Sabtu, 28 April 2012

Namanya : Profesor (Anumerta) Widjojono

Oleh : Muhammad Ilham 

Gustave Le Bon (1944) mengatakan, "kepahlawanan yang kecil tapi terus menerus adalah jauh lebih sulit daripada kepahlawanan yang besar dan yang terjadi kebetulan". Pahlawan, sebuah konsep-kata yang mengandung aura heroik-emosional. Di mana-mana, di kota kecil atau besar, selalu ada taman makam pahlawan. Mereka dimakamkan lewat upacara sarat air mata dalam suasana syahdu. Salvo ditembakkan ke udara, makam ditimbun dan diatasnya diletakkan karangan bunga. Semua orang yang masih hidup dengan takzim menundukkan kepala. Bak kata penyair Chairil Anwar - "mereka telah beri apa yang mereka punya". Nyawa. Apa yang lebih berharga dari pada nyawa ? Mereka telah hembuskan napas terakhir tanpa mengharapkan hadiah dan imbalan. Bersimbah darah dan terguling di tanah. Untuk apa mereka mati kalau bukan untuk kita hidup lebih baik. Tidak semua pahlawan dimakamkan di taman makam pahlawan. Di antara mereka ada yang dimakamkan di pekuburan biasa ..... dan tak sempat dikuburkan dengan prosesi salvo serta deraian air mata. Tapi dimanapun mereka, semerbak nama mereka tetap di kenang oleh sejarah dan oleh mereka yang masih hidup.




/ anak ayam keluar dari cangkangnya /

demikian, nyanyian terakhir Wakil Menteri ESDM Widjojono Partowidagdo, di gunung Tambora.
Profesor eksentrik yang rendah hati ini, mengingatkan kita kembali bahwa jabatan dan kekuasaan itu sangat manusiawi di tangan manusia-manusia yang ikhlas. 

/ di gunung  Tambora, Profesor dan Wakil Menteri pecinta gunung ini ........ "anumerta".

Berikut :  Tulisan kenangan kompas.com mengenai Wakil Menteri eksentrik berambut gimbal-gondrong ini : 

Kepergian Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo yang begitu mendadak meninggalkan kenangan bagi orang-orang di dekatnya. Pria bersahaja itu meninggal dunia dalam pendakiannya di Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (21/4/2012). Tidak ada yang menyangka bila pria pencinta alam itu pergi sedemikian cepat. Tak ada tanda-tanda bahwa Widjajono mengalami sakit. Juga tak ada pesan khusus yang ia sampaikan kepada keluarga atau orang-orang dekatnya. Sebelum berpulang, Guru Besar Institut Teknologi Bandung itu memang sempat mengirimkan pesan di mailing list Ikatan Alumni ITB. Dalam tulisan itu, ia berpesan kepada rekan-rekannya untuk tetap berserah kepada Yang Maha Esa. Inilah tulisan tangan terakhir sang profesor itu sebelum meninggalkan dunia:
 
Kalau kita menyayangi orang-orang yang kita pimpin, Insya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan menunjukkan cara untuk membuat mereka dan kita lebih baik. Tuhan itu Maha Pencipta, segala kehendak-Nya terjadi.

Saya biasa tidur jam 20.00 WIB dan bangun jam 02.00 WIB pagi lalu Salat malam dan meditasi serta ceragem sekitar 30 menit, lalu buka komputer buat tulisan atau nulis email.

Dalam meditasi biasa menyebutkan:

“Tuhan Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, aku sayang kepadaMu dan sayangilah aku… Tuhan Engkau Maha Pencipta, segala kehendak-Mu terjadi…”

Lalu saya memohon apa yang saya mau…
(dan diakhiri dgn mengucap)
“Terima kasih Tuhan atas karuniaMu.”

Subuh saya Sholat di Mesjid sebelah rumah lalu jalan kaki dari Ciragil ke Taman Jenggala (pp sekitar 4 kilometer). Saya menyapa Satpam, Pembantu dan Orang Jualan yang saya temui di jalan dan akibatnya saya juga disapa oleh yang punya rumah (banyak Pejabat, Pengusaha dan Diplomat), sehingga saya memulai setiap hari dengan kedamaian dan optimisme karena saya percaya bahwa apa yang Dia kehendaki terjadi dan saya selain sudah memohon dan bersyukur juga menyayangi ciptaan-Nya dan berusaha membuat keadaan lebih baik. Oh ya, Tuhan tidak pernah kehabisan akal, jadi kita tidak perlu kuatir. Percayalah…

Salam,

widjajono 


Jumat, 20 April 2012

Sabda Jusuf Kalla (bahwa) Politik Itu Dagang


“Negosiasi adalah soal penawaran”, kata Kalla, suatu hari saat dia mulai menggarap Aceh.
“Kalau tak bisa dapat 1 dengan harga 10, anda bisa tawar dengan harga 15, tapi dapat ...2”. 
Kalla, dalam banyak soal, adalah seorang pragmatis.  

Suatu kali Menteri Hamid pusing oleh banyaknya syarat yang diajukan GAM di meja perundingan di Helsinki. Dia menelepon Kalla di Jakarta. “Pernah mengambil kredit di bank? 
Apakah kau baca semua syaratnya?”, tanya Kalla. 
Seperti halnya bisnis, bagi Kalla, syarat kredit bukan soal pokok. 
Yang penting: uang bisa cair, dan bisnis bergulir. 
“Hamid, yang penting mereka setuju berada di dalam NKRI. 
Yang lain, tak penting,” kata Kalla. 
Dialog pun lancar kembali.



Sumber foto : tempointeraktif.com
Referensi tulisan : vivanes.com
/sorot 

Al Pacino : "Politik Tak Selamanya Luhur"


Di parlemen yang demokratis, tak ada hal yang bisa diputuskan sepihak. 
Kompromi senantiasa terjadi. Aku memberikan X kepadamu, kamu memberikan Y kepadaku. 
Tentu saja ada akal sehat dan rasa keadilan yang bekerja di sana 
tapi juga kepentingan ...... yang tak selamanya luhur "  

(Al Pacino dalam Film "The God Father")


Sumber foto : listal.com

Selasa, 17 April 2012

Antara Politisi Tempo Doeloe dengan Ruhut Sitompul dan Soetan Bathoegana

Oleh : Muhammad Ilham

Beruntung saya dalam minggu ini. Berjumpa dengan Prof. Taufik Abdullah, sejarawan "gadang cimeeh" yang terkenal itu. "Gadang cimeeh" ini juga diakui oleh Profesor yang gempal dengan rambut memutih tersebut. Bahkan menurut sahibul hikayat (saya tak menanggung dosa bila ini salah), dalam sebuah Seminar Internasional, seorang moderator menyodorkan lembaran biodata untuk diisi Profesor Taufik Abdullah guna diperkenalkan nantinya ke audiens, dengan gayanya yang khas beliau berkata, "cari saja di ensiklopedi !! ". Dan kepercayaan diri serta cimeeh tersebutlah, maka diskusi pada kesempatan ini menjadi hangat.  Dua jam berdiskusi (tepatnya : mendengarkan dengan baik), banyak hal-hal mencerahkan yang bisa diambil. Saya tak ingin bercerita panjang mengenai jalannya diskusi tersebut yang umumnya banyak berkaitan dengan "kerinduan" untuk memunculkan kembali paradigma multidisipliner dalam melihat fenomena sosial-budaya. Sebagaimana halnya "host fenomenal" Karni Ilyas yang selalu menutup segmen Talk Show-nya dengan kutipan-kutipan inspiratif dan menggetarkan, maka dalam diskusi ini, saya juga menunggu ungkapan-ungkapan Taufik Abdullah yang terkadang terkesan puitis, sarkastis dan generalitatif - suatu kekuatan dan kelebihannya bila kita membaca tulisan-tulisan beliau.

Diantara banyak ungkapan-ungkapannya itu, ada satu dua kalimat yang bagi saya bisa menjawab banyak pertanyaan hari ini. "Politisi masa dulu, adalah pemikir dan penulis. Sebutlah siapa diantaranya, Hatta, Soekano, Syahrir, Tan Malaka ataupun Agus Salim", kata Taufik Abdullah. "Siapa politisi masa lalu yang kalian benci", tantang Taufik Abdullah kepada kami, "sebutlah !" (untuk yang ini, saya pribadi tidak mau menjawab, karena ketika menggunakan istilah membenci seseorang, maka saya menjadi insan yang malang, tidak mampu menyerap nilai-nilai inspiratif dari seorang tokoh karena tereduksi oleh kebencian subjektif). "Katakanlah (Taufik Abdullah menggunakan istilah "katakanlah" yang cenderung objektif), banyak yang membenci DN. Aidit ataupun tokoh-tokoh PKI seperti Nyoto ataupun Sudisman. Walaupun mereka dibenci, mereka tetap politisi pemikir dan penulis. Inilah yang membedakan mereka dengan, katakanlah (sekali lagi "katakanlah"), dengan politisi masa kini seperti  Ruhut Sitompul ataupun Soetan Bathoegana". Taufik Abdullah ingin memberikan "pesan" bahwa aktifis politik tempo doeloe terdiri daripada figur-figur cendekiawan yang secara intelektual sangat artikulatif. Pada umumnya, mereka adalah aktifis yang sekaligus juga pemikir politik. Dalam diri mereka berpadu intelektualisme dan aktifisme secara integral. Karena itu tak salah bila curiculum vitae mereka dikenang oleh publik hingga sekarang "siapa" mereka dan "bagaimana" dialektika antara gagasan dan sepak terjang kepolitikannya. Sesuatu yang secara umum (sekali lagi, secara umum) tidak terlihat pada politisi masa sekarang.

