
Dari Persia dan Byzantium, diambil bermacam-macam gaya upacara dan estetika-seni. Dari India, matematik dan ilmu perbintangan. Dari negeri “para dewa” Yunani, diambil antara lain filsafat dan logika. Dalam khazanah intelektual Islam, unsur-unsur yang diperoleh dari peradaban lain tersebut tidak hanya ditiru an sich tetapi ada improvisasi, ada pengembangan dan kemudian diberi perspektif dan aura keIslaman. Perkembangan peradaban ummat Islam yang paling menarik antara abad ke-VII hingga XIII Masehi tersebut adalah bagaimana peradaban dan agama yang berasal dari bangsa Arab di gurun pasir yang miskin lagi terpencil itu, seolah-olah tahu sekali bahwa yang pertama sekali harus direbutnya adalah ilmu pengetahuan. Pada saat ini sangat kentara sekali kegairahan para elit dan anggota-anggotanya mengumpulkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, dari berbagai disiplin ilmu dari berbagai negara manapun juga. Banyak muslim pilihan pada masa ini yang melakukan perjalanan intelektual, keluar dari habitat teritorial mereka. Perjalanan intelektual tersebut melahirkan catatan-catatan ilmiah berdasarkan pengamatan empirik. Catatan-catatan ini kemudian disampaikan pada muslim lainnya. Buku-buku berkualitas diterjemahkan secara massif kedalam bahasa Arab. Perguruan tinggi dan institusi intelektual lainnya di pusat-pusat agama dan politik Islam seperti Cordoba Spanyol, Baghdad dan Cairo menjadi sentra pemikiran dan penyelidikan bergengsi dan bermartabat pada zamannya.

Sementara itu di Mesir, Dinasti Fathimiyah juga terdapat perpustakaan besar yang memuat lebih kurang 200.000 buku dan mayoritas tentang ilmu Yunani klasik, tata bahasa, lexikografi, hadits, sejarah, kimia dan biografi raja-raja. Dinasti ini memberikan otonomi khusus bagi Cairo untuk mendirikan Universitas Al-Azhar yang kesohor itu. Lebih penting lagi, Khalifah al-Hakim mendirikan sentra ahli-ahli hukum yang dinamakan Darul Hikmah. Kegemilangan yang sama juga terjadi di Spanyol. Emir Abdurrahman III dikenal sebagai penguasa Islam yang memiliki tingkat apresiasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan disamping hobbinya pada musik. Beliau meletakkan iklim dan tradisi kondunsif untuk penulisan dan penterjemahan buku-buku kedokteran, filsafat da mistisisme. Hal ini kemudian diteruskan oleh putera-puteranya yang menjadikan Cordoba menjadi sentral ilmu pengetahuan ungulan pada masanya. Pakar sejarah Timur Tengah Klasik, Philip K. Hitti mengatakan bahwa pada masa ini, sebahagian istana dikosongkan dan dijadikan tempat bekerja sehingga disana hanya ditemui juru penyalin dan juru penjilid. Luar biasa. Diperkirakan jumlah buku mencapai 400.000 buah buku. Universitas Cordoba menjadi universitas terkenal dan bermutu. Pendidikan tidak dikenakan pajak.
Cerita manis ini akhirnya berhenti hingga abad ke-XIII Masehi. Selanjutnya, apresiasi terhadap rasio mulai redup. Perdebatan serius antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, antara Sunni dan Muktazilah, membuat kebebasan berfikir dan melakukan pengayaan ilmu pengetahuan mulai meredup seiring dengan kejatuhan kekuasaan Islam dan munculnya tradisi glamour pada penguasa yang tidak respek terhadap pengembagan intelektual. Bersama-sama dengan hilangnya semangat pemikiran dan penyelidikan ilmu yang menjadi ciri khas kebesaran dan kemajuan Islam selama enam abad masa-masa keemasannya, maka kegairahan untuk memajukan ilmu mulai berkurang dari posisi tawar golongan sarjana mulai menurun.
