Rabu, 30 Mei 2012

Lady Gaga dan Budaya Militerisme

Oleh : Muhammad Ilham 

Menonton acara ILC minggu ini (topik : FPI versus Lady Gaga), pada gilirannya mengingatkan saya dengan budaya militerisme.  

Militerisme ?
Sebuah pemahaman yang selama ini - setidaknya yang dipahami publik mayoritas - adalah sesuatu yang... menakutkan. Lihatlah misalnya penggalan "cerita" berikut yang terinspirasi dari sebuah artikel koran - Djalaluddin Rahmat (?) - diawal tahun 2000 : 

Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”. 

 Sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara". Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti junta militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat. Bukan itu. Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun.   Refleksi militerisme, kata Noam Chomsky (1997) bisa dijumpai dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam benak dan pemikiran kita yang terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Pakar Sosiologi Politik, Michael Mann (1999) mengatakan bahwa kehadiran militer/tentara bukanlah sesuatu yang otomatis menjadi perwujudan dari militerisme. Pada sisi lain, misalnya, negara yang dikuasai oleh pemimpin sipil secara formal, tidak terdapat jaminan pasti akan steril dari militerisme. Secara teoritis, kata Michael Mann lebih lanjut, militerisme adalah seperangkat sikap dan praktek sosial yang didasarkan kepada anggapan bahwa "peperangan" dengan segala persiapannya merupakan sesuatu yang normal dan "menggairahkan". Bagaimanapun jua, adalah sebuah kewajaran bila sikap militerisme melihat segala sesuatunya sebagai sebuah "medan peperangan". Menyerang atau diserang, kanai atau manganai - kata seorang kolega saya (alm.) adalah suatu prinsip hidup utama militerisme. 

Huntington (1989) mengatakan bahwa ada dua prinsip utama dari budaya militerisme : (a). rasa takut yang memasyarakat, dan (b). simbol kekerasan dan kejantanan (kebuasan) ditonjolkan. Bila dihubungkan (a) dan (b), maka berlaku asumsi dasar : masyarakat yang mengidap militerisme tersebut secara formal mungkin menyanjung simbol-simbol kekerasan dan kegagahan, tapi ini merupakan kompensasi psikologis karena mereka menderita teror dan trauma. Kekerasan tidak hanya dominan dalam masyarakat "bar-bar"ataupun monopoli dari negara-negara Dunia Ketiga (yang baru "mau" berkembang). Modernitas yang membawa simbol-simbol dan spirit kebebasan, kemerdekaan politik bagi segala bangsa, HAM, rasionalitas serta kapitalisme dengan perangkat "pasar bebas"nya, ternyata tak kurang buasnya. Untuk ini, dalam bukunya Modernisme dan Post-modernisme, Ben Anderson menyimpulkan bahwa dua abad modern terakhir ini merupakan masa-masapenuh kekerasan yang tak ada bandingannya dalam durasi waktu panjang ummat manusia. Tak ada negara yang lebih banyak berperang selama abad ke-19 daripada Inggris - negara pemuka industri (dengan revolusi industri-nya) dan pasar bebas. Demikian juga, tak ada negara di paro abad ke-20, bahkan hingga sekarang yang lebih banyak berperang ketimbang Amerika Serikat, negara yang jumawa berkiblat pada pasar bebas. Dan sejarah masih "segar"mencatat, perang Dunia I dan II, disponsori oleh negara-negara kapitalis. 

Kembali ke militerisme yang bercirikan pada kejantanan dan mempertentangkan sikap hidup kaku menjadi dua realitas belaka : kawan/lawan, kalah/menang, atau kanai/menganai. Sebagai sebuah sikap, militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil, kelompok primordial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, organisasi-organisasi kepemudaan bahkan kemahasiswaan yang mengidap "virus" militerisme ini. Intinya, terkadang si penjaga demokrasi itu yang menghancurkan demokrasi, yang merasa berhak menjaga perdamaian yang merusak perdamaian, dan orang-orang yang bukan berasal dari militer, justru lebih militer dalam pendekatan sikapnya.

Semoga saya salah. Para fesbuker, berhak untuk tidak sependapat dengan saya. Berikut, beberapa tanggapan fesbukers dalam (Muhammad Ilham Fadli FB) berkenaan dengan topik terkait :
 

Emeraldy Chatra : Saya tidak terlalu kuatir dengan militerisme, karena kasat mata dan dapat diantisipasi dengan mudah. Yang saya takutkan adalah serangan diam-diam terhadap pikiran, yang membuat kita tidak lagi tahu mana batas antara benar dan salah. Lebih tragis lagi, setelah mengalami ketidakjelasan kita digiring untuk tunduk dan rela memperbudak diri demi kepentingan tertentu.  

Astuti Budi Ferida : Kadang ketika melihat sesuatu.....tak jarang orang melihat masalah lainnya..bukan yang substansinya....dibahas habis kulitnya...tapi terlupakan membahas isinya.....kulit perlu dibahas....tapi isi juga harus dibahas dengan lebih seksama.  

Juan Frans : Tidak hanya Lady Gagah yang bisa KO kalo dibenturkan dengan nilai-nilai Islam, lagu-lagu Cinta yang digandrungi masyarakat mestinya juga KO. Kalo soal lirik lagu setahu saya ada band metal yang mengambil ayat al-quran dan menjadikannya bagian dari lirik musiknya yang berisik, lalu apa band metal ini bisa disebut band religius, islami? Saya curiga jangan-jangan tipe masyarakat kita itu sebenarnya tidak mementingkan Subtansi justru, gandrung dengan kemasan, kulitnya. 

Ranny Amelia : Saya lihat ada sesuatu yang menghubungkan orang-orang di berbagai belahan dunia saat ini, yakni ketertarikan kepada kekerasan, apakah itu landasannya emosional ataupun rasional. Setiap orang atau kelompok bisa terlibat dalam kekerasan. Meskipun demikian semakin sedikit yang menyadari bahwa yang baik sekalipun bisa menjadi ancaman bagi yang lain. Sebuah sikap yang baik adalah tidak memakai energi itu untuk hal yang remeh temeh. Maka salah besar jika dikatakan bahwa kekerasan dan perang hanya itulah isi dari dunia militer. Didalamnya penuh dengan orang-orang yang perduli dengan nilai-nilai kemanusiaan, solidarisme, dan hasrat untuk melindungi. Masalahnya sebuah identitas telah dilekatkan kepada militer, disebarkan secara intensif dan luas, oleh kekuasaan-kekuasaan yang ingin memakai militer untuk mengamankan diri sendiri, dan memastikan bahwa kekuatan ini tetap berada ditangannya. 

Sumber Foto (Lady Gaga) : id.wikipedia.org  
Referensi : Muhammad Ilham FB

Catatan-Catatan Galau # 1 - # 3

Oleh : Muhammad Ilham

catatan #1, dari beragam interaksi siang tadi.