Herbert Feith & Lance Castel (ed.) dalam buku mereka yang terkenal, Indonesian Political Thinking 1945-1965 (sudah diterjemahkan) melihat bahwa kehidupan politisi tempo doeloe mencerminkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari pengamatan yang tajam dan penghayatan yang dalam tentang masyarakat mereka. Mereka, bukan hanya politisi tulen, tapi rauzan fikr - meminjam istilah sosiolog Iran Ali Shariati. Disitulah letak kekuatan mereka sehingga berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan original. Bung Karno, misalnya, dalam sejarah tidak hanya dikenal sebagai orator politik jempolan dan menggetarkan semata. Ia juga dikenal sebagai sosok cendekiawan yang memiliki pemikiran melalui karya-karya yang profokatif dan menggelora : Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi adalah dua contoh dari begitu banyak karya intelektual Soekarno. Demikian juga dengan Mohammad Hatta melalui karya reflektifnya : Indonesia Merdeka dan Kumpulan Karangan yang terdiri dari beberapa jilid. Dan jangan tanya tentang Tan Malaka. Masterpiece-nya Madilog - disamping beberapa karyanya yang lain seperti Pacar Merah Indonesia, Dari Penjara ke penjara, Aslia dan lain-lain - memperlihatkan kualitas intelektual sekaligus aktifitas politik Ibrahim Tan Malaka ini. Aktifis politik Islam seperti Mohammad Natsir juga dikenal dengan karya-karya visioner-nya seperti dua jilid Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologie, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs dan "seabrek" karya visioner-nya yang lain. Syafruddin Prawiranegara yang menulis Sistem Ekonomi Islam, HOS. Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme, Zainal Abidin Ahmad dengan Membentuk Negara Islam serta SH. Amin yang menulis Indonesia di Bawah Demokrasi Terpimpin. Singkatnya, sebutkanlah nama-nama aktifis politik tempo doeloe, hampir semuanya meninggalkan jejak politik dan intelektual yang mengagumkan. Publik mengenal mereka bukan semata-mata karena sepak terjang politiknya, akan tetapi juga melalui jejak-jejak dinamis gagasan dan pemikirannya, bahkan literal. Sesuatu yang (secara umum) tidak kita temui pada politisi masa sekarang, apalagi pada si Poltak dan si Bathoegana.

Sumber foto (Prof. Taufik Abdullah) : vivanews.com

Rindu Hatta (Si) Sisir "Belah Benak"

Oleh : Muhammad Ilham    

"Carilah inspirasi, pada mereka yang sederhana, jernih berfikir dan berani hidup"   
(Vaclac Havel, sastrawan : mantan Presiden Cekoslovakia 1992-1996)  

Hari ini, melihat rumah Bung Hatta di sore hari, jalan kaki, menyusuri Boekittinggi yang ramah. Rumah yang membawa fantasi saya kepada nilai-nilai inspiratif pada figur dengan sisir "belah benak" kala ia muda di Rotterdam. Ingin kembali ...merangkai-kata dan pengalaman inspiratif  Hatta. Diantara begitu banyak kata-kata dan pengalaman inspiring  Bung Hatta tersebut, ada dua (penggalan) yang membuat saya menganggap suami Rahmi Hatta ini sebagai insan yang memiliki integritas moral dan kejernihan berfikir.

(1). Satu cerita romantik : Ketika Hatta kuliah di Rotterdam (?) Belanda, bila libur, biasanya para pelajar dari Hindia Belanda (baca: Indonesia) pergi ke bar, sekedar untuk refreshing dan komparasi kultural. Walaupun tidak biasa, suatu ketika Hatta dibawa teman-temannya (diantaranya Nazir St. Pamuntjak) ber”Saturday night”. Ketika sampai ke bar, para teman-teman Hatta ini langsung memesan “minuman tingkat tinggi”, sementara Hatta memesan minuman “anak-anak”, Air Putih dan Susu. Oleh Nazir, dicarikannya seorang wanita untuk mendampingi Hatta. Pada waktu itu, ada wanita-pelajar asal Polandia yang cantik-bahenol. Setiap laki-laki berusaha untuk dekat padanya. Tak ada laki-laki yang tak bisa ditaklukkannya. Nazir merekomendasikan dan menantang wanita ini untuk menaklukkan Hatta. Dengan over confident si wanita menghampiri Hatta yang sedang “menyudut”. Beberapa waktu kemudian, wanita ini kembali ke tempat Nazir dan kawan-kawan berkumpul sambil berkata : “Hatta itu malaikat ………. Nyerah dech”. 

(2). ”Menghukum dan menolak ateisme karena mengancam benteng agama Islam tidaklah cukup dengan kemarahan dan hanyalah merupakan tindakan negatif. Untuk menahan arus ateisme, hendaklah dengan melaksanakan tindakan keadilan Islam dalam masyarakat Indonesia”. 

(Catatan singkat perjalanan di Boekittinggi, Senin, 16/4/2012)


Rumat tempat lahirnya Pahlawan Proklamator Mohammad Hatta di Bukittinggi

Dahlan Iskan : "Memangnya Aku Calon Presiden ?"

Oleh : Muhammad Ilham  

"Terserah saja, aku ini terserah saja (diinterplasi), memang aku calon presiden? Aku kan bukan calon presiden," ujar Dahlan Iskan kepada detik.com (16/4/2012). Enteng tanpa beban. Nampaknya, Dahlan tengah menanamkan investasi simpati di tengah-tengah publik.   

Dahlan Iskan kembali menjadi berita. Tak salah memang, karena menteri yang senang bersepatu kets ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi pemburu berita. Menteri yang senantiasa berperilaku "out of box", Suatu perilaku yang selama ini disukai publik. Belakangan, pemilik Jawa Post Group ini berhadapan vis a vis dengan DPR. Beberapa anggota Dewan Yang Terhormat ini mengusulkan interpelasi. Menjadi ciutkah nyali si Dahlan ? Menjadi menurunkah popularitas menteri yang tak suka dipanggil Pak Menteri ini? ("panggil saja saya Pak Dahlan", katanya diberbagai kesempatan). Dahlan tidak akan "mengecil", justru interpelasi DPR diperkirakan menjadi berkah bagi Menteri Negara BUMN ini.  Bukannya mengecil, nama Dahlan justru kian besar. "Wacana interplasi justru berkah buat Dahlan, jika dia bisa memainkan untuk menaikkan pencitraan dirinya. Kenapa demikian? Karena citra DPR di mata publik itu jelek, di saat yang sama Dahlan dilihat sebagai figur alternatif karena berpikir 'out of box' atau bergaya koboi, masyarakat beberapa saat ini suka dengan Dahlan, saya tidak tahu logika para pengusul interplasi, alih-alih ingin mematikan karir Dahlan justru malah membesarkannya," ungkap pengamat politik LS, Burhanuddin Muhtadi (detik.com/17-4-2012).  

Dari 38 anggota DPR pengusul interplasi, 22 orang di antaranya merupakan anggota DPR dari fraksi Golkar. Jika wacana interplasi gagal ditangkap oleh publik, maka akan mengarah pada rivalitas politik jelang tahun 2014. Semangat debirokratisasi dalam surat keputusan menteri yang ditandatangani Dahlan semestinya didukung oleh DPR. Sebab, BUMN-BUMN yang dikelola Dahlan beroperasi di wilayah korporat yang membutuhkan semangat tersebut. Jika tidak dilakukan debirokratisasi, maka BUMN akan lamban. Orientasinya bukan pada produk, namun pada proses.  Dahlan Iskan layak mengamuk. Lambatnya pelayanan masyarakat oleh BUMN dianggap menciderai kepercayaan masyarakat kepada perusahaan plat merah, dan ujung-ujungnya publik akan memusuhi pemerintahnya sendiri. Dahlan Iskan berpikir praktis: layanan yang cepat dan prima oleh BUMN akan menguntungkan semua pihak. Rakyat gembira, pemerintah pun lega karena tidak lagi jadi sasaran kemarahan publik. Buruknya performa BUMN karena cara pengelolaannya dililit red tape alias tata-krama kebirokrasian. Banyak ketidakefisienan dan kebocoran disana-sini. Dahlan Iskan yang berlatar belakang swasta tentu jengah melihat hal tersebut. Dan, tampaknya anggota DPR (utamanya dari partai politik tertentu) - yang nyata-nyata "berorientasi kepada 2014" - melihat celah untuk menciderai sang koboi yang lagi melaju kencang. Namun, para anggota DPR ini tidak menyadari bahwa Dahlan Iskan sedang dalam track popularitas yang tinggi di mata publik. 

