(Telah dipublikasikan dan didiskusikan di www.padang-today.com & PadangTV)
Rabu, 17 Juni 2009
Syahid, Teror dan Peradaban
(Telah dipublikasikan dan didiskusikan di www.padang-today.com & PadangTV)
Jumat, 12 Juni 2009
Kesadaran Geo-Historis
Hampir 70 %, Zona Ekonomi Eksklusif
Seandainya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI tahun 1945 memutuskan wilayah negara Indonesia merdeka adalah pendapat Muhammad Yamin, bangsa ini akan lebih sulit menjaga kedaulatan teritorialnya daripada yang ada kini. Terobsesi oleh kejayaan Majapahit, tampaknya Yamin menginginkan wilayah negara
Pertama, karena lemahnya, kalau tidak mau disebut “hilangnya” karakter dan orientasi kebaharian. Bagaimana sejarah bisa menjelaskan? Mungkin benar karena keunggulan VOC/Belanda setelah menghancurkan Gowa ditandai Perjanjian Bungaya (1669) mengakibatkan ketidakberdayaan nenek moyang bangsa ini di laut. Kedua, lemahnya kesadaran lingkungan geografis. Rendahnya kesadaran geografis bisa ditunjukkan minimnya pengetahuan mahasiswa tentang peta
Chairil Anwar : "Di Karet Sampai Juga Deru Angin"
"Si Binatang Jalang" Chairil Anwar adalah legenda sastra dan ilham terbaik bagi sebagian besar pecinta sastra. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi? Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara. Arief Budiman memulainya dari kenangan Asrul Sani. "Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ," begitu Asrul Sani pernah bercerita. "Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,' kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.' Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu." Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. "Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko," kata Asrul. "Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!' sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali."
Chairil Anwar memang seorang "penggila" buku, yang dengan rakus melahap karya-karya W.H. Auden, Steinbeck, Ernest Hemingway, Andre Gide, Marie Rilke, Nitsche, H. Marsman, Edgar du Peroon, J. Slauerhoff, dan banyak lagi. Tapi dia adalah penggila buku yang urakan, selalu kekurangan uang, tidak punya pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Alhasil, lengkaplah "ciri-ciri" seniman pada dirinya. Namun, dia juga contoh yang baik tentang totalitas berkesenian dalam dunia sastra Indonesia. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan, di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur sebuah surat kabar, politikus, atau lainnya, ia semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi. Nama Chairil mulai dikenal di kalangan seniman pada tahun 1943. H.B. Jassin punya cerita. "Suatu hari di tahun 1943," tuturnya. "Chairil datang ke redaksi Pandji Pustaka; seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tetapi selalu seperti berpikir. Gerak-geriknya lambat seperti orang tak peduli. Ia datang membawa sajak-sajaknya untuk dimuat di majalah Pandji Pustaka. Tapi didapatnya keterangan bahwa sajak-sajaknya tidak mungkin dimuat. Kata pemimpin majalah itu, `Susunan Dunia Baru' (sajak Chairil) tidak ada harganya. Sajak-sajak individualis lebih baik dimasukkan saja dalam simpanan prive (privacy) sang pengarang. Kiasan-kiasannya terlalu mem-Barat." Sejak itu sang penyair sering terlihat di kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidoso), yang didirikan Jepang tahun 1943 di Jakarta, dan diketuai sastrawan Armijn Pane. Di kalangan seniman waktu itu, ia mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru di sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-Barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan generasi sebelumnya (baca: Poedjangga Baroe).
