Kamis, 18 Juli 2013

SBY, Jokowi & Subjektifitas

Oleh : Muhammad Ilham

Sudah sekian generasi  kita melakukan (termasuk saya) : "ketika seorang pemimpin yang satu dijulang disanjung setinggi bintang, sementara pada sisi lain, seorang pemimpin dihantam-teruk, tak ada yang baik sedikitpun apa yang ia lakukan".    

(c) istockphoto.com
Lihatlah, seperti bumi dan langit perlakuan publik dan media kepada dua tokoh terbaik kita saat ini - JOKOWI dan SBY. Secara personal, saya mengagumi kedua orang ini, terlepas baik buruknya mereka berdua, sebagaimana saya juga menyukai nilai-nilai baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur dan Megawati. Mereka PASTI disukai publik pada masa mereka, kalau-lah tidak, mana mungkin mereka menjadi pemimpin negeri 220 juta jiwa ini.  Jokowi rajin blusukan, melakukan kunjungan yang "non-elit" dan bercengkerama dengan masyarakat di pinggir kali. Publik secara serentak akan mengatakan Jokowi sebagai prototipe pemimpin terbaik dan "luar biasa". Media dalam headline-nya akan sepakat memberitakan mantan Walikota Solo ini, "tipikal pemimpin bekerja nyata" (demikian kira-kira). Lalu, ketika SBY dan anggota kabinetnya (katakanlah : Dahlan Iskan, Hatta Rajasa dan seterusnya) melakukan hal yang serupa, maka suara mayoritas publik yang dituntun oleh media akan sepakat mengatakan : PENCITRAAN. Ketika Jokowi asyik bermain gitar dan menonton konser Heavy Metal, Insyinyur Kehutanan tamatan UGM ini akan dikatakan sebagai pemimpin yang gaul, mengikuti selera zaman dan seterusnya. Pada sisi lain, ketika SBY yang putra Pacitan itu memetik gitar, bernyanyi bersama dan membuat album (ini juga dilakukan banyak pemimpin-pemimpin daerah belakangan ini), maka SBY akan dikatakan "lebih mengurus musik dibandingkan negara". SBY teramat dilekatkan dengan pencitraan, apapun yang dilakukannya. Beda dengan Jokowi. Apapun yang dilakukannya, masuk ke dalam gorong-gorong sekalipun, akan dianggap sebagai peristiwa luar biasa ..... (ketika Dahlan Iskan melakukan hal serupa, ia justru dihantam dengan label pencitraan murahan). Ketika banjir, sampah dan persoalan sosial lainnya masih tak beranjak dari Jakarta, Jokowi selalu "dimaafkan". Ketika SBY menghardik Gubernur yang tertidur pada waktu rapat kordinasi pimpinan daerah, media justru menganggap SBY bukan pemimpin yang baik. Bandingkan dengan Ahok (secondan Jokowi) yang menghardik "keras" dan mempublishnya di you.tube .......... publik dan media mengapresiasinya.  