Catatan Kritis : 

Negara kita sudah lama hidup dengan filosofi “biar lambat yang penting selamat”, atau kalau diterjemahkan ke dunia kebirokrasian menjadi “biarlah proyek macet yang penting tidak melanggar aturan agar tidak ditangkap KPK”. Proses lebih penting ketimbang hasil. Di Indonesia, tindakan yang menyalahi peraturan walaupun tujuannya baik tetap dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan bisa dijerat pasal korupsi. Jerat inilah yang harus diwaspadai oleh Dahlan Iskan. Tanda-tandanya mulai kelihatan. DPR berancang-ancang untuk menginterpelasi pemerintah demi menjegal kebijakan Dahlan Iskan dalam proses penunjukan direksi BUMN yang dianggap menyalahi peraturan-peraturan yang ada. Proses “membunuh Dahlan Iskan” telah dimulai di DPR dan bukan tidak mungkin akan ada konspirasi sistematis selanjutnya untuk benar-benar “menghabisi” Dahlan Iskan.

Sumber (sebagian dikutip langsung) : www.detik.news.com & kompasiana/bimo tejo 
Foto (Dahlan Iskan) : www.boworot.blogspot.com

Jumat, 13 April 2012

Historia Vitae Magistra


Historia Vitae Magistra, demikian Cicero yang kemudian dikutip Bennedicto Croce
"Sejarah memberikan kearifan"
bahwa yang terpenting bukan hanya "bagaimana belajar sejarah"
melainkan "bagaimana belajar dari sejarah".
Pada masa lalu, Soekarno, menegaskannya dengan istilah: "Jasmerah"
(Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).
Mempelajari mengapa "masa dulu" itu bisa sedemikian maju. 
Bukan selalu "berfantasi" dan ber-apologia bahwa kita pernah memiliki "masa dulu". 
Bila hanya sebatas ini, lebih baik kita menjadi fosil.


Sumber foto : ncbnews.com

Nyawa Manusia

Oleh : Muhammad Ilham

Ada rasa "ngeri tersendiri" membaca detik.com hari ini - "seorang ayah menggorok leher anak kandungnya, dan itu dilakukannya dengan sadar di depan anak kandungnya yang lain. Sang anak mati, dengan leher menganga .... kehabisan darah".

Saya teringat dengan salah satu film Hollywood - saya lupa judul film tersebut - yang mengkisahkan tentang sebuah degradasi moral, kehidupan Samurai pada masa rezim Tokugawa di era Jepang klasik. Seorang samurai bersama dengan temannya yang tentunya juga samurai, berjalan-jalan ke sebuah desa. Mereka berdiskusi kecil tentang ketajaman pedang (icon seorang samurai) yang mereka miliki masing-masing. Lalu, di depan mereka berjalan seorang petani, penduduk desa yang dilalui samurai dan temannya yang juga samurai ini. Si petani dipanggil. Begitu petani ini datang dan membungkuk di depan samurai ini, si samurai tersebut kemudian mengayunkan pedang ditangannya ke leher petani yang hari itu salah memilih "takdir". Kepala melayang, tubuh menggelimpang. "Ah benar, tajam juga pedang kau ini", kata teman samurai itu sambil berdecak kagum. Merekapun berlalu sambil memandangi pedang berkilatan dalam basuhan darah. 

Dalam al-Qur'an, dinukilkan perbincangan Nabi Ibrahim dan Raja Babilonia, Namrudz, : "Aku juga (seperti Tuhan) menghidupkan dan mematikan" (Q. 2 : 258). Lalu Nambrudz memanggil dua orang, seorang ia suruh bunuh dan seorang lagi dibiarkan hidup. Namrudz ingin mengatakan kepada Nabi Ibrahim : "Aku bisa membunuh dan membiarkan orang hidup lho !". Samurai dan Namrudz tersebut mungkin tidak pernah mengenal ayat yang sore tadi dibaca oleh anak saya. Tapi cerita begitu mudahnya orang membunuh terus menjalar dan menjulur hingga abad yang dikatakan "modern" danberperikemanusiaan ini. Bahkan jauh mengerikan. Pol Pot, misalnya, meninggalkan catatan horor kemanusiaan dalam sejarah ummat manusia. Ia yang tamatan Sorbonne University Perancis ini membantai lebih kurang dua juta manusia Kambodja. Khmer Merah jadi perpanjangan tangannya. Sekian juta terbunuh pada masa Joseph Stalin dengan Gullag-nya. Sejumlah orang Yahudi mati di kamp-kamp konsentrasi Autswitzh Adolf Hitler. Sekian juta orang lagi raib di kamar-kamar konsentrasi KGB era Uni Sovyet. Berapa orang yang diculik dan dibunuh karena perbedaan ideologis, hampir di berbagai belahan dunia. Berapa yang di dor begitu saja karena faktor politik-ideologis serta ekonomi ? "Barang siapa yang membunuh satu jiwa, bukan lantaran suatu jiwa atau pengrusakan di muka bumi, seakan membunuh manusia kesemuanya; dan barangsiapa yang menghidupinya seakan menghidupi manusia kesemuanya" (Q. 5: 32) ". Nampaknya, konsep tentang nyawa bagi para pembunuh, baik sakla besar ataupun kecil, tidaklah sama dengan al-Qur'an.

Referensi : al-Qur'an 
Sumber foto : balita.com

Rabu, 11 April 2012

Sang Rauzan Fikr

Ali Shariati (Ali Syariati), manusia tercerahkan, yang (selalu) dalam kesendirian

"Nabi Muhammad cucu tersayang Abdul Muthalib, berkontemplasi di gua hira'. Beliau yang mulia ini ingin menjauhi diri dari keterpengaruhan praktek jahiliyah saudara-saudara Quresy-nya. Namun ketika nabi Muhammad SAW. menerima wahyu untuk kali pertama di gua hira', Beliau tidak pernah lagi kembali ke gua tersebut. Tak mau mengasingkan diri. Misi kenabiannya menuntut beliau untuk terjun langsung ke jantung masyarakat, melakukan perubahan, bukan mengambil jarak. Inilah tipikal manusia tercerahkan, sang Rauzan Fikr.  Itulah hakikat seorang cendekiawan muslim". (Ali Syariati, 1988 : 22-23)


Namanya Deng

Oleh : Muhammad Ilham

Namanya Deng Xiao Ping (1904-1997), bertubuh mungil tak sebesar Churchill ataupun Nasser. Ia tak gagah seperti John Fritzgerald Kennedy ataupun kamerad Chou En-Lai yang beralis tebal, apatah lagi bila dibandingkan dengan si flamboyan Soekarno. Selepas Revolusi Kebudayaan yang meluluhlantakkan secara massif pondasi dan kekayaan intelektual China pada masa Mao Ze Dong (Mao Tse Tung), Deng yang selamat dari persaingan politik, mengambil alih kekuasaan politik pasca kematian Mao. Di tangannya, China yang komunis itu, berubah luar biasa. Perkembangan China yang teramat pesat hari ini di bidang ekonomi, bahkan mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (setidaknya dari cadangan devisa yang mereka miliki : 2011 China memiliki cadangan devisa terbesar sepanjang sejarah negara-negara modern), tak terlepas dari "tangan dingin" dan "ucapan inspiring"  yang merubah paradigma pembangunan ekonomi China ..... tanpa meninggalkan ideologi mereka (komunisme).  Sebagai akibat dari kebijaksanaan masa lalu yang salah arah dan peristiwa revolusi, negara China pernah berada dalam kondisi kritis dan ketidakpastian. Namun Negara Tirai Bambu ini sungguh beruntung mempunyai seorang Deng Xiaoping. Tanpa kehadiran Deng,  sulit membayangkan China yang maju sekarang ini.  Deng yakin keberadaan orang-orang yang mempunyai standar hidup lebih baik atau lebih sukses, bisa memotivasi dan menjadi pemicu bagi lainnya untuk lebih berprestasi. Ironisnya dengan sebagian masyarakat kita. Bukannya merasa terdorong untuk maju melihat orang lain lebih sukses, tetapi justru iri, marah, benci dan mengumpat-ngumpat.