Begini saja, bujang !!
Jangan kau kutuk kegelapan
Nyalakan saja lilin yang kau punyai
Bila ia tak ada
Tak salah pula bersenyap sunyi
Bukan karena kita lemah
Karena itu adalah sebuah solusi

Begini saja Upik dan Butet !
Teruslah berharap menjadi lebih baik kedepan
Karena bak kata Lut Szun, berharap itu umpama jalan ditengah rimba. Pada awalnya tak ada, tapi karena sering dilalui, maka jalan itu ada dengan sendirinya.

Begini saja, Ucok !!
Jangan kau anggap orang tak sayang sama kau
kadang-kadang sering kita bersangka salah
Tertutup pintu di depan
Pintu yang lain banyak terbuka
Dan ... mata kau, hanya menghadap dan mengutuk pintu yang tertutup itu.

(untuk kawan, yang selalu melihat segala sesuatu, terlampau ideal. mungkin karena ini pula, ia sering mengutuk)

Padang, dari pukul 09.00 hingga 14.00 waktu Lubuk Lintah
(lebih kurang)


catatan #2.

dari baca koran lokal hari ini, terdapat satu penggalan berita : "marinir mengamuk-menghantam masyarakat sipil di bukik lampu Kota Padang. patah mematah banyak tulang, remuk-lebam sekian kulit tubuh. gemeretak rakyat badarai ketika membaca".

Buyung, masihkah kau ingat ota saya beberapa waktu lalu.
sebuah ota yang sama persis dengan ucapan seorang ibu di koran pagi tadi, "kami takut sama militer, karena melawan mereka, sama saja bunuh diri".

saya ulang lagi cerita "ketakutan itu". begini :

Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”.



http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=29159

catatan #3

bujang. aku nagabonar bujang. setelah mak-ku, kau-lah orang yang aku sayang. oh ya aku lupa, ada satu lagi, si kirana, yang seharum sabun padang sidempuan itu. harum kali dia bujang, kalau ia lalu, aromanya menggetarkan kelelakian saya seperti bergetarnya rumah mak kau ketika kereta api medan belawan lewat.

bujang menontonkah kau Indonesia Lawyer Club malam tadi.
tentang grasi si cantik Corby (tapi lebih cantik Kirana. karena itu lagu Bunga Tanjung kupersembahkan selalu padanya)
hangat nian diskusinya tadi malam.
tapi aku berfikir, memang tuluskah para raja negeri ini memberi grasi itu ?
walau mereka bilang tulus, saya tak percaya.
ingatkah kau NICA, bujang. mereka berunding-berunding, tapi NICA masuk juga. bohong mereka.

rasanya, kita bisa berguru pada Al Pacino.
tahu kau Al Pacino bujang ?
itu, lelaki ganteng berwajah tirus.
ia lakon paling menarik dalam serial God Father.
di film ini, si Al Pacino pernah berujar :

Tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana tapi juga kepentingan ...... yang tak selamanya luhur "

Catatan-Catatan Galau # 4 - # 6


catatan #4
 
Mak Itam. bosan aku dengar debat TV dari kemaren hingga maghrib tadi. mereka selalu bicara atas nama hukum dan konstitusi. padahal itu kumpulan kata-kata. si buyung baru bersunat kemaren itupun bisa menafsirkan kumpulan kata-kata itu, sekehendak hatinya. si prof ini bilang tafsirannya yang paling matang, sedangkan prof itu bercakap takwilannya pula yang paling ranum. "pening aku tante", kata ruhut poltak sitompul.

daripada debat di tafsiran kata-kata, lebih baik kita menyanyikan nyanyian kamerad Deng Xiao Ping :

"Jangan perdebatkan warna kucing, bila ia pandai menangkap tikus ..... pakai !"

(selesai perkara. bosan aku. minum teh pahit tanpa gula beta dahulu. maklum, perut lagi sakit. sudah 6 kali berkontemplasi di kloset produk Amerika Serikat yang baru saya ganti 2 bulan lalu, karena si penjual kloset tak mau tukar tambah dengan kloset saya yang lama).


catatan #5

bujang. walaupun si Mariam itu pencopet bin pencopet, tapi ia berperang melawan NICA. walaupun si Mariam itu hanya mengerti main catur, tapi tak pandai membaca nama ayahnya, ia jenderal lubuk pakam, bujang. walaupun si Mariam itu jarang mandi, bencinya pada NICA tak punya nomor.

sedih aku bujang. si Mariam tak pernah dicatat.
Ingat jadinya saya dengan si Bloch yang bergumam :

Ketika Tembok Cina selesai berdiri, kemanakah para budak di (ter)sembunyikan, mengapa justru Shih Huang Ti yang direkam sejarah ? .......... ketika Piramida selesai dibangun, kemanakah para budak dihilangkan, mengapa justru Firaun yang dicatat dalam sejarah ? (Ernst Bloch)

yakinkah kau bujang, begitu banyak di negeri ini orang seperti si Mariam ?



catatan #6

tante, mengapa kamu berulangkali jatuh cinta pada politisi
mereka tak bisa berkita
kalau kamu tetap ingin jatuh cinta pada mereka
jatuh cintalah pada politisi seperti Natsir.
mengapa harus Natsir ?
karena ia pernah berkata : hakikat politisi itu ... tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita !
politisi seperti Natsir pada prinsipnya telah mencatat sejarah
beda dengan kebanyakan "mereka"
yang lebih suka menulis biografi

Sabtu, 26 Mei 2012

Nehru, tepatnya Pandit Jawaharlal Nehru


Membaca biografi NEHRU, pada malam ini, tepatnya Pandit Jawaharlal Nehru 
salah seorang pendiri India beralis tebal, ganteng dengan tubuh semampai itu
saya hanya ingin katakan dalam beberapa patah kata :

"Kebesaran Nehru bukan terletak pada jiwa demokratisnya
 bukan juga karena ia berasal dari keluarga aristokrat-terpelajar India.  
Kebesaran Nehru adalah bahwa kesempatan untuk menyeleweng yang ada padanya
 ia kontrol sendiri sekencang-kencangnya".  

NEHRU, ayah dari Indira Gandhi dan Kakek Sanjay dan Rajiv Gandhi ini
 walaupun tidak pernah merasakan bagaimana pahitnya kalah dalam dunia politik
 ia tetap berpesan hingga akhir hayatnya : 
 "Lebih baik kita berhasil menjaga sukma kita dan kalah dalam pemilu, 
ketimbang menang dengan cara yang salah".




