Minggu, 30 September 2012

Harga Diri

Hari ini, dari Goethe :

Kalau kau bukan orang kaya, itu tak penting/banyak juga orang yang tidak kaya. 
Kalau kau bukan orang sehat/masih ada banyak orang yang hidup cacat. 
Kalau kau tak tampan atau cantik/banyak orang yang baik pada orang
tidak tampan atau cantik. 
Kalau kau bukan orang berpendidikan tinggi, dengan sedikit ilmu juga masih bisa hidup. 
Kalau kau tak punya pangkat dan jabatan, posisi penting hanya ditempati beberapa orang saja.
Tapi, kalau kau tak punya HARGA DIRI, lebih baik kau mati saja, karena itu berarti kau tak punya apa-apa.

Sejarah mencatat, selalu orang yang memiliki Harga Diri-lah yang dicatat 
sebagai insan pencerah dan inspiring. 



sumber foto : Amar Abdillah facebook

Yahudi, Zionisme & Ahmadinedjad

Oleh : Muhammad Ilham

Bermula dari artikel tentang " Ahmadinedjad Tidak Keberatan Bila Anaknya Berhubungan dengan Yahudi" (detik.nes.com/internasional) dan artikel saya yang berjudul "Ketika Hitler Masih Hidup" Muhammad Ilham BLOG: Ketika Hitler (Masih) "Hidup" maka diskusi-pun berlangsung :

Ning Surachman Manusia dilarang untuk rasis. Kebanyakan tak mengerti apa itu yahudi dan apa itu zionis. Sehingga pukul rata dengan mengatakan semua Yahudi jahat, orang Arab itu bakhil, atau apalah itu.. Untuk mengubah pola pikir itu sulit.

Ali Cestar judaism is 100% monotheistic. zionism is 65% atheistic. (gitu aja kok repot...qqq)

Dina Y. Sulaeman berita yg di detik com itu ngasih info yangg seolah-olah sudah disepakati/sahih soal ras-nya Ahmadinejad.. pdhl cerita sebenarnya nggak gitu..pernah saya tulis di ini:http://dinasulaeman.wordpress.com/2009/10/11/benarkah-ahmadinejad-yahudi/Dalil yang dipakai Telegraph (dan dikutip pula oleh Kompas) adalah “karena dulu nama family Ahmadinejad adalah Saburjian”. Saburjian, kata koran itu, adalah nama keluarga yang umum dipakai oleh orang Yahudi. Nah, klaim ini perlu dikritisi lagi. Apa benar orang Yahudi di Iran pakai nama Saburjian? Saya tak menemukan data valid tentang hal ini. Bahkan, kata Saburjian ini tak saya temui di kamus Moin (kamus Farsi-Farsi yang tebalnya setengah meter). Padahal, kata Telegraph (dan Kompas), Saburjian ini konon artinya “penenun Sabour”. Sabour sendiri katanya nama selendang khas Yahudi. Aneh juga kok kamus sekaliber Moin tak memuat kata itu.

Budi Hartono Tidak ada yang terlalu surpise.  Adolf Hitler  juga Yahudi, tapi kita tahu  apa yang Hitler lakukan?

Muhammad Ilham Fadli Saya sederhana saja, dinda Dina Y. Sulaeman dan Budi Hartono, Yahudi atau apapun-lah, bagi saya tak masalah. Yahudi adalah entitas agama. Sedangkan Zionisme adalah ideologi dengan Israel sebgai "ejawantahnya". Yang menjadi persoalan adalah Zionisme dan Israelnya, bukan Yahudinya. So ....... butuh keterangan lebih lanjut, apakah Hitler juga Yahudi bung Budi Hartono.

Nano Hadinoto Betul sekali. Yahudi adalah bangsa, adalah etnis, adalah entitas agama, yang berakar sama dengan Islam dan Kristiani. Zionisme adalah ideologi yang hanya mementingkan kepentingan sendiri, tanpa memperhatikan kesejahteraan semua manusia yang hidup diwilayah itu.

Muhammad Ilham Fadli Pak Nano Hadinoto .... dalam konteks di atas, pada akhirnya kita bisa memahami dan mencari "benang merah", mengapa AS begitu "dekat teramat sekali" dengan Israel. Bukan karena Yahudi-nya .... tapi ZIONIS-nya (cf. Lihat, misalnya analisis Paul Findley, Mereka Berani Bicara) ...... kata kuncinya : AIPAC (American Israel Public Agency)

Budi Hartono Demikianlah adanya info tersebut bisa dilihat pada http://dunia.news.viva.co.id/news/read/172958-tes-dna---hitler-keturunan-yahudi-dan-afrika. Sejarah memang kadang mengejutkan, seperti halnya politik, sering kali jauh dari konsisten Disamping Hitler, kita juga Tahu bahwa Karl Heinrich Mark adalah Yahudi bahkan lahir dari keluarga religius Yahudi, namun apa lacur, dalam manifesto komunis-karena kognisi mark yg mungkin kecewa- ia begitu ektrem untuk menyatakan bahwa "agama adalah candu". Mungkin pula Hitler mengalami kognisi buruk konspirasi YAHUDI akibar Perjanjian Versailes yg merugikan Jerman dan dibalik itu adalah kominitas Yahudi. Btw, saya setuju bahwa Yahudi BUKANLAH ZIONIS tapi ZIONIS sudah barang tentu Yahudi. Toh saat ini, YAHUDI bukanlah sekedar pertalian darah, AGAMA dan BANGSA, tapi sudah menjadi perilaku dan kebiasaan.

Muhammad Ilham Fadli Ya ..... saya juga dahulunya sering baca tentang hal ini. Tapi, seumpama GENOSIDA (debatable), persoalan Hitler itu Yahudi atau tidak, umumnya sepakat mengatakan, beliau dari ras non-Yahudi, walau ada satu dua yang menganggap tidak. Tapi pointnya, bagi saya adalah : YAHUDI agama, yang kita takutkan itu ZIONISME yang kadang-kadang juga hadir di sekeliling kita, di seputaran kita. Masalah hadits di atas, kita juga harus lihat ASBAB-nya (dalam ilmu musthala'ah hadits dikenal dengan ashbabul wurud). "Pengetahuan" Nabi kala itu, hanya pada tiga agama itu, Yahudi, Majusi dan Nasrani ..... beliau yang mulia ini tak tahu tentang entitas agama lain seumpama Budha dan Hindu yang juga dianut oleh masyarakat "lain" di luar jazirah Arabia. Intinya, konteks hadits tersebut, bersifat kontekstual, dan analisisnya juga harus kita letakkan dalam konteks itu. "Tantangan" bagi nabi ada pada tiga agama .... Nasrani, Majusi dan Yahudi sesuai dengan pengetahuan nabi. Oleh karena, pemahaman dan melokalisir pada tiga agama itu, rasanya tak juga adil bagi kita pada masa sekarang .... Semua terpulang pada Allah SWT. kita hanya "menafsirkan". Demikian bung Budi Hartono.

Budi Hartono iya, saya sepakat, terutama pada kalimat : "Intinya, konteks hadits tersebut, bersifat kontekstual, dan analisisnya juga harus kita letakkan dalam konteks itu. "Tantangan" bagi nabi ada pada tiga agama. Nasrani, Majusi dan Yahudi sesuai dengan pengetahuan nabi. Oleh karena, pemahaman dan melokalisir pada tiga agama itu," semoga para "Pembela Islam" mendapatkan pencerahan atas kalimat dari pak Muhammad Ilham

Muhammad Ilham Fadli Konteks Agama adalah Candu dalam Manifesto Komunisme Marx juga harus juga ditelaah. MARX bukan menganggap agama itu candu, tapi agama yang dijadikan "struktur" ... struktur yang mengeksploitasi kalangan bawah. "Sabarlah ..... kamu ditakdirkan oleh Tuhan menjadi budak, jadi terima", demikian perumpamaan yang (sering) dikemukan Marx. Ia bukan hanya benci pada Yahudi, tapi pada semua agama. Sayang beliau hidup dalam suasa era industrialisasi dengan "anak kandungnya" Kapitalisme, dimana terjadi eksploitasi kalangan atas pada kalangan bawah (borjuis pada proletar). Dan ia melihat agama dijadikan "alat" untuk eksploitasi itu. Bila ia hidup pada masyarakat ACEH dan melihat "getaran" aura Hikayat Sabeel melawan Belanda yang kapitalitik, saya yakin MARX akan merubah pendapatnya : "(ternyata : agama itu potensial melawan borjuis). Ini-lah yang dianalisis dengan bagus oleh HOS Cokroaminoto dan beberapa pentolan komunisme di Minangkabau pada era 1920-an.