Ketika Deng memimpin China, keluar-lah dua kalimat yang terkenal itu :
"Jangan perdebatkan warna kucing, bila ia pandai menangkap tikus ..... pakai !" 
"menjadi kaya itu mulia" (zìfù shì guāngróng)"

Hingga hari ini, dari sepanjang sejarah bangsa yang tidak begitu panjang, "atas nama rakyat" dan "atas nama suara mayoritas", kita masih terus memperdebatkan ideologi ideal bangsa ini, tanpa pernah memberikan bukti sejarah bahwa ideologi-ideologi (politik) tersebut mampu menyejahterakan anak bangsa. 
"Masih berkutat pada debat warna merah, hitam, putih seekor kucing ...... tapi melupakan apakah kucing itu bisa menangkap tikus", setidaknya demikian perumpamaan Deng yang kecil-tambun itu.


Sumber foto : proudchina.com


Beberapa tanggapan/diskusi di Muhammad Ilham Fadli Facebook mengenai topik ini, penulis publish beberapa penggal :

Nico Varnindo Vargas
Kalau begitu bagaimana formula-nya,  perlu langsung mencari tahu semua sepak terjang ekonomi cina yang sebenarnya, apakah benar-benar liberalisme disegala bidang termasuk sektor penting dilepas kepada mekanisme pasar dan sebagainya ? Apakah ada perusahaan cina swasta apalagi asing yang menguasai sektor-sektor sensitif ?

Muhammad Ilham :
entahlah bung Nico,  ilmu saya teramat dangkal dalam bidang ekonomi. Tapi saya hanya berusaha memahami bagaimana pragmatisme-nya kamerad Deng ini, dengan tujuan besar. Ia tak mau tampaknya terlibat intensif dalam hal-hal ideologis.

Nico Varnindo Vargas
Apa tidak ada kaitannya dengani "grand design" yang telah dirancang oleh founding father RRC?,  sebagaimana founding fathers RI. Apa benar setelah Dr. Sun Yat Sen, Mao dan Chiang Kai Sek., ternyata Deng-lah yang membuat formula itu semua ?...seolah setelah Soekarno-Hatta dan lain-lain, ternyata formula politik-ekonomi dst. bagi bangsa indonesia yang sesungguhnya hanya dilakukan dan disebabkan oleh seorang Soeharto ? Mungkinkah Dr. Sun Yat Sen tak sempat merumuskan apa-apa, lalu Chiang Kai Sek yang menggantikannya juga bukan golongan pemikir dan juga berkonflik dengan Mao (komunis)...jika demikian benarlah mungkin deng yang mulai merumuskan semuanya...dan ia hadir setelah mao berlalu, setelah menyaksikan bagaimana negerinya terpuruk oleh banyak konflik diantara para seniornya ?... itulah ia mungkin memformulakan kembali segala hal, seolah-olah ia-lah founding fathers gelombang kedua bagi RRC ?...sepertinya begitu...begitukah ?. Bagaimana dengan RI ?...apa kita setuju rumusan ekonom Soeharto bukan tindakan melanggar kesepakatan pendiri bangsa yang bahkan tampaknya founding fathers RI "jauh lebih maju" dari pendiri cina ?...mengingat Sun Yat Sen hanya bersekolah di Hongkong, sementara pendahulu kita melanglang buana melihat banyak hal di negeri-negeri di Eropa sana ?...sehingga itu sebabnya pasal 33 UUD '45 yang konon kabarnya adalah kesimpulan Bung Hatta setelah melihat ketimpangan2-ketimpangan dan kesenjangan kelas yang terjadi di masyarakat Eropa., kala itu Eropa juga tidak sebaik hari ini. Mmungkinkah yang sesungguhnya terjadi bahwa cina konsisten dengan semua "blueprint" yang dirancang oleh Deng yang berkuasa di tahun 70-an/80-an, sementara kita, kita tidak setuju dengan trickle down effect Soeharto yang juga mulai berkuasa sejak akhir 1960-an., karena yang dikerjakan soeharto menghamba kepada kepentingan asing dan segelintir elit, seolah meneruskan kebiasaan raja-raja di nusantara yang juga menjadi kaki tangan penjajah asing di era kolonial sebelumnya...sementara deng dengan kebijakannya konsisten plus tidak menghamba kepada asing, sesuatu yang seksi di mata wong cilik di belahan dunia manapun, begitukah ?

Muhammad Ilham :
Bung, bisa iya bisa juga tidak. Tidaknya, kamerad Deng justru melihat Mao teramat gandrung dengan aura ideologi-nya (salah satunya : kasus revolusi kebudayaan). Deng melihat (sebagaimana yang pernah diulas TIMES dengan cover dpan Deng Xiao Ping), Mao gagal (diaspora ideiologi mungkin ia berhasil). Blue print Sun Yat Sen justru bukan menjadi patokan utama Mao (kasus : Chiang Kai Sek dengan improvisasi Taiwannya, membuktikan hal ini). Intinya, sebagaimana halnya pepatah Minangkabah "sakali aia mangalia, sakali tapian barubah", Deng ingin menempatkan persoalan ideologis tersebut dalam kerangka landasan-utopia sebuah negara (karena memang ideologi, kecuali agama, umumnya adalah UTOPIA). Karena Deng ingin realistis, nampaknya. "Bukan Warna Kucingnya, tapi kemampuan menangkap Tikusnya". 

Nico Varnindo Vargas
Saya kira yang dilakukan deng sangat dekat dengan apa yang dituliskan oleh founding fathers RI.  Kita mungkin perlu cari tahu misalnya, perusahaan energi dan keuangan di cina, bagaimana komposisi kepemilikan sahamnya. Diatas itu semua, seorang banker Indonesia cabang Shanghai pernah sharing bahwa cina punya kebijakan tegas....yang intinya, (bisnis) apapun yang ada dibawah langit negeri Tiongkok itu harus tunduk kepada apapun yang diatur oleh pemerintah negara tersebut. jJdi memang keberpihakan pemerintahnya kepada isu kepentingan nasional tetap nomor satu, apa yang lazim di Eropa Amerika bisa tidak berlaku di negeri itu, jika itu bertentangan dengan kepentingan nasional RRC.  Apalagi jika kita telusuri semua perusahaan BUMN Cina tetap di kuasai pemerintah Cina, perusahaan milik swasta jika sahamnya dikuasai investor asing pun, apalagi jika tidak, tetap tunduk pada semua yang diatur oleh pemerintah Cina... kalau tidak mau silahkan angkat kaki, kita bisa lihat contohnya polemik perusahaan IT dari USA (google) yang sempat berpolemik di cina beberapa waktu lalu...dan pada akhirnya perusahaan IT lainnya seperti twitter beberapa waktu lalu juga mengumumkan kebijakan mereka yang intinya tidak akan menyamaratakan perlakuan bisnis mereka sama di seluruh dunia, dengan kata lain mereka tunduk kepada peraturan tegas di negara-negara tertentu, seperti China, ya negeri tirai bambu itu tahu betul siapa yang butuh siapa. Bedanya pragmatis kamerad Deng dituntaskan hingga ke level detail dibawah, ditindaklanjuti dan konsisten...sementara utopia founding fathers kita tidak sampai detail diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari bahkan kebanyakan rakyat juga tidak paham, apa saja misalnya sektor yang dimaksud oleh pasal 33 UUD' 45 tersebut, apalagi mau menindaklanjutinya ?... pekerjaan rumah untuk menuntaskan apa yang belum sempat disempurnakan para pendahulu ada ditangan generasi hari ini.

Politik (yang) Bermartabat

Ditulis ulang : Muhammad Ilham   

Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik: Niccolo Machiavelli. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” demikian tulisnya, ”tidak dapat disebut kegagahan.  Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan. Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis. Patut disesalkan bahwa dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah” cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat kita. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa. Di tengah situasi macam itu, sosok IJ Kasimo, salah seorang tokoh pergerakan kemerdekaan RI, menginspirasi kita tentang politik yang bermartabat. 

Lazimnya martabat dimengerti dengan pemilikan status, gengsi, dan aset-aset. Berapa rumahnya, mobilnya, gelarnya, gajinya, dan seterusnya? Tidak atau kurang mempunyai hal-hal itu adalah tidak atau kurang bermartabat, maka juga kurang disegani dan seolah tanpa busana. Selama dikaitkan dengan pemilikan material macam itu, martabat disempitkan menjadi kekuasaan atau bahkan kekerasan belaka. Ada jiwa kerdil yang bersembunyi di belakang segala lencananya. Keterlibatan IJ Kasimo dalam politik menunjukkan hal berbeda. Martabat dalam politik tak semata-mata terletak pada status atau atribut sang pemimpin, tetapi pada keagungan sikapnya. Keagungan itu menyembul keluar dari kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan karakternya. Karakter kepemimpinan seperti ini nyaris punah dalam masyarakat kita ditelan gelombang konsumtivisme dan oportunisme.