Sumber Foto : curator.com

Membincangkan Marxisme

(Empat Artikel yang terbit di Harian Umum Padang Ekspres dan Harian Singgalang berkaitan dengan : "Haruskah Ajaran Komunisme diajarkan di Sekolah?".  Artikel Muhammad Ilham, Heru Joni Putra, Novellia Musda dan Deddy Arsya) 

Muhammad Ilham (Harian Singgalang)
 
Dalam pergulatan sejarah pemikiran Islam akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 Masehi, Minangkabau pernah memiliki seorang Datuk, namanya Datuk Batuah – lengkapnya Ahmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah. Orang Koto Laweh ini, pada masa itu sangat mencengangkan dan sekaligus mencemaskan. Persoalannya adalah Datuk Batuah yang haji itu adalah murid ulama ternama Haji Rasul alias Inyiak Dotor, ayahanda ulama legendaris Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Beliau sendiri sampai awal tahun 1923 berprofesi sebagai guru dan menjadi pengurus Thawalib Padangpanjang, Batusangkar dan Bukittinggi. Dalam sejarah, nama Datuk Batuah bukanlah nama yang bagus dikalangan pergerakan Islam, hingga kini. Sejarah mencatat Haji Datuk Batuah membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat dengan Inyiak Dotor sebagai “pilar” utamanya. Haji Batuah merupakan salah seorang pengajarnya. 

Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis. Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin (sebagian mengatakan Natar Zaenuddin) mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Melalui media massa – Pemandangan Islam dan Djago Djago – Datuk Batuah memaklumkan diri sebagai “orang komunis”. Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago” (Djago-Djago bukan berkonotasi fisik atau kuat-hebat, jagoan - namun lebih berkonotasi "pengingat" untuk tidak terhanyut dengan keadaan yang ada, tidak pasrah dan seterusnya). Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis. Padahal, kontribusi pencerahan yang dirintis oleh Datuk Batuah dengan Pemandangan Islam dan Djago Djago sungguh sangat luar biasa. Konon, pada masa ini, ada tiga media massa paling berpengaruh di Hindia Belanda, dua diantaranya terdapat di Minangkabau …… Pemandangan Islam dan Djago Djago. Bahkan, Ruth Mc Vey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism dan Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak mengatakan bahwa Datuk Batuah dan Haji Misbach (yang ini tokoh Islam “kiri” Surakarta), sangat dihormati oleh kolonial Belanda bukan karena mereka “penjilat” akan tetapi idealisme mereka yang sangat tinggi untuk mencerahkan lingkungan masyarakat dan bangsanya.

Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60). Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said Ali. Sejarah Datuak Batuah kemudian "terhenti" dan dibuang (diasingkan) bersama Natar Zaenuddin ke Tanah Merah - Boven Digoel, sebuah tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan yang dianggap kolonial Belanda berpotensi mengganggu stabilitas politik yang mereka bangun. Digoel diibaratkan seperti Gullag-nya Uni Sovyet era Joseph Stalin, sebagaimana yang pernah dinukilkan oleh Alexander Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago. Sejarawan Jepang, Takashi Shiraishi pernah mendeskripsikan Digoel atau Tanah Merah, dengan “penceritaan” yang menggentarkan. Begitu seramnya Digul, publik Belanda menyebut tempat interniran di tanah jajahan itu sebagai kuburan. Sekali didigulkan, orang seperti menandatangani kontrak kematian. Di daerah ini, kata Shiraishi, "Banyak yang hancur mentalnya karena putus asa." Di daerah ini pulalah, Datuak Batuah kemudian ”redup”. Ahmad Chatib yang bergelar Haji Datuk Batuah sampai hari ini, "seakan-akan" tidak ditangkap oleh layar sejarah sebagai aktor sejarah kontributif dan inspiratif. Terkadang sejarah selalu "bersimpang dua" - meminjam istilah filosof muslim, Hassan Hanafi. 

Heru Joni Putra (Harian Padang Ekspres)

"Adalah hasrat kekayaan, bukan hasrat pengetahuan, yang mendorong peningkatan kemampuan teknologi terus dilakukan dan bagaimana pemasaran produk tersebut di masyarakat.” Jean Francois Lyotard 
Mungkinkah kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah memasukkan pengenalan dan pemahaman lebih lanjut mengenai Marxisme? Tentu ada alasannya mengapa saya menggunakan kata “mungkin” untuk mengawali pertanyaan tersebut. Sebab bisa saja hal itu menjadi tidak mungkin sama sekali bila kita mengingat bahwa pemerintah Orde Baru telah menjadikan Marxisme sebagai ideologi yang dilarang, meskipun bila kaji ulang, akan tampak bahwa pemerintah Orde Baru, dalam hal ini Soeharto, terlalu terburu-buru menyimpulkan itu semua. Dan mungkin saja Marxisme bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional bila pemerintah sekarang mau membuka diri dan meninjau kembali kesalahan-kesalahan yang sepatutnya tak perlu diteruskan dari pemerintahan Soeharto itu. Salah satu kesalahan Soeharto adalah ketika ia tak ingin membedakan antara Marxisme dan Komunisme. Memang, Karl Marx pernah menyebut Komunisme, tetapi Komunisme yang kita kenal semalam ini adalah hasil interpretasi Lenin terhadap Marxisme atau lebih sering disebut Marxisme-Leninisme. Jadi, ketakutan yang sengaja diciptakan Soeharto sebenarnya pada Marxisme-Leninisme, bukan pada Marxisme. Dalam hal ini saya ingin mengulang apa yang sudah seringkali diingat orang-orang sebelum saya, bahwa Marxisme semenjak zaman Karl Marx sampai sekarang ini semakin banyak perbedaannya dengan Marxisme-Leninisme. Keduanya memang menggunakan kata “Marxisme” tetapi sebagaimana ideologi lainnya—sebagaimana juga Pancasila, ada banyak tafsir terhadapnya, bahkan butuh perbaikan di sana-sini. Kita tentu mengenal Louis Althuser, Antonio Gramsci, Terry Eagleton, atau Zizek, dan masih banyak lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh Marxis yang memahami Marxisme secara terbuka. Saya melihat bahwa mereka melakukan penyegaran terhadap pemikiran-pemikiran Karl Marx. Penyegaran terhadap pemikiran Marx tentu saja patut dilakukan mengingat adanya masalah-masalah baru yang terjadisekarang yang tidak begitu berdengung pada zaman Karl Marx. Sekarang kita tak bisa melihat permasalahan, baik itu secara ekonomi, politik, maupun sosial-budaya, hanya sebagai pertentangan antara kaum buruh dan borjuis. Sebab ada gejala-gejala lain yang membuat kita mesti menggunakan pendekatan maupun aspek-aspek lain untuk melawan dengan Marxisme, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang saya sebutkan tadi. Maka, bagi saya, sangat tolol sekali bila kita pada hari ini memahami Marxisme sebagaimana Soeharto untuk meruntuhkan Soekarno dan melakukan itu semua untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya sampai 32 tahun.