Nano Hadinoto Leluhur Adolf Hitler beberapa generasi keatas adalah murni orang Eropa non Yahudi. Ayahnya, Alois Hitler (sebelumnya bernama Schicklgruber) adalah pegawai bea cukai kekaisaran Austria, ibunya Clara Poelzel. Mereka adalah keluarga pedesaan, dan saleh beragama Katholik. Selesai sekolah, ia pindah dari kota kelahirannya Braunau am Inn di batas Austria-Jerman, ke Jerman (yang waktu itu merupakan kumpulan kerajaan kerajaan), yakni ke kerajaan Bavaria (Jerman: Bayern). Masuk militer pada Perang Dunia II kedalam Resimen Infantri Cadangan no 16 Diraja Bavaria. kebencian penduduk terutama grass root pada orang Yahudi yang hanya sedikit itu kala itu menyala-nyala (sampai di generasi saya, teman teman di Austria dan Jerman, terutama yang usianya 10-20 tahun lebih tua dari saya). Orang Yahudi dianggap borju, padahal banyak yang pas pasan hidupnya. Kesenjangan terbesar bangkit dari sisi agama, karena agama Yahudi yang bertumpu pada Kitab Taurat MENOLAK keberadaan Yesus, apalagi sebagai Tuhan. Tuhan bagi umat yahudi adalah Yahweh (atau Elohim, El Lah)yang mahaesa. Grass root rata rata sangat saleh Katholik atau Kristen-Protestan jadi sentimen sekali. Karl Marx memang keturunan Yahudi, anak pemilik pabrik. Sebagai turunan Yahudi dia ditolek dikalangan elit "pribumi" Eropa yang Krsitiani, tetapi keYahudian juga membuat dia tak nyaman. Dia melihat agama, yang memang sejak abad pertengahan di Eropa hingga revolusi indiustri diabad ke XIX- awal abad ke XX, sangat berkolaborasi dengan penguasa, terutama bangsawan. Jadi dinilai sangat meng-exploitasi rakyat kecil. Dizaman dia, abad XIX-XX awal, hapir tak terbayangkan, agama mampu membangkitkan revolusi melawan penguasa. Sayang dia tak mengalami, bagaimana gereja Katholik di Latin Amerika bangkit sebagai pembela petani dan rakyat kecil di Amerika Latin, dan di-kejar kejar militer. Agama sebagai pembangkit kesadaran rakyat belum terlihat di Eropa saat itu. Padahal ini terjadi ditempat lain. Tan Malakka misalnya melihat Islam sebagai sumber kekuatan melawan penjajahan. Juga haji Misbah. HOS Cokroaminoto diilmahi oleh agama Islam dalam kesadaran nasionalnya.

Sumber foto :  arrahmah.com

Selasa, 25 September 2012

Buku Putih Mazhab Syi'ah

Oleh : Muhammad Ilham

Hari ini (25/9/2012) pukul 13.05 tadi, saya mendapat buku yang amat aktual, "Buku Putih Mazhab Syi'ah" (tenkiu ... adinda Rifdi).  Semoga, menjadi nilai ibadah bagi yang bermurah hati mengirimkannya kepada saya secara gratis. Semakin membaca dari "dalam", semakin kita berempati, santun dalam memahami - (yang) bukan berarti mendukung atau menolak secara "membabi-buta". Dengan membaca dari sumber "dalam" dan "otoritatif", setidaknya membuat saya teringat dengan anjuran Raja Ali Haji :


Sumber Foto : Pribadi (scan)


 /beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus/
dengan segores kalam jadi tersarung/ 
(Raja Ali Haji : dalam Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin

Suka dengan kalimat pembuka dalam buku ini : "Islam menghukumi yang zahir, dan tidak menghukumi bathin seseorang. Kita dilarang menghukumi orang berdasarkan niatnya, melainkan harus berdasarkan sikap dan pernyataan yang keluar atau terlahir secara nyata dari diri sendiri".  (Al-Islam yahkumu bizh-zhawahir).

Dalam konteks di atas, secara pribadi saya mengambil "posisi" : saya hanya ingin katakan (bahwa) saya seorang muslim yang mengakui kepelbagaian aliran pandangan dan mazhab. Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni), Syiah, Wahabi-Salafiah, Sufi adalah saudara kita seagama. Kita menyembah Allah SWT. dan memiliki nabi yang mulia "Muhammad SAW", Rasulullah junjungan ummat. Kita juga wajar saling meminjam kebaikan atau kekuatan sesama muslim, demi memantapkan ummah. Musuh kita hari ini adalah kebodohan, kemiskinan dan kurangnya solidaritas dan soliditas sesama Muslim.

Emeraldi Chatra, dalam group facebook Nabiyyah mengatakan : Benci membenci antara Sunni-Syiah itu sebenarnya fenomena Timur Tengah. Disanalah pada lebih kurang 14 abad silam terjadi sengketa berdarah yang memakan korban ribuan umat Islam, yang kemudian memberkas sangat dalam dan jadi dendam kesumat hingga saat ini. Sunni-Syiah di Indonesia tidak punya sejarah berdarah seperti itu. Ketika mula-mula masuk ke Indonesia Syiah tidak menimbulkan gesekan yang berarti dengan pribumi yang masih beragama pagan atau Hindu/Budha. Ketika Syiah kehilangan pamor dan digantikan oleh Sunni gesekan yang berarti juga tidak terjadi. Transformasi berjalan dengan mulus. Namun, aura kebencian dan hasut menghasut yang terjadi di Timur Tengah kemudian diekspor ke Indonesia melalui berbagai bacaan.

Kini juga melalui situs internet. Kaum Sunni dan Syiah di Indonesia pun mulai terpengaruh dan melupakan ukhuwah mereka selama berabad-abad. Gesekan makin lama makin panas. Haruskah kita mengimpor kebodohan? Apakah tidak ada yang lain yang lebih baik untuk diimpor selain kebencian dan caci maki yang tak berakar di negeri kita sendiri?

Jumat, 21 September 2012

Untuk Siapa Republik Ini Dibentuk ?

Oleh : Muhammad Ilham

Begitu menarik diskusi hari ini, diskusi lepas dan "bervitamin" mengenai untuk siapa sebenarnya Republik Indonesia dibentuk oleh founding fathers ? Semua itu berawal dari artikel cendekiawan muda Indonesia - Anies Baswedan - "Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik !" yang dipublish di Harian Kompas (11/9/2012). Sebagian dari artikel tersebut saya jadikan bahan diskusi di facebook saya (Muhammad Ilham Fadli) hari ini .......... dan diskusi-pun mengalir dengan hangat. Berikut penggalan artikel-nya :


Sumber Foto : INTI

Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa! Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas dimana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat luas. 

Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lain. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan ! Tenun Kebangsaan itu dirobek dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tidak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka bukan sekadar melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah ! 

Tenun kebangsaan ini dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun inipun belum selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya. Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan "warga negara" dan "penganut sebuah agama". Perbedaan aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan -bahkan ribuan- tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus, dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tidak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan. Negara memang tidak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Tetapi negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi dialog antar pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apapun boleh, begitu berubah jadi kekerasan maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. 

Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus selalu melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan di republik ini. Apalagi aparat keamanan, ia harus hadir untuk melindungi “warga-negara” bukan melindungi “pengikut” keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, maka aparat hadir untuk menangkap “warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap “pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan ini salah satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin. Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi itu semua tak cukup, dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja manusia yang datang untuk merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau “bertarung” menghadapi para perobek itu.  Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah mempesona saat mendirikan negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan negara bhineka. 

Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada bekas, selalu ada cacat. Ada seribu satu pelanggaraan hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk dibereskan. Untuk mensejahterakan bangsa semua orang boleh “turun-tangan”, tapi untuk menegakkan hukum hanya aparat yang boleh “turun-tangan”. Jadi saat penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan menang "bertarung” melawan para perobek itu. Bahkan saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan untuk melakukan kekerasan. Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang pilih untuk  melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap gelintir orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan!. Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar bahwa memilih kekerasan adalah sama dengan memilih untuk diganjar dengan hukuman yang menjerakan. Ada kepastian konsekuensi. Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan Negara yang bhineka. Kita bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu secara tanpa syarat? Biarkan kita semua -dan kelak anak cucu kita- bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.

Sebagai pembanding, saya juga "menghadirkan"  artikel saya yang pernah di publish di sebuah harian lokal tahun lalu tentang "Nasib Kelompok Mayoritas yang Selalu Dicurigai", berikut :

Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.

Sejak lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah (1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam politik.

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam, sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik. Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini, merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.

Sejak lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk "dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu bentuk grand design kelompok-kelompok non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo. Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.

Sejarawan Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai. Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal istilah inferiorityof minority. Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan, akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.

Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.

Orang Lain Merampas Bunga, (Biarlah) Saya Memetik Kuntum

Oleh : Muhammad Ilham

"Selama aku bersama buku kalian boleh memenjarakanku di mana saja, sebab dengan buku pikiranku tetap bebas-merdeka" (Mohammad Hatta)


 

Teringat kita dengan ucapan Syekh Muhammad Djamil Djambek : Kitab dibantah dengan kitab. Dan itu ia kemukakan pada akhir kolonial Belanda bercokol di nusantara. Sebuah "sikap" intelektual yang sangat inspiratif. Ulama "modernis" Minangkabau ini ingin mengajarkan bahwa tradisi tulis harus terus ditumbuh kembangkan. Sebetapapun sebuah tulisan sungguh menyakitkan, harus dibalas dengan tulisan. Buku versus buku. Karena ini pulalah mungkin, penyair Kahlil Gibran suatu ketika pernah berkata, "Jangan kau tangisi hilangnya harus mawar di taman, tapi tangisilah kehilangan tradisi menanam mawar itu". Bukan harumnya, tapi tradisi untuk menciptakan keharuman itu. Dari mana datangnya harum, bila kita tak menanam sumber harum tersebut ?. 

sumber foto : Rain

Tuanku Imam Bonjol, Wahabisme & Petisi

Oleh : Muhammad Ilham

Mungkin karena isu "radikalisme Islam" (mulai) mencuat lagi dalam ruang publik Indonesia, tak salah kemudian apabila beberapa peristiwa sejarah yang bernuansa Wahabisme, dikritisi oleh beberapa kalangan. Tak terkecuali, ketokohan (tepatnya : kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol) yang dianggap menjadi salah satu "benang merah" Wahabisme di Minangkabau. Bahkan ada yang ingin mengajukan petisi yang mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan, dan meluruskan sejarah Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung, sejarah tanah Sumatra, dan sejarah Republik Indonesia. Tuanku Imam Bonjol berkhianat pada Kerajaan Islam Minangkabau Pagaruyung, membantai keluarga kerajaan, memimpin invasi ke Tanah Batak yang menewaskan lebih satu juta jiwa, menyerang Kerajaan Batak Bakkara dan menewaskan Sisingamangaraja X, bertanggung-jawab atas masuknya Kerajaan Belanda di tanah Sumatera Utara dan Minangkabau. 

Berikut, dialog-diskusi kritis tentang topik di atas yang berlangsung di account facebook saya (Muhammad Ilham Fadli), dengan pengantar awal dari saya mengenai : "Tuanku Rao di satu Sisi, Tuanku Imam Bonjol di Sisi Lain & Wahabisme yang Tidak Menyejarah di Minangkabau". 

Tentang asal usul Tuanku Rao sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan. Beberapa buah buku yang khusus meneliti tentang Tuanku Rao dan yang menyinggung sedikit tentang Tuanku Rao dalam pembahasannya, memberikan klaim asal Tuanku Rao pada dua daerah yaitu dari Batak dan dari Minangkabau. Onggang Parlindungan mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari daerah Batak. Pendapat Onggang Parlindungan ini kemudian dibantah oleh HAMKA dalam bukunya Antara Fakta dan hayal Tuanku Rao. HAMKA mengatakan bahwa Tuanku Rao bukan berasal dari daerah Batak. Tuanku adalah orang Minangkabau. Sementara itu, Christinne Dobbin (1992: 218) mengarakan bahwa Tuanku Rao secara genetik adalah keturunan daerah penguasa Bakkara, Batak. Karena interaksi yang intens dengan gerakan Paderi yang identik dengan Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya serta area perjuangannya melawan kolonial Belanda berada di wilayah Minangkabau (tepatnya di Pasaman), membuat timbul "kesan" bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau.Bila dilihat dari argumentasi dan dukungan fakta yang dikemukakan, pendapat Onggang Parlindungan dan Christine Dobbin lebih masuk rasional dan argumentatif. Dalam tradisi oral history (sejarah lisan) Batak disebutkan bahwa Sisingamangaraja X mempunyai adik perempuan yang bernama Nai Hapatin. Ia kawin dengan seorang laki-laki dari klan Sisingamangaraja, Ompu Pelti. Sisingamangaraja X yang bernama asli Ompu Tua Nabolon tidak menyukai perkawinan ini. Tidak didapatkan data latar belakang pasti mengapa beliau tidak menyukai Sisingamangaraja Ompu Pelti. Namun secara asumtif mungkin bisa dikemukakan bahwa Sisingamangaraja tidak menginginkan perkawinan ini berlangsung disebabkan mereka sama-sama satu marga, sama-sama berasal dari klan Sisinga mangaraja. Perkawinan antara satu marga merupakan perkawinan yang dianggap tabu dalam adat Batak, terutama pada masa dulu. Untuk itu, Sisingamangaraja X berusaha menghalang-halangi agar perkawinan ini tidak jadi dilangsungkan. Karena Ompu Pelti dan adik perempuannya sama-sama keras, maka sesuai dengan adat Batak yang berpegang pada Dalih Natolu yaitu berpegang pada tiga : Marhula-hula, Mardongan Sabutuha dan Maranak Boru (O. Parlin-dungan, 1969: 59) akhirnya mereka dibuang ke daerah Bakkara selanjutnya mereka pindah ke daerah Aceh Tengah. Padahal secara adat, hukuman yang harus diberikan bagi mereka yang melanggar adat adalah sangat berat seperti dirajam atau dipukul dengan batu sampai mati. Karena mereka berasal dari kelompok "darah biru" maka huku-man yang diberikan kepada mereka hanya sebatas dibuang dalam masa tertentu. Secara sosiologis bisa saja masa tertentu tersebut bisa dilihat dari kajian stratifikasi sosial. Didaerah "rantau" inilah anak mereka lahir, yang kemudian mereka beri nama Sipongki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Rao.

Data diataslah yang menjadi pijakan Onggang Parlindungan untuk mengatakan bahwa secara genetik Tuanku Rao adalah orang Batak. Klaim ini dibantah oleh HAMKA yang berpijak pada buku Study Over Batak an Batak Schelanden tahun 1866 yang ditulis oleh JB. Newmen Kontrelir BB (HAMKA, 1974: 239). Di dalam buku itu dijelaskan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Pendapat HAMKA ini kemudian diperkuat oleh hasil wawancara dengan Sya'ban Sutan Ibrahim yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi, Rao Padang Nunang. Bahkan Sya'ban Sutan Ibrahim mengatakan bahwa keturunan-keturunan beliau sampai hari ini bisa ditelusuri di daerah ini. Jubah beliau masih disimpan sebagai pusaka sejarah oleh anak cucunya. Jubah tersebut adalah salah satu Jubah yang selalu dipakai oleh Tuanku Rao ketika bertempur melawan kolonial Belanda.


Bila dirunut secara objektif dan memenuhi kaedah-kaedah epistimologis yang dilakukan Onggang Parlindungan, maka bisa didapatkan kesimpulan bahwa Sipongki Na Ngolngolan alias Tuanku Rao adalah orang Batak. Beliau berasal dari marga Sinambela dari keturunan Sisingamangaraja. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada dikenal marga atau suku Sinambela. Lain ceritanya apabila Tuanku Rao berasal dari Marga Lubis atau Tanjung. Namun terlepas dari perdebatan mengenai asal usul Tuanku Rao diatas, dalam konteks tema tulisan ini, Tuanku Rao bisa ditempatkan sebagai salah seorang ulama Minangkabau. Bisa saja secara genetik beliau tidak berasal dari "darah" Minangkabau, akan tetapi area perjuangannya dan "peristirahatannya yang terakhir berada di daerah Minangkabau. Bisa saja secara genetik beliau adalah orang Batak, tapi secara sosiologis beliau bisa dikategorikan sebagai orang Minangkabau.