Sekali lagi, saya bukan mendikotomikan antara Jokowi dan SBY. Tapi begitulah kita, termasuk saya, kadang-kadang. Ketika SBY mencalonkan diri menjadi Presiden pada tahun 2004, suami Ani binti Sarwo Edhie Wibowo ini dianggap media dan publik sebagai "Imam Mahdi" karena Presiden petahana (incumbent) waktu itu - Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai Presiden "lemah", banyak diam dan sulit berdamai dengan emosi kewanitaannya (baca : pendendam dan sedikit introvert). SBY dijulang tinggi, Megawati dihantam teruk. Pada periode sebelumnya, justru Megawati dianggap sebagai "solusi" dari "kenyelenehan" Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur "dikubak" aib personalnya. Kecerdasan serta kepintaran luar biasa cucu pendiri NU ini, dianggap tidak berguna. Hal yang sama juga berlaku ketika Habibie menggantikan Soeharto. Dalam rentang waktu satu tahun lebih beberapa bulan, Teknokrat jebolan Aanchen Universitet Jerman yang bergelar "Mr. Crack" ini dianggap sebagai figur muslim "borjuis" panutan dan dibanggakan. Suami Ainun "si mata indah" Besari juga dipandang kaum muslim Indonesia sebagai orang yang mampu "menghijaukan" ranah politik Indonesia era 1990-an. Pokoknya, ayah Ilham dan Tareq Habibie, walau badannya pendek, tapi otaknya cemerlang, bening sebening bola matanya. Bahkan penyanyi balada Iwan Fals merasa perlu untuk menulis satu bait dalam lagunya Guru Omar Bakrie : ....... lahirkan otak orang seperti otak Habibie. Habibie bahkan ditahbiskan sebagai "orang paling berpengaruh" di lingkaran Soeharto pasca kematian ibu Tien. Putra Mahkota Politik Soeharto, demikian kata indonesianist William Liddle di jelang Pemilu 1998. Pada era ini, perbincangan terpusat pada Habibie. Kecuali bagi yang iri-dengki, khususnya kalangan militer (maklum Habibie berasal dari kalangan sipil), hampir tak ada cela founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Tapi, "mata indah bola pingpong" Habibie ini (kemudian) kehilangan kebeningan pada era 1999-an, seketika ia menjadi Presiden RI setelah lengser keprabon-nya Soeharto. Habibie yang dijulang tinggi pada masa Orde Baru, justru dipojokkan dari segala mata angin. "Bola matanya" yang bak bola pingpong diplesetkan jadi pemikiran bulat yang tak punya ujung pangkal. Bulat, memang tak bersegi. Mana pangkal, mana ujung tak dijumpai. Dan, kebeningan Habibie selama ini berubah drastis menjadi figur yang tidak menarik lagi bagi lawan politiknya. Habibie yang dianggap sebagai Presiden RI pembuka "kran" demokrasi ini, dituding-hina. Ia salah, mengapa Habibie jadi Presiden. Habibie justru dianggap sebagai sebagi Presiden gagal, dengan indikator yang jelas : Timor-Timur lepas dari pangkuan NKRI.  

Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.  

Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik.  begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.  

Catatan akhir : 
Seandainya DN. Aidit-Nyoto-Syam Kamaruzzaman berhasil "memerahkan" sistem politik Indonesia tahun 1965, niscaya kita tak akan menemukan Jalan Soedirman, Jalan Hamka dan seterusnya di jalan-jalan protokol. Pasti yang akan dijumpai adalah Jalan Tan Malaka, jalan Moeso, jalan Sneevliet, jalan Misbach, dan bisa jadi jalan Karl Marx. Tapi itu tak terjadi. 1965 seterusnya, "ideologi merah" adalah public enemy yang dibungkus cantik dalam bungkusan politik. Dan lihatlah beberapa tahun belakangan, justru ideologi merah sedang menjadi "cantik" di kalangan anak muda yang justru nantinya akan menjadi usang pada anak muda generasi berikutnya.

Malala Yousafzai : Nominem Nobelis 2013

One child
One teacher
One pen and one book
........... can change the world.
Education is the only solution.
Education First !
(Malala Yousafzai  nominem Nobelis 2013)

Siapa Malala Yousafzai ?
Berikut AFP, Sabtu (13/7/2013) : 