Tantangan besar yang pasti akan menggerogoti martabat seorang pemimpin adalah korupsi. Mari kita dengar lagi nasihat orang yang kerap dihubungkan dengan kebengisan itu. ”Jika perlu menghabisi nyawa seseorang,” begitu tulis Machiavelli, ”lakukan itu, asal alasannya jelas. Namun, terutama seorang pemimpin tak boleh mencuri harta rakyatnya karena manusia lebih mudah melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.” Dalam takaran Machiavelli, kebengisan plus keadilan membuat pemimpin ditakuti dan dihormati, tetapi mencuri kas rakyat atau menyentuh istri mereka adalah tindakan keparat memalukan. Mengapa korupsi melaknatkan politik seorang pemimpin? Pertama, pencuri kas rakyat itu adalah juga penjual keputusan, padahal dengan menjual keputusannya, politik sang pemimpin menjadi olok-olok para penyogok dan penjilat. Uang menjadi berdaulat, sedangkan keputusannya tidak. Kedua, politik yang kehilangan martabatnya sebagai tindak otentik kedaulatan itu sekarang terjebak menjadi mangsa pasar kekuasaan. Ketika politik berubah menjadi komoditas, harga diri pemimpin tidak diperlukan lagi karena yang terpenting bukan dirinya, tetapi harga keputusannya. Karena itulah, Machiavelli tidak pantang kebengisan—asal plus harga diri—karena kebengisan bisa menampilkan karakter dan kedaulatan, sementara korupsi menggilas habis karakter kepemimpinan. 

Tentu Machiavelli berat sebelah dengan anggapan bahwa martabat politik hanya terletak pada kedaulatan pemimpin. Jika kita mengatakan bahwa politik seseorang bermartabat, yang dimaksud bukan hanya bahwa keputusannya tidak bisa dibeli, melainkan juga bahwa ia memiliki keutamaan yang membangun kehidupan bersama, seperti keadilan, kearifan, dan solidaritas sosial. Mengacu pada Aristoteles, politik yang bermartabat itu mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat dan menghasilkan hukumnya sendiri. Itulah hidup yang baik. Manusia menjalani hidup belaka apabila tidak ada hukum yang melindunginya, tanpa hak dan tanpa martabat, sehingga ia secara konstan berada dalam keadaan darurat. Di mana kita dapat menemukan manusia yang menjalani hidup belaka? Hannah Arendt menunjuk pada kamp konsentrasi Nazi. Giorgio Agamben menunjuk pada penjara Amerika Serikat di Teluk Guantanamo. Di tempat-tempat itu manusia memasuki zona tanpa hukum dan menjadi obyek permainan kekuasaan belaka. Tak terlindung hukum, tahanan boleh dibunuh tanpa alasan. Baik hidup publik maupun privat para tahanan itu dirampas dari mereka. Yang mereka miliki hanya hidup belaka. Mereka diempaskan ke dalam keadaan darurat yang konstan. 

Dalam kadar berbeda-beda, hidup belaka dijalani oleh penduduk di tanah-tanah jajahan, pengungsi, minoritas yang didiskriminasikan, korban pelanggaran HAM, serta mereka yang hak-haknya diabaikan dan menjadi permainan kekuasaan. Kehidupan kaum marjinal menyingkapkan kepada kita bahwa keadaan darurat telah jadi aturan harian bagi mereka. Namun, hidup belaka yang mereka jalani tidak ada secara alamiah. Hal itu adalah hasil praktik-praktik politik suatu rezim yang mengubah politik menjadi sekadar alat kesintasan. Ketika keputusan pemimpin diperjualbelikan, bukan hanya pemimpin itu sendiri kehilangan martabatnya dengan berubah menjadi komoditas. Ruang yang menganga di antara dirinya dan rakyat yang menerima keputusannya dengan serta-merta berubah menjadi zona vakum hukum yang mengempaskan rakyat ke dalam hidup belaka. Zona itulah tempat yang sangat rentan untuk kesewenangan permainan kekuasaan. Percaloan, mafia, dan premanisme yang merajalela di birokrasi, peradilan, dan parlemen melemparkan rakyat ke dalam keadaan darurat yang konstan. Wajah mereka kita saksikan di mana-mana. Suatu politik yang bermartabat menyangkut upaya-upaya penuh keutamaan untuk mengubah hidup belaka menjadi hidup yang baik. 

Kita boleh mengatakan bahwa para tokoh pergerakan kemerdekaan kita, antara lain IJ Kasimo, mempraktikkan tindakan kepemimpinan yang bermartabat, yakni pantang menjual keputusan mereka kepada pihak mana pun. Perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah suatu upaya politis untuk memartabatkan rakyat, yaitu mengubah nasib rakyat dari hidup belaka menjadi hidup yang baik. Di zaman kita, ketika keputusan para pejabat publik dijualbelikan dan banyak anggota masyarakat kita menjalani hidup belaka karena menjadi permainan kekuasaan, contoh politik berintegritas, berkarakter, dan prorakyat yang memancar dari tokoh seperti Kasimo menjadi normatif. Hanya politik yang memartabatkan rakyat yang boleh disebut bermartabat. Sebaliknya, untuk praktik-praktik politis yang tanpa malu lagi merampas atau mengabaikan hak-hak rakyat demi kepentingan sendiri, yaitu politik yang menjerumuskan rakyat ke dalam hidup belaka, tidak ada sebutan lain selain—maaf, agak kasar—politik keparat para bajingan yang lemah karakter. Politik macam itu bahkan kiranya akan dicibir oleh Machiavelli sebagai tidak gagah. 

Sumber : diedit dari (c) F. Hardiman,  Kompas, 15 Oktober 2010
Foto : www.google.picture.com

Sabtu, 07 April 2012

Mencintai Indonesia


Sebenarnya, teramat mudah untuk mencintai Indonesia



siang itu
di bulan agustus
tunas-tunas muda
sedang belajar mencintai Indonesia
dengan sederhana 


Arab Spring




Setelah mereka, siapakah (lagi) yang akan menyusul ?
Basheer al-Assaad-kah, atau para raja monarki absolut di negara-negara teluk kaya minyak ?

Sumber foto : times.cm

Tidak Perlu Ditanyakan, Apakah Sri Mulyani Siap Menjadi Presiden RI 2014

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Beberapa nama sudah muncul lewat berita dan buku. Mari kita mulai tampilkan secara singkat mereka yang mudah dijangkau tanpa perjanjian untuk bertemu sebelumnya. Dua nama yang bisa dijangkau lewat handphone dan BBM (Blackberry Messenger) Senin (26/3) kemarin adalah Sri Mulyani dan Hatta Rajasa. Kedua tokoh ini telah muncul lewat buku yang dijajakan di berbagai toko buku, antara lain di Gramedia. Kini sedang terpampang buku berjudul Sri Mulyani for President 2014 dan HR Harapan Rakyat. Tentang Sri Mulyani Indrawati (SMI), mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar, antara  lain mengatakan, "Tidak perlu ditanyakan, apakah SMI siap menjadi Presiden RI 2014."

"Yang menjadi pertanyaan dan tantangan sekarang, apakah pemilih kita, baik pemilih lama dan terutama pemilih baru, ingin memasang standar kualitas setinggi SMI. Harapan masyarakat yang belum masuk kubu politik pragmatis, nama SMI menjadi panggilan untuk sekali lagi mencoba mencapai reformasi kehidupan publik di Indonesia melalui cara yang demokratis dan damai, "ujar Wimar dalam pengantar buku itu.



Sumber : Harian Kompas/27 Maret 2012

Jumat, 06 April 2012

Bonus Bagi Israel : Isu Mazhab di Syiria

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Dina Yulianti

Menganalisis Syria, buat sebagian orang, termasuk saya, terasa agak sensitif. Aroma mazhab menguar dengan kental, sehingga seolah-olah publik dipecah dua. Pendukung Syria diidentikkan dengan orang-orang Syiah, seolah-olah Bashar Assad adalah penganut Syiah yang taat dan harus dibela habis-habisan. Padahal, faktanya Assad adalah pemimpin yang sekuler. Dia penganut Syiah Alawi, mazhab yang berbeda jauh dengan Syiah ala Iran yang sangat patuh pada garis komando ulama. Jadi, Assad bukanlah pendukung Wilayatul Faqih (pemerintahan ulama di Iran). Fakta bahwa Syria berhubungan baik dengan Iran lebih ke faktor geopolitik, bukan mazhab. Sebaliknya, orang-orang Sunni lebih cenderung percaya pada pemberitaan betapa kejamnya Bashar Assad yang tega membunuhi rakyat sendiri, terutama membunuhi para aktivis Islam non-Syiah. Bahkan ada yang menilai Assad itu lebih kejam dari Israel. Pertanyaan saya, mengapa kaum muslimin tidak keluar dari pengotak-kotakan seperti ini? Konflik di Syria sangat jelas, bukan konflik antarmazhab. Lalu mengapa publik harus berpihak pada salah satu pihak dengan landasan mazhab? Situasi perpecahan seperti inilah yang justru menjadi bonus buat Barat. Mereka ingin menggulingkan Assad demi kepentingan mereka. Namun, kekuatan propaganda mereka telah memberi keuntungan lain: semakin terpecahnya umat Islam. Alih-alih berdiri di barisan yang sama untuk menentang satu musuh bersama: aliansi AS-Israel-NATO, umat Islam malah saling tuduh. 