Si Pongki "Tuanku Rao" Na Ngolngolan : Interaksi Ajaran Islam hingga Gerakan Paderi di Minangkabau

Se
telah Tuanku Rao lahir, orang tuanya membawa beliau ke kampung halamannya di tanah Bakkara dan menitipkan kepada kakeknya dari pihak ayah. Sementara itu, kedua orang tua Tuanku Rao kembali lagi ke Aceh Tengah. Kabar kepulangan adik beserta kemenakannya membuat "luka lama" Sisingamangaraja kambuh lagi. Rasa benci dan harga diri yang tercoreng membuat Sisingamangaraja kemudian berusaha membunuh kemenakannya dengan jalan membuang Tuanku Rao ke tengah-tengah Danau Toba. Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun niat Sisingamaraja tersebut tidak kesampaian karena setelah diikat dengan tali yang diberati batu tersebut dan dibuang ke Danau Toba, Tuanku rao berhasil melepaskan ikatan tali itu dan langsung berenag ke tepian. Selanjutnya, mengingat keamanan diri dan kakeknya yang tidak terjamin apabila ia tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao berangkat menunuju Aceh Tengah dan meninggalkan kakeknya di Bakkara. Di Aceh Tengah inilah (di daerah ini beliau tidak bergabung atau menemui kedua orang tuanya) Tuanku Rao pertama sekali mengenal dan mempelajari ajaran Islam yang pada akhirnya beliau masuk Islam. Kemudian untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya Sisinga mangaraja, maka Tuanku Rao hidup berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain yang didaerah tersebut tidak ada orang yang bermarga Sinambela.

Berapa lama Tuanku Rao belajar Agama Islam di Aceh ?. Menurut salah satu Sumber Lisan di daerah Rao Mapattunggul, Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu ia kembali ke Padang Matinggi untuk menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarganya dan masyarakat Batak disekitarnya. Diperkirakan Tuanku Rao pulang ke Padang Matinggi pada tahun 1801 M. Selanjutnya beliau bekajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M., diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Fakta sejarah beliau belajar kepada beberapa ulama terkenal Minangkabau juga dikemukakan oleh Onggang Parlindungan yang mengatakan : "Pada tahun 1804 hingga tahun 1806 Tuanku Rao belajar Tulisan Arab serta mendalami Islam dan ilmu lain dengan ulama-ulama Islam di Minangkabau seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin dan lain-lain. Pada waktu itu ulama-ulama tersebut merupakan ulama populer yang baru pulang dari Mekkah dan memiliki gerakan yang terkenal dengan sebutan gerakan Wahabi (Onggang Parlindungan, 1969: 68).
Dengan ulama-ulama tersebut diatas, Tuanku Rao belajar secara mendalam tentang seluk beluk hukum Islam. Terhadap gerakan Wahabi yang dibawa dan dipopulerkan oleh para gurunya ini, Tuanku Rao hanya memberikan apresiasi dan menghormati pilihan media gerakan gurunya tersebut, namun Tuanku Rao tidak masuk intens ke dalam unsur gerakan yang berasal dari Saudi Arabia ini. Disamping belajar dengan Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin, Tuanku Rao juga belajar tentang ilmu agama pada sahabat karibnya Tuanku Tambusai sampai ia mendapat gelar Fakih, sebuah gelar yang berarti ilmu agama yang dimiliki Tuanku Rao telah memuaskan. Setelah kepulangannya dari Aceh dan kemudian pergi menambah ilmu keislaman kepada beberapa orang ulama terkenal Minangkabau, Tuanku Rao kemudian termotivasi dan berkeinginan untuk menegakkan kemurnian Islam di daerah Lembah Rao dan daerah sekitarnya. Pada awal gerakannya, cita-cita Tuanku Rao hanyalah sekedar untuk memurnikan ajaran Islam yang telah disalahjalankan oleh kalangan adat. Dalam sejarah, gerakan Tuanku Rao dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Batak cenderung keras. Sikap keras beliau ini banyak yang memunculkan sikap pro dan kontra. Area gerakan dakwah Islam Tuanku Rao tidak hanya diwilayah Rao saja, akan tetapi sampai ke daerah Tarutung, Balige, Porsea dan daerah-daerah Batak lainnya dengan pola yang cenderung sama, menyebarkan Islam dengan kecenderungan kearah kekerasan. Gaya Tuanku Rao inilah yang kemudian mendapat tantangan yang sangat serius dari kalangan adat baik di daerah Batak maupun didaerah Rao Mapattunggul.

Namun cita-cita Tuanku Rao ini, sebagaimana hanya ini juga terjadi dalam nelihat latar belakang lahirnya gerakan atau Perang Paderi di Minangkabau, mendapat tantangan berat karena adanya intervensi politik dari kalangan adat yang mengundang kolonial Belanda untuk "campur tangan". Mulai sejak itu Tuanku Rao bergerak dengan dua tujuan yakni memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang menyelewengkan ajaran Islam terutama kalangan adat dan mengusir kaum kolonial Belanda yang berusaha menduduki daerah Lembah Rao dan sekitarnya yang kaya akan rempah-rempah dan emas.5 Kolonial Belanda yang "bermurah hati" mau membela kepentingan kalangan adat sebenarnya menginginkan tanah dan kekayaan Lembah Rao. Sesuatu yang sebenarnya tidak disadari oleh kalangan adat ketika itu atau kalangan adat menyadari implikasi negatif yang akan ditimbulkan apabila mereka meminta bantuan kolonial Belanda menghadapi Gerakan Tuanku Rao dan Gerakan Paderi, akan tetapi mengingat eksistensi "darah biru" mereka digerogoti kalangan ulama maka implikasi negatif diatas dinafikan kalangan adat. Sejak itu, dengan memusatkan Rao sebagai pusat gerakannya, Tuanku Rao bersama pengikutnya mulai berperang melawan kolonial Belanda yang "bertopeng" dibelakang kepentingan kalangan adat. Kondisi perang ini makin bertambah "heroik" setelah perlawanan terhadap kolonial Belanda menjadi perlawanan kolektif dibawah payung Gerakan Paderi yang dipimpin oleh ulama kharismatis asal Bonjol, Peto Syarief yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol. Dan selanjutnya, Tuanku Rao mulai bergabung dalam "arus umum" Perang Paderi dimana beliau termasuk menjadi orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol.

Perlawanan sengit yang diberikan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol membuat pihak militer kolonial Belanda kalang kabut. Untuk mengantisipasi hal ini, pihak militer Belanda di daerah Pasaman meminta tambahan pasukan kepada pemerintah pusat di Batavia. Maka pada bulan Juni 1832, pasukan Belanda dari Jawa tiba di Padang kemudian langsung diberangkatkan menuju Rao. Pasukan ini dipimpin oleh seorang opsir muda bernama Mayor van Amerongen. Kedatangan pasukan ini kemudian diketahui oleh pasukan Paderi yang berada di daerah Lembah Rao. Tuanku Rao kemudian mengadakan perundingan kilat dengan Tuanku Tambusai dan kemudian diambil keputusan bahwa apabila pasukan Belanda datang untuk berdamai maka para pejuang Paderi akan bersikap seolah-olah akan menerima perdamaian tersebut, tetapi apabila datang dengan kekerasan maka pihak Paderi Rao-pun akan menghadapi mereka dengan kekerasan pula.