(c) time
Sosok remaja Pakistan Malala Yousafzai dikenal sebagai gadis remaja yang selamat dari penembakan kelompok Taliban, yang tidak suka melihatnya sekolah. Namun Malala bangkit dan bersumpah dirinya tidak akan bisa dibungkam. Malala Yousufzai dikenal namanya setelah berani menentang Taliban di saat Pemerintah Pakistan tidak memiliki kendali terhadap kelompok militan tersebut. Remaja perempuan yang masih bersekolah itu, aktif mendukung pendidikan untuk perempuan di Pakistan. Penembakan terhadap Malala terjadi ketika seorang pria bersenjata naik ke atas bus yang membawa anak-anak dari rumah menuju sekolah di Lembah Swat, pada Oktober 2012 silam. Tiba-tiba pria itu melepaskan tembakan ke arah Malala di bagian kepala dan lehernya. Pelaku pun melepaskan tembakan ke arah remaja lainnya di dalam bus tersebut. Setelah dirawat di Inggris, kondisi Malala akhirnya berangsur sembuh.  Setelah sembuh, Malala makin aktif menyuarakan pentingnya pendidikan untuk perempuan, khususnya di Pakistan. Dirinya pun diundang berbicara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jumat 12 April. Dalam pidatonya, Malala akan terus melawan diskriminasi terhadap perempuan.

"Mereka (Taliban) berpikir sebuah peluru akan membungkam kami, tetapi mereka gagal," tegas Malala, seperti dikutip AFP, Sabtu (13/7/2013).

"Para teroris berpikir mereka akan mampu mengubah tujuan hidup dan menghentikan ambisi saya. Tetapi tidak ada yang berubah dalam hidup saya, kecuali kelemahan, ketakutan dan keputusasaan, semuanya sudah mati. Kekuatan dan keberanian lahir kembali," lanjutnya.

Berpidato tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-16, Malala mengaku dirinya tidak punya dendam pribadi dengan Taliban dan kelompok militan lainnya. Dia bahkan tidak membenci pelaku yang telah menyarangkan peluru di kepalanya.

"Saya menginginkan pendidikan untuk putra dan putri dari kelompok Taliban serta kelompok esktrimis lainnya. Saya bahkan tidak membenci Taliban yang telah menembak saya. Meskipun ada pistol ditangan, saya tidak akan menembaknya," tuturnya.
  

Jumat, 12 Juli 2013

Dikotomi yang Mencederai Persaudaraan Muslim

Oleh : Muhammad Ilham 

Seandainya rezim Bashaar al-Assad tidak dekat dengan Iran, tentunya Arab Saudi dan Mesir tidak menganggap putra Hafeez al-Assad tersebut wajib diperangi. Tapi ia sahabat sejati Iran yang Syi'ah dan Heezbollah yang juga Syi'ah, sehingga pada akhirnya, sesama saudara muslimnya (Mesir, Arab Saudi dan Turki serta negara aristokrat-absolut teluk lainnya) menempatkan negara yang dulu dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. sebagai Damsyik ini, sebagai "out-group". Sementara NATO dan Israel, justru kebalikannya. Teruslah kalian berperang, berperanglah terus. Ketika manusia di belahan dunia lain sedang membangun peradaban, berusaha melahirkan para pemenang Nobel, mewujudkan mimpi manusia untuk hidup di luar angkasa, memikirkan ozon yang demi kepentingan generasi mendatang, berlomba-lomba membahagiakan manusia dengan capaian-capaian tinggi dan ulung dalam bidang teknologi ...... pada sisi lain negeri-negeri "kelahiran" pada Nabi ini sedang berlomba untuk membeli senjata negara-negara "pusat peradaban modern" untuk dihabiskan dan dimuntahkan kedalam tubuh sesama saudara muslim mereka. Teruslah berperang, berperanglah terus ....... !!

(Ketika saya masih Sekolah Dasar dahulu, saya paling suka memandang foto seorang aristokrat Arab Saudi yang pendek-tambun di majalah Tempo milik ayah saya. Sang aristokrat itu bernama Adnan Khasogi. Ia flamboyan, dekat dengan wanita-wanita cantik dan berprofesi sebagai Pialang Senjata. Ia pernah berkata (kira-kira begini) : "Timur Tengah merupakan pasar persenjataan paling potensial untuk jangka waktu yang tidak bisa dipastikan, tapi yang jelas, untuk jangka waktu yang lama". 