Untuk apa sebenarnya Marxisme bagi anak sekolah, bagi siswa setingkat SMP, SMA, dan bahkan mahasiswa? Agar tidak terpengaruh oleh kapitalisme adalah jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan yang sangat bagus tersebut. Para moralis, mesti memahami seberapa besar dampak kapitalisme terhadap kehancuran moral bangsa. Para politikus mesti mau berpikir tentang seberapa kuat pengaruh kapitalis terhadap gagalnya kata “partai politik” menjadi kata yang menyenangkan di telinga msyarakat banyak. Para budayawan, mesti kembali membicarakan seberapa dahsyatnya dampak kapitalisme terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap isu-isu kebudayaan. Dan terutama, para pengajar mesti mengerti bahwa kapitalisme menjadi sebab mengapa tingkat pendidikan kita masih rendah. Pokoknya, siapapun kita, sudah sepatutnya kita kembali berpikir serius tentang bahaya kapitalisme. Dan apapun profesi kita, dampak jelas dari kapitaslime adalah ketika segala-galanya diukur dengan seberapa uang yang kita punya dan seberapa banyak kita membeli barang-barang yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan kita. Sebab landasan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah bagaimana mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dengan mempengaruhi masyarakat agar membeli sebanyak-banyaknya dan seterus-menerusnya. Salah satu contoh agar orang terus membeli barang mereka adalah dengan cara mengeluarkan barang tertentu hanya dengan satu keunggulan. Dan bila ingin mendapatkan keunggulan lain, bisa dengan membeli barang keluaran selanjutnya. Begitu seterusnya.

Dan salah satu korban dari penipuan terselubung yang dilakukan kapitalis adalah siswa SMP dan SMA yang notabene sangat mudah terpengaruh. Kita bisa melihat lewat iklan-iklan di televisi bagaimana perusahaan di Indonesia pada umumnya yang bermental kapitalisme melakukan apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai “manipulasi tanda-tanda.” Perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan iklan yang membuat kita seakan-akan kita memang butuh dan harus membeli barang yang mereka tawarkan. Mereka memanipulasi kita dengan tanda-tanda, dengan simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan kita. Sehingga kita pun merasa bahwa apa yang mereka iklankan dengan menggunakan orang-orang terkenal itu memang perlu kita miliki sekarang juga. Maka terjadilah keadaan di mana sebuah keluarga tidak mempunyai beras untuk dimasak tetapi uang untuk membayar kredit motor ada. Atau anak sekolah yang tak punya uang untuk membeli buku tapi untuk membeli pulsa blackberry ada. Atau sebuah universitas yang tak memiliki anggaran untuk memperbaiki pustaka tetapi uang untuk mendatangkan para kapitalis berceramah tentang cara mendapatkan uang sebanyak-banyaknya selalu ada. Ada seseorang yang tak punya uang untuk berbagi, tetapi untuk membeli barang merek terkenal ada. Apakah Anda yakin bahwa perusahaan tersebut peduli dengan itu semua? Meskipun tadi saya mengatakan bahwa siswa sekolah menjadi target utama kapitalis, tetapi yang terjadi malah semakin ironis ketika mahasiswa yang seringkali disebut sebagai agen perubahan justru tidak membawa perubahan dan malah ikut terseret arus yang dibawa kapitalisme. Kapitalisme telah membuat mahasiswa memiliki dua dunia. Dua kampus dan dunia kampung. Kampus adakalanya menjadi show room, tempat memamerkan motor dan mobil-mobil mewah. Kampus menjadi panggung fashion show, tempat memamerkan pakaian-pakaian terbaru, dan seterusnya. Sedangkan kampung menjadi tempat untuk mengadu bila tak ada lagi uang untuk membeli barang-barang terbaru, tak peduli apakah dengan cara meminjam uang orang lain, menjual sawah, atau memakai uang yang disimpan-simpan orang tua untuk keperluan mendadak di kemudian hari misalnya. Dari berbagai contoh tersebut, untuk sementara, kita tentu bisa menyimpulkan jawaban sendiri tentang mengapa marxisme dengan segala perkembangannya sangat perlu dimasukkan ke dalam kukikulum pendidikan nasional.

Saya memaklumi bila sebagian kecil orang mungkin akan menolak untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum pendidikan, dengan alasan bahwa mata pelajaran agama telah lama mengajarkan bagaimana siksaan untuk orang-orang yang serakah seperti kapitalis. Atau mungkin sebagian kecil orang lainnya akan mengatakan bahwa mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Kewarganegaraan, atau Filsafat Pancasila telah mengajarkan tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga bahaya kapitalime bisa dibentengi dengan pancasila. Dan saya kira masih banyak bantahan lain agar Marxisme tak usah dimasukkan ke dalam kurikulum. Tanpa bermaksud merendahkan mata pelajaran agama dan Pancasila, saya memang merasa perlu mendukung untuk memasukkan Marxisme ke dalam kurikulum, karena Marxisme secara lebih khusus bisa membahas mengenai bahaya kapitalisme (tingkat lanjut). Sedangkan mata pelajaran agama dan pancasila mempunyai begitu banyak pembahasan. Tentu saja, kita butuh penerapan terhadap ilmu-ilmu agama maupun pancasila. Artinya, Marxisme pada hakikatnya ikut membantu mata pelajaran agama dan pancasila dalam membahas mengenai sifat serakah dan ketidakadilan sosial yang telah diciptakan oleh sistim ekonomi kapitalime. Semoga dengan menjadikan Marxisme sebagai salah satu mata pelajaran, baik sebagai pelajaran wajib, pilihan maupun ekstrakurikuler, maka kita berharap semoga contoh dari dampak kapitalisme yang sudah saya sebutkan di atas tadi bisa dipahami semenjak dini. Saya berharap semoga nanti hubungan kita dengan orang lain tidak ditentukan oleh barang-barang apa saja yang sanggup kita beli, seperti yang sering kita rasakan akhir-akhir ini. 

Novelia Musda (Harian Padang Ekspres)

Benar kata Heru bahwa di Indonesia kian hari segala sesuatu makin diukur dengan uang dan apa pun dikomersialisasikan kadang tak peduli batas halal haram. Anak-anak muda berorientasi materi dengan tak memperhatikan batas-batas kemampuan. Utang jadi budaya demi gaya hidup, pandangan hidup kian dangkal dan individualistis. Ini terjadi karena serbuan produk-produk dan mentalitas kapitalis yang punya kepentingan bagaimana orang-orang makin tergantung kepadanya. Supaya masyarakat tak tambah rusak, bahaya-bahaya sedemikian musti dicegah dengan melakukan kiat-kiat tertentu. Yang menjadi persoalan adalah apakah Marxisme dapat diharapkan mencerahkan generasi muda untuk mengatasi dampak kemajuan zaman sedemikian? Marxisme memang tidak identik dengan komunisme dan gerakan revolusioner. Banyak analisisnya tentang bahaya kapitalisme serta teori tentang pertentangan kelas yang berguna. Akan tetapi, ada hal-hal negatif dalam paham tersebut membuatnya hanya parsial benar, tapi secara keseluruhan keliru. Hal ini serupa kasusnya dengan eksistensialisme, ala Sartre dan Heidegger, yang humanis tapi sukses menggiring orang dalam keputus-asaan tak tersembuhkan. Karena doktrin tersebut secara prinsip keliru, walau secara parsial berisi kebenaran, mempelajarinya jadi hal tak perlu. Seperti kata Fritjhof Schuon (dalam artikelnya Letter on Existensialism) ,” Truths are to be found in all the philosophers, and above all half-truths, but these truths are flanked with errors and inconsistencies…no need for them. “ Setidaknya ada tiga hal negatif pada Marxisme jika dipelajari atau jadi pandangan hidup oleh kaum muda. Karena keterbatasan tempat, hanya hal-hal umum dan konklusif saja dikemukakan.