Saya ingin mengutip satu dari sekian banyak analisis yang ditulis pengamat Barat anti-perang. Mereka ini dengan jernih berusaha mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di Syria, lepas dari urusan agama. Prof. Michel Chossudovsky adalah salah seorang pengamat politik Timur Tengah yang aktif menulis tentang Syria. Motivasinya sederhana saja: mencegah perang, karena perang hanya akan merugikan warga dunia pada umumnya. Perang hanya menguntungkan segelintir elit politik dan para industrialis perang (penyedia senjata, juragan minyak, dll). Dalam tulisannya ‘Syria: NATO’s Next Humanitarian War’, Chossudovsky mengkompilasi data-data yang dia dapatkan dari sumber-sumber Barat sendiri, yang membuktikan bahwa kerusuhan di Syria (yang disebut media Barat sebagai ‘gerakan protes damai’) adalah sebuah rekyasa yang dilaksanakan sejak lama oleh aliansi AS-NATO- Israel (apa tujuannya, bisa dibaca di tulisan saya sebelumnya “Syria: Prahara di Negeri Pengungsi”). Menurut Chossudovsky, aksi ‘protes’ di Syria tidak lahir dari perpecahan politik internal sebagaimana dideskripsikan oleh media mainstream media. Memang benar, Syria bukan negara surga di mana semua rakyatnya berada di satu kubu. Namun, kekuatan oposisi tidaklah mengakar luas di tengah rakyat sampai-sampai mampu memicu kerusuhan besar-besaran. Sejak awalnya, ini adalah hasil dari sebuah operasi rahasia intelijen AS dan NATO yang bertujuan untuk memicu kekacauan sosial dan mendestabilisasi Syria. 

Chossudovsy menulis, sejak pertengahan Maret 2011, kelompok-kelompok Islamis bersenjata yang secara rahasia didukung oleh intel Barat dan Israel, mulai melakukan serangan-serangan terorisme, menembaki gedung-gedung pemerintahan, polisi, dan masyarakat sipil. Hal inilah yang kemudian juga diakui oleh Clinton dalam wawancaranya dengan BBC: Al Qaeda berada di balik serangan-serangan itu; dan ini menunjukkan absurditas kondisi di Syria, bahkan AS bersedia bekerjasama dengan Al Qaeda demi melengserkan Assad. Chossudovsky menyandarkan bukti dari pernyataannya ini pada laporan dari the Arab League Observer Mission. Selain itu, pemberitaan-pemberitaan dari media massa Barat sendiri menyinggung tentang kehadiran M16 (Dinas Rahasia Inggris) dan CIA di Syria. Misalnya Daily Star melaporkan bahwa AS, Inggris, dan Turki mensuplai para pemberontak dengan senjata, dan menyatakan bahwa ‘Syria mendukung Hizbullah dan hal ini mengancam Timur Tengah.” Harian ini juga melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Inggris mengkonfirmasi bahwa Inggris tengah menyusun rencana rahasia untuk memberlakukan no-fly-zone di Syria, namun perlu dukungan dari PBB. Tapi bila dukungan PBB tidak juga didapat, akan ada kondisi yang memaksa NATO bertindak. Daily Star juga mengutip narasumbernya yang memprediksi bahwa bahwa pertempuran di Syria akan lebih besar dan lebih berdarah daripada Libya. Kini mari kita lihat sekilas apa yang ditulis jurnalis independen, Thierry Meyssan, yang sebelumnya aktif meliput langsung ke berbagai kawasan konflik dan memberikan laporan yang berbeda dengan media mainstream (misalnya, kisruh pemilu Iran tahun 2009, Meyssan melaporkan langsung situasinya dari Tehran dan menunjukkan berbagai kebohongan media mainstream, begitu pula konflik di Libya). Dalam laporan panjang di websitenya(www.voltairenet.com) , Meyssan menganalisis berbagai kebohongan yang dilakukan media mainstream.  

Meyssan antara lain melaporkan bahwa dengan dukungan Rusia, tentara nasional Syria akhirnya menyerbu Homs pada 9 Februari, setelah semua upaya mediasi dengan pasukan pemberontak (yang menamakan diri Free Syrian Army/FSA) gagal dilakukan. FSA akhirnya kalah dan mundur ke wilayah Emirat seluas 40 hektar yang langsung dikepung oleh tentara nasional, sampai akhirnya wilayah itu pun berhasil direbut tentara nasional pada tanggal 1 Maret. Namun ada yang tidak diberitakan media mainstream tentang kejadian di Emirat: pasukan FSA membantai orang-orang Kristen di dua desa, saat para mereka berupaya melarikan diri ke Lebanon. Alih-alih memberitakan realitas keji di Emirat, media mainstream malah terus menyebarluaskan kisah-kisah tentang kekejaman pasukan Assad kepada rakyatnya. Dan sebagaimana yang dulu terjadi dalam kasus Iran dan Libya, media-media yang bekerjasama bahu-membahu dalam propaganda ini adalah Aljazeera (Qatar), Al-Arabiya (Saudi Arabia), France24 (France), BBC (UK) and CNN (USA). Meyssan menyebut kesemuanya berada di bawah koordinasi dengan jurnalis Israeli. Lalu, ada laporan lagi yang cukup membuat heboh dunia maya akhir-akhir ini, yaitu terbongkarnya video palsu soal kerusuhan di Syria, dilakukan oleh Danny Abdul Dayem (22 tahun, warga Suriah-Inggris). Dia bekerja sama Anderson Cooper dari CNN Amerika. Parahnya, video palsu yang menggunakan efek suara-suara bom dan letusan senjata, seolah-olah para aktivis sedang dibantai tentara nasional Syria itu, disebarluaskan juga oleh media mainstream. 

Ada satu fakta menarik yang dilaporkan Meyssan dalam salah satu tulisannya, yaitu ternyata pemimpin FSA (=Pasukan Pembebasan Syria) adalah Aldel Hakim Belhaj. Siapa Belhaj? Dia adalah pemimpin Al Qaeda legendaris di Libya, menjabat sebagai Gubernur Militer di Tripoli. Temuan Meyssan ini sejalan dengan penemuan Chossudovsky (dan kemudian juga diakui terang-terangan oleh Menlu AS, Clinton, bahwa Al Qaeda berada di tengah-tengah para pemberontak Syria). Ada banyak lagi kejanggalan yang bisa ditemukan dalam konflik Syria, yang tidak perlu berkaitan dengan agama dan mazhab. Intinya, konflik Syria adalah sebuah rekayasa dari AS, NATO, dan Israel. Terlalu naif bila ada yang mengatakan bahwa mereka sedang berusaha menggulingkan Assad untuk membantu rakyat Syria yang tertindas. Ini adalah cerita lama yang berulang. Assad tidak pro Israel, mendukung Hizbullah dan Hamas, dan berbaik-baik dengan Iran. Semua faktor ini menjadi penghalang bagi ambisi Israel untuk menguasai Timur Tengah. Saat ini umat Islam menghadapi musuh yang sama dengan Assad, yaitu Israel. Sayang sekali, umat Islam justru sibuk saling tuduh dan tidak mau satu suara; hanya karena termakan propaganda media Barat. Bukan hanya rakyat awam. Sebagian pemimpin negara-negara Islam pun ramai-ramai mendukung Barat untuk menggulingkan Assad. Dan Israel pun tertawa, karena upayanya menggulingkan Assad berbuah bonus: perpecahan di kalangan muslim. Terakhir, apa untungnya buat kita orang Indonesia mengamati kasus Syria? Silahkan membaca berbagai analisis yang menyebutkan bahwa skenario disintegrasi di Syria (dan Libya) sesungguhnya sedikit demi sedikit sedang diimplementasikan di Indonesia. Kecerdasan untuk melihat siapa musuh, siapa kawan, akan sangat bermanfaat bila kita tidak ingin negeri kita sendiri kelak hancur lebur seperti Syria atau Libya.

Sumber Foto : ABCNews.com

Erdogan & Erbakan

Recep Toyip Erdogan... Perdana Menteri Turki yang merupakan "murid" Necmettin Erbakan (alm.) memberikan komentar pedas terhadap invasi Arab Saudi ke Bahrain yang dilanda "demam revolusi" ...... Pihak kami, kata Erdogan, sangatlah jelas bahwa kami bukan berpihak pada sumur-sumur minyak. Kami berpihak pada rakyat, demokrasi, perdamaian dan persaudaraan." Ia menambahkan, " Kami tidak akan terjebak dalam kubangan para pedagang senjata. Kami meneriakkan; Wahai saudara janganlah bunuh saudara lain!!!". Dan rakyat Bahrain banyak yang "terkulai" serta "terbang" oleh senjata militer Arab Saudi, saudara seiman mereka !. Bukan oleh NATO seperti di Libya !