Ketika menonton ILC beberapa malam yang lalu, teringat saya dengan novel AROK-DEDES-nya Pramoedya Ananta Toer. "Mengapa Ken Dedes mau menikah dengan Ken Arok yang telah membunuh suaminya (baca : Tunggul Ametung)?". Padahal Tunggul Ametung satu kasta dengan Ken Dedes, sementara Ken Arok berasal dari kasta Sudra ?. (Rupanya), bagi Ken Dedes, menikah dengan Tunggul Ametung yang satu kasta dengannya merupakan "aib" karena berbeda aliran. Bagi Dedes, biar menikah dan "berdamai" dengan "lain kasta" dibandingklan dengan beda aliran, walau satu kasta. "Kisah" ini (walau butuh verifikasi), terasa memiliki "benang merah" dengan apa yang berlaku dengan realitas Sunni-Syi'ah sebagaimana yang terefleksi dalam acara ILC tersebut.

Tulisan ini, kemudian saya posting di Facebook Muhammad Ilham Fadli, untuk mengkritisi sebuah artikel IST (cc : http://international.okezone.com), tentang "Mesir : Izinkan Warganya untuk Berperang di Suriah" : 

Pejabat senior di kantor Presiden Mesir mengatakan, seluruh warga diizinkan untuk bergabung dalam peperangan di Suriah. Warga-warga itu tidak akan dihukum sepulangnya mereka dari Suriah. "Hak bepergian akan terus terbuka untuk seluruh warga Mesir," ujar salah satu penasihat Presiden Mesir Khaled al-Qazzaz, ketika menanggapi pertanyaan seputar konflik Suriah dan sikap warga Mesir atas peristiwa itu, demikian seperti diberitakan Associated Press, Jumat (14/6/2013). Qazzaz menegaskan, Pemerintah Mesir tidak khawatir akan munculnya radikalisasi warga Mesir setelah mereka pulang dari Suriah. Meski militansi kian berkembang di Semenanjung Sinai kian meningkat, Mesir belum menganggapnya sebagai ancaman. "Kami tidak memandang hal itu sebagai ancaman. Kami bisa mengontrol situasi di Sinai, Mujahidin itu tidak akan kembali," papar Qazzaz. Sebelumnya, salah satu ulama Sunni Mesir Yusuf Qardawi turut menyerukan warga agar mendukung oposisi Suriah dengan tenaganya. Ulama itu berupaya untuk menekan kekuatan Hizbullah yang membantu pasukan Presiden Bashar al-Assad. "Semuanya yang memiliki keahlian dan pernah mendapat pelatihan untuk membunuh, diwajibkan untuk pergi (ke Suriah)," ujar Qardawi. Namun dorongan-dorongan itu dinilai akan semakin meningkatkan eskalasi perang saudara di Suriah. Kelompok bersenjata asing justru akan memainkan peranan yang sangat besar dalam konflik tersebut. Sejauh ini, Mesir belum tahu berapa jumlah warganya yang berperang di Suriah. Warga-warga yang berperang umumnya adalah anggota dari kelompok Salafi.

Kembalikan putihnya sang Dwi Warna

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Kafeel Yamin

(c) erepublik.com
Suatu saat saya menerima kiriman tautan-tautan dari seorang fesbuker yang tak saya kenal, ke inbox. Tautan-tautan itu terhubung kepada  situs-situs yang mempromosikan Aceh merdeka, di penuhi foto-foto para  demonstran di Eropa yang membawa spanduk menuntut berpisah dari NKRI. “Aceh mau pisah dari NKRI?” tanya saya, yang langsung dia jawab: “Tak ada bukti hitam diatas putih (Referendum) kalau Aceh bersatu dengan  NKRI. Aceh bisa hidup tanpa NKRI tapi NKRI tdk bisa hidup tanpa Aceh.” Saya bilang Juga tidak ada bukti hitam di atas putih kalau Sumatra Utara, Riau, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Timur, Bali, bersatu dengan NKRI. Tapi faktanya bersatu karena kehendak bersama. Tidak semua integritas nasional ditentukan oleh referendum. Negara-negara bagian di AS masuk The United States of America tidak melalui referendum, tapi kehendak bersama semua negara bagian.

Saya bilang anda itu hidup dengan pikiran negatif. Aceh sekarang sudah merdeka. Semua kekuasaan pemda dipegang orang Aceh. Royalti perusahaan-perusahaan masuk ke pemda Aceh. Orang Aceh sebagai individu pun lebih merdeka daripada anda yang dipenjara oleh pikiran sendiri.

Orang Aceh bisa pergi ke daerah-daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan usaha. Anak-anak bisa sekolah. Pendeknya, tak ada yang menghambat orang Aceh untuk maju dan berkembang.

Sebagaian orang Papua berpikir sama: Pepera itu tidak sah. Papua bukan bagian dari NKRI. Sejarah, budaya, ras, berbeda dengan ‘NKRI’. Dan yang mereka maksud NKRI itu Jawa. Mereka ‘berjuang’ untuk lepas dari NKRI yang penjajah dan penindas.

Papua sekarang adalah kawasan paling merdeka dan otonom. Seluruh pejabat provinsi, kabupaten, anggota DPRD adalah orang Papua. Dana Otsus [Otonomi Khusus] Papua paling besar: 30 trilyun rupiah per tahun, sementara jumlah penduduknya paling sedikit: tak sampai 3 juta. Tapi kebanyakan dari dana-dana itu dikorupsi orang Papua sendiri.

Seorang Papua berkomentar: “Di seluruh dunia, kelompok minoritas yang berambut kriting seperti kita ini, orang papua yg paling maju dan paling hebat. jadi harus disyukuri..”

Tentu, yang mengembangkan sikap dan cara pandang negatif ini bukan hanya orang Aceh atau Papua, juga orang-orang dari negara ‘maju’: Australia, New Zealand, Belanda, Inggris, Swedia, Amerika. Mereka menggosok-gosok kaum pribumi supaya lepas dari negaranya dan mereka bantu mencari dukungan internasional.
Padahal, dengan cara pandang itu, orang-orang kulit putih harus angkat kaki dari benua Amerika, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan. Itu semua penjarahan yang sangat telanjang. Genosida asli. Bahkan di Tasmania, Selatan Australia, seluruh penduduk asli Tasmania dibantai habis. Punah sama sekali. Prinsip-prinsip dasar dan konvensi Hak Asasi Manusia bisa berlaku surut. Dan kalo itu dilakukan, perang dan konflik tak berkesudahan.
Bagaimana dengan kelompok keagamaan? Sama: ada kelompok Islam yang ‘berjuang’ mendirikan kekhalifahan di Indonesia. Mereka pun mengembangkan sikap negatif: NKRI itu sekuler, Pancasila itu batil, pemerintah itu togut. Pokok jahat bin biadab.

Saya tanya salah seorang dari mereka: “coba sebutkan satu saja perintah Allah dan Rasul-Nya yang tak bisa dilaksanakan di Indonesia.”

Tidak ada. Semua orang bisa melaksanakan ajaran agamanya dengan leluasa. Tentu buka ajaran Islam bila mendesakkan syari’ah jadi hukum negara, karena Allah dan rasul-Nya melarang pemaksaan dalam agama.
Ada juga kelompok Nasrani yang selalu merasa ‘dimusuhi’ di mana-mana di Indonesia ini, terutama oleh kelompok Islam yang radikal, yang jumlahnya tak sampai 20persen dari ummat Islam Indonesia keseluruhan.
Bila di tempat permukiman kaum Islam radikal didirikan gereja, hampir  bisa dipastikan menimbulkan konflik — apalagi bila dipaksakan.

Bila yang demikian terjadi, mereka beranggapan bahwa ‘ummat Islam’ menentang pendirian gereja, tidak toleran. Padahal,  berkali-kali lipat pendirian gereja berjalan mulus tanpa konflik.
Ironisnya, agama yang menekankan sikap positif dan toleran justru sering menjadi sumber sikap bermusuhan dan kebencian.

Ironisnya lagi, kekerasan berdasarkan agama itu sering timbul antar kelompok dalam satu agama: seperti syi’ah dan sunni, wahabi dan syi’ah. Bahkan dalam satu gereja HKBP jama’ah saling berseteru.

Mayoritas kita kehilangan sikap positif dan kemampuan bersyukur. Betapa banyak yang ‘wajib’ disyukuri dari Indonesia, tapi kita hanya tertarik kepada yang negatif-negatifnya. Kita pun kehilangan kemampuan menghargai prestasi para pendahulu, kita lebih pandai mengorek-orek kesalahan dan cacat mereka. Soekarno bagi Soeharto adalah ‘penyelewengan dari Pancasila dan UUD-45’, Soeharto bagi kaum reformis adalah tiran penindas dan pembunuh; dan seterusnya. Setiap ganti kekuasaan, penguasa baru menghabisi program-program penguasa sebelumnya, termasuk yang baik-baik.

Padahal, tak ada yang sempurna dalam sejarah.
Bukan berarti NKRI sekarang sudah sempurna, tapi ia harus dibangun, dibenahi, dire-orientasi di atas kebersihan dan kesucian jiwa. Utopis ya?

Merahnya darah NKRI bertumpu di atas putihnya kalbu manusia Indonesia. Warna putih itu kini agak kelam, dia harus dibersihkan kembali. Dan…tetaplah NKRI.

Inklusivisme dan Simbolisme yang "Membumi"


Sebuah rapat umum yang dilaksanakan Sarekat Islam (biasa disingkat dengan SI). SI yang merupakan "kelanjutan" dari Sarekat Dagang Islam ini dianggap dalam sejarah sebagai Organisasi Politik Pertama di Indonesia. Mayoritas anggotanya adalah para pedagang batik muslim dan buruh kereta api. Elit organisasi ini merupakan tokoh-tokoh Islam terkemuka di daerah mereka masing-masing. Tak saya komentari lebih lanjut tapak-historis organisasi ini. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi (1999) menjelaskan dengan menarik dalam bukunya dengan judul yang terkesan garang, "Zaman Bergerak". Bagi saya yang paling menarik adalah ..... tak terlihat para elit SI ini menggunakan jubah ataupun jenggot lebat. Mereka justru terlihat "membumi".



(c : rumli adnan)
c: ulil abshar abdalla fb.

Nelson "Statesman" Mandela

Oleh : Muhammad Ilham 

Nelson Mandela @ Madiba, siapa yang tak kenal dengan beliau. Tokoh anti apartheid dan  mantan Presiden Afrika Selatan  yang menjadi icon perlawanan diskriminasi ras ini  adalah contoh terbaik politisi (politician) yang mampu bermetamorfosis dengan paripurna menjadi seorang negarawan (statesman). Mandela mengajarkan bahwa seorang politisi itu bukanlah seorang insan yang pendendam, hedonis dan munafik atas nama ideologi ataupun agama. 

Melihat "catatan hidup" Mandela, saya kemudian teringat dengan teoritisi ilmu politik, Samuel P. Huntington (1993 : 77) yang mengatakan bahwa demokrasi tak akan pernah mencapai paripurna jika para politikusnya gagal bertransformasi menjadi seorang negarawan. Point-nya, melihat dinamika dan praktek demokrasi di Indonesia belakangan ini - yang teramat sulit, untuk tidak mengatakan tidak ada negarawan seumpama Mandela - rasanya demokrasi masih dalam tahap "jualan politik" ataupun "eksperimen trial and error". Padahal, Indonesia pernah dalam sejarah mempraktekkan demokrasi secara paripurna, walau dalam waktu yang tak terlalu lama, ketika para negarawan-negarawan seperti Mohammad Hatta, St. Syahrir, IJ. Kasimo, Agus Salim, Mohammad Natsir dan lain-lain mewarnai pentas politik Indonesia. Mereka ini, bisa dikatakan sama, bahkan lebih dibandingkan dengan Nelson Mandela. 


wallpaperschould.com