Belakangan, sajak Chairil yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak dipahami orang sebagai sajak perjuangan. Padahal, sajak-sajak ini adalah jenis sajak individu, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan kemerdekaan karena ditulis pada 1943. Namun dalam sajak "Aku" misalnya, di mana Chairil mengintroduksi dirinya sebagai "Aku binatang jalang", ia bisa menjelmakan kata hati rakyat Indonesia yang ingin bebas. Dalam analisis Agus R. Sardjono, penyair terkemuka Bandung, sajak-sajak seperti "Krawang-Bekasi", "Persetujuan dengan Bung Karno", "Aku", dan "Diponegoro" inilah yang justru di kemudian hari membuat Chairil Anwar menjadi legenda dalam dunia kepenyairan Indonesia.Hal itu dimungkinkan karena sajak-sajak ini bersifat sastra mimbar, untuk menyebut jenis sajak-sajak yang bersifat sosiologis (yang berpretensi untuk menjawab atau menanggapi fakta-fakta sosial), dan biasanya dibaca dengan suara keras atau menyeru-nyeru, serta dengan tangan terkepal.Masih menurut Agus, nama Chairil mungkin tidak akan begitu populer seperti sekarang bila dia hanya menciptakan sajak yang berjenis sastra kamar, sajak-sajak yang kontemplatif dan personal. Betapapun tingginya mutu sajak "Derai-Derai Cemara", "Senja di Pelabuhan Kecil", atau "Yang terampas dan yang Putus" secara kesusastraan, namun sajak-sajak demikian sama sekali tidak memiliki peluang untuk diapresiasi secara massal. Namun, dengan segala ketidaksempurnaannya, keberhasilan terbesar Chairil bagi dunia persajakan Indonesia khususnya, dan bahasa Indonesia pada umumnya, adalah kepeloporannya untuk membebaskan bahasa Indonesia dari aturan-aturan lama (ejaan van Ophusyen) yang waktu itu cukup mengekang, menjadi bahasa yang membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai alat pernyataan yang sempurna.Kebebasan bahasa itu teramat penting. Terbukti Malasyia, negara yang menggunakan bahasa Melayu, yang serumpun dengan bahasa Indonesia (tapi tidak pernah memiliki penyair sekaliber Chairil) dalam hal bahasa jauh tertinggal dari bangsa kita. Kebebasan bahasa itu adalah prestasi besar bangsa Indonesia. Dengan itu kita dapat mengutarakan apa saja langsung dari lubuk hati kita. Dan, seperti diamini banyak sastrawan kita, berkah itu adalah warisan Chairil Anwar, penyair terbesar yang pernah kita miliki.
Kamis, 04 Juni 2009
Akar Sosiologis Radikalisme Islam Asia Tenggara
Memasuki era modern ini, yang merupakan kelanjutan dari masa-masa sebelumnya, pada saat dimana Asia Tenggara telah terbentuk menjadi Negara-negara yang berdaulat, banyak dampak yang diakibatkan dari kondisi praktis masyarakat muslim seperti tergambar diatas. Diantara dampak tersebut yang juga merupakan problematika historis yang sangat menentukan perkembangan masyarakat muslim Asia tenggara secara umum, dan kemunculan politik pergerakan masyarakat muslim yang radikal khususnya adalah : Munculnya nasionalisme yang kontraproduktif dengan kondisi praktis masyarakat Muslim, terutama dimana masyarakat Muslim merupakan minoritas seperti
Hal yang paling banyak disebut sebagai penyebab kemunculan politik pergerakan Islam radikal di
Benturan ideology antara kelompok Nasionalis Islam dengan kelompok Nasionalis yang netral agama pada masa-masa pergerakan kemerdekaan mempertegas garis perjuangan politik pergerakan muslim di bawah bendera partai-partai Islam semacam PSII, Masyumi. Berbeda dengan partai Islam yang memiliki trend kritis, tegas dan banyak bermain di tataran pemikiran, kelompok ekstrim Islam ini cendrung kurang puas dengan kondisi praktis seperti itu. Kartosuwiryo sebagai tokoh yang “terasing” ketika itu mengajak kepada seluruh kelompok Islam, dari barisan PSII, Masyumi dan tokoh-tokoh Islam untuk menerapkan apa yang dia sebut politik hijrah. Ia menyeru agar umat Islam bersatu dan merapatkan barisan. Hanya dengan begitu tercipta dunia baru Islam “Darul Islam”. Lebih tegas ia menulis: “Kalau kita Hidjrah dari Mekkah-Indonesia ke Medinah-Indonesia, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih dari daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at, amal, itiqad, dan lain-lain sebagainja.” Yang ia sindir dengan pernyataan tersebut adalah telah beralihnya tujuan dan cita-cita umat Islam dalam mencapai kemerdekaan. Menurutnya, sebagaimana dialog yang lazim ketika itu antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, bahwa tujuan utama bukanlah mengabdi kepada ibu pertiwi, namun hanya berbakti kepada Allah semata, bukan untuk Indonesia raya, tetapi Darul Islam yang sempurna. Dapat dikatakan, factor ketidakpuasan lebih belakangan muncul dalam gerakan DI dan khususnya Kartosuwiryo sendiri, ketimbang factor pemahaman keagamaan. Di sini kelihatan sekali keteguhan Kartosuwiryo mempertahankan idealisme ke-“islaman”-nya menentang arus trend yang berkembang ketika itu. Perselisihannya dengan tokoh-tokoh besar ketika itu, Agus Salim, Soekarno nampaknya tanpa basa-basi, yang membuat ia terasing. Di luar lapangan ideology dan cita-cita mendirikan Negara Islam tersebut, politik pergerakan Islam DI / Kartosuwiryo menemukan alasan lain untuk bergerilya dalam rangka mencapai cita-citanya. Alasan tersebut adalah karena TNI ternyata tidak berpihak kepada Islam, padahal komponen-komponen pejuang pergerakan kemerdekaan mayoritas adalah kelompok Islam, seperti Hizbullah, Peta (Pembela Tanah Air) yang mayoritasnya berasal dari Muhammadiyyah, termasuk di dalamnya Panglima Besar Soedirman, dan laskar-laskar Islam lainnya. Mengenai ketidak adilan ini semakin terasa semenjak tahun 1947 setelah TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) berubah nama menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), yang dipimpin oleh Panglima Besar Soedirman yang berasal dari PETA. Sedangkan wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang Kristen mantan tentara KNIL (tentara Belanda). Sejak saat itu terjadi ketidak adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas. Menyusul Urip yang mantan KNIL, masuk Gatot Soebroto yang beragama Budha, Soeharto (Kejawen) dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler). Pejuang-pejuang sejati Hisbullah yang merupakan unsur mayoritas digusur oleh mantan-mantan tentara KNIL tersebut.