Kemudian dilakukanlah pembagian tugas. Tuanku Rao bertugas mempertahankan benteng dari jurusan Timur, Tuanku Tambusai dari jurusan Barat, Imam Perang Muhammad Jawi dari jjurusan Utara dan Haji Muhammad Saman bertugas sebagai penghubung diantara mereka. Rupanya Belanda tidak menyodorkan perdamaian. Belanda menyodorkan pilihan perang atau angkat kaki dari daerah Lembah Rao. Jawaban yang diberikan pasukan Tuanku Rao dan pasukan lainnya yang tergabung dalam pasukan Paderi sudah jelas, menerima tawaran perang. Selanjutnya perang-pun terjadi. Berpuluh-puluh kali benteng Rao diserang dari berbagai jurusan tapi berpuluh-puluh kali pula pasukan Belanda mendapat balasan yang cukup keras dari pasukan Paderi. Melihat hal ini, Mayor van Amerongen merasa khawatir dan kemudian beliau meminta tambahan pasukan ke Padang. Pasukan bantuan tambahan dari Padang tiba di Rao pada bulan September 1932, segera Mayor van Amerongen kemudian melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Rao. Setelah melakukan pertempuran selama 16 hari, akhirnya benteng para pejuang Paderi terdesak. Untuk menghindari banyaknya jatuh korban, mereka kemudian mengosongkan benteng. Tuanku Rao bersama pasukannya mengundurkan diri ke Air Bangis, sedangkan Tuanku Tambusai bersama pengikutnya termasuk Muhammad Saman mundur ke arah barat memasuki daerah Mandahiling. Sedangkan benteng Rao berhasil direbut pasukan von Amerongen. Atas jasanya ini, nama benteng Rao kemudian dirubah menjadi Benteng Von Amerongen.

Kekalahan yang diderita pasukan Paderi di Rao dan jatuhnya benteng Rao ke tangan pasukan Belanda, membuat masyarakat yang ada disekitar Lubuk Sikaping merasa panas dan berencana untuk menyerang Rao serta membebaskan benteng Rao dari cengkeraman p asukan Belanda. Sebelum penyerangan dilakukan, utusan Belanda berangkat ke Lubuk Sikaping untuk menemui para penghulu dan membujuk mereka untuk "mengamankan" serta mengurungkan rencana anak kemenakan mereka menyerang benteng Rao. Akan tetapi para penghulu tidak mau tunduk dengan permintaan utusan Belanda ini. Akibatnya, para penghulu yang dianggap sebagai otak non-kooperatif ini ditangkap dan dipenjarakan. Tindakan ini nampak nya cukup efektif karena membuat takut masyarakat Lubuk Sikaping bertindak lebih jauh sebagaimana yang telah mereka rencanakan pada awalnya.
Kepergian Tuanku Rao dan pasukannya ke daerah Air Bangis pada tahun 1883 sebenarnya merupakan strategi untuk menyusun kekuatan kembali setelah pasukannya kalah dalam perang mempertahankan benteng Rao melawan pasukan Von Amerongen. Air Bangis merupakan daerah terjauh dari Rao di wilayah Kabupaten Pasaman. Secara asumtif, kemungkinan besar karena pertimbangan jarak inilah, maka Tuanku Rao berfikir akan mudah menyusun kekuatan kembali untuk melawan pasukan Belanda dan merebut benteng Rao. Namun setibanya di Air Bangis, daerah pantai dan daerah dagang di pantai Barat Sumatera ini telah diduduki oleh pasukan Belanda. Kedatangannya ke Air Bangis kemudian dicium penguasa Belanda setempat. Berita kedatangan Tuanku Rao ke Air Bangis dikabarkan ke Benteng Rao di Rao Mapattunggul. Maka segeralah dikirim seorang kurir beserta pasukan Belanda dari Rao. Kurir tersebut bernama Letnan Muda J.H.C. Schultze. Disamping mengirimkan pasukan dari Rao, bala bantuan juga dikirimkan dari Padang yang mengirim satu buah kapal perang yang bernama Circe. Pasukan Belanda di Air Bangis dibantu oleh pasukan Letnan Muda J.H.C. Shultze serta penguasaan medan laut oleh kapal Circe, mereka mengepung ruang gerak Tuanku Rao dan pasukannya di sekitar Air Bangis. Pada akhirnya, dalam tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 19 Januari 1833, Tuanku Rao kemudian ditangkap hidup-hidup tanpa perlawanan berarti dari beliau.

Kemudian proses selanjutnya, sejarah tidak mencatat secara jelas. Bagaimana Tuanku Rao meninggal dan dieksekusi. Apakah ditembak, dirajam atau dibenamkan di laut. Kemudian dimana beliau dikuburkan. Siapa saja dari pasukannya yang mati terbunuh, kemudian apa saja kegiatan utamanya di Air Bangis, serta mengapa ia ditangkap, apakah beliau tidak bisa menghilangkan identitasnya. Sejarah tidak mencatat secara tuntas. Yang diketahui hanyalah, Tuanku Rao ditangkap dan dihukum mati dengan cara yang sangat keras.6 Dua kata terakhir ini, kata "sangat keras" sampai hari ini belum bisa diinterpretasikan analisis sejarah makna kata tersebut. Tapi yang pasti, Tuanku Rao tidak meninggal dalam peperangan karena menurut Chritinne Dobbin, beliau ditangkap hidup-hidup dalam sebuah pengepungan yang dilakukan secara kolektif dari darat dan dari arah laut Air Bangis.

Kematian Tuanku Rao sampai hari ini, baik yang bersumber dari fakta sejarah (pendapat dari beberapa sejarawan yang pernah meneliti tentang Tuanku Rao) maupun dari cerita-cerita rakyat yang berkembang, masih dianggap sebagai sebuah kematian yang tragis dari perjalanan hidupnya yang juga tragis, keras dan penuh dinamika. Namun kematian Tuanku Rao bukanlah kematian sia-sia. Dalam ranah sejarah Islam di Minangkabau dan Tanah Batak, "posisi dan peran" Tuanku Rao menempati posisi dan peran yang cukup penting. Beliau adalah figur yang sangat banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan Islam di daerah-daerah pinggiran Minangkabau (daerah-daerah tansisi spasial Batak-Minangkabau atau daerah perbatasan kultur Minangkabau dengan Batak) dan sebagian besar daerah-daerah di Tapanuli. Terlepas dari gayanya yang keras dalam menyebarkan agama Islam, yang pasti pembicaraan mengenai Islamisasi di Minangkabau dan daerah-daerah di Tapanuli, sejarah tidak akan bisa melupakan posisi dan peran penting Sipongki "Tuanku Rao" Na Ngolngolan ini.

Begitu juga halnya ketika kita berbicara mengenai sejarah perjuangan Indonesia dalam melawan penjajahan kolonial Belanda. Tuanku Rao adalah seorang pahlawan yang sangat berani dalam melawan secara fisik keberadaan kolonial Belanda di daerah Pasaman dan Batak. Bersama-sama dengan para kawannya yang tergabung dalam Gerakan Paderi, mereka "menguras" energi dan kekayaan kolonial Belanda. Perlawanan yang mereka lakukandalam rentang waktu hitungan tahun yang panjang membuat pemerintah kolonial harus mengeluarkan biaya besar. Disamping itu, Tuanku Rao merupakan orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pahlawan nasional dari Minangkabau. Memang beliau tidak mendirikan pesantren ataupun membuat sebuah surau dengan seperangkat sistem belajar mengajar. Beliau tidak seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli ataupun Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang memiliki kesempatan membuat lembaga pendidikan dan mentransfer ilmu mereka kepada para murid secara sistematis. Beliau juga tidak terlibat secara intens dengan perdebatan-perdebatan teologis sebagaimana halnya yang terjadi pada ulama-ulama besar Minangkabau sesudahnya. Walaupun sebenarnya pada waktu itu perdebatan teolgis "terbuka" dengan satu objek perdebatan yaitu Gerakan Wahabi. Tapi beliau tidak begitu tertarik. Tuanku adalah "orang lapangan". Beliau lebih suka berada diatas punggung kuda, dan menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan tugas "laki-laki"nya yaitu berperang sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol. Maka pembicaraan tentang Peperangan Paderi, posisi dan perang penting Tuanku Rao tidak bisa dilupakan.
 