Erdogan dan istri


Mungkin Kita Masih Ingat tentang Necmetin Erbakan. Ia Wafat dalam usia 85 tahun. Perdana Menteri Turki pertama dari partai berhaluan Islam - Partai Kesejahteraan. Mentor Politik politik bagi Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki sekarang dan Presiden Turki, Abdullah Gull. Profesor dalam bidang mekanika yang oleh para pengikutnya dikenal dengan sebutan Hodja atau guru ini menjadi perdana menteri selama satu tahun sampai 1997 ketika ia dipaksa mundur oleh angkatan bersenjata Turki yang berhaluan sekuler garis keras.

 
Erdogan dan Erbakan

Dr. NECMETTIN (Najmuddin) Erbakan (29 Oktober 1926 – 27 Februari 2011) bersama dengan Recep Tayyib Erdogan, PM Turki Sekarang. Bagaimanapun jua, "naiknya" Erbakan pada tahun 1996 di Turki melalui Partai Kesejahteraan sebagai Perdana Menteri, menjadi inspirasi yang mencerahkan bagi negara lain, hingga sekarang, dalam menghadapi Kemalisme/Sekularisme garis keras.

 

Sumber foto : cnn.com

Feodalisme a-la Megawati

Oleh : Muhammad Ilham 

Ketika kasus Nazaruddin mulai mencuat, saya tidak percaya seorang Anas Urbaningrum terlibat. Bagaimana pun, latar belakang Anas adalah seorang aktivis-intelek. Partai Demokrat juga partai pertamanya. Mana mungkin dalam tempo waktu 5 tahun bisa mengubah Anas sedemikian jauh. Tatkala Anas mati-matian membela bendaharanya itu saya juga maklum. Nazar anggota Tim Suksesnya sewaktu Kongres Partai Demokrat 2010 lalu. Sudah sewajarnya dibela meskipun tahu ada indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan Nazar. Ruhut Sitompul, Bhatoegana, Saan Mustofa juga melakukan hal yang sama terhadap teman “faksi” mereka itu. Tapi, pernyataan Nazar kemarin kalau dicermati sungguh luar biasa mengerikannya. Khususnya betapa besar biaya untuk menggolkan Anas pada kongres tahun lalu. Dua puluh juta dollar! Sebegitu besarkah uang untuk sebuah kursi ketua umum partai penguasa? Lagipula, Anas bukanlah seorang pengusaha beken seperti halnya Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kedua orang ini konon menghabiskan uang ratusan miliar di Munas Golkar tahun 2009 lalu. Tapi Anas? Peluru yang ditembakkan Nazar kemarin mulai membukakan mata saya betapa parpol adalah cerminan dari kegagalan demokrasi di Indonesia. Katanya parpol itu adalah pilar demokrasi, kalau tidak ada parpol belum demokrasilah sebuah negara. Lewat parpol suara rakyat (demos) dilembagakan. Dengan demikian, demokratis tidaknya sebuah negara ditandai lewat demokrasi dalam parpol itu sendiri. Parpol yang demokratis pasti memilih wakil rakyat yang tepat berdasarkan kualitas. Jadi bukan cara-cara feodal dan nepotis di mana orang-orang dekat saja yang terpilih. Untuk menjamin hal itu, proses pemilihan para pengurus juga harus demokratis. 

Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya. Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama. Tinggalah siapa beri lebih tinggi dia yang dapat suara.    Karena dasarnya uang, manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers. Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati “orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk menjadi raja capres di tahun 2014 nanti.  Tapi paling tidak kita bisa melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah. Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan PKS hampir sama polanya.  Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural. 

Mereka haus kekuasaan juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis. Mungkin, demokrasi di negeri ini masih jauh realita dari cita. Semua serba paradoks. Yang satu nampak demokratis meski penuh intrik; sedang yang lain hadirkan ketenteraman walau feodal. Semoga yang dikatakan Nazar itu salah adanya… ! 

Referensi : diskusi antar blogger di kompasiana/c. s. saragih

Minggu, 01 April 2012

Nasib Kelompok Mayoritas

Oleh : Muhammad Ilham

Islam terlahir dan ditakdirkan untuk dicurigai !
("tangisan" Muhammad Iqbal, Javid Namah)

/Bulan yang bundar/melukis denah masa depan/tombak dan bunga/berdampingan bagai mempelai/
(Zawawi Imron)

Ibarat kue lapis yang berlapis-lapis, maka proses kedatangan Islam di Indonesia juga berlapis-lapis. Pada lapisan pertama, Islam "datang" melalui pedagang-pedagang. Sedangkan pada lapisan kedua, ditandai adanya sebuah eksistensi politis yang bernama kerajaan seperti di Sumatera Utara - Aceh. Pada lapisan ketiga, perkembangan Islam demikian cepat sebagai bentuk kompetisi dengan Kristen. Sejarah "sepakat" dalam lapisan ketiga ini, persaingan ini dimenangkan oleh Islam. Dalam lapisan ini VOC (Vereeniging de Oost Companig) yang diistilahkan sebagai "negara berjalan" itu ada dan mendirikan Hindia Belanda. Tapi daerah-daerah pinggiran pantai tetap berada dalam kekuasaan orang Islam. Peristiwa demi peristiwa dalam lapisan ketiga ini, tidak bisa dilupakan oleh orang Kristen. Pada lapisan ini pula, usaha Kristenisasi di daerah Jawa dan Indonesia Timur berjalan dengan massif. Persaingan tak terhindarkan. Setidaknya demikian yang terlihat dari berbagai konflik dan perlawanan rakyat daerah vis a vis VOC yang terjadi, nuansa menghadapkan Islam dan Kristen tak terhindarkan.

Sejak lapisan ketiga ini, persaingan terus berlanjut. Dalam masa pergerakan, muncul perdebatan-perdebatan tentang bentuk ideal sebuah negara yang di"imajinasi"kan. Sebagian (mayoritas) berkeinginan mendirikan negara diatas landasan Islam republik, padasisi lain menginginkan bentuk negara nasional. Sejarah kemudian mencatat, bagaimana ini terefleksi dari perdebatan-perdebatan monumental antara Soekarno dengan Mohammad Natsir. Perdebatan yang bersumbu pada Mukaddimah UUD atau biasa dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta yang hingga hari ini begitu disesali sebagian ummat Islam Indonesia. Penyesalan terhadap sebuah - dalam bahasa Taufik Abdullah (1999) - kompromi antara negara nasionalis dengan moral religius yang tertulis dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan bentuk "ketakutan" sebagian kalangan akan Islam politik.

Dalam perkembangan sejarah berikutnya, beberapa gerakan perlawanan terhadap entitas sah negara-bangsa Indonesia terjadi satu per satu. Darul Islam-nya Kartosuwiryo berdiri di Jawa Barat. Kehadiran Darul Islam, sebagaimana yang ditulis Al-Chaidar (2002), menimbulkan mitos bahwa seolah-olah Islam di Indonesia adalah entitas yang menakutkan dan militan. Sebuah generalisasi yang pada hakikatnya terus berkembang hingga masa kini. Padahal Islam di Indonesiaitu tidaklah monolitik. Islam di Indonesia itu bukan hanya tipikal Darul Islam dengan NII-nya itu saja. Islam di Indonesia ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, ada Perti dan seterusnya. Ketakutan akan militansi Islam ini terus ter/dijaga. Seluruh idiom ataupun labelisasi yang berkaitan dengan Islam di Indonesia, selalu dipandang dengan "curiga". Lihatlah ketika istilah "Kebangkitan Islam" diperkenalkan. Istilah ini juga dilihat sebagai gerakan yang perlu dicurigai, setidaknya demikian yang terasa di akhir rezim Orde Baru. Padahal gerakan kebangkitan Islam ini, merupakan gerakan internasional. Tapi, tetap saja sebagian kalangan merasa takut, terutama dari entitas Kristen Indonesia.

Sejak lapisan ketiga hingga terus terbentuknya republik ini, ketakutan akan Islam politik terus terbina. Pada masa Orde Baru, "cita rasa"nya terasa dengan kental. Orde Baru dipenuhi oleh jargon-jargon politis yang ingin menyampaikan kepada publik bahwa Islam politik pantas untuk "dicurigai". Jargon kanan untuk memetakan Islam, sementara jargon kiri untuk PKI. Bagaimanapun juga, jargon ini merupakan salah satu bentuk grand design kelompok-kelompok non-Islam yang mencurigai kebangkitan Islam politik. Militansi beberapa kelompok Islam masa Orde Lama dijadikan sebagai landasan historis untuk pembenaran, tanpa melihat bahwa entitas Islam Indonesia bukan hanya kelompok garis keras itu saja. Di saat-sata akhir kekuasaan Soeharto, jargon baru dalam ranah politik Indonesia - ijo royo-royo. Refleksi mendekatnya Soeharto dengan Islam, dalam bahasa Emha Ainun Nadjid, religiusitas politik Soeharto. Kondisi ini membuat kelompok Kristen menjadi takut, seakan-akan Islam bagian dari establishment yang otoriter.