Pertama, Marxisme menggiring kepada materialisme. Marxisme secara sederhana adalah ajaran Karl Marx. Karl Marx merupakan seorang Yahudi yang kecewa berat dengan bapaknya yang pindah agama dari Yahudi ke agama Kristen supaya secara finansial dan sosial hidupnya lebih mudah. Salah satunya karena pertarungan batin ini dia memilih jadi ateis. Setiap ateis jika berdakwah akan mendakwahkan materialisme. Namun, bukan berarti setiap yang menganut Marxisme akan jadi ateis atau materialis. Marxisme hanya satu pintunya, tetapi bisa jadi pintu yang mudah dilalui menuju ke sana. Kedua, Marxisme memiskinkan spiritualitas manusia. Karena Karl Marx menganggap agama hanya candu dan Tuhan sebagai proyeksi impian manusia, secara langsung Marxisme menggerogoti keimanan seseorang. Yang dipedulikan Marxisme hanyalah supaya semua manusia secara adil dan damai menikmati kebutuhan-kebutuhan tubuh. Bahwa mereka beragama ini atau itu tidak penting. Yang dinomor satukan hanya kebutuhan jasmaniah dan psikologis. Padahal, yang menjadi nilai lebih pada diri manusia adalah spiritualitasnya, ke-ilahi-an yang ditanamkan dalam dirinya. Yang menjadi tujuan hidup manusia bukan memuaskan hasrat tapi melampaui hasrat dengan membina spiritualitas atau rohaninya. Ketiga, Marxisme mendorong timbulnya paham-paham turunan berbahaya (komunisme, Leninisme, Maoisme) dan bila telah kuat bisa memicu aksi-aski yang bisa membahayakan masyarakat. Banyak sudah contoh terjadi bahwa jika suatu paham sedang tidak digemari masyarakat, atau dipandang mengancam, atau pendeknya posisinya sedang lemah, paham itu akan mendakwahkan hal-hal yang sifatnya kompromistis dan lunak. Hal ini hanya selubung. Pelan-pelan, jika para penganutnya telah cukup kuat, maka kebijakan pun berubah. Yang dituntut bukan sekadar pengakuan, tapi pembenaran. Mulailah dilakukan paksaan demi paksaan dalam beragam bentuk agar paham tersebut jadi satu-satunya yang dianut dan diakui sebagai satu-satunya yang benar. Agaknya sejarah Rusia, China, Korea Utara dan Kuba sudah cukup menunjukkan.

Pada dasarnya memang Marxisme bisa diartikan sebagai satu dari banyak teori ekonomi. Namun, sejarah membuktikan banyak orang mengambil inspirasi darinya untuk menciptakan paham-paham turunan yang berbahaya di tengah masyarakat. Ini menunjukkan hal tersebut bukan sekadar teori ekonomi, tapi bisa menggiring kepada ideologi. Ideologi bisa jadi pengganti agama. Lagipula, sudah banyak pendapat yang menunjukkan kegagalan Marxisme sebagai teori dan praktik. Suatu doktrin yang salah dilihat dari buahnya. Doktrin yang salah umurnya juga biasanya singkat. Sekarang Marxisme boleh jadi menarik bagi banyak orang terutama bagi yang belum mengenalnya, bagi yang suka mencoba-coba, bagi yang bosan dengan status quo dan mendapati tantangan baru yang menarik. Akan tetapi, siapa menjamin doktrin ini akan laku 100 tahun lagi. Pemikiran Karl Marx itu kalaupun ada yang benar hanya karena bersandar pada situasi dan kondisi pada zamannya atau kondisi yang serupa. Jika keadaan berubah, maka galeh-nya tak laku lagi. Juga mungkin ada yang keberatan dan mengatakan seseorang bisa sekaligus tetap saleh secara religius dan menganut Marxisme dalam hidupnya. Atau bahwa dengan Marxisme orang bisa sadar bahaya hedonisme dan kapitalisme sehingga mendorong bersikap zuhud. Orang bisa juga keberatan dengan mengatakan bahwa paham Marxisme telah menghasilkan orang-orang besar dan idealis baik skala internasional maupun seperti Tan Malaka. Hal ini memang bisa saja terjadi seperti juga banyak contoh di mana seorang yang saleh pandangan hidupnya salah dan perilakunya sektarian. Karl Marx yang mendakwahkan Marxisme adalah seorang Yahudi ateis dan sekuler. Akan tetapi, kapitalisme kontemporer justru banyak dikecimpungi oleh Yahudi-Yahudi juga yang berkontribusi signifikan di balik kebijakan ekonomi IMF, bank dunia Amerika Serikat dan lainnya. Tak jarang kritikan terhadap kapitalis dari kaum Marxis malah membuat kapitalisme semakin kuat. Sekali lagi ini sudah indikasi yang cukup bahwa apa pun yang datang dari Yahudi ateis dan sekuler musti serius diwaspadai meski dari pemikir besar dan humanis sekalipun.

Pencarian sebab meningkatnya materialisme praktis pada generasi muda Indonesia zaman sekarang pun pertama sekali mungkin bukan pada kapitalisme, tapi sederhananya pada kelemahan-kelemahan kita. Kelemahan ini bersumber dari mentalitas yang salah berupa kedisiplinan batin yang kurang serta ketidaksetiaan terhadap tradisi. Akibat kelemahan ini, kepentingan asing mudah masuk dan paham-paham berbahaya dari Barat dan Timur melenggang gembira. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya ketergantungan pada bantuan asing (utang dan bantuan lain) serta kerentanan terhadap perubahan-perubahan luar (seperti naiknya harga minyak dunia). Walhasil, pemuda dan pelajar Indonesia tidak butuh satu lagi pelajaran teori. Cukup mereka saja yang mencari dan membaca sendiri Das Kapital kalau mereka mau tanpa harus diajarkan di sekolah. Lagiupula, kepala mereka sudah kusut dengan teori dan bombardir tugas-tugas. Hal teoritis sudah saatnya dikurangi. Pelajaran yang bersifat praktik dan keahlian (teknik, bahasa asing dan seni) yang perlu ditambah agar mereka tidak hanya sibuk bergaya dan berwacana serta berpuas diri dalam kebanggaan yang hampa. 

