Oleh : Muhammad Ilham
Salah satu yang menjadi daya tarik bagi saya ketika “berjalan-jalan” ke perkampungan-perkampungan di daerah Sumatera Utara, khususnya perkampungan yang menjadi “enclave” Batak (baik Batak-Mandailing, Toba, Sipirok, Dairi, Simalungun dan Karo), adalah menambah kosakata “marga-marga” orang Batak dalam khazanah saya. Orang Batak, sebagaimana halnya etnik Manado selalu mencantumkan nama marga dan clan di belakang nama kecil. Menurut Elfitra (2002), orang Jawa dan Sunda lumayan ketat dalam memberi nama anak, sehingga nama-nama mereka memiliki kekhasan tersendiri. Bagi orang Jawa dan juga Sunda, dari nama saja bisa langsung dikenali status sosialnya sekaligus, apakah dia keturunan bangsawan atau rakyat biasa. Nama depan “Andi” jelas berasal dari kaum ningrat Sulawesi Selatan, khususnya etnik Bugis. Jadi Andi Mallarangeng yang sudah "dicekal" KPK itu, ternyata turunan bangsawan, sama dengan penyanyi legendaris Andi Meriem Matalatta. Demikian juga halnya dengan kelompok masyarakat adat lain : Badui, Dayak, Sakai, Nias atau Mentawai, masing-masing memiliki karakter tersendiri yang mudah dikenali (addressed). Namun tak ada yang “seketat” orang Batak dan Manado dalam memberi nama dengan kualifikasi addressed tersebut. Manado-Kawanua, misalnya, kita mengenal clan seumpama Tambayong, Pondaag (jadi ingat Pance Pondaag), Mangindaan (marganya Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi EE. Mangindaan), Rumangkang dan seterusnya. Nah, bagi saya, nama-nama orang Batak (dalam hal ini, marga-nya) adalah sesuatu yang teramat kaya-variatif, representasi yang jelas dan kadang-kadang unik bila didengar oleh telinga. Karena itulah, bila saya melakukan perjalanan ke Sumatera Utara, maka mata saya selalu akan mencari nama-nama orang Batak yang (baik) tertera di papan pengumuman, di depan pintu rumah ataupun di kertas-kertas Koran.
Ketika memulai perjalanan melewati kabupaten Mandailing-Natal terus ke Tapanuli Selatan, nama-nama marga yang sering terbaca oleh saya di papan pengumuman masjid (nama-nama pengurus masjid ataupun khatib masjid ketika singgah untuk sholat dan istirahat) adalah Nasution (marga-nya Jenderal A. Nasution dan Adnan Buyung Nasution), Lubis (jadi ingat dengan Perwira berpengaruh yang menjadi salah satu otak PRRI - Kolonel Zulkifli Lubis ..... kalau sekarang, Lubis melekat dalam kosakata publik karena advokat senior Todung Mulya Lubis dan Indra Sahnun Lubis ...... 2 tahun lalu, Kadiv. Humas Polri juga bermarga Lubis - Brigjen. Zainuri Lubis), Hasibuan, Rangkuti (marganya sastrawan-penyair kondang, Hamsad Rangkuti), Pane (ingat pada Sanusi dan Armijn Pane), Pohan, Pulungan, Tanjung (marganya Akbar tanjung dan Faisal Tanjung ........ dan owner TransTV-TransCorp, Chairul Tanjung), dan Dongoran. Ketika memasuki daerah Tapanuli Tengah dan Utara lanjut ke Toba Samosir, biasanya di setiap rumah warga, khususnya di perkampungan, akan terpampang papan nama (kecil) di atas pintu masuk rumah mereka. Nama kepala keluarga. Dan yang paling ditonjolkan adalah nama marga. Begitulah, ketika masuk daerah Sibolga menuju Barus dan Dolok Sanggul terus ke Pakkat …….. saya menikmati “kekayaan-ragam” nama-nama marga. Ada Simanjutak (biasanya sering ditulis M. Simanjuntak atau L. Simanjutak dan seterusnya ……. M dan L, ada juga W ataupun K … tapi selalu disingkat, sementara marga ditulis lengkap), Silalahi (tokoh nasional bermarga Silalahi, sekarang ini, diantaranya TB - Tahi Bonar - Silalahi), Situmeang, Simarmata, Sitompul (marganya si Poltak yang didepak dari Demokrat), Silitonga (pasti ingat dengan penyanyi terkenal era 70-an Eddy Silitonga), Silindung, Singarimbun (jadi ingat sosiolog kenamaan UGM – Prof. Masri Singarimbun …. dan “si – si” yang lain, termasuk Sidabutar, Sitanggang, Sitorus dan Simbolon. Hutasoit (dulu pada era Soharto ada Menteri bermarga Hutasoit - JE. Hutasoit), Hutasuhut, Hutagalung (siapa yang tak kenal Charles Hutagalung, penyanyi bersuara tenor idola ayah saya ... coy), Hutapea (marganya si flamboyan Hotman Paris Hutapea), Hutajulu, Hutahaean, Hutabarat (pasti ingat dengan penyanyi bersuara merdu, Victor Hutabarat) dan “huta-huta” lainnya seperti Hutauruk (dulu ada penyanyi wanita terkenal, Bornok Hutauruk) dan Hutagaol (Huta Timur tak saya jumpai, apalagi Huta Selatan apatah lagi Huta Tenggara). Melewati Dolok Sanggul terus ke Siborong-Borong menuju Parapat, saya catat beberapa nama marga yang lain (setidaknya yang saya lihat/tertulis di pinggir jalan). Ada Panggabean (jadi ingat dengan “orang kuat” zaman Soeharto, Maraden Panggabean yang Jenderal itu), Panjaitan (marga-nya Donal Izaac/DI. Panjaitan yang patungnya ada di Balige), Tampubolon, Pardede (dulu ada klub bola terkenal, Pardedetex yang owner-nya pengusaha terkenal Batak era 70-an TD. Pardede), Pangaribuan (marga advokat dan tokoh HAM, Luhut Pangaribuan), Gultom, Nainggolan, Tambunan (marga-nya Gayus), Sinaga (jadi ingat dengan Cyrus Sinaga), Girsang, Damanik, Manik.
Ketika melewati daerah menjelang Medan terus ke Sipirok, saya mencatat beberapa marga yang cukup “familiar” kita dengar. Ada Siregar, ada Batubara (marganya mantan menteri Cosmas Batubara), Harahap dan seterusnya. Ketika akan memasuki daerah Karo (Batak Karo) ……. Nama-nama marga-nya semakin “enak didengar”. Ada Perangin-Angin, Sembiring (mungkin Menkominfo Tiffatul Sembiring adalah orang Karo), Bangun (ingat : actor laga Indonesia angkatan Barry Prima, Advent Bangun), Ginting dan seterusnya.
Saya tak sempat mencatat nama-nama marga yang lain. Saya yakin dan percaya, masih puluhan lagi yang belum terbaca oleh saya. Tapi ada satu marga yang dalam perjalanan bulan Desember 2012 lalu yang selalu saya cari-cari, tapi tak ketemu, yaitu marga RAJAGUKGUK. Marga seorang pakar hokum tata Negara, Prof. Erman Rajagukguk. Saya membayangkan (sambil tersenyum), bila dua pakar dari dua daerah berbeda dipertemukan di sebuah forum seminar, yang satu Prof. Erman RAJAGUKGUK, yang satunya lagi sejarawan terkenal asal Makasar, Prof. Anhar GONGGONG. Tentulah, akan menjadi moment nan “unik”……………… (yang terakhir ini, just kidding, tanpa bermaksud melecehkan).