Sumber : (Basyral Hamidi Harahap, 2001; Christine Dobbin, 1996; M. Onggang Parlindungan, 2002; HAMKA, 1974 dan Muhammad Ilham, "Tuanku Rao dan Air Bangis", 2000)

Selanjutnya, diskusi berkembang (hanya publish sebagian) :

Dina Y. Sulaeman terimakasih bang..menarik sekali.. jadi agak malu, saya urang awak tapi banyak tak tahu sejarah kampung sendiri..Tolong dijelaskan juga ya Bang soal Wahabisme itu. Samar2 yg saya ingat, guru sejarah dulu cerita bhw yang dilakukan psukan Paderi adalah melarang masy melakukan hal2 yg melanggar syariat Islam, misalnya judi, sabung ayam. Oiya, Om D-Gooh Teguh (dari bliau ini nih info soal petition tsb) silahkan nimbrung juga :)

D-Gooh Teguh saya share saja. dari sekilas2 mmg sudah lama saya curiga bahwa Imam Bonjol ini pengkhianat tetapi data dan analisis ilmiahnya ya baru baca juga.

Chen Chen Muthahari Teman2 Batak tsb... biasanya masih membekas ingatan buruk/luka-2 nya terhadap Perang Paderi ini.

Muhammad Ilham Fadli Dina Y. Sulaeman, sebelum bahas "cerita usang" dan analisis a-historis mengenai "pengkhianat" atau tidak "pengkhianat"nya Imam Bonjol dan group "wahabisme" nya tersebut, ada hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. (Pertama) : Kritik HISTORIOGRAFI ...... "sumber sejarah" yang digunakan, sumber sejarah mana ? Kalau ARSIP-ARSIP Belanda, dijamin 100 % Imam Bonjol bagi Belanda adalah Pengkhianat. Kalau Buku yang dikarang oleh peneliti "out-group" (kalau boleh saya katakan demikian), pasti analisis subjektifitasnya muncul (apalagi ketika kita membaca Buku Mangaraja Onggang Parlindungan dan dihubungkan dengan Batak-Bakkara dstrsnya.). (Kedua) : analisis historis harus kita tempatkan dalam konteks waktunya, ada "jiwa zaman" pada masa itu. Tuanku Nan Renceh, "membunuh" kakak ibunya (?) gara-gara makan SIRIH, juga harus diletakkan pada jiwa zaman itu. Sama halnya dengan, bagaimana kita memahami "KKN"-nya Utsman bin Affan, "harem"-nya dinasti Turky Utsmany atau bagaimana kita memahami "mengapa" beberapa ulama dan pelajar Thawalib Padang Panjang banyak menggandrungi ideologi Komunis tahun 1920-an di Padang Panjang. Dalam konteks ini, kita menempatkan analisis. Yang jelas, Imam Bonjol adalah "aktor historis" Minangkabau yang implikatif. Kalau dalam kajian Al-Qur'an dikenal Ashbabun Nuzul, Ashbabul Wurud untuk Ilmu Hadits, maka dalam melihat event sejarah, harus dilihat SEBAB MUSABAB-nya dan "dikonfirmasi" dengan "jiwa zamannya" ..... kalau tidak, maka SOEKARNO-pun kita anggap Pengkhianat karena menerima beberapa "tawaran" Jepang, atau KARTOSOEWIRJO bisa jadi dianggap BANCI karena mengajukan Grasi pada Soekarno dan seterusnya.

Muhammad Ilham Fadli Bu Chen Chen Muthahari, sama halnya orang Minangkabau, masih "membekas" dalam perilaku buruk rupa tentara JAWA ketika melakukan penumpasan PRRI di Sumatera Barat. Persoalannya sekarang adalah, "menempatkan" event tersebut dalam konteks waktunya. Membaca Sejarah Islam Minangkabau, tidak bisa secara parsial dan dihadapkan secara vis - a vis dengan "out-group" Minangkabau lainnya. Bagaimana kita memahami seorang Amangkurat II sang psikopat itu membunuhi banyak ulama ? Atau bagaimana kita memahami kejadian "kompetisi - konflik - anarkisme" Nuruddin Ar-Raniry dan As-Sumaterani di Aceh ?

Dina Y. Sulaeman wow..thank you very much Bang.. dapat ilmu baru nih soal studi sejarah.. ditunggu lanjutannya.. Pertanyaan selanjutnya: lalu bolehkah kita menilai benar-salahnya perilaku seorang tokoh sejarah? Apa kita hanya bisa memahaminya, atau boleh mengkritisinya?

Chen Chen Muthahari Seperti yg anda katakan bung Muhammad Ilham Fadli: penumpasan PRRI itu untuk apa? Perang Paderi itu untuk apa? kenapa Imam Bonjol yg jadi pahlawan nasional? mungkin ini maksud petisi ini, mempersoalkan kembali hal ini. apakah krn pernah selingkuh bu Inggrid gak bisa jadi pahlawati Nasional?

Muhammad Ilham Fadli Kepahlawanan itu DEBATABLE, bu Chen Chen Muthahari. Saya lebih suka menggunakan aktor sejarah. Sekarang begini, "tidakkah dalam fase juangnya, Imam Bonjol cs. adalah aktor heroik melawan Belanda ? ..... disisi lain, oleh sahabat kita yang lain (tentunya dengan pertimbangan arsip yang subjektif) dianggap pula sebagai "pengkhianat" kemanusiaan. TIMUR LENK yang mendirikan Dinasti TIMURID, dianggap sebagai raja Muslim yang "berjasa" besar dalam peradban Islam, pada sisi lain, "tangannya berdarah-darah", bahkan diklaim pernah mendirikan tugu dari kepala ratusan bahkan ribuan orang ?. Kalau juga kita menggunakan konsep Pahlawan, apakah semua Pahlawan Nasional itu juga "dimiliki" oleh semua orang yang mengaku sebagai rakyat Indonesia ? .............. PRRI bagi orang Minangkabau adalah "koreksi daerah terhadap pusat" (lihat : Mestika Zed, RZ. Leirisza dan hampir seluruh masyarakat Minangkabau mengatakan hal itu). Tapi bagi sejarah politik Nasional, PRRI adalah pemberontak. Chairul Saleh Dt. Panduko Rajo, Soekarni dan DN. Aidit ... adalah segelintir anak muda yang menorehkan sejarah luar biasa ... "menculik dan memaksa Soekarno-Hatta (cf.) Rengasdenklok" ..... bagaimana kalau tidak mereka culik, maukah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan ? ... tidakkah EVENT yang mereka ciptakan itu adalah event yang kontributif bagi arah perjuangan bangsa ? .... Tapi karena pilihan ideologi, mereka hanya menjadi "footnote" untuk tidak menyebut dihilangkan.
 
Dina Y. Sulaeman ..... coba ambil "spirit-epistimologis" dari artikel ini : ___________ http://ilhamfadli.blogspot.com/2012/05/menggugat-kartini_10.html

Chen Chen Muthahari memang debatable, karena pengangkatan kepahlawanan nasional jg ada hubungan dengan politik, penguasa, dll. tetapi dalam sejarah selalu terbuka untuk fakta2 baru tentang suatu peristiwa. makanya jurusan sejarah di kampus2 gak pernah mati. :-)

Nano Hadinoto Betul sekali, mas Muhammad Ilham Fadli. Hidup bukanlah masalah hitam putih, salah benar, namun bak bianglala yang mencakup jutaan facette. Banyak titik pandang antara benar salah, antara kawan lawan, antara pahlawan pengkhianat. Bung Karno adalah proklamator, tetapi juga wafat sebagai tahanan politik. Demikian pula St. Syahrir, disatu sisi pahlawan nasional dan pemimpin, dilain sisi wafat sebagai tahanan politik.

Muhammad Ilham Fadli Betul, saya sangat setuju. Dalam konteks diskusi kita diatas, saya tidak pernah menolak dan mengatakan Imam Bonjol dan "kawan-kawan" Wahabisme (kalau boleh saya istilah demikian) Minangkabau era Imam Bonjol ini itu "Pahlawan ataupun Pengkhianat". Saya hanya memberikan perspektif, agar dalam melihat "posisi historis" tokoh-tokoh berkenaan, harus dipahami dalam konteks HISTORIS (Historiografi, Metodologis dan analisis Konteks-Temporal ...... mohon maaf ribet bahasanya, bukan ingin sok-sokan). Kita boleh beda pendapat bu Chen Chen Muthahari :)

Dina Y. Sulaeman Mantap sekali tulisan "Menggugat Kartini" bang Ilham, beberapa pertanyaan saya selama ini jadi terjawab.