Deddy Arsya (Harian Padang Ekspres)

Menumpang pada marxisme sama seperti menumpang pada biduk bocor. Ibarat diri akan karam. Di Sumatera Barat, sejak Magas memperkenalkan ideologi marxisme sebagai ideologi pembebasan dari penderitaan penjajahan, ideologi itu tidak pernah bisa diterima secara utuh oleh masyarakat. Marxisme mulai dapat berterima secara signifikan setelah bertranformasi ke dalam berbagai bentuk ideologi lain, termasuk berafiliasi dengan Islam seperti yang dicobakan oleh Datoek Batoeah. Pada 1920an itu, misalnya, beberapa orang di Minangkabau bahkan juga mencobakan memasukkan pelajaran marxisme ke kalangan pelajar sekolah menengah. Pelajar Sumatera Tawalib pada periode itu banyak yang gandrung pada ideologi ini, apalagi gurunya Datoek Batoeah juga seorang marxis yang hampir fanatik. Akan tetapi, penentangan dengan giat dilancarkan dari banyak kalangan, baik dari kalangan pelajar sendiri, maupun dari kalangan gurunya, terutama yang paling keras adalah Haji Abdul Karim Amarullah. Jika sekarang ideologi itu (betapa pun baiknya ideologi ini tampaknya, yang telah bertransformasi menjadi neo-marxis sekalipun) hendak dimasukkan lagi ke sekolah, bahkan menjadi salah satu mata pelajaran pula, kita hanya mengulang sejarah yang nyata telah jelas hasilnya. Kita hanya akan menuai penentangan demi penentangan. Masyarakat di mana pun, memang mudah antipati terhadap yang asing. Masyarakat kebudayaan paling sulit melepaskan yang lama ketimbang menerima yang baru. Maka dari itu, kita sesungguhnya tidak perlu mencari jauh-jauh ke perbendaharaan asing. Apalagi bersandar pada ideologi yang tidak bisa lagi diandalkan sebagai penyelemat. Idigium orang Minangkabau  lainnya tentang kerja seperti itu sama dengan “bataduah di bawah batang aua” (berteduh di bawah batang aur). Batang aur jika dilihat dari jauh memang nampak rimbun dan meneduhkan, tetapi ketika kita telah berada di bawahnya, kita ternyata tetap basah. Belum lagi, ular dan kala biasanya banyak bersarang di rumpunnya yang siap menggigit dan memantak kita.

Musda bisa jadi benar, mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah sudah banyak, bahkan sudah lebih dari cukup, apalagi ditambah pula dengan les-les yang tidak berkeruncingan. Bikin ruwet otak. Jangankan untuk menjernihkan, memasukkan marxisme malah akan membikin semakin kusut akal. Cukup-lah orang-orang kampus saja yang belajar itu, mahasiswa filsafat saja yang menyuntuk-nyuntukkan diri terhadap itu. Kalau pun pelajar kita ingin pula terlibat belajar marxisme, biarlah kesadaran mereka sendiri yang membuat mereka mempelajarinya. Sementara untuk menangkal kerakusan, hedonisme, hasrat konsumtif, kita memang lebih dari cukup hanya memanfaatkan yang telah ada saja. Misalnya, mengoptimalkan pelajaran agama, budi pekerja, atau BAM. Heru mungkin tidak sepenuhnya hendak memasukkan marxisme sebagai bagian dari pelajaran di sekolah, baik sebagai pelajaran inti maupun pelajaran ekstrakurikuler. Saya menganggap tulisannya adalah sebuah sentilan belaka bagi dunia pendidikan kita. Tulisan Heru, di sisi ini, bisa menjadi refleksi bagi kita bahwa kadang kita memang patut putus asa memandang dunia pendidikan hari ini. Di sekolah diajarkan pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan BAM, dan pendidikan untuk pembangunan moral lainnya. Namun,  yang diajarkan di sekolah itu tidak berhasil menjadi nilai-nilai yang siap dipraktikkan. Para pelajar tetap saja sulit menjadi sederhana. Pelajaran budi pekerti dekat dengan hapalan demi untuk memenuhi jawaban ujian. Ironis jika kata ‘budi’ harus didefinisikan, pengertian tenggang rasa mesti dihapalkan. BAM juga tidak beranjak dari tataran teoritis yang berupa hapalan pula, tidak berpijak pada konteks zaman, lepas dari realitas. Di buku pelajaran bicara soal mamak, dunia sekarang tak butuh mamak lagi. Bicara tentang pusaka, pusaka sudah tergadai di mana-mana.  Pelajaran agama juga begitu, tak jauh berbeda. Dalam konteks seperti inilah tulisan Heru lahir, sebagai sebuah usulan untuk mencari praksis yang lain ketika yang praksis yang ada dianggap tidak lagi ampuh menyelesaikan masalah kita.Tulisan Heru menjadi semacam kritik untuk memperbaiki pengajaran moral di sekolah. Meneruskan Heru, barangkali, untuk zaman kita yang dikuasai benda-benda seperti sekarang, bukan marxisme (yang malah justru berafiliasi pada materi) yang menjadi penangkalnya.

Kita bisa mantapkan pelajaran agama, dengan dimodifikasi menjadi lebih berafilisasi ke pengajaran untuk zuhud. Pelajaran agama mestinya tidak lagi bertumpu pada pembelajaran yang ritualistik.Hidup sederhanya juga ibadah, juga sesuatu yang harus dipelajari dan dilatih. Melawan diri sendiri untuk tidak memperturutkan hasrat membeli juga sebuah jihad. Rakus adalah dosa besar. Hak kita akan benda-benda hanyalah apa yang menjadi kebutuhan kita. Di luar itu, tidak. Dan lain sebagainya.  Tidakkah dalam Islam, semangat revolusioner dalam melawan kerakusan juga tidak kalah besar ketimbang marxisme. Islam bilang, “celakah para pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya”. Narasi Islam yang seperti itu jika dikontekstualisasikan jelas merujuk sebagai kecaman pada kapitalisme, kepada kerakusan manusia. Orang Minangkabau juga tidak mentoleril kerakusan, bahkan mengutuknya. Ada kata ‘akok’, yang berarti semuanya ingin dipunyai, rakus. Kita tidak boleh ‘akok’. Terminologi ini jelas berkonotasi buruk, sangat buruk dalam masyarakat kita.

Soekarno-Hatta Bukan Prajurit Perang

Oleh : Muhammad Ilham
 
Kolonel Tahi Bonar (TB) Simatupang, dalam bulan Desember 1948, pernah menyarankan Soekarno-Hatta meniru Jenderal Soedirman - ikut perang gerilya. Soekarno-Hatta, tidak memberikan tanggapan. 

Penakutkah dan tidak cukup tangguhkah Soekarno-Hatta ? 