Sejarawan Taufik Abdullah suatu ketika pernah menyatakan bahwa itulah nasib dari orang yang mayoritas. Walau berwajah baik, selalu dicurigai. Orang Jawa yang secara demografis dan politis lebih mayoritas, selalu di ejek oleh orang luar Jawa dan seterusnya. Padahal, kata Taufik Abdullah, kalau orang itu sadar dengan keminoritasannya, tentu mereka tidaklah perlu takut pada mayoritas. Dalam ranah psikologi dikenal istilah inferiorityof minority. Ketakutan akan Islam politik lebih disebabkan pada perasaan kurang percaya diri kelompok minoritas. Karena itu, kata kunci yang perlu ditumbuhkembangkan adalah minoritas yang percaya diri, mereka tidak akan takut terhadap mayoritas. Kalangan minoritas Indonesia tidak akan mencurigai Islam politik. Walau gerakan-gerakan Islam garis keras mulai "menaik" di Indonesia pasca Orde Baru, usaha-usaha penghilangan kesan Islam yang "menakutkan", rasanya tidak perlu. Makin diusahakan, akan makin dicurigai. Samalah dengan infotainment, semakin artis tersebut diperbincangkan, mungkin artis itu akan semakin populer dan dicurigai. Biarlah berjalan dengan alamiah.

Persoalannya bukan terletak pada golongan mayoritas, tapi pada golongan minoritas. Islam itu biasa-biasa saja, apalagi Islam di Indonesia yang tidak monolitik. Coba lihat, bagaimana sikap politik antara orang NU dengan Muhammadiyah, antara Al-Washliyah dengan Perti - mereka tidak akan pernah sama. NU dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Said Agil Siradj saja, berbeda dalam menyikapi gaya politik SBY. Analisis saja, Muhammadiyah di bawah Dien Syamsuddin dengan Muhammadiyah di bawah Syafii Ma'arif mensikapi perkembangan politik Indonesia, pasti beda. Tapi itu tadi, setiap orang Islam membicarakan masalah politik, selalu merasa menakutkan. Padahal, sebagaimana yang diungkapkan group hip hop Saykoji, "Islam itu indah, Islam itu ramah. Wallahu 'alam bis shawab !.

Pancasila Itu Mulai Dipenggal



Sumber Foto: sindo.com

Pemberontakkah Syafruddin Prawiranegara ?

Oleh : Muhammad Ilham

Pemberontakkah Syafruddin Prawiranegara ? ...... Kalau kita katakan IYA, salahkah ? Beliau yang punya integritas ini, merupakan salah satu "founding father" PRRI. Fakta itu tak bisa dipungkiri. Ibarat Amir Syarifuddin yang juga memberontak dengan "PKI Madiun 1948"-nya, Soumokil dengan RMS ataupun Kahar Muzakkar bersama Permestanya, atau yang lebih kontemporer, Hasan Tiro melalui GAM. Nantilah kita bicara mengenai latar belakang memberontak sebagai bentuk koreksi-kritik daerah terhadap pusat. Pemberontak harus terlebih dahulu kita akui, dalam perspektif apapun jua.

Lalu mengapa Syafruddin Prawiranegara jadi Pahlawan ? ...... Pantas !!

Disini letak BEDA Syafruddin Prawiranegara dengan Kahar Muzakkar, Amir Syafruddin, Soumokil ataupun Hassan Tiro. Jasa Syafruddin begitu besar terhadap Republik ini (PDRI, salah satu contohnya), dibandingkan "cacat historisnya". Buktinya, gelar Pahlawan bagi ayah Farid Prawiranegara ini adalah refleksi bagaimana bangsa ini tak bisa menutup mata pada jasa-jasanya, walaupun cacatnya ada.  Disinilah letak kelebihan Syafruddin bila dibandingkan trokoh-tokoh yang lain. Labelnya sebagai pemberontak, seharusnya tidak ditutup-tutupi, tapi harus diketengahkan untuk mengajarkan kepada anak bangsa dan sejarah masa depan bahwa Pahlawan itu adalah AKUMULASI KUNTITATIF KEHIDUPAN, bukan karena jasa sesaat !!

Sang Ayah : "Rendah Diri adalah Penyakit Iblis"

Oleh : Muhammad Ilham

Almarhum Ayanda Terkasih, FADLI al-MATHURIDI Nasution. 1939 beliau lahir, 2005 "dipanggil" Tuhan setelah 10 tahun melalui TES Ketabahan, Stroke. Seorang Soekarnois militant, tapi pendukung fanatik PPP (hahaha, ambigiu). Penyuka Rokok KAISER Produksi Pematang Siantar, rasa ROTI GABUS, katanya ketika suatu waktu dahulunya saya tanya. Menjadi Ketua Pemuda Marhaenis Kota Medan 1964-1966, tampilan dasarnya sangat Parlente. "Ayah mirip gabungan Raaj Kapoor dan Eric Estrada", kata beliau dahulu pada saya, kala kami berdua sama-sama menonton film CHIP's di kedai kampung. Belakangan saya memahami, warna kulit Eric Estrada yang diambilnya. Ia-lah guru saya pertama "mencicipi" bagaimana enaknya Teh Telur. Mengajarkan pada saya mandi pagi pukul 5 dinihari untuk seterusnya melangkah menuju masjid. Berdiskusi setiap pagi tentang tokoh besar dunia, menjelang saya berangkat sekolah di SD tepi laut, dekat benteng "tinggalan" Oveerste Raaft masa Imam Bonjol. Yang selalu memuji saya dengan pujian "BUJANG GAGAH AYAH" selepas UMAK meminyaki rambut saya dengan kemiri dan membedaki Bedak VIVA warna merah bata di sekujur muka. Kemiri dan VIVA yang dibeli di toke Cina bernama Liem She Kiat. Ketika ia mendirikan perusahaannya (halah ! ... hehehe), ia beri nama "MELARAT TAILOR". Ia bos, merangkap anak buah. Nasehat terbaik-nya yang saya pegang : "Rendah Diri adalah Penyakit Iblis".  
Bulan ini, 7 tahun yang lalu, beliau mengikuti jejak "kekasih tercintanya" ... UMAK, Nurlian suku Jambak, putri lugu Ibnu Fudhail, seorang juragan karet kelas kampung yang dulunya konon suka pakai pentalon putih dan sepeda onthel. Sekarang, kuburan mereka berdua berdampingan. Sangat dekat. 5 Putaran Waktu, do'a buat mereka !.


Pram dengan Satu Batang Rokok

Oleh : Muhammad Ilham

Kala awal kuliah tahun 1993, nama Pram bagi saya adalah ...sesuatu yang "asing". Sampai suatu masa kala Tetralogi nya yang terkenal itu saya baca (yang saya beli dengan gaji satu bulan dari profesi mulia saya ketika mahasiswa .... gharin masjid) hingga puluhan kali. Sebuah mahakarya novel sejarah (Tetralogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca), yang hingga hari ini sulit saya cari tandingannya, setidaknya bagi saya. Panggil Saya Kartini, Arus Balik dan Gadis Pantai serta Arok Dedes, adalah empat buah novel karya Pram yang memberikan pada saya kontribusi untuk memahami sebuah "ketidaknyambungan" beberapa peristiwa sejarah. Mungkin bahan bacaan saya terlampau miskin. Tapi entahlah, saya coba membaca beberapa karya sastrawan lainnya, Mochtar Lubis dengan Harimau-Harimau-nya itu dan yang lainnya, namun - sekali lagi, subjektifitas saya mengatakan, Pram memang aduhai. Sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam diskusi via facebook dengan beberapa kawan yang concern dengan sejarah dan susastra, Pramoedya Ananta Toer mendapat tempat yang begitu hangat. Membicarakannya, seperti membicarakan Ayatullah Khomeini dan Che Guevara, atau Soekarno dan Ho Chi Minh. Membincangkan Pram seperti menimbulkan "kegairahan puitis" kala menelaah karya-karya Raja Ali Haji atau Amir Hamzah, bisa jadi seindah Chairil Anwar. Selalu aktual.  

Pukul 08.55 tanggal 30 April 2006 di usianya yang ke-81 tahun, ia menemui ajalnya. Konon, dalam sakitnya, bibir Pram selalu diselipkan "satu batang rokok".

Change

Most people want to change the world
                                                            Few want to change themselves.... !                                                         (Gabriel Marcia-Marques, 2008)

Sumber gambar : www.didactic.aus