Chen Chen Muthahari saya nggak beda pendapat kok dengan Bapak. saya jg dulu kuliah di jurusan sejarah. cuman saya mau membela teman2 ini (walau saya belum akan sign petition ini) karena seingat saya waktu kuliah di jurusan sejarah, kita boleh me-re-tafsirkan kembali fakta2 dgn fakta2 baru yg ditemukan. 

Dina Y. Sulaeman sambungan: Yg sering mengemuka selama ini kan, knp kok Kartini yg 'diangkat' terus, pdhl kontribusi nyata Dewi Sartika lebih besar (salah satu yg ngomong gini suamiku Bang, hehe..urang Sunda).. dari tulisan Abang, sy jadi nyadar, ada dua masalah yg beda di sini: masalah politik (penetapan pahlawan terkait dg politik), dan kedua (yg spt-nya sering diabaikan pembahasannya) adalah konteks sejarah masing2 'aktor sejarah' itu. oh iya lupa kalo Chen Chen jurusan sejarah..kirain sastra perancis..hehe.. kalau saya baru nyadar utk lebih banyak baca sejarah Indonesia setelah gabung sama Asian Afrika Reading Club tea..:)

Muhammad Ilham Fadli Bu Chen Chen Muthahari betul. Re-tafsir harus teruys dilakukan, agar terus melakukan re-konstruksi. Disana sejarah menjadi dinamis kalau terjadi dialog terus menerus. Tapi harus juga diperhatikan, Kritik Internal, secara epistimologis ....... sumber sejarah mana yang digunakan. Bila kita semuanya menggunakan arsip Belanda, tidak perlu lagi kita tafsirkan ...... mungkin hanya ARU PALAKKA ataupun TAMBILUAK yang jadi Pahlawan. ...............Bu, saya bukan sejarawan. belum sampai kesana karena tak satupun karya inspiratif yang pernah saya lahirkan. Saya hanya guru, peminat sejarah dengan background Ilmu Politik dan Ilmu Sejarah. Itu saja. Salam. Diskusi menarik.

Nano Hadinoto Ya, ini juga fenomena yang sama. Karena penulis sejarah diawal negara kita kebanyakan berasal dari Jawa, maka RA Kartini sangat diexpose. Daerah mempunyai pahlawan pahlawan wanita yang tak kalah unggul, Dewi Sartika di Pasundan, Walanda Maramis di Minahasa. kemajuan kaum wanita di zaman belanda tercapai pertama di Minahasa, bukan di jawa atau daerah lain.

Chen Chen Muthahari Di samping itu penulisan sejarah budaya kita juga pengajaran sejarah budaya sangat kurang. Terlalu kepada sejarah politik. Kalau hanya sejarah politik nggak tahu sejarah budaya akan repot. Latarbelakang budaya Jawa, Sunda, Minahasa, Minangkabau dll beda - mengapa perempuan Jawa--> Kartini, Sunda -->Sartika, Minahasa-->Walanda Maramis, Aceh-->Cut Nyak Dhien. Dan sebagainya. Sewaktu saya dulu di Malaysia, kami belajar sejarah budaya dari kelas 1 SMP sampai kelas 2 SMA (karena kelas 3 sudah fokus penjurusan pra-u). Di Indonesia yg saya ingat saya cuma belajar sejarah politik. Ketika saya mau coba bawa revolusi ini ke kampus, dianggap nya saya nggak menulis dn meneliti sejarah. Suatu pengalaman yg menyakitkan.

Dina Y. Sulaeman Chen Chen , D-Gooh , Ilham : kembali ke masalah petisi.. pertanyaan saya, masih perlukah menggalang petisi tsb? apalagi sy lihat friend yg share link petisi itu adalah org2 yg memang sensi sama kata 'wahabi'.. Tidakkah ini malah akan jadi sumber perdebatan antarmazhab lagi?

Muhammad Ilham Fadli Dina Y. Sulaeman, baguslah. Itu jauh lebih baik. Ketokohan Seseorang harus di debat, supaya masyarakat bisa lebih terbuka. Bahkan bila perlu, ini menjadi perdebatan hangat. Sama halnya, ketika Natsir mau diangkat jadi Pahlawan, terjadi perdebatan panjang yang akhirnya justru memberikan pencerahan pada publik. Tentang konflik suku, saya rasa tidak akan muncul. Saya yakin. WAHABISME pun juga harus dicari benang merahnya dengan PADERI, kalau memang ada kaitannya. Tapi yang saya heran, secara sosiologis, "aura Wahabisme" kok tidak berkembang di Minangkabau ? hehehehehe just kidding.

Muhammad Ilham Fadli Diskusi menarik Dinda cerdas Dina Y. Sulaeman, bu Chen Chen Muthahari yang inspiring dan pak Nano Hadinoto yang "bergelora". Menarik diskusinya. Simpulan saya cuma satu ___________ : Aktor sejarah adalah insane-insan yang memiliki implikasi positif terhadap gerak langkah perubahan masyarakat, sedangkan pahlawan, lebih bertendensi politis. Karena itu, bagi saya, selalu mengkritisi kehadiran aktor sejarah, adalah sebuah keharusan. Bukan memitoskan, karena memitoskan seseorang akan membuat kita menjadi insane yang tidak waras, kata Bung Hatta. Dengan selalu mengkritisinya, maka kita bisa mendialogkan nilai-nilai inspiratif seorang actor sejarah yang hidup pada masa lalu dengan “dunia kita” pada masa sekarang, dengan tentunya bersikap adil, empati dan kontekstual. “Ashbabun” actor sejarah itu, juga harus kita pertimbangkan supaya kita tidak terjebak dalam proses pengkerdilan ataupun pemitosan ..... dua hal yang juga membawa kita sebagai insan yang kerdil pula.

D-Gooh Teguh wow... wow... mantaff. Petisi tetap perlu, apalagi kalau nanti ada yang bikin petisi mendukung Haji Bonjol tetap menjadi Pahlawan Nasional. Wacana terbuka dan konflik wacana tidak akan pernah menjadi konflik sosial jika penguasa tegas menegakkan konstitusi...

Nano Hadinoto Setuju mas Fadli, jangan me-mythos-kan tokoh sejarah. Kita lihat istilah "Dwitunggal", yang adalah sebuah ironi. Bung Hatta "terpaksa" mundur dari pimpinan negara, karena tak setuju sepenuhnya terhadap policy negara. Jadi ke"Dwi-Tunggal-an" beliau berdua tidak berkesinambungan dalam sejarah RI, namun temporer.

D-Gooh Teguh Setuju sangat itu pak... Aktor Sejarah jangan dijadikan mitos tetapi harus tetap dikritisi apa adanya. Dan menurut hemat saya kepahlawanan seseorang yang "politis" itu juga harus terus dibelejeti dan didudukkan sebagai kajian aktor sejarah. Parameter "KONTRIBUSI POSITIF" nampaknya bagus juga... jadi setiap aktor sejarah ada dampak positif dan negatifnya. Nah, resultante-nya itu-lah ukurannya. Sebagai contoh, Pak H. Bonjol mmg berperang melawan Kolonial setelah sebelumnya diduga digunakan kolonial untuk melemahkan "sishankamrata" rakyat minang dan tanah batak. Macam Al Qaidah yang terkadang disupport imperialis terkadang diperangi dimana perlu. NAH, perlu dikaji kontribusi negatif perusakan sishankamrata oleh Pak H. Bonjol ini dibandingkan dengan perlawanannya pada "mantan majikannya" apakah bisa dikompromikan. Btw, Imam Bonjol sudah pergi haji khan? Boleh dunk saya sebut Pak H. Bonjol. 

Muhammad Ilham Fadli Analisis Bpk. D-Gooh Teguh boleh juga. Tapi ada beberapa bagian yang mungkin perlu "dibaca ulang kembali" agar analisisnya agak pas. Sesekali baca juga Tambo Imam Bonjol atau coba baca pula karangan Christinne Dobbin, agar lebih seimbang. Bukan Haji Bonjol .... Tuanku Imam Bonjol : Secara kultural, gelar Tuanku dan Imam itu, identik dengan sistem kepemimpinan adat dan budaya Minangkabau. Mungkin bacaan pak D-Gooh cukup banyak, untuk itu, sesekali juga secara empati, dipahami tentang sistem kepemimpinan adat Minangkabau, periodesasi sejarah Islam Minangkabau, karena setiap periodesasi memiliki "arus utama" isu sendiri ... supaya perbincangan kita menjadi lebih agak "hangat" dan kritis. .... :). 
Muhammad Ilham Fadli Dinda Dina Y. Sulaeman dan D-Gooh Teguh (ngomong-ngomong "D-Gooh" itu, kira-kira apa maksudnya ? hehehehe, sekedar bertanya untuk menambah pengetahuan saja) ________ Saya menulis satu buku (katakanlah : buku "acak-acak" yang diterbitkan di Bangi UKM Malaysia bareng Prof. Saefullah - lihat di inbar http://ilhamfadli.blogspot.com/ ----- tentang TEORI POLITIK ISLAM. Intinya begini, berkaitan dengan diskusi Dina dengan D-Gooh, apakah perlu Partai atau Tidak. Pertanyaan itu-pun sama (juga) dengan yang diajukan MARX (Perlukah Negara atau Tidak, bagi Marx tidak, tapi kemudian "dimurtad-i oleh muridnya V. Ilyich Lenin dengan mendirikan negara). Bagi saya, semuanya tergantung pada yang namanya KONSENSUS (Syura dalam bahasa al-Qur'annya). Bagi siapa yang ingin menjadikan Indonesia ini mau jadi NEGARA ISLAM, lewati saja "jalurnya", dirikan saja Partai Politik yang benar=benar mengusung NEGARA ISLAM .... lalu "jual ke masyarakat". Demikian juga dengan ide anti PARTAI, yang menurut saya hanya akan jadi "wacana" saja, bila hanya demikian. Ia harus diajewantahkan dalam mekanisme sistem politik, apakah menjadi "kekuatan politik praktis" ataupun "kekuatan penekan". Lalu, masyarakat yang "mengukurnya", kalau dalam istilah Sosiologi Politik Parsonian (mekanisme sistem politik : "in-put - feedback dari publik - out put). Hakim-nya PUBLIK.

Muhammad Ilham Fadli Saya masih termasuk orang yang percaya dengan Partai Politik. Saya hanya (banyak) tak percaya dengan POLITISI (POLITIKUS istilah Prof. JE. Sahetapy dalam acara ILC). Kenapa saya percaya percaya .... ? Karena Indonesia juga pernah memiliki dekade yang inspuiratif dimana dihuni oleh politisi-politisi inspiring. Persoalannya berarti, bukan Partai Politiknya, tapi Sistemnya yang secara reduktif dan konkalingkong juga diciptakan politisi (juga). __________ http://ilhamfadli.blogspot.com/2011/07/oleh-muhammad-ilham-apa-beda-politisi.html
Muhammad Ilham Fadli Kembali ke topik awal, Dina Y. Sulaeman dan D-Gooh Teguh (walau sebenarnya saya ingin sekali diskusi masalah Sistem Politik .... teringat masa-masa S1 di FISIP Univ. Andalas Padang dulu ... hehehe) ..... saya ingin (kembali) diskusikan tentang Tuanku Imam Bonjol, Wahabisme, Pembantaian di Bakkara dan Petisi …….. Izinkan saya memiliki pendapat, sesuai dengan sumber sejarah yang saya baca – dan tidak begitu banyak. Sebelumnya, saya minta maaf bila ada yang menafsirkan saya “terkesan” sukuisme. Jujur, saya tidak memposisikan diri untuk membela satu suku ataupun satu tokoh disatu sisi dan memojokkan satu suku atau tokoh pada sisi lain. Ini murni “diskusi kritis”, bila ada sumber dan tafsiran yang didukung fakta historis yang kuat, bisa jadi pendapat saya ini berubah. Secara cultural, saya juga keturunan Batak (ayah saya marga Nasution dari kakek), sedangkan ibu saya orang Minangkabau, jadi rasanya saya mendapat “tempat” yang pas untuk sedikit berpendapat.
 
Dina Y. Sulaeman D-Gooh Teguh .... Bagi saya, menggugat keabsahan gelar Pahlawan Nasional terhadap Tuanku Imam Bonjol (sekali lagi bukan Haji Bonjol, karena gelar Tuanku dan Imam sangat identik dengan system cultural dan pemerintahan a-la Minangkabau), sah-sah saja. Sebagai akademisi, bahkan saya menyukai kerja ilmiah seumpama ini. Namun, menghubungkan Tuanku Imam Bonjol (selanjutnya : TIB) dengan kasus pembunuhan di daerah Batak dan dikaitkan dengan Wahabisme, saya juga ingin mengkritisinya. Karena sejauh yang say abaca, bukan TIB yang melakukan itu. Gerak perjalanan historis TIB praktis lebih banyak berkecimpung dalam pertempuran melawan Belanda (cf. Christinne Dobbin). Kekerasan di daerah Batak, pada prinsipnya tidak bias kita lepaskan dari ketokohan Tuanku Rao. Siapa Tuanku Rao ? Ia adalah kemenakan “yang tidak diakui” oleh Sisingamangaraja, karena Tuanku yang bermarga Sinambela dan bernama Sipongki Nangolngolan SINAMBELA ini, (konon ?) berayahkan orang Aceh. Ia diusir dari “kerajaan” dan “trah” Sisingamangaraja. Tidakkah mungkin ada dendam terhadap paman/mamaknya tersebut ? Dan ia kemudian bergabung dengan TIB dengan wilayah “territorial” di bagian utara. Wilayah operasional Tuanku Rao, hingga ke Bakkara, sedangkan TIB hanyalah di daerah perbatasan (mendirikan benteng di Bonjol dan Rao). Setahu saya, TIB tidak pernah melakukan pembunuhan massal. Kalau Tuanku Rao yang ber-klan-kan Sinambela tersebut …. Iya. Lalu, peran TIB dalam “merusak” struktur adat Minangkabau (dalam hal ini kaum adat), pada dasarnya tidak menimbulkan gejolak dan konflik sosial di kalangan grass-root.Yang ada adalah, kaum adat “terdesak” karena otoritas mereka tereduksi. Dalam moment itu, Belanda masuk ……….. (dan hamper seluruh peristiwa sejarah di Nusantara, pola seperti ini dilakukan oleh Belanda). Dina ..... Jadi, saya fikir, “menisbatkan” pembunuhan massal kepada TIB, rasanya perlu dikritisi. Kalau pada Tuanku Rao, bisa jadi. Lalu bagaimana dengan Wahabisme di Minangkabau yang dibawa oleh beberapa Haji sepulang dari Mekkah ?. Hanya kaum adat yang berkonflik …. Dan kemudian justru, melahirkan sintesa baru dalam tatanan sosio-kultural Minangkabau yang dikenal dengan Perjanjian Bukik Marapalam yang hingga hari ini, butir-butir Perjanjian itu berjalan dengan lempang serta menjadi ICON Minangkabau …. Serta, sejauh yang saya pahami, justru tidak melahirkan generasi Wahabisme periode pasca Paderi. Justru yang lahir adalah “generasi Nano-Nano” …… sosialis tulen seumpama Sutan Syahrir, Sosialis Religius seperti Agus Salim, komunisme (Murbaisme) Tan Malaka, tokoh Masyumi seperti Natsir, nasionalis seumpama Hatta, Islam modernis seperti Inyiak Dotor ayah Buya Hamka yang muridnya juga dikenal sebagai tokoh komunisme era 1920-an di Minangkabau (Dt. Batuah), Islam modernis seperti Abdullah Ahmad, tradisionalis seperti Inyiak Jaho, Inyiak Canduang, Inyiak Parabek ……… dalam kurun waktu yang sama. Demikian. Wallahu a’lam.

Dina Y. Sulaeman Terima kasih bang, betul, mari kembali ke pertanyaan awal, apa benar TIB seperti yg dituduhkan.. Sebagai urang awak juga saya tidak merasa dibesarkan dg kultur wahabi haha.. Justru rasanya kultur di sekeliling saya sangat respek pada keilmuan dan tidak mudah menyalah2kan orang lain (mengkafirkan) spt khasnya Wahabisme. Bahkan setelah saya ke Iran (dan biasanya jd muncul 'stigma' tertentu), saya malah diundang bicara berkali2 di forum2 Islam.. dan mereka santai2 saja nanya2 bagaimana kultur Syiah di Iran dan saya pun menjelaskan dg apa adanya, tanpa merasa tertekan atau terintimidasi.