Dalam sejarah, Dwi Tunggal ini tidak tercatat seperti Ho-Chi Minh, Fidel Castro, Che Guevarra maupun Mao Ze Dong, tersuruk puruk dalam kancah perang panjang yang sengit. Walau tidak demikian, rakyat mencintai mereka berdua, bahkan memuja. Mungkin rakyat Indonesia tahu, bila hanya dengan bedil, kita sudah habis sebelum umur 35, meminjam istilah GM. 

Foto : tribunews.com

Mencari Tuhan-Tuhan Digital

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Yasraf Amir Piliang 

Perkembangan sebagai salah satu bentuk pencapaian mutakhir teknologi informasi-telah membawa perubahan yang besar pada berbagai sisi kehidupan manusia, termasuk sisi kehidupan spiritualitas dan keberagamaan.Meskipun sangat banyak manfaat yang ditawarkannya terhadap kehidupan spiritualitas,cyberspace pada kenyataannya penuh dengan paradoks-paradoks spiritualitas. Paradoks antara fungsinya sebagai media komunikasi keagamaan atau ia sebagai ''agama'' itu sendiri; antara kegunaannya sebagai penyalur daya spiritualitas atau ia sebagai ''spiritualitas'' itu sendiri; antara hakikatnya sebagai ''pengingat kesucian'' Tuhan atau ia sebagai ''Tuhan'' itu sendiri. Buku Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace: Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman Manusia (Penerbit Mizan 1999), dengan sangat memikat menggambarkan panorama cyberspace yang penuh dengan paradoks spiritualitas tersebut: paradoks antara realitas/fantasi, tubuh/jiwa, daging/roh, Tuhan/manusia. Di dalam bingkai paradoks tersebut, perbincangan mengenai ''spiritualitas'' cyberspace tidak dapat dilepaskan dari kerangka atau asumsi-asumsi filosofis di balik penciptaan dunia maya tersebut.

Dengan demikian, berbagai persoalan mendasar dan hakiki yang menyangkut hubungan antara dunia teknologi (informasi), manusia dan Tuhan dapat terungkap. Perkembangan cyberspace sebagai sebuah ''realitas baru'', tidak dapat dipisahkan dari bagaimana ia diberikan ''fondasi nilai-nilai'' (filosofis, religius, etis, kultural) oleh para ''pemikir cyberspace''. Ada berbagai asumsi filosofis yang dikembangkan yang, bila digeneralisasi, dapat dijelaskan melalui sebuah konsep yang disebut ''titik nol filsafat'' (philosophical zero). Meskipun istilah ini tidak digunakan secara eksplisit oleh para cyberist (para pemikir cyberspace), melainkan oleh kelompok ''futuris-suprahumanis'', ia dapat merepresentasikan pandangan para Net-Religionist pada umumnya. Inti dari pemikiran filsafat tersebut, yang ditulis Hamilton di dalam God-Man: Our Final Evolution (1998), adalah ''pengingkaran'' terhadap segala bentuk kekuatan di luar ''kekuatan'' yang ada di dalam diri manusia itu sendiri, khususnya apa yang disebut ''mistisisme'' (fetish, dewa, Tuhan) dan ''master'' (negara, raja, demokrasi). Ia adalah filsafat (atau pseudo-filsafat) tentang devaluasi semua nilai (ketuhanan, politik, kebangsaaan) yang menghambat eksistensi dan ''aktualisasi diri total'' manusia.

Agama, dalam hal ini, dianggap hanya menciptakan manusia, yang sangat bergantung pada ''otoritas'' di luar dirinya, yang menjadikannya tidak punya kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya yang sejati. Maka, ketika manusia dilepaskan dari ''tirani otoritas Tuhan'' atau kekuatan luar lainnya, ia akan menemukan potensinya sendiri yang luar biasa, yang berasal dari kekuatan, pikiran. Dalam upaya membangun ''mentalitas Tuhan" tersebut, para cyberist dihantui oleh berbagai bentuk fobia yang kemudian menjelma menjadi berbagai bentuk 'pengingkaran'.

Pertama, logo-phobia, yaitu fobia terhadap kehadiran ''kebenaran tertinggi'' (logos) atau ''kekuatan maha'' (Tuhan). Dalam hal ini, Tuhan dianggap tak lebih dari sebuah ''ilusi semu'', yang hanya menciptakan ''kesadaran palsu''tentang kekuatan di luar manusia. Agama yang ''nyata'' (yang tidak palsu), bagi mereka adalah evolusionisme, yang fondasinya adalah asumsi-asumsi klasik humanisme tentang kekuasaan manusia. Sebagaimana dikatakan Timothy Leary, seorang cyberist, di dalam Chaos and Cyber Culture (1994): "God is not a tribal father, nor a feudal lord, nor an engineer-manager of universe. There is no God (in singular) except you at the moment. There are as many Gods (in the plural) as can imagined. Call them whatever you want. There are free agents like you and me".  

Kedua, body-phobia, yaitu fobia terhadap ''tubuh'' atau ''daging'', yang selama ini dianggap tak lebih dari semacam ''dunia samsara'', yang telah memenjarakan roh dan jiwa di dalam tembok-tembok keterbatasan materinya. Salah satu keterbatasan tubuh adalah pada ketidakmampuannya mengakses dunia transenden atau metafisika dunia platonis. Sebaliknya, di dalam cyberspace, segala keterbatasan tubuh dan daging tersebut dapat diatasi. Di dalamnya, manusia-tanpa perlu membawa totalitas tubuhnya- dapat ''hidup'' di dalam dunia transenden tersebut. Asumsi bahwa manusia dapat masuk ke dalam dunia transenden tanpa perlu membawa tubuh ini sangat penting untuk menjelaskan mengapa para cyberist sangat percaya bahwa cyberspace adalah satu bentuk baru ''spiritualitas''. Sebab, bila yang disebut sebagai ''pengalaman spiritual'' (mistis, ekstase) adalah pengalaman ketika ''roh'' mengembara meninggalkan ''jasad, tubuh'', cyberspace adalah salah satu tempat pengembaraan roh tersebut.

Ketiga, master-phobia, fobia terhadap segala bentuk lembaga kekuasaan (seperti negara). Cyberspace adalah semacam ''saluran antarpikiran'' yang melibatkan begitu banyak orang secara global. Di dalam hubungan antarmanusia secara global tersebut diperlukan pengaturan (sosial, ekonomi, moral, etika), yang selama ini menjadi urusan institusi negara. Akan tetapi, pengaturan oleh negara hanya akan membatasi ''kebebasan'' di dalam cyberspace.  

Keempat, death-phobia, berupa ketakutan akan kematian, sehingga mendorong ''pengingkaran terhadap kematian'' itu sendiri. Ide dasarnya adalah, bila kita dapat menciptakan ''kesadaran'' (atau ''simulasi kesadaran'') pada komputer, peluang untuk memindahkan kesadaran dan pikiran manusia ke dalamnya terbuka, sehingga kesadaran tersebut terhindar dari kematian.

Sumber foto : flickr.com

Air Bangis Punya Sejarah



Muara te Air Bangis
Tahun publish : 1910
Arsip KITLV Belanda

Properti Rumah Penjaga Mercusuar di Pulau Pangka Air Bangis.
Tanggal Foto : 31 Desember 1913/Old album 3 / 114. Album dari C.H. Para Goeje
 Arsip KITLV Leiden Belanda


Detasemen infanteri diperintahkan oleh Letnan Air Bangis H. Hartsman
Tahun Foto : 1912
Arsip KITLV Leiden Belanda

Mercusuar Pulau Pangka Air Bangis
Tanggal: 31/12/1913/Album dari C.H. Para Goeje
Arsip KITLV Belanda


Rumah kontroler C. Schultz untuk Airbangis
Tahun publish : 1900/Album dari asisten komisaris C. Schultz
Arsip KITLV Belanda

Sabtu, 19 Mei 2012

Sukhoi dalam Kenangan Foto


Sukhoi ...... menjadi kosakata paling "familiar" di ranah publik tanah air satu  minggu belakangan ini.  Sukhoi adalah pesawat andalan dari negeri Rusia. Nama itu diambil dari nama belakang Pavel Osipovich Sukhoi. Lelaki ini lahir 22 Juli 1895 di sebuah desa kecil dekat kota Vitebsk, yang kini dikenal sebagai Belarusia. Sukhoi adalah murid Andrey Tupolev, yang dikenal sebagai perintis teknologi penerbangan di negeri Leo Tosltoy itu. Tahun 1953, Sukhoi mulai mengembangan platform pesawat tempur baru. Ini adalah jet tempur tercanggih negeri itu. Namanya kemudian diabadikan dalam nama pesawat tempur itu. Dia wafat 15 September 1975.Belakangan Rusia ingin masuk ke bisnis penerbangan sipil.  Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang jatuh di Gunung Salak adalah bagian dari proyek besar ini. Pesawat ini dibikin Sukhoi Civil Aircarft. Perusahaan ini datang ke Indonesia guna mempromosikan kecangihan pesawat itu.  

Dan pada Rabu 9 Mei 2012, duka bangsa ini bermula. Pesawat Sukhoi  Superjet-100 (SSJ-100) yang melakukan "joy flight" kloter kedua, rute Halim-Pelabuhan Ratu, tiba-tiba putus kontak. Pesawat  itu menghilang dari radar, sekitar 20 menit setelah tinggal landas. Take off pukul 14.12 WIB, hilang pukul 14.33 WIB.  Padahal, demo terbang kloter pertama sukses. Sekitar 40 menit terbang, pesawat kembali ke Halim. Sukhoi dinyatakan raib pada koordinat 06.43.08 S dan 106.43.15 BSN. Baru ke esokan harinya, dari pantauan helikopter, terlihat serpihan pesawat berceceran di tebing curam Salak I, dengan kemiringan 85 derajat, nyaris tegak lurus. Ada lambang Sukhoi di sana. Bangkai pesawat ditemukan di titik yang diperkirakan, 0642612 dan 10644412 di ketinggian 2.500 kaki, 3,5 kilometer dari Cijeruk. Indonesia kemudian "berduka".

Berikut foto-foto yang diunggah blogger sergeydolya, yang kebetulan mengikuti perjalanan promosi Sukhoi ke Indonesia (waktu di Indonesia, sergeydoyla mengikuti perjalanan penerbangan pertama, sedangkan kecelakaan itu terjadi pada penerbangan kedua).  Dolya bercerita tentang pilot Rusia Alexander Yablontsev dan awak pesawat termasuk pramugarinya.  Dolya juga sempat berbincang dengan pramugari Sky Aviation dari Indonesia. Blogger Rusia itu memotret para pramugari itu selama penerbangan pertama.

























Referensi narasi : vivanews.com/sorot & tempointeraktif.com - wikipedia.com

Jumat, 18 Mei 2012

"Diktator" itu Bernama Lee Kuen Yew

Oleh : Muhammad Ilham  

Setidaknya ada dua diktum dalam ilmu politik yang berlaku secara umum, telah "diruntuhkan" Lee Kuan Yew yaitu : "Semakin lama berkuasa, berpotensi korup", dan "Diktator tidak menyejahterakan rakyat". 

Lee Kuan Yew, si pendiri Singapura itu tidak merokok, juga tak minum alkohol. Bila Soekarno "sang pesolek" selalu membawa tongkat komando kemanapun juga, maka LEE justru membawa TERMOS. Isinya TEH panas, yang ia minum dari satu acara ke acara lainnya. Ia suka olah raga, tapi bukan GOLF. Ia berkeringat karena sering Loncat Tali. Ia tak suka makan Roti dan makanan berlemak. Mungkin karena ia menjaga tubuhnya dari lemak, Lee juga ketat menjaga Singapura dari nikmat korupsi. Lee Kuan Yew menurunkan gajinya, sementara yang lain dinaikkan. Ibarat mengurusi seorang bayi yang lahir prematur, Singapura yang lahir pada 9 agustus 1965, Lee Kuan Yew sulit tidur dan tidak enak badan. Ibarat seorang ayah Lee keras dan disiplin. Lee berhasil menarik lokomotif perubahan dan pembangunan, sehingga berhasil menarik kota itu keluar dari keterbelakangan. Ada beberapa kata sifat yang selalu berulang setiap kali orang berbicara tentang pemimpin yang satu ini : keras, disiplin, otoriter, tetapi.....bersih dan jujur. Pribadi Lee adalah sebagai pekerja yang spartan.  

Dari negara kecil tempat berkembangnya sarang nyamuk malaria dengan penduduk 1,6 juta jiwa, Singapura telah "bermetamorfosa" menjadi salah satu negara paling maju dengan penghasilan per kapita U$32,470, menyalip Hongkong. Ia melahirkan Nepotisme-Rasional. Lee mempersiapkan "anaknya" Big Lee (Lee Hsie Long) dengan "semapan-mapannya". Dan dunia mengakui, Singapura dibawah BIG Lee "lebih hebat" dibandingkan Singapura dibawah Ayahnya. Kini Lee Kuan Yew, di usia senja nya, suaranya masih sering didengar. Meski para pengkritik makin gencar menggugat keterbukaan politik, tak ada yang dapat mengingkari jasa dan cinta Lee untuk Singapura. Bak kata Goenawan Mohammad (1998: 109), inilah sosok Raksasa di Negeri Liliput, yang telah menciptakan keajaiban hanya dalam satu generasi.

Sumber foto : britanica.sing.com

Culture and Religion


Album ini didekasikan untuk ragam ekspresi tradisi dan religius dari seluruh dunia. 
This album is dedicated to colorful and various tradition and religious expressions 
from around the world.  
(c) Chen Chen Mutahhari