Kemunculan politik pergerakan radikal di dalam Negara yang penduduk muslimnya minoritas lebih mudah dipahami dari pada kemunculannya di Negara yang berpenduduk muslim mayoritas. Penyebab yang dominant sangat jelas, ke-tidakadilan. Di Filiphina, rasa kurang puas terhadap ketidakadilan di kalangan muslim minoritas ini pertama kali muncul pada tahun tanggal 18 Maret 1935, berupa deklarasi yang ditujukan kepada Amerika Serikat. Deklarasi itu berisi tuntutan Ummat Islam untuk berdiri sendiri. Selama ini kalangan Kristen—khususnya Katolitk—selalu memonopoli kepemimpinan dan memajukan kota-kota besar, tanpa memberikan kesempatan kepada Ummat Islam. Tidak ada lowongan terbuka untuk Ummat Islam. Pajak dipungut hanya untuk kepentingan pulau-pulau di wilayah utara, sehingga memperlebar kesenjangan, penguasa Katolik makin maju, sementara Ummat Islam semakin mundur. Namun deklarasi tersebut tidak menghasilkan apa-apa, dan pemerintah Republik Filipina tetap berdiri. Baru tahun 1968, tepatnya tanggal 1 Mei meledak sebuah maklumat politik dari tokoh-tokoh Muslim di Filipina. Maklumat tersebut kira-kira berbunyi: “Dengan nama Allah SWT, umat Islam yang mendiami pulau Mindanao, Sulu dan Palawan menyatakan tekadnya untuk memisahkan diri dari Republik Filipina dan mendirikan sebuah Negara Islam, yang dapat menampung idealisme dan aspirasi umat, yang dapat memelihara dan mengembangkan warisan agama-nya di bawah naungan persaudaraan Islam yang universal, dibawah pemerintahan yang berdasar hukum, keadilan dan demokrasi…negara Islam ini meliputi daerah Filipina bagian Selatan yang penduduknya Ummat Islam yakni: Cotabato, Davao, Zamboanga, Basilan, Lanao Sulu, Palawan dan daerah serta pulau-pulau di sekitarnya yang ditempati atau di bawah pengaruh Umat Islam.”
Ketidak adilan yang dirasakan komunitas Muslim Filipina Selatan juga sebagai akibat dari keinginan penguasa colonial—dari Spanyol sampai Amerika—yang hendak menghapus hukum Islam dan system hukum adat. Keberpihakan colonial ini tentunya tidak terlepas dari misi Kristen yang mereka bawa. Sampai kepada masa-masa pemerintahan republic di bawah penguasa Kristen, diskriminasi terhadap komunitas Muslim terjadi di seluruh lapangan kehidupan. Di samping yang disebut diatas, Dr. M. Kamal Hassan menyebut ketimpangan pendidikan yang serius antara penduduk Muslim dengan penduduk Katolik. Keadaan ini benar-benar mengusik rasa nasionalisme masyarakat Muslim Philipina Selatan. Pada waktu penjajahan, mereka dikenal pantang menyerah dengan bangsa colonial. Tetapi setelah kemerdekaan mereka justru dianaktirikan dan dianggap pemberontak, sama seperti aggapan bangsa colonial terhadap mereka. Di bawah pemerintahan republic mereka menjadi bulan-bulanan penguasa sepanjang masa Macapagal, Marcos dan Benigno. Sebenarnya sudah lama dirasakan bahwa jalur dialog tidak mungkin ditempuh, sehingga terbentuklah MNLF. Melalui organisasi ini, dikemaslah pergerakan bawah tanah radikal tidak saja untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam, tetapi lebih jauh untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam bentuk tuntutan untuk merdeka dari republic Filipina.