Malahan dibeberapa tempat seperti Baghdad, perpusatakaannya habis dibakar, dirampas dan dimusnahkan oleh Tentara Tartar – ”Petarung jempolan buta huruf yang penuh dengan kutu dan mengerti betul pentingnya arti mandi apatah lagi arti buku”, demikian kata Goenawan Muhammad dalam salah satu Catatan Pinggir-nya. Tentara Tartar, demikian ratap Iqbal, telah melahirkan peristiwa tragis paling memiriskan dalam sejarah intelektual Islam. Nasib perpustakaan Fathimiyah di Cairo adalah contoh terbaik perubahan mentalitas dalam kejatuhan peradaban Islam. Perampasan yang pertama terjadi pada waktu berjangkitnya kelaparan dan anarkhisme yang menghancurkan kerajaan Khalifah Musanjadid. Beribu buku-buku berharga tentang keindahan kaligrafi, ditinggalkan kepada Budak. Konon, kata sejarawan Thomas Marzuk (2000), para Budak tersebut membuka kulit-kulit buku itu untuk dijadikan sepatu. Banyak buku-buku yang dilemparkan ke Sungai Nil sebagaimana halnya buku-buku Dinasti Abbasiyah yang dibuang tentara Tartar ke Sungai Eufrat dan Tigris, sehingga warna sungai ”berubah hitam karena tinta”. Sebahagian buku diselamatkan. Dan akhirnya, tahun 1122, Darul Hikmah ditutup.
Nasib sarjana dan perpustakaan ditempat lain, tak jauh beda. Semangat ilmu tersebut universal dan tidak memiliki nasionalisme mulai hilang dan kemudian berganti dengan semangat ideologis-parsial. Ahli-ahli hukum mazhab Maliki, misalnya, sangat giat membakar naskah-naskah Yunani klasik kecuali naskah-naskah yang berhubungan dengan kedokteran dan aritmetika, kamus, tata bahasa, hukum da hadits. Disamping dibakar, banyak buku-buku berharga dari hasil penterjemahan dan pengayaan tradisi intelektual Yunani Klasik dan Pesia dijual dengan harga murah. Khazanah kaya tersebut akhirnya berpindah ke pusat-pusat yang lain yang berusaha menyamai Cordoba. Peradaban Islam pada masa ini diisi oleh iklim dengan mental yang berbeda dengan mental sebelumnya. Pada sisi lain, pada waktu itu Eropa sedang bergairah menterjemahkan buku-buku dari bahasa Arab. Perpustakaan dan lembaga-lembaga penyelidikan banyak bermunculan. Pusat penterjemahan dari bahasa Arab yang sangat terkenal dalam sejarah eropa pada abad ke-XIII Masehi terdapat di sebelah barat Eropa. Santa Maria di Rippol di kaki gunung Pirrenia menjadi catatan emas sejarah intelektual Eropa. Tempat ini dikenal sebagai tempat paling produktif dalam menterjemahkan berbagai buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin.

Memperhatikan dan membandingkan sifat peradaban Islam di zaman keemasannya dengan peradaban modern dalam beberapa abad belakangan ini, tidak mengherankan banyak orang Islam yang berpendapat bahwa kemajuan dunia modern ini pada hakikatnya adalah kemajuan yang dikehendaki agama Islam seperti yang terjadi pada abad ke VII – XIII Masehi. Pada hakikatnya, orang Eropa-lah yang melanjutkan spirit Intelektual Islam. Mungkin ini terkesan bertendensi apologis dan romatisme sejarah. Tapi tidak salah bila kita bersikap dengan dua episode sejarah diatas. Peradaban Islam maju ketika tradisi intelektual berkembang tanpa memandang dari mana ilmu tersebut berasal. Demikian juga halnya ketika tradisi intelektual eropa yang menghilangkan ego-parsial mereka dan mereka mau berkata, ”walaupun ilmu tersebut berbahasa Arab, tapi tidak salah kita ambil dan kita bawa ke dunia kita”. Haruskah selanjutnya pada zaman kita saat sekarang ini, kita selalu mengedepankan bahwa ilmu dari ”out-group” kitatidak bagus dan tidak Islami? Kalau ini yang terus kita lakukan, ”nilai yang terus dipelihara”, historia not-repete – sejarah tidak akan berulang. Cerita manis masa lalu akan tetap dalam bungkusan apologia. Sebuah kompensasi atas inferioritas atau hanya sebatas romantisme sejarah. Wallau ’Alam.
:: Artikel ini telah diterbitkan dalam PADANG EKSPRES, 23 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar