Rabu, 04 Maret 2009

Vox Populis Vox Dei

Oleh : Muhammad Ilham

Siapa yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para calon anggota legislatif (caleg)? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat. Jadi, tanpa rakyat, tak mungkin lah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang turut serta). Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg menjadi anggota legislatif (aleg) di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas.

Namun sekonyong-konyong, muncullah gagasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang zipper system di tahap penetapan para aleg nanti. Intinya, gagasan tersebut mengharuskan adanya satu perempuan untuk setiap tiga caleg terpilih. Jadi, untuk setiap tiga kursi DPR/DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah) yang diperoleh suatu partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada perempuan. Kita percaya tujuan di balik gagasan zipper system itu amat mulia: demi meningkatkan kemajuan politik kaum perempuan Indonesia. Tetapi, adakah payung hukum yang melandasi implementasinya sebagai kebijakan publik yang sah? Sebelumnya diusulkan untuk membuat perppu sebagai dasar hukumnya, namun hingga kini perppu itu belum juga keluar. Meski begitu, anggota KPU Andi Nurpati “ngotot” bahwa KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Inilah yang mengherankan kita. Mengapa KPU sampai bersikap demikian? Bukankah dengan logika sederhana saja kita bisa menyimpulkan bahwa gagasan zipper system di tahapan aleg itu bertentangan dengan keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”? Sebab, bukankah yang harus terlebih dipandang utama dalam pemilu adalah rakyat dan bukan para caleg? Jadi, mengapa tidak membiarkan rakyat sungguh-sungguh bebas memilih para caleg yang dipercayainya untuk menjadi wakil rakyat kelak? Mengapa seakan ada niat untuk mengintervensi kedaulatan rakyat, meskipun itu atas nama afirmasi kaum perempuan atau demi kemajuan politik kaum perempuan?

Hukum jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak, agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, dalam konteks pemilu, keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak” harus dihormati semua pihak. Jadi, tak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum perempuan yang masuk ke lembaga legislatif. Bukankah di tahapan caleg, kebijakan kuota 30% caleg perempuan sudah diberlakukan? Kalaulah hasil dari kebijakan afirmatif ini kelak masih belum memuaskan, bukankah yang mestinya kita prihatinkan adalah kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender yang belum tersebar luas di masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan itu sendiri?

Perihal masih minimnya kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender, inilah yang harus menjadi pekerjaan rumah kita semua. Untuk itulah ke depan kita, bukan hanya KPU, harus lebih gigih memperjuangkannya melalui berbagai bidang semisal pendidikan, agama, dan lain sebagainya. KPU sendiri niscaya lebih tepat jika berkonsentrasi memikirkan bagaimana caranya agar potensi golput pada pemilu mendatang ini dapat diminimalisir. Memang, golput merupakan hak setiap orang. Namun ini bukan soal golput sebagai hak atau golput politis, melainkan golput administratif: yang tidak bisa memilih karena belum terdaftar sebagai pemilih karena satu dan lain hal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak warga negara Indonesia yang sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilihnya nanti, tapi terganjal oleh ketidakcermatan administrasi negara. Warga yang hingga kini belum terdaftar itu bisa saja di waktu lalu memang malas mendaftar, atau mereka tidak tahu kapan, ke mana, dan bagaimana harus mendaftar. Jumlah mereka diperkirakan sangat besar. Survei Indo Barometer menunjukkan indikasi itu. Dari 1.200 responden di 33 provinsi di seluruh Indonesia yang memiliki hak pilih, baru 67,2% yang sudah terdaftar. Sebanyak 18,3% menjawab tidak terdaftar, sisanya 14,5% tidak tahu.

Belum lagi jika dipersoalkan juga golput administratif dalam pengertian yang lain, yakni yang tidak mengerti bagaimana cara menandai pilihan calegnya nanti pada surat suara. Responden pada kategori ini berjumlah 60,8%. Itu berarti, jika pemilih berjumlah 170 juta orang, potensi suara tidak sah bisa mencapai 102 juta orang. Sebuah angka yang lebih dari cukup untuk menggerogoti legitimasi hasil pemilu. Bukankah KPU dan institusi negara terkait di tingkat bawah seharusnya lebih proaktif mendekati warga masyarakat untuk kepentingan itu? Tak pelak, persoalan ini harus diantisipasi sejak dini. Demi semakin kuatnya legitimasi demokrasi dalam pemilu kelak, tidak ada salahnya KPU berpikir kreatif dan melakukan upaya-upaya yang lebih gigih dalam memperjuangkan kemungkinan membuka kembali kesempatan bagi warga masyarakat yang belum terdaftar sebagai pemilih, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Meskipun waktu yang tersisa menjelang hari “H” 9 April sudah relatif pendek, namun perhelatan politik nasional yang amat penting ini layak dipertimbangkan untuk mencari pelbagai kemungkinan dan menerobos pelbagai hambatan dalam rangka itu. Terkait cara menandai caleg yang dipilih pada surat suara, KPU juga harus menemukan cara yang termudah dan dapat dimengerti semua orang. Sekali lagi, demi kualitas demokrasi Indonesia ke depan, jangan sampai jutaan warga negara Indonesia merasa dikebiri haknya dalam pemilu. Jika itu yang terjadi, sama halnya dengan mengamputasi demokrasi, karena basis dari demokrasi adalah suara rakyat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Golput bukan hanya masalah teknis andministratif, tapi juga agamis-ideologis:

http://sinauislam.wordpress.com/2009/03/01/keutuhan-dan-kesempurnaan-islam/