Tan Malaka adalah “flamboyan-miskin” yang sangat rasional. Bacalah “Magnum Opumnya” Madilog.  Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim. Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang 
Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam. Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob  (Tentang Biografi beberapa nama ulama  ini : lihat  Link-Personal Blog/Ulama Minangkabau : Personal Research)
Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan. Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda).
(Kahin (2005) mengatakan bahwa Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari. Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia  dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar