana yang tidak akan takluk? Namun, nyatanya masih ada yang menolak. Bahkan 2 kali. Siapa dia ? Dialah…Syarifah Nawawi.

Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Ma’moer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan. Syarifah adalah anak keempat dan putri ketiga dalam keluarga Nawawi. Pendidikan untuk anak penting bagi Nawawi: anak-anaknya disekolahkan ke sekoah Eropa; dua saudara perempuan Syarifah mendapat pendidikan privat di rumah. Nawawi yang berpikiran maju memasukkan Syarifah ke Europeesche Langere School (ELS), sekolah Belanda di Bukittinggi. Tamat dari sana kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Kweekschool Bukittingi, tempat ayahnya mengajar, pada tahun 1907. Syarifah adalah satu-satunya murid perempuan di antara 75 orang murid sekolah itu di tahun 1908 (17 orang calon ambtenaar/pegawai, 58 orang calon guru). Dengan demikian, Syarifah adalah gadis Minang pertama yang mencicipi sistem pendidikan sekolah Eropa. Tamat dari Kweekschool Bukittinggi, Syarifah, bersama dengan saudara perempuannya, Syamsiar, dikirim oleh ayahnya ke Salemba School di Batavia. Di sana ia berkenalan dengan tunangan Bupati Cianjur, R.A.A.M. Wiranatakoesoema, yang kemudian ikut menentukan jalan hidupnya: dalam suatu kunjungan tamasya ke Cianjur, atas ajakan tunangan Wiranatakoesoema, Syarifah bertemu dengan bangsawan Sunda itu. Wiranatakoesoema jatuh cinta kepada Syarifah. Mereka akhirnya menikah bulan Mei 1916 (waktu itu Wiranatakoesoema sudah punya dua istri, yang kemudian diceraikannya karena ingin menikahi Syarifah). Mulai tahun 1920 R.A.A.M. Wiranatakoesoema diangkat menjadi Regent Bandung.

Namun rumah tangga Syarifah dengan R.A.A.M. Wiranatakoesoema tidak langgeng: tanggal 17 April 1924, ketika sedang liburan bersama anak-anaknya di rumah orang tuanya di Bukittinggi, ayah Syarifah menerima telegram dari suaminya yang sedang berada di kapal antara Colombo dan Aden dalam perjalanan beliau naik haji ke Mekah. Isi telegram itu melarang Syarifah “pulang lagi ke Bandung untuk memangku jabatan Raden Ayu Bandung karena ia kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi tata hidup Sunda”, demikian tulis Mien Soedarpo dalam kenangan terhadap ibunya itu (1994:11): Syarifah telah diceraikan oleh suaminya. Banyak kecaman diterima oleh R.A.A.M. Wiranatakoesoema atas keputusannya menceraikan Syarifah, yang muncul di koran-koran Belanda maupun pribumi, termasuk oleh H. Agus Salim. Syarifah tegar menerima perceraiannya, dan tidak dendam kepada mantan suaminya. Ia tidak penah menikah lagi, dan menjadi single parent untuk 3 anaknya: Am, Nelly, dan si bungsu Minarsih (Mien) yang kemudian menikah dengan Soedarpo Sastrosatomo, seorang tokoh pejuang kemerdekaan. Hubungan baiknya dengan teman-temannya, termasuk sejumlah keluarga petinggi Belanda seperti Gubernur Jendral Van Limburg Stirum dan istri, keluarga Hazeu, dan keluarga Baron van Asbeeck, tetap berlanjut. Syarifah, yang fasih berbahasa Belanda, tetap berkorespondensi dengan mereka.

Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minang—bukan emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya. Foto ilustrasi untuk artikel ini direproduksi dan dikreasi dari buku anak perempuan Syarifah, Mien Soedarpo, Kenangan Masa Lampau, Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Sejati, 1994:4). Tapi itu bukan halangan bagi Tan untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School, Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Menurut sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka, Harry A. Poeze, Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. ”Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu katanya kepada Poeze sewaktu mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan di mana keanehan orang "besar" asal Pandan Gadang Suliki yang menaksirnya itu. 

Referensi : Suryadi Sunuri/niadilova.blogdetik.com

Tidak ada komentar: