Kamis, 18 Juli 2013

SBY, Jokowi & Subjektifitas

Oleh : Muhammad Ilham

Sudah sekian generasi  kita melakukan (termasuk saya) : "ketika seorang pemimpin yang satu dijulang disanjung setinggi bintang, sementara pada sisi lain, seorang pemimpin dihantam-teruk, tak ada yang baik sedikitpun apa yang ia lakukan".    

(c) istockphoto.com
Lihatlah, seperti bumi dan langit perlakuan publik dan media kepada dua tokoh terbaik kita saat ini - JOKOWI dan SBY. Secara personal, saya mengagumi kedua orang ini, terlepas baik buruknya mereka berdua, sebagaimana saya juga menyukai nilai-nilai baik Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur dan Megawati. Mereka PASTI disukai publik pada masa mereka, kalau-lah tidak, mana mungkin mereka menjadi pemimpin negeri 220 juta jiwa ini.  Jokowi rajin blusukan, melakukan kunjungan yang "non-elit" dan bercengkerama dengan masyarakat di pinggir kali. Publik secara serentak akan mengatakan Jokowi sebagai prototipe pemimpin terbaik dan "luar biasa". Media dalam headline-nya akan sepakat memberitakan mantan Walikota Solo ini, "tipikal pemimpin bekerja nyata" (demikian kira-kira). Lalu, ketika SBY dan anggota kabinetnya (katakanlah : Dahlan Iskan, Hatta Rajasa dan seterusnya) melakukan hal yang serupa, maka suara mayoritas publik yang dituntun oleh media akan sepakat mengatakan : PENCITRAAN. Ketika Jokowi asyik bermain gitar dan menonton konser Heavy Metal, Insyinyur Kehutanan tamatan UGM ini akan dikatakan sebagai pemimpin yang gaul, mengikuti selera zaman dan seterusnya. Pada sisi lain, ketika SBY yang putra Pacitan itu memetik gitar, bernyanyi bersama dan membuat album (ini juga dilakukan banyak pemimpin-pemimpin daerah belakangan ini), maka SBY akan dikatakan "lebih mengurus musik dibandingkan negara". SBY teramat dilekatkan dengan pencitraan, apapun yang dilakukannya. Beda dengan Jokowi. Apapun yang dilakukannya, masuk ke dalam gorong-gorong sekalipun, akan dianggap sebagai peristiwa luar biasa ..... (ketika Dahlan Iskan melakukan hal serupa, ia justru dihantam dengan label pencitraan murahan). Ketika banjir, sampah dan persoalan sosial lainnya masih tak beranjak dari Jakarta, Jokowi selalu "dimaafkan". Ketika SBY menghardik Gubernur yang tertidur pada waktu rapat kordinasi pimpinan daerah, media justru menganggap SBY bukan pemimpin yang baik. Bandingkan dengan Ahok (secondan Jokowi) yang menghardik "keras" dan mempublishnya di you.tube .......... publik dan media mengapresiasinya.  

Sekali lagi, saya bukan mendikotomikan antara Jokowi dan SBY. Tapi begitulah kita, termasuk saya, kadang-kadang. Ketika SBY mencalonkan diri menjadi Presiden pada tahun 2004, suami Ani binti Sarwo Edhie Wibowo ini dianggap media dan publik sebagai "Imam Mahdi" karena Presiden petahana (incumbent) waktu itu - Megawati Soekarnoputri dianggap sebagai Presiden "lemah", banyak diam dan sulit berdamai dengan emosi kewanitaannya (baca : pendendam dan sedikit introvert). SBY dijulang tinggi, Megawati dihantam teruk. Pada periode sebelumnya, justru Megawati dianggap sebagai "solusi" dari "kenyelenehan" Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur "dikubak" aib personalnya. Kecerdasan serta kepintaran luar biasa cucu pendiri NU ini, dianggap tidak berguna. Hal yang sama juga berlaku ketika Habibie menggantikan Soeharto. Dalam rentang waktu satu tahun lebih beberapa bulan, Teknokrat jebolan Aanchen Universitet Jerman yang bergelar "Mr. Crack" ini dianggap sebagai figur muslim "borjuis" panutan dan dibanggakan. Suami Ainun "si mata indah" Besari juga dipandang kaum muslim Indonesia sebagai orang yang mampu "menghijaukan" ranah politik Indonesia era 1990-an. Pokoknya, ayah Ilham dan Tareq Habibie, walau badannya pendek, tapi otaknya cemerlang, bening sebening bola matanya. Bahkan penyanyi balada Iwan Fals merasa perlu untuk menulis satu bait dalam lagunya Guru Omar Bakrie : ....... lahirkan otak orang seperti otak Habibie. Habibie bahkan ditahbiskan sebagai "orang paling berpengaruh" di lingkaran Soeharto pasca kematian ibu Tien. Putra Mahkota Politik Soeharto, demikian kata indonesianist William Liddle di jelang Pemilu 1998. Pada era ini, perbincangan terpusat pada Habibie. Kecuali bagi yang iri-dengki, khususnya kalangan militer (maklum Habibie berasal dari kalangan sipil), hampir tak ada cela founding father Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) tersebut. Tapi, "mata indah bola pingpong" Habibie ini (kemudian) kehilangan kebeningan pada era 1999-an, seketika ia menjadi Presiden RI setelah lengser keprabon-nya Soeharto. Habibie yang dijulang tinggi pada masa Orde Baru, justru dipojokkan dari segala mata angin. "Bola matanya" yang bak bola pingpong diplesetkan jadi pemikiran bulat yang tak punya ujung pangkal. Bulat, memang tak bersegi. Mana pangkal, mana ujung tak dijumpai. Dan, kebeningan Habibie selama ini berubah drastis menjadi figur yang tidak menarik lagi bagi lawan politiknya. Habibie yang dianggap sebagai Presiden RI pembuka "kran" demokrasi ini, dituding-hina. Ia salah, mengapa Habibie jadi Presiden. Habibie justru dianggap sebagai sebagi Presiden gagal, dengan indikator yang jelas : Timor-Timur lepas dari pangkuan NKRI.  

Betapapun hebatnya seorang pemimpin, pasti ada celah-celah tertentu yang enak untuk dikecam. Bila ia sukses di satu bidang, dibidang lain ia akan "ditembak". Dan biasanya, kesuksesan besar dan kelebihan utama seseorang itu akan abih tandeh oleh secuil kesalahannya. Jangankan Habibie, Mega, Abdurrahman Wahid ataupun SBY, tokoh besar se"gadang" Soekarno dan Gamal Abdel Nasser juga tak luput dari hal sedemikian. Soekarno, misalnya. Siapa yang meragukan kebesaran dan ketokohannya. Pemersatu bangsa, proklamator, tokoh bangsa, pejuang kemerdekaan tanah air sejak muda, penggali Pancasila ...... tapi (masih ) teramat sering kita mendengar tentang "kegenitannya". Bahkan - meminjam istilah tokoh posmo Jean Bauddrillard - Soekarno dianggap "megalomania", orang yang gemar serba besar dan serba cemerlang. Bahkan Cindy Adams, penulis biografi Soekarno, pernah mempertanyakan (sekaligus menjawab sendiri), mengapa Soekarno begitu suka menggunakan berbagai lambang dan logo kebesaran di dadanya. "Pasti terlihat gagah dan jumawa", kata Cindy Adams. Soekarno-pun meng-iyakannya. Ditengah "megalomania"nya ini, sejarah mencatat rakyat masih susah. Tapi kenyataannya, ketika "Putra Fajar" ini meninggal dunia, ia tidak meninggalkan kekayaan buat keluarganya. Walau gosip tentang kekayaannya yang "tertanam" di negeri antah berantah (hingga) kini masih terus dijaga oleh sebagain orang. Soekarno yang "besar" itu (tetap) terus disalahpahami.  

Jokowi sekarang menjadi "media darling", bahkan mengalahkan "pemilik sah ideologis yang dianutnya" - Megawati. Ketika anarkisme atas nama agama sedang berkembang di negeri ini, orang merindukan Gus Dur. Ketika Ahmadiyah, Syi'ah dan aliran keagamaan lainnya disudutkan, kerinduan terhadap ayah Yenny Wahid ini membuncah di setiap nafas publik. Ketika berbicara masalah NKRI, orang akan mengingat Megawati dan ayahnya Soekarno. Pada suatu ketika, orang merindukan kemajuan teknologi, masyarakat akan mengingat Habibie. Setiap BBM mau naik, pak Harto akan disebut dalam "zikir" publik.  begitulah ........ kita dan termasuk saya, kadang-kadang mudah melihat sisi-sisi jelek seorang pemimpin. Nilai baik dan inspiratif yang mereka tawarkan, justru dianggap pencitraan. Saya yakin, beberapa tahun ke depan, tak kecil kemungkinan, Gus Dur, Megawati dan SBY dibaca dengan penuh gairah pada masa cucu-cicit kita kelak. Sedangkan Presiden pada masa mereka, akan dihantam teruk. Semoga tidak dan semoga saya salah.  

Catatan akhir : 
Seandainya DN. Aidit-Nyoto-Syam Kamaruzzaman berhasil "memerahkan" sistem politik Indonesia tahun 1965, niscaya kita tak akan menemukan Jalan Soedirman, Jalan Hamka dan seterusnya di jalan-jalan protokol. Pasti yang akan dijumpai adalah Jalan Tan Malaka, jalan Moeso, jalan Sneevliet, jalan Misbach, dan bisa jadi jalan Karl Marx. Tapi itu tak terjadi. 1965 seterusnya, "ideologi merah" adalah public enemy yang dibungkus cantik dalam bungkusan politik. Dan lihatlah beberapa tahun belakangan, justru ideologi merah sedang menjadi "cantik" di kalangan anak muda yang justru nantinya akan menjadi usang pada anak muda generasi berikutnya.

1 komentar:

JAKET KULIT mengatakan...

mudahan mudahan pak jokowi senantiasa dilindungi oleh TUHAN agar dapat tahan ujian