Gelombang ketidakpuasan minoritas Muslim juga terjadi diberbagai Negara di kawasan Asia Tenggara lainnya. Umat Islam
Rabu, 03 Juni 2009
Penjualan (Baca: Pencurian) Naskah-Naskah Kuno Islam Melayu-Minangkabau
Antropolog Levi Strauss mengatakan bahwa budaya tidak terbatas soal di mana letaknya. Namun, ketika, naskah-naskah kuno Islam (Melayu ataupun Minangkabau) dijual ke negara lain, khususnya ke
Naskah Melayu kuno itu akan menjadi barang berharga yang memiliki nilai sejarah tinggi. Naskah itu nantinya akan menjadi bahan penelitian dari seluruh akademisi dan budayawan dari belahan dunia. Maka, dengan adanya perburuan naskah kono Melayu itu, nantinya
Senin, 01 Juni 2009
Antara Gamawan Fauzi dan "Urang Sumando Bakuku Ameh"
Di jalan Sudirman Kota Padang, tepatnya di dekat Perkantoran Bank
Secara genetis, sejarah telah mencatat bahwa Yusuf Kalla adalah sumandonya orang Minang, karena isteri beliau berasal dari Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan Megawati Soekarno Putri yang memiliki suami Taufik Kiemas dimana orang tua perempuannya berasal dari daerah Batipuh, Tanah Datar (Sumatera Barat). Sedangkan SBY-Budiono pernah diberi “gala” atau gelar oleh orang Minang serta mendapat dukungan dari Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi, S.H. Ketiga keterkaitan genetis dan politis yang menjadi pengikat pemilih Minang menghadappi pilres mendatang tentu membuat peta konflik di kalangan urang awak semakin terbuka untuk masa-masa mendatang. Disamping itu, keterikatan genetis dan politis tersebut ternyata memperlihatkan kepada Publik bahwa masyarakat Minang, baik di kampung halaman maupun di perantauan tidak solid menghadapi pilpres mendatang. Jika urang awak nan “boneh” di rantau dan kampung halaman tidak kompak dan hanya menyelamatkan kapal masing-masing untuk berlayar sampai di “seberang politik” saya yakin dan percaya bahwa mereka tidak akan mampu “mambangkik batang tarandam”.
Kondisi ini menggambarkan bahwa urang awak hanya dijadikan elite-elite politik tertentu sebagai “kudo parajang bukik” untuk mendapatkan tahta RI-1 dimasa-masa mendatang. Kalau RI-1 sudah didapat, maka “kacang kembali akan lupa dengan kulitnya”. Secara historis masyarakat Minang memang sangat mandiri dalam konsep berfikir dan menentukan sikap politiknya. Kemadirian “nagari” sebagai sebuah “republik kecil” seperti “city state” di Yunani dulunya dan sistem kelarasan ternyata telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Minangkabau. Sejak dulunya sikap politik masyarakat Minangkabau memang tidak pernah mampu diintervensi oleh kekuatan materi dan kekuasaan apapun, termasuk lingkungan keluarga mereka sendiri. Jika “urang awak” sudah tersinggung, maka mereka akan menampilkan identitas dan jati dirinya dengan ungkapan “walaupun kamu pintar, kami tidak bertanya. Walaupun kamu kaya, kami tidak pernah meminta dan walaupun kamu jagoan kami tidak akan berantam”.
Sebagai seorang Gubernur, seharusnya Gamawan Fauzi menginventarisir segala potensi dan keinginan sekaligus aspirasi politik masyarakat Sumatera Barat secara keseluruhan. Selanjutnya semua aspirasi dan dinamika politik yang terjadi “dikunya-kunya”, sehingga menjadi sebuah konsep yang jelas, cerdas dan aspiratif. Strategi seperti ini tentu akan membuat bargaining politik “urang awak” akan lebih diperhitungkan oleh berbagai elite politik dan elite pemerintahan ini ke depan. Jika seorang pemimpin seperti Gubernur sudah jalan sendiri-sendiri, bagaimana masyarakat Sumatera Barat nantinya. Padahal Sejak dulu kala masyarakat etnis lainnya sangat segan dengan paguyuban perantau. Minangkabau di perantauan yang senantiasa solid dan memiliki link yang baik dengan kampung halaman. Jangan hanya karena ambisi pribadi untuk menjadi menteri, maka seorang pemimpin daerah mengorbankan harga diri dan jati diri masyarakat yang dipimpinnya. Secara sosiologis memang masyarakat Minangkabau merupakan etnis yang dinamis dan mandiri, sehingga walaupun karakteristik warganya tergolong homogen dari latar belakang suku dan agamanya, dari sisi politik selalu berubah (Kompas, 23/5). Namun yang dipersoalkan bukan karena dinamika politik masyarakatnya, melainkan karena Gamawan Fauzi adalah seorang pemimpin masyarakat Sumatrera Barat.