Senin, 20 April 2009

Sebuah Catatan Atas Luka Akan Selalu Ada

Oleh : Muhammad Ilham

“Walau sejarah belum tentu (dan tak perlu) menghadirkan para penulis sebuah buku agar menjadi tokoh di dalam perjalanan waktu, sebuah catatan atas luka akan selalu ada…”, setidaknya demikian kata sang Revisionis (dalam tradisi Marxian), Antonio Gramsci. Saya mulai tulisan (tepatnya penggalan “reportase-highlight” dari seorang putra DN. Aidit, Ilham Aidit – tidak pakai Muhammad, sebagaimana halnya dengan nama saya, Muhammad Ilham). Penggalan tulisan ini merupakan “jerit” dari seorang anak menyaksikan kehancuran fantasi terbesarnya yang bernama “keluarga”, sebagaimana halnya jerit pilu Amelia Yani melihat ayahnya Ahmad Yani ditembak. Ideologi telah meluluhlantakkan kebahagiaan yang difantasikan Ilham Aidit. Saya dan kita, mungkin tidak sependapat dengan pilihan ideologi ayah Ilham Aidit (baca: komunis), namun setidaknya, tulisan dibawah ini kembali “menjemput” masa lalu yang tidak ingin kita ulang kembali. Berikut penggalan “reportase-highlight”

Di kejadian 42 tahun yang lalu, 30 September 1966 hampir tengah malam. Di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Jakarta, hanya beberapa meter dari Monumen Proklamasi. Seorang bocah Ilham, kelopak matanya banjir melihat ayah yang dibanggakannya dibawa pergi oleh tiga tentara. Pergi dan tak pernah kembali. Ketika besar, dia mendapati kenyataan bahwa ayahnya, D.N. Aidit tewas ditembak Kolonel yasir di sebuah sumur tua di Boyolali, setelah sebelumnya melalui jalan pengkhianatan karib yang menyesakkan hati pemuda yang pidatonya menggetarkan hingga ke Kremlin itu. Tak jauh beda dengan nasib para jenderal pahlawan revolusi yang terbunuh dalam peristiwa di malam yang sama. Ibundanya, dr. Soetanti kemudian menyusul ayahnya untuk pergi dalam waktu yang teramat lama, dari penjara ke penjara. Baru 16 tahun setelahnya, di tahun 1980, sang bunda bebas dari Penjara Pulau Buru. Sejak malam itu, Ilham kecil tak pernah lagi memiliki rumah tempat ayahnya pulang, tempat mereka berkumpul dan mendengar riuh diskusi politik yang sama renyahnya dengan lagu keroncong yang mereka gemari. Rumah besar yang ditempatinya beserta empat saudara dan dua pamannya itu, di hari-hari berikutnya kemudian berwarna suram, gelap. Sebagian karena bekas api, tumpahan bensin, namun lebih banyak bekas kekalutan dan kebingungan. Dari sebuah tempat berkumpul para pejuang buruh, pemikir nasionalis dan para politikus setia, kemudian berubah menjadi rumah hantu yang ditakuti. Selepas peristiwa G 30 S itu, rumah mereka diamuk massa. Semua penghuninya kemudian menyebar bagai diaspora kemanapun rasa aman bisa ditemukan.

Ilham yang masih bocah dan tak cukup paham polemik politik tingkat tinggi itu, berpindah dari satu rumah kekhawatiran ke rumah kecurigaan yang lain, hanya menggantungkan harap dan iba kepada kerabat yang bermurah hati menampungnya. Sesekali aparat mencoba menghantui dengan wajah dendam dan revolver. Nasib Ilham kecil, tak jauh beda dengan tujuh anggota keluarga yang menempati rumah di Jalan Pegangsaan itu. Saudara-saudara lainnya juga bernasib sama, kakak sulungnya Ibarurri dan Ilya Aidit menjadi eksil di luar negeri, berpindah-pindah. Paman dan ibunya menjadi tahanan negara tanpa pernah diberi peluang membuktikan kesalahannya, selain bahwa dalam darah mereka mengalir darah leluhur Aidit. Nasib anak-anak Aidit teramat tragis, menjalani hari demi hari dalam ketakutan dan teror, di balik sejarah hitam ayahnya, yang sampai saat ini masih mengundang kontroversi di balik debat para analis sejarah.

Kini, Ilham Aidit sudah punya rumah sendiri di Depok. Bangunan suram dan kelam masa lalunya mungkin akan tetap jadi monumen kenangan pahit dan disimpan rapi dalam museum masa lalunya. Beberapa tahun silam, Ilham menyempatkan diri mengunjungi “petilasan” ayahnya, sebuah sumur tua di samping sekolahan nun jauh di sebuah dusun di Boyolali. Tidak ada gundukan tanah, pusara, apalagi taburan kembang nan harum di atasnya. Hanya gundukan sampah dan hempasan ketidakpedulian, yang mungkin masih lebih baik daripada ketika di masa Orde Baru. Sumur tua tempat jasad ayahandanya dicampakkan itu pernah menjadi monumen lupa dan tidak peduli penduduk di sekitarnya. Juga para tentara yang menjadi saksi kelam kejadian di malam 22 November 1966 itu. Ilham Aidit sadar, tidak ada gunanya mengalirkan rasa kecewa dan ketakutan itu sepanjang hidupnya. Dia berharap, tidak ada lagi rumah kelam bagi anak-anak yang lain, dan untuk itu dia perlu turun tangan membangun rumah yang lebih indah, terutama bagi yang membutuhkan. Beserta kawan-kawan arsiteknya, dia terlibat dalam proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami, membangun rumah-rumah untuk anak-anak korban tsunami. Berhasrat dia menyediakan rumah yang teduh bagi tumbuh kembang anak-anak itu, bukan rumah gelap nan suram dan selalu berganti, sebagaimana yang dia hadapi dulu..................... Historia Vitae Magistra

Insert : Brand Film Penumpasan G 30 S-PKI dan Dipa Nusantara Aidit@Danu Nusantara Aidit@Dja'far Nawawi Aidit@DN. Aidit dan entah apalagi

Tidak ada komentar: