Kamis, 29 Maret 2012

Mameluk Si Tentara Budak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
 
Mamluk atau Mameluk (Bahasa Arab:مملوك, mamlūk (tunggal), مماليك, mamālīk (jamak)) adalah tentara budak yang telah memeluk Islam dan berdinas untuk khalifah Islam dan Kesultanan Ayyubi pada Abad Pertengahan. Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir.  Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9. Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam. Dari Laut Hitam direkrut bangsa Turki dan kebanyakan dari suku Kipchak. Keistimewaan tentara Mamluk ini ialah mereka tidak mempunyai hubungan dengan golongan bangsawan atau pemerintah lain. Tentera-tentera Islam selalu setia kepada syekh, suku dan juga bangsawan mereka. Jika terdapat penentangan tentara Islam ini, cukup sulit bagi khalifah untuk menanganinya tanpa bantahan dari golongan bangsawan.

Tentara budak juga golongan asing dan merupakan lapisan yang terendah dalam masyarakat. Sehingga mereka tidak akan menentang khalifah dan mudah dijatuhkan hukuman jika menimbulkan masalah. Oleh karena itu, tentara Mamluk adalah aset terpenting dalam militer. Setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih sebagai tentara berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera. Tentara Mamluk ini hidup di dalam komunitas mereka sendiri saja. Masa lapang mereka diisi dengan permainan seperti memanah dan juga persembahan kemahiran bertempur. Latihan yang intensif dan ketat untuk anggota-anggota baru Mamluk juga akan memastikan bahawa kebudayaan Mamluk ini abadi. Setelah tamat latihan, tentara Mamluk ini dimerdekakan tetapi mereka harus setia kepada khalifah atau sultan. Mereka mendapat perintah terus dari khalifah atau sultan. Tentara Mamluk selalu dikerahkan untuk menyelesaikan perselisihan antara suku setempat. Pemerintah setempat seperti amir juga mempunyai pasukan Mamluk sendiri tetapi lebih kecil dibandingkan pasukan Mamluk Khalifah atau Sultan. Pada mulanya, status tentara Mamluk ini tidak boleh diwariskan dan anak lelaki tentara Mamluk dilarang mengikuti jejak langkah ayahnya. Di sebagian kawasan seperti Mesir, tentara Mamluk mulai menjalin hubungan dengan pemerintah setempat dan akhirnya mendapat pengaruh yang luas. 

Pada era Dinasti Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang pesat. Sedangkan, pada zaman Shalahuddin, ada buku manual militer karya AT-Thurtusi (570 H/1174 M) yang membahas keberhasilan menaklukan Yerussalem. Semenjak awal Islam memang menaruh perhatian khusus mengenai soal perang. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah meminta agar para anak lelaki diajari berenang, gulat, dan berkuda. Berbagai kisah peperangan seperti legenda Daud dan Jalut juga dikisahkan dengan apik dalam Al-Qur'an. Bahkan, ada satu surat di Al-Qur'an yang berkisah tentang `heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan. ” Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.” (Al-‘aAdiyat 1-4). Kaum muslim sebenarnya pun sudah menulis berbagai karya mengenai soal perang dan ilmu militer. Berbagai jenis buku mengenai 'jihad' dan pengenalan terhadap seluk beluk kuda, panahan, dan taktik militer. Salah satu buku yang terkenal dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Catologue yang merupakan karya Ibnu Al-Nadim (wafat antara 380H-338 H/990-998 M). Dalam karya itu, Al-Nadim menulis berbagai kategori mengenai cara menunggang kuda, menggunakan senjata, tentang menyusun pasukan, tentang berperang, dan menggunakan alat-alat persenjataan yang saat itu telah dipakai oleh semua bangsa. Karya semacam ini pun kemudian banyak muncul dan disusun pada masa Khalifah Abbasiyah, misalnya oleh Khalifah al-Manshur dan al-Ma’mun. Bahkan, pada periode kekuasaan Daulah Al-Mamluk produksi buku mengenai ilmu militer itu berkembang sangat pesat. Minat para penulis semakin terpacu dengan keinginan mereka untuk mempersembahkan sebuah karya kepada kepada para sultan yang menjadi penguasa saat itu. Pembahasan sering dibahas adalah mengenai seluk beluk yang berkaitan dengan serangan bangsa Mongol. 

Pada zaman Shalahuddin, ada sebuah buku manual militer yang disusun oleh At-Tharsusi, sekitar tahun 570 H/1174 M. Buku ini membahas mengenai keberhasilan Shalahuddin di dalam memenangkan perang melawan bala tentara salib dan menaklukan Yerussalem. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab, meski sang penulisnya orang Armenia. Manual yang ditulisnya selain berisi tentang penggunaan panah, juga membahas mengenai ‘mesin-mesin perang’ saat itu, seperti mangonel (pelempar batu), alat pendobrak, menara-menara pengintai, penempatan pasukan di medan perang, dan cara membuat baju besi. Buku ini semakin berharga karena dilengkapi dengan keterangan praktis bagaimana senjata itu digunakan. Buku lain yang membahas mengenai militer adalah karya yang ditulis oleh Ali ibnu Abi Bakar Al Harawi (wafat 611 H/1214 M). Buku ini membahas secara detail mengenai soal taktik perang, organisasi militer, tata cara pengepungan, dan formasi tempur. Kalangan ahli militer di Barat menyebut buku ini sebagai sebuah penelitian yang lengkap tentang pasukan muslim di medan tempur dan dalam pengepungan. Pada lingkungan militer Daulah Mamluk menghasilkan banyak karya tentang militer, khususnya keahlian menunggang kuda atau fu'usiyyah. Dalam buku ini dibahas mengenai bagaimana cara seorang calon satria melatih diri dan kuda untuk berperang, cara menggunakan senjatanya, dan bagaimana mengatur pasukan berkuda atau kavaleri. Contoh buku yang lain adalah karya Al-Aqsara’i (wafat74 H/1348 M) yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi An End to Questioning and Desiring (Further Knowledge) Concering the Science of Horsemenship. Buku ini lebih komplet karena tidak hanya membahas soal kuda, pasukan, dan senjata, namun juga membahas mengenai doktrin dan pembahasan pembagaian rampasan perang. 

(c) artileri.blogspot.com

Selasa, 27 Maret 2012

Ariel Sharon dan Sabra Shatilla Massacre

Oleh : Muhammad Ilham

Ariel Sharon (mantan Perdana Menteri Israel) yang digelari "Tukang Jagal dari Beirut" mengingatkan dunia pada tragedi pembantaian Qibya tanggal 13 Oktober 1953, dan 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101 yang dipimpinnya. Selanjutnya, bersama dengan Menachen Begin, Sharon melakukan pembantaian Sabra dan Shatila di Libanon pada 1982, 3.000 - 3.500 jiwa terbunuh. Begin (bersama-sama dengan Anwar Sadat dan Jimmy Carter dihadiahi Nobel Perdamaian). Sementara itu, jalan hidup Moammar Qaddafi teramat berbeda dengan "mentornya" Gamal Abdel Nasser. Nasser "pergi" akibat sakit setelah peperangan (perang Arab-Israel) usai pada 28 September 1970, sementara Sang Kolonel "terbang" akibat laras senapan rakyatnya sendiri. Tapi ada satu pertanyaan yang mengemuka : "Mengapa Nicholas Sarkozy, Perdana Menteri Perancis yang berhidung mancung-melengkung itu mengatakan bahwa Khaddafi tidak layak pimpin rakyat Libya, sementara sebelumnya, Sarkozy adalah sohib akrab Khaddafi bahkan si Moammar ini menjadi penyandang dana terbesar kala Sarkozy ikut Pilkada-nya Perancis ?". Terlepas salah benar-nya Khaddafi, sudah sepantasnya dunia "memperkatakan" bahwa begitu berbedanya perlakuan barat pada Khaddafi dibandingkan dengan Ariel Sharon.

(Teringat kembali dengan dialog antara seorang Nelayan kecil dengan Alexander Agung. Alexander the Great putra Philipus penguasa Macedonia ini "menilang" seorang nelayan karena menangkap ikan di wilayahnya. Dengan teramat ketus, si Nelayan tadi berkata pada murid Aristoteles ini : "saya mengambil ikan di tempat saya, anda bilang saya pencuri,  sementara anda mencaplok wilayah orang lain, anda dianggap pahlawan"). Tajam Sebelah !.

Foto 01 : Ariel Sharon (kanan) dengan Panglima Angkatan Bersenjata Israel legendaris pada masa perang Arab-Israel, Jenderal Moshe "si mata satu" Dayan. 




Foto 02 : Sabra Sathila Massacre



Sumber foto : jenial.us

Bertanya Aku : "Kemanakah Gerangan Prof. Amien Rais ?

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam suasana politik belakangan ini, ada kerinduan pada Amien Rais. Terlepas suka atau tidak suka pada sosok yang vokal ini, rasanya jagad politik Indonesia kurang "garam" karena tidak ada komentar pedas-nyelekit dari seorang Professor Doktor Ilmu Politik (spesialis) Timur Tengah bernama Amien Rais. Kemana ia belakangan ini. Mengapa seakan-akan style beliau diambil oleh Buya Ahmad Syafii Ma'arif ataupun Din Syamsuddin yang selama ini tidak begitu "galak" dan garang. Mungkinkah Amien Rais sudah mulai bosan atau hopeless. Atau mungkin ia mulai berhitung, "buat apa saya mengeluarkan statement ke publik, toh masa saya sudah mulai hilang". Bila hal ini memang demikian adanya, tentu membuat saya kembali mengingat tahun 1998. Sebuah era dimana seluruh media massa dan perbincangan hangat publik hanya bersumbu pada dua orang : Soeharto dan Amien Rais (dan tentunya Habibie sebagai "lakon" pembantu). Seandainya tahun 1998, Amien Rais tidak satu korps/corps (orang kampung saya bilang "korop") dengan Bacharuddin Joesoef (BJ) Habibie, tentunya Amien Rais berpeluang besar jadi Presiden. Kalau-lah bukan karena ICMI, Amien Rais yang teramat vokal kala itu, tentunya akan juga bersemangat melengserkan Habibie. Tapi karena satu corps-lah, dalam hal ini ICMI, membuat Amien Rais merasa segan untuk berseberangan dengan Habibie yang bergelar "Mr. Crack" tersebut. Dan riwayat ini bermula setelah Soeharto mundur dari tahta politik Indonesia yang dipegangnya cukup (bahkan teramat) lama. Dan Habibie yang pada masa itu sebagai Wakil Presiden, tiba-tiba mendapatkan limpahan keprabon ("kerajaan") dari sang mentor yang dikaguminya itu. Begitu Habibie dilantik, salah seorang anggota Fraksi Golkar - Fraksi terbesar dan paling berpengaruh pada masa itu - mengatakan bahwa mereka lebih menginginkan dibentuknya sebuah Presedium, bukan Habibie. Presidium itu terdiri dari 5 orang tokoh bangsa yang dianggap sebagai representasi publik : Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengkubowono dan Megawati Soekarnoputri. Presidium ini hanya memiliki tugas sederhana, menyiapkan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden berdasarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang. Tapi sayang, kata anggota Fraksi Partai besar ini, usulan itu terlambat.

Kalaulah kita boleh berandai-andai bila Habibie tak diterima "arus umum", kemudian Presidium terbentuk, lantas Pemilihan Umum berlangsung tahun 1998 itu juga. Maka pasti banyak yang bersepakat bahwa Amien rais akan tampil sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Siapa yang tidak kenal Amien Rais kala itu. Sahabat Buya Ahmad Syafii Ma'arif ini dianggap sebagai tokoh paling terkenal dan paling "bersuara" serta representasi dari tokoh pembangkang era 1997-1999. Gus Dur dimana ? Suaranya tidak begitu terdengar, sementara Megawati lebih banyak diam-senyum. Maka praktis hanya Amien Rais yang berjalan di depan gelombang besar mahasiswa. Bahkan dalam konteks nativisme, Amien Rais dipandang sebagai Juru Selamat. Bak HOS. Tjokroaminoto, Samin Surosantiko, Diponegoro ataupun Soekarno pada masanya. Ia juga memiliki pengakuan dari rezim berkuasa sebagai bukti bahwa ia memang tokoh yang dianggap oposan paling serius. Buktinya, ketika Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat ketika demonstrasi 1998 menjalar sedemikian cepat dan anarkis, Amien Rais adalah tokoh yang direkomendasikan oleh banyak kalangan, tapi ia ditolak Soeharto. Ketika para tokoh yang diundang Soeharto tersebut mengatakan bahwa reformasi harus jalan tetapi dibawah kendali Soeharto, maka Amien Rais menjelaskan posisinya : tidak. Reformasi harus tanpa Soeharto. Dan sejarah-pun kemudian mencatat, Soeharto tak berdaya. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada Habibie. Ketika kekuasaan tersebut diberikan kepada Habibie oleh Soeharto, praktis gelombang besar publik sedang menunggu bagaimana komentar Amien Rais terhadap naiknya Habibie tersebut.

Apa kata Amien Rais ? "Biarlah kita beri kesempatan kepada Habibie untuk memimpin pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi ini tidak akan lama, sekitar tiga hingga enam bulan", kata Amien. Ketika Amien mengeluarkan statement ini, saya masih ingat dengan tanggapan seorang wartawan Luar Negeri yang diwawancarai Majalah Forum Keadilan, "Waktu itulah, Amien Rais telah berhenti menjadi reformis". Walaupun tak sepenuhnya benar, tapi kekecewaan publik boleh jadi memang pada tempatnya. Ekspektasi publik yang luar biasa padanya, harus berhadapan dengan kenyataan lain bahwa ia berkompromi dengan Habibie. Coba kalau waktu itu ia menolak pelantikan Habibie, tentu pergolakan akan berlanjut, demonstrasi akan (kembali) marak terjadi, sampai pada akhirnya diambil solusi nasional : membentuk Presedium. Jangankan pembentukan Presidium, bila Amien Rais pandai menggelindingkan bola panas revolusi, bukan hanya sebatas reformasi, maka back up sosial politiknya sangat besar, meski hal ini akan ditolak oleh mbah "fikih konstitusi" masa itu, Yusril Ihza Mahendra. Namun yang jadi soal adalah, mengapa Amien menerima Habibie ? (Walau pada masa itu, ke dua orang ini, disamping Yusril Ihza Mahendra, adalah figur yang saya pandang dengan mata binar seorang aktifis-Ketua Senat Mahasiswa Fakultas salah satu Perguruan Tinggi Negeri Sumbar , tapi tetap Amien Rais lebih "bahenol").

Tentu banyak yang geram pada Amien Rais, mengapa menerima Habibie. Paling tidak bagi kalangan masyarakat yang memiliki ekspektasi tinggi padanya. Pada detik-detik ketika takdir kepresidenan menggantung-gantung di atas kepalanya, alamaaak ternyata ia malah menerima orang lain. Akhirnya, bak kata Syubah Asa, jalan sejarah akhirnya berbelok bagai pekik seorang pengawal yang meneriaki Pangeran Hector, menyebabkan Perang Troya dalam sejarah Yunani Klasik yang sudah dihalang-halangi agar tidak meletus, pada akhirnya meledak jua. Dalam konteks Amien Rais, ia justru dianggap "dihalangi" menjadi Presiden, bukan karena Amien Rais tidak mau. Dan penghalangnya itu adalah ICMI - Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Amien Rais dan Habibie adalah dua sahabat yang berseberangan. Mereka berdua seumpama Agus Salim dengan Sutan Syahrir atau Soekarno dengan Hatta "dikemudian hari". Habibie merupakan murid Soeharto (bahkan, kalau saya tak salah, Amien Rais termasuk tokoh yang paling sering mengingatkan suatu hal : "bagi Habibie, Soeharto adalah Profesornya") dan Amien Rais adalah musuh Soeharto. Bila dihadapkan pada Soeharto, maka posisi Amien Rais dan Habibie teramat jelas berseberangan. Tapi ICMI, organisasi yang dibentuk atas restu Soeharto dimana Habibie duduk sebagai Ketua-nya dan Amien rais menjadi Ketua Dewan Pakar (walau kemudian ia didepak atas "pesanan" Soeharto) adalah sebuah corps, sebuah kubu. Dan bila kita lihat dalam konteks ini, sangat layak bila dikatakan bahwa pribadi dan pejuang ormas Islam seperti Amien Rais (kala itu ia masih menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah) menumbuhkan perasaan satu corps-satu kubu dengan Habibie. ICMI adalah jembatan pupuk hati antara Habibie dan Amien Rais. Minimal, Amien Rais merasa tidak tega menolak naiknya Habibie jadi Presiden pasca kejatuhan Soeharto. Seandainya Amien Rais bukan satu corps dengan Habibie, mungkin Presiden RI ke-4 bukan putra Pare-Pare Sulawesi Selatan bermata bulat ini. Tapi itulah politik. Politik adalah memilih, demikian kata Mohandas Karamachand Gandhi yang Mahatma itu.

Sumber foto : jppn.com

Metamorfosis

Dari "Rumah Putih"ke "Rumah Hitam


Sumber foto : F. Tehrani blogspot.com

Senin, 26 Maret 2012

Kenalkan, Nama Saya Dahlan Iskan


Nama saya Pak Dahlan, bukan Pak Menteri ... !! 
(Dahlan Iskan, 18 Oktober 2011)


 
Sumber foto : jppn.com

 

Teror(isme) Racun Sianida dan Veluppilai Prabhakaran

Oleh : Muhammad Ilham

Siapakah V. Prabhakaran ? Ia yang berkumis tebal mirip penyanyi Johan Untung ini adalah pemimpin legendaris Pembebasan Macan Tamil Eelam (Liberation Tigers of Tamil Eelam/LTTE), atau lebih dikenal dengan nama Macan Tamil, sebuah organisasi militan yang didirika tahun 1976 dengan tujuan utama untuk mendirikan negara Tamil yang merdeka dan berdaulat di sebelah timur laut Sri Lanka. Dianggap oleh pengikutnya sebagai pejuang pembebasan Tamil bahkan "Mahdi" dan "Nabi" bahkan dijuluki "Tuhan Matahari". Selama lebih seperempat abad perang saudara di Sri Langka, Prabhakaran melahirkan kelompok militan yang menguasai seni pengeboman bunuh diri (Human Bomber). Bila Sun Tzu melahirkan ART of WAR, maka Prabhakaran menginspirasi ART of SUICIDE (Human Bomber). Bahkan kelompok ini dianggap sebagai pelopor Human Bomber sistematis periode awal, jauh sebelum INTIFADAH maupun AL-QAEDA. 

LTTE bahkan dianggap "sukses" membunuh politisi terkemuka "Anak Benua India" seperti bekas Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi dan bekas Perdana Menteri Sri Lanka, Ranasinghe Premadasa dan Menteri Luar Sri Lanka, Lakshman Kadirgamar. Disamping melahirkan tradisi Human Bombers sistematis dan ideologis, LTTE memperkenalkan tradisi penggunaan Racun Sianida dalam aksi-aksi mereka. Bahkan ini menjadi ICON mereka. Bila Dr. Azahari dan Nordin M. Thop (dulunya, kala masih hidup) "dikatakan" selalu membawa bom tas pinggang yang siap diledakkan bila tertangkap, maka Prabhakaran dan milisi LTTE selalu membawa botol kecil berisi KAPSUL RACUN SIANIDA di leher mereka untuk mereka membunuh diri dengan menelannya jika ditangkap.

Sumber Foto : prakilai-hindustani.com 


Pancaran Sinar Petromak


Teringat dengan PETROMAX @ Petrol-Max, teringat tahun 80-an. Setiap sore, ayahanda tercinta menghidupkan "lampu unik" ini ..... dan tak lupa : MEMOMPA ... "olah raga tangan ilham", kata ayah saya yang brewok-gagah itu.

 Listrik telah me-museum-kannya !! 

 Teringat PETROMAX @ Petrol-Max ... saya juga menjadi ingat ada grup Orkes melayu bernama Pancaran Sinar Petromak (OM PSP), akhir 70-an dan awal 80-an. "Duta Merlin", judul hits-nya.



Sumber foto : Nami Al-Airbangisi

Sartre Bicara tentang Ali Shariati

Oleh : Muhammad Ilham

Ali Syariati - salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran 1979 ini - begitu jenial. Intelektual (Islam) yang memperkenalkan istilah Rauzan Fikr (baginya : intelektual itu berarti orang yang mencerahkan) memiliki banyak karya luar biasa, salah satu HAJJI. Buku luar biasa ini begitu mempesona dan sudah sewajarnya para jama'ah Haji, seharusnya oleh pemerintah, dibekali dengan buku tersebut. Menurut Ali Syari’ati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, dan egois. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, kata Ali Syari’ati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Allah. Ali Syariati mengatakan bahwa pakaian ihram telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas, kedudukan dan ras. 

ALI SYARIATI, intelektual Iran jebolan Sorbonne University Perancis tersebut "menggetarkan" sang eksistensialis kenamaan asal Perancis Jean-Paul SARTRE. Kata Sartre, 'Saya tidak punya agama tetapi jika saya ingin beragama, maka saya akan menganut agama (Islam seperti) Ali Syariati".

Foto : Ali Shariati (www.alishariati.com)

Minggu, 25 Maret 2012

Evolusi Sang Koruptor


(Ternyata) Charles Darwin lupa menganalisis "bentuk lain" dari evolusi homo sapiens.
 Evolusi para koruptor !! 



(Sumber Foto : karikaturshop.com)

Sabtu, 17 Maret 2012

Israel itu "Kecil"

"Apa itu Israel? Itu kumpulan yang begitu kecil yang tak mampu bertahan dalam perang sesungguhnya selama sepekan, tidak dalam satu pekan. Jika Israel membuat kesalahan itu (menyerang fasilitas nuklir Iran), itu akan menjadi waktu bagi berakhirnya Israel. Mereka sangat tahu soal itu, kami tidak menganggap Israel sebuah negara. Israel adalah kumpulan, perluasan pengaruh AS di Timur Tengah jadi ancaman sesungguhnya adalah Amerika Serikat,".  

(Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi, TV2 seperti dilansir Press TV, 17/3/2012).

Ini kata Salehi, saya hanya menukilkan apa yang dikalamkan orang. Setuju tak setuju, kembali kepada yang bersepakat atau tidak.




Sumber foto : times.com

Senin, 12 Maret 2012

Politisasi Sejarah dan Sejarah Politik : Historiografi Orde Baru dan Pasca Orde Baru

Oleh : Muhammad Ilham 

Buku Sejarah yang tidak mengandung kebohongan, pasti membosankan .. !!
(Anatole France, 1989: 17)


Harus saya akui, teramat sulit untuk menukilkan kalam – meminjam istilah Raja Ali Haji -  berkaitan dengan historiografi Orde Baru yang dikomparasikan dengan historiografi era pasca keruntuhan rezim yang dibangun oleh Soeharto tersebut. Kesulitan terletak pada beberapa hal, diantaranya masa Orde Baru yang relatif cukup panjang (1966-1998). Dengan time-dimention temporal tersebut, diasumsikan sangat (bahkan teramat banyak) karya-karya sejarah yang diterbitkan, dengan isu yang teramat beragam, dan oleh berbagai penulis dari berbagai “aliran”. Kemudian, kesulitan lain adalah faktor subjektifitas dan politisasi sejarah. Bagaimanapun juga, hingga hari ini, “gugatan” – untuk tidak menyebut kebencian -  terhadap penulisan sejarah a-la Orde Baru masih belum bisa dihilangkan dalam ranah publik, khususnya diantara akademisi (baca: sejarawan).   Buku-buku sejarah yang diterbitkan pada era Orde Baru, masih banyak yang “dicurigai” sebagai karya “pesanan” dan justifikasi politik. Saya berasumsi, tidak semua karya sejarah pada masa Orde Baru layak dicurigai, karena masih banyak karya yang netral dan tidak terkontaminasi untuk sekedar memberikan pembenaran terhadap rezim Orde Baru tersebut, walau sebenarnya, karya-karya sejarah jenis ini pada masa Orde Baru (melalui “tangan” Kejaksaan Agung) [1] tidak terdistribusi dengan baik di ranah publik. Pada sisi lain, tentunya tidak berarti karya-karya sejarah yang dilahirkan pada masa pasca Orde Baru cenderung netral dan objektif. Banyak juga karya-karya sejarah yang dilahirkan pada era ini terjebak pada subjektifitas ideologis, sekedar “menghantam” politisasi sejarah pada masa Orde Baru. Jadi tidaklah mengherankan apabila Gadamer mengatakan : “jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan”. Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis, merupakan “kreasi zamannya” – atau dalam istilah Bennedicto Croce sebagai storia e storia contemporania, memahami kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya. 

Dalam konteks diatas, maka dalam makalah ini saya lebih memfokuskan kepada komparasi historiografi dalam hal mainstream (arus/topik umum)  penulisan sejarah. Bukan pada penilaian objektifitas dan subjektifitas masing-masing karya sejarah pada dua era berbeda ini. Pada masa Orde Baru, mainstream umum penulisan sejarah, cenderung “berseragam” – meminjam istilah Asvi Warman Adam[2] – untuk mengatakan bagaimana peran militer teramat dominan. Sedangkan pada masa pasca Orde Baru, sebagaimana halnya spirit reformasi – karya-karya sejarah cenderung “bebas”. Kejaksaan Agung tidak “segarang” masa Orde Baru dalam menyaring buku-buku yang diterbitkan. Diktum “Buku dilawan dengan Buku”, pada masa ini lebih dikedepankan. Untuk itu, dalam makalah ini, saya membagi dalam beberapa bagian, diantaranya : konteks aksiologis sejarah ditulis, mainstream historiografi Orde Baru dan pasca Orde Baru serta konsep kepahlawanan yang militeristik.     

Untuk Apa Sejarah Ditulis ? 

Untuk apa dan untuk siapa sejarah ditulis ?”. Teringatlah saya dengan Bennedict R.O’ Gonnor Anderson[3] yang telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant  selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Ketua CC PKI ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi.[4] DN merupakan singkatan dari Dipa Nusantara.[5]  Kembali ke Anderson. Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson secara tidak langsung telah merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang.   

Sulit memang menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry[6] misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.   

Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisis dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda.  

Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedi 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo[7] melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam[8] justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah.[9]   Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekinian atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain.[10]   

Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari. Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory (pembahasan lebih lanjut, lihat dibawah) yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah).[11] 

Ketika Sejarah “Berseragam

Dalam beberapa minggu ini, saya begitu tertarik "kembali" (dalam tanda kutip : artinya, sudah lama tidak tertarik) tentang sejarah militer di Indonesia, khususnya militer di era Orde Baru. Kembali saya baca Harold Crouch[12], TB. Simatupang[13], karya-karya tentang “Perang Gerilya”-nya AH. Nasution dan Yahya Muhaimin serta Katherina Mc. Gregory, termasuk "catatan kritis" Bambang Purwanto dan Asvi warman Adam. Saya tak berkisah banyak tentang hegemoni militer - meminjam istilah Juergen Habermas - selama Orde Baru. Hegemoni yang ditafsirkan sebagai kekuatan yang masuk dalam segala lini kehidupan manusia Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam hal ini penulisan sejarah, yang oleh Asvi Warman Adam dan Harold Crouch, "sejarah Orde Baru adalah sejarah versi militer". Diantara buku-buku diatas, buku Katharine E. McGregor - Ketika Sejarah Berseragam - sangat menarik. Pasca Orde Baru banyak kajian yang menyoroti keterlibatan kaum militer dalam berbagai ranah kehidupan kenegaraan bangsa ini. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari menguatnya peran militer pasca 1965 yang bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada masa Orde Baru militer Indonesia tak ubahnya seperti, sebuah negara dalam negara. Dominasi militer tidak hanya tampak physically, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat untuk mengontruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia, sehingga yang terjadi, ingatan kolektif massa rakyat menjadi terkendalikan oleh nalar militer yang kemudian mempengaruhi tindak laku sebagian massa rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai “mirip-mirip” kaum militer. 

Katharine E. McGregor sebagai penulis buku ini melakukan kajian mendalam tentang bagaimana nalar pikir dikonstruksikan oleh persepsi-persepsi kesejarahan dari beberapa kelompok inti yang mempunyai wilayah kerja untuk memproduksi ingatan sejarah versi penguasa, yang didalamnya berkelit kelindan antara kepentingan ideologis patriotik dan pelanggengan mitos-mitos kekuasaan militer. Melalui pengkajian simbol-simbol dan penelurusan mitos-mitos wiracarita yang diciptakan, penulis buku ini relatif berhasil untuk melakukan pembongkaran dominasi historiografi yang selama Orde Baru telah menjadi narasi resmi. Buku yang berjudul asli History in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past ini hadir di hadapan pembaca Indonesia sebagai upaya untuk melacak bagaimana tafsir sejarah diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya, dan tentu saja supaya kita menjadi belajar dari sejarah yang selama ini hanya menciptakan dendam untuk dinegasikan dengan kepentingan bangsa yang lebih beradab dan manusiawi. Publik Indonesia bisa membaca karya berbobot ini, sehingga bisa melakukan refleksi atas mitos-mitos yang diciptakan di masa lalu. Dibawah ini, saya kutipkan pendapat beberapa pendapat tentang buku ini.

Kesimpulan  

Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru.   Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam. 

Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang selama ini sebenarnya kita telah memiliki "jawaban" nya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan dominasi militer (baca : ABRI) pada masa Orde Baru, diantaranya : ABRI merupakan institusi yang sangat sistematis, loyalis dan cerdas (bahkan hal ini juga "diamini" hingga sekarang oleh publik). Kemudian, ketika kita membaca buku Ketika Sejarah Berseragam tersebut, kita juga akan tahu bahwa sejarah akan berbahaya bila berada "ditangan" militer (walaupun di tangan "politisi" juga demikian). Selanjutnya, sejarah berbasiskan senjata, amat sangat ampuh untuk memupuk nasionalisme. Namun terlepas dari semua itu, sejarah haruslah dipaparkan apa adanya. Dalam bahasa Edmund Husserl, "harus dikembalikan kepada posisi awal perustiwa itu terjadi". Maka dari sana akan kita ketahui, apa sebenarnya motif yang melatarbelakanginya. Sejarah harus "ditelanjangi", dan Katherine nampaknya menelanjangi sejarah militer Indonesia masa Orde Baru.  Ini bermanfaat bagi perjalanan bangsa ke depan.  Dan inilah keberkahan orde reformasi, buku-buku sejenis Katherine ini begitu massif didistribusikan dan didiskusikan di berbagai tempat oleh berbagai kalangan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada era Orde Baru.
Sumber Foto : kompasiana.com

[1] Pembahasan mengenai peranan Kejaksaan Agung (termasuk Departemen Penerangan) pada masa Orde Baru dalam menyaring, melarang bahkan membreidel pendistribusian buku-buku sejarah serta majalah/koran, lihat Laporan Khusus Majalah GATRA edisi Agustus 1999/Minggu ke-3.

[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri  Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2010, hal. Vi

[3] Ibid., hal. 91
[4] Diantaranya  Sekretariat Negara Republik Indonesia, Buku Putih G 30 S, Jakarta:  Setneg RI, 1993; William E. Liddle, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1977; Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Kudeta Gerakan 30 September 1965, Djakarta: Pembimbing, 1968;  Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1998;  Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle of Indonesia Independence, Ithaca: Cornell Univ. Press, 1969;  Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angfin Akan Menuai Badai, Jakarta: Sinar Harapan, 1989 – untuk menyebut berapa buku diantaranya. Diantara buku-buku yang “bersberangan” dengan teori G 30 S/PKI  (pakai : PKI) tersebut adalah Anderson yang dikenal dengan Cornell Papers-nya tersebut. Karya Anderson ini tidak dibolehkan oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru untuk dipublikasikan-didistribusikan kepada publik.   

[5] Ada juga beberapa versi lain yang mengatakan bahwa DN adalah singkatan dari Danu Nusantara. Sebenarnya, DN merupakan singkatan dari Dja’far Nawawi Aidit. Karena Dja’far Nawawi terkesan “religius”, maka Aidit menggantinya dengan Dipa Nusantara/Danu Nusantara, sebagaimana halnya dengan tokoh komunis Sumatera Barat Chalid Salim (adik Haji Agus Salim) yang mengganti label namanya dengan Chalid Xalim. Tapi sudahlah, setiap orang berhak “mengkreasi” namanya.

[6] Wan Rahman Wan Latief, Sejarah dan Pensejarahan, Bangi, Selangor DE.: Universiti Kebangsaan Malaysia Press, 2003, hal. 118

[7] Hermawan Sulistyo, Pembunuhan di Ladang Tebu, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 36

[8] Asvi Warman Adam, “Meluruskan Pemahaman Sejarah September 1965” dalam Kompas 20 September 2003 dalam  www.kompas.com/  (diunggah tanggal 7 Juli 2011)

[9] Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda. Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersangkutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adapt tersebut dalam spectrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.

[10] Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an : ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st the Luittenant der Infanteri, Batavia: G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan narasi berikut ini : “Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, Masa Kecil di Kampung, 1938). Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.
[11] Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.

[12] Harold Crouch, Militer dalam Politik Indonesia, terjemahan, Jakarta: Sinar Harapan Press, 2000.
[13] TB. Simatupang, “Militer dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Prisma Edisi XVI/1982.

"Hikmah" Perang Salib

Oleh : Muhammad Ilham

"Tak selamanya catatan sejarah perang meninggalkan ketidakjantanan", kata sejarawan Marshal DGS. Hodgson. Perang, yang menurut van Clausewitz, sebagai bentuk akhir dari ikhtiar politik, juga mengenal sportifitas, salah satunya adalah cerita inspiratif antara Raja Inggris, Richard si Hati Singa dengan Salahuddin Al-Ayyubi, dua "lakon" utama Perang Salib. Ketika Richard si "Lion Heart" ini  tengah menggigil demam di tendanya, dan karena itu ia harus menunda ambisinya untuk segera menghancurkan pasukan Islam, ia kedatangan seorang tabib. Tabib itu ternyata adalah musuh besarnya, Salahuddin Al-Ayyubi, panglima besar pihak Islam yang dengan berani menyusup ke tenda lawan. Secara moral, Salahuddin telah memenangkan pertarungan. Kisah tersebut sering dituturkan, dan menjadi salah satu cerita paling menarik dalam peristiwa Perang Salib. Peristiwa perang antar agama ini bermula dari sukses misi kecil militer Alp Arselan -pemimpin Seljuk yang menjadi panglima perang Daulat Abbasiyah. Sekitar 15.000 tentaranya berhasil mengalahkan pasukan gabungan Romawi, Perancis, Armenia, Ghuz, Akraj, Hajr dalam pertempuran di Manzikart 464 Hijriah (1071 Masehi). Tentara Baghdad, sepeninggal Arselan, malah merebut Yerusalem pada 471 Hijriah atau sekitar 1078 Masehi. 

Sebelum itu, Yerusalem dikuasai oleh Kekhalifahan Fathimiyah -dinasti beraliran Syi'ah yang berpusat di Kairo - Mesir. Fathimiyah memberi keleluaasan bagi orang-orang Nasrani untuk berkunjung ke kota suci Yerusalem. Abbasiyah di Baghdad membuat ketentuan baru yang mempersulit kunjungan tersebut. Pada 1095 Masehi, pemimpin tertinggi Katolik Paus Urbanus II menyeru seluruh masyarakat Kristen di Eropa agar melakukan Perang Suci. Seruan tersebut segera disambut oleh para raja. Musim semi 1095 Masehi -demikian tulis Badri Yatim di "Sejarah Peradaban Islam"-150 ribu pasukan, terutama dari Perancis dan Norman, bergerak ke Konstantinopel dan kemudian Yerusalem. Nicea dan Edessa berhasil mereka rebut pada 18 Juni 1097 dan 1098. Mereka kemudian merebut Antiokia. Baitul Maqdis atau Yerusalem bahkan jatuh pada 15 Juli 1099. Yerusalem bahkan dijadikan ibukota kerajaan baru. Godfrey diangkat sebagai raja. Kota-kota penting di pantai Laut Tengah seperti Tyre, Tripoli dan Akka juga berhasil dikuasai Pasukan Salib. Hampir setengah abad wilayah Yerusalem dan laut Tengah itu penuh dalam kekuasaan Kristen. Namun, pada 1144, ketenangan itu terusik. Penguasa Mosul dan Irak, Imaduddin Zanki dan anaknya, Nuruddin Zanki merebut wilayah Aleppo dan Edessa. Pada 1151, seluruh kawasan di Edessa berhasil mereka kuasai. Ini mendorong Paus Eugenius III kembali menyerukan perang suci. Raja Perancis Louis III dan Raja Jerman Condrad III memimpin pasukan menggempur kekuatan Islam. Namun mereka kalah, dan terpaksa mundur. Salahuddin Al-Ayyubi, panglima yang memegang kendali pasukan setelah Nuruddin wafat, malah mencatat sukses besar. 

 Ia mendirikan kekhalifahan Ayyubiyah di Mesir menggantikan kekuasan Fathimiyah. Pada 1187, ia berhasil merebut Yerusalem dan mengakhiri kekuasaan kaum Nasrani di sana selama 88 tahun. Pasukannya juga harus berhadapan dengan kekuatan paling besar yang dikomandoi Raja Inggris Richard, Raja Perancis Philip Augustus serta Raja Jerman Frederick Barbarosa. Pada 2 Nopember 1192, Salahuddin -tokoh terbesar Kurdi (bangsa yang sekarang terbelah di tanah yang menjadi wilayah Irak, Syria, Turki dan Iran)-menandatangani perjanjian dengan musuhnya. Ia akan memberi kemudahan kaum Nasrani berkunjung ke Yerusalem. Namun pihak Kristen, yang dikomandoi Raja Jerman Frederick II, kemudian mengincar kembali Yerusalem. Mereka berhasil merebut wilayah Dimyar, pada 1219. Pengganti Salahuddin, Malik al-Kamil, kemudian menukar Dimyar dengan Yerusalem. Kalangan Nasrani sempat menguasai kembali Baitul Maqdis sekitar seperempat abad. Namun, angin kembali berubah. Di Mesir, kekuasaan kekhalifahan Ayyubiyah diakhiri oleh dinasti Mamluk. Malik al-Shalih, pemimpin Mamluk merebut kembali Baitul Maqdis, pada 1247. Setelah itu, perang Islam-Kristen masih terus terjadi sampai kota Akka direbut lagi oleh pihak Islam pada 1291. Perang Salib telah mengantarkan orang-orang Eropa dalam jumlah besar untuk berinteraksi dengan masyarakat Islam. Interaksi tersebut membuat mereka banyak mengadopsi peradaban dari kalangan muslim. 'Bath-up' yang menjadi tempat mandi masyarakat Barat sekarang ini, kabarnya diadopsi dari bejana tempat berwudhu orang-orang Turki muslim. Namun Perang Salib juga melahirkan provokasi kebencian terhadap Islam di lingkungan masyarakat Barat.

Ketika Konsep Perang Tajam Sebelah

Oleh : Muhammad Ilham

/ ... saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan" (Bashar al-Assad, Presiden Suriah : 2011)

Konflik dan Perang selalu meninggalkan cerita horor, menakutkan dan perendahan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu pula, orang-orang yang berada di kawasan yang identik dengan perang serta konflik, akan dilabelkan dengan persepsi kurang elok. Saddam Hussein, Moamar Qaddafi dan Bashar al-Assad, bahkan bangsa Arab, digambarkan sebagai figur keji dan bangsa yang suka bertengkar. Figur yang tidak memiliki etika dalam berperang (walau "berperang" dengan warga mereka sendiri). Setidaknya demikian yang digambarkan oleh media massa. Gambaran ini kemudian menjadi parameter tersendiri untuk men-cap bagaimana karakter figur-figur dan bangsa tersebut. Gambaran ini dibangun oleh media massa dan opini (yang semua orang sudah tahu, siapa dan kepentingan apa dibalik media massa itu), pada akhirnya melahirkan streotype sendiri - figur-figur tak beradab dalam mensikapi konflik. Walau secara faktual, demikian adanya, namun adalah sesuatu yang tidak adil ketika men-judge sesuatu tanpa memberikan komparasi "sejenis". "Homo Homini Lupus", kata Hobbes menjadi sesuatu yang reflektif untuk menggambarkan bagaimana ketika konflik dan perang berlangsung, terdapat kekejaman disana. Namun, alangkah naifnya bila kekejaman "hanya dipelihara" pada satu dua figur dan kelompok bangsa saja. Karena ketika konflik dan perang berlangsung, maka setiap ummat manusia, dari bangsa manapun ia, memiliki "aura" kekejaman yang mengerikan. Tak ada beda antara perlakuan Tentara Vietkong-Vietnam terhadap tawanan dan mayat lawan mereka empat dasa warsa lalu dengan bagaimana pula tentara Spanyol memperlakukan penduduk asli dalam pembantaian besar-besaran dahulu di Benua Amerika. Bagaimana tentara Amerika (seperti dalam film Soldier Blue) menghabisi kaum Indian sampai ke bayi-janin. Bagaimana tentara Australia bersikap (dahulu, dan mungkin hingga kini) terhadap kaum aborigin. Bagaimana Pol Pot menghadirkan "republik teror dan horor" di Kamboja dengan menghabisi jutaan rakyatnya sendiri, atas nama ideologi. Dan bagaimana pula kelakuan Hitler terhadap bangsa Yahudi, dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang Palestina (dengan dipaksakan oleh "Barat" sebagai bentuk rasa bersalah). Saddam Hussein menghantam etnik Kurdi maupun Iran dengan bom napalm. Saddam yang berkumis ini menggunakan bom yang teramat mengerikan itu karena ia meniru Amerika Serikat yang "mencoba" bom ini di Vietnam. Bashar al-Assad, Presiden Suriah yang sekarang berada dalam posisi diujung tanduk, diblow up sebagai (salah satu, diantara banyak) pemimpin Arab yang memiliki tangan berlumuran darah. Walau sebenarnya anak Hafeez al-Assad ini bukanlah pemimpin yang baik karena tidak mengayomi rakyatnya, tapi setidaknya ia masih lebih baik dibandingkan penjahat perang Serbia yang disamping melakukan genosida juga melakukan pemerkosaan terhadap hampir 150.000 wanita Bosnia, seperti yang pernah dilansir reuters.com.

Ketika konflik berlangsung, kewarasan manusia menjadi hilang. Karena itulah, misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq mengeluarkan sepuluh "pantangan" dalam perang, atau Umar bin Khattab mengatakan : "jangan sekali-sekali membunuh anak-anak dan pelayan". Ya ... pelayan !. Bahkan Umar bin Khattab memberikan sebuah reward bagi para prajurit Islam yang membunuh anak-anak dalam perang .... dihukum bunuh (pula). Khalifah "terbaik" Dinasti Umayyah, Umar bin Abdul Aziz bahkan pernah berkata : "Bertakwalah kamu kepada Allah dalam hal anak-anak dan para petani yang tidak mengangkat senjata melawan kamu (peliharalah nyawa mereka)". Dan, dalam sahibul hikayat yang mutawatir, Umar bin Abdul Aziz tidak pernah membunuh para petani dan tukang kebun, disamping tentunya anak-anak, orang tua dan perempuan, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnul Munzhir dalam al-Qurthubi. Intinya adalah, sebetapapun bengis dan kejamnya konflik dan perang, ketika pemimpin dan penguasa menghormati kesepakatan universal yang telah ada, tentunya konflik dan perang-pun bisa dianggap sebagai "jalan keluar" sebagaimana yang dikatakan Clausewitz bahwa perang adalah jalan keluar dari konflik. Tapi ketika para pemimpin dan penguasa (termasuk yang menganggap sebagai "penguasa") tidak atau terbebani oleh catatan sejarah perang yang buruk, jangan salahkan pula bila Basheer al-Assad mengatakan : "saya punya cara mengatasi konflik di negara saya, dan anda sekalian (maksudnya : negara-negara Barat), tidak memiliki otoritas untuk mengajarkan kepada saya bagaimana cara yang terbaik karena tangan dan sejarah kalian-pun masih basah oleh kebrutalan".
Foto : westend.com

Main Sore, Main Padang : Perilaku Orang Minangkabau dalam Sepakbola

Oleh : Deddy Arsya & (ed.) Muhammad Ilham

Selama sepekan setelah hari raya, di kampung kami biasanya akan berlangsung pertandingan sepakbola. Turnamen antar nagari itu memperebutkan Piala Bapak Camat. Atau kadang-kadang jika panitia sedang beruntung mendapat bantuan dana dari pejabat teras kabupaten, turnamen menjadi sedikit lebih bergengsi: Bupati Cup. Ada satu idiom yang paling diingat dari pertandingan sepakbola itu. Bagaimana saya harus mendefinisikan idiom itu dalam tulisan ini? Begini saja. Jika para penonton di pinggir lapangan sudah meneriakkannya, sudah dapat dipastikan, permainan tidak akan berlanjut dengan baik. Para pemain yang tak profesional dan terlalu gampang disulut amarahnya itu sudah tak memperhitungkan lagi pelanggaran dan kartu merah. Jika sudah begitu, di tengah lapang kaki para pemain akan beradu sama kaki, badan membentur badan, bola terbang entah ke mana tak terpedulikan lagi. Tumit sepatu bisa setinggi dagu, lutut sampai di rusuk, siku bisa menerobos ke selangkang. Hasrat untuk mencetak gol telah tergantikan oleh hasrat mencelakai lawan. Mulanya penonton yang menyulut amarah pemain, lalu lama kelamaan penonton yang tersulut menyaksikan permainan yang menjurus kasar dan licik. Jika sudah begitu, berteriaklah penonton sesama penonton, berserulah mereka sesama mereka. Dengan satu komando saja, penonton yang di sana dan penonton yang di situ sudah bertemu ‘di medan laga’.  Berkucatak perkelahian, batu dapat batu dilemparkan, kayu dapat kayu dipungkangkan.

Idiom itu berbunyi: “Main sore, main sore!”. 

Pada buku sejarah (Asvi Marwan Adam, 2010: 61) dituliskan, dalam dunia sepakbola pada masa Belanda dulu dikenal istilah “Main Padang”. Istilah Main Padang konon digunakan orang-orang di tanah Jawa untuk menunjuk pada corak permainan sepakbola yang licik dan cenderung kasar. Apakah istilah ini semakna artinya atau merujuk kepada istilah “Main Sore”? Dan apakah ini juga mengindikasikan bahwa, pernah dalam sejarah, permainan sepakbola tim dari Padang licik dan cenderung kasar? Atau hanya merupakan stigma yang dilekatkan oleh kekuasaan tertentu, kekuasaan Belanda misalnya, untuk memberi citra negatif pada orang Minang?. Pada buku sejarah yang ditulis Freek Colombijn (2006: 105) dikatakan pula bahwa pertandingan antar suku dan antar kampung di Padang memang adalah permainan yang paling kasar dan berpotensi pecah perkelahian. Setiap tim dari Pauh dan tim dari Koto Tangah bertemu dalam pertandingan, misalnya, hampir dapat dipastikan ujung-ujungnya akan berkelahi. Bahkan, pernah dalam suatu pertandingan antar kampung, pemain sampai berkelahi dengan polisi, dan melibatkan para penonton. Para pemain dan penonton yang agresif seperti itu dijebloskan ke penjara selama satu atau dua bulan.  

Barangkali karena masyarakat kita, Minangkabau, tidak punya tradisi bermain permainan yang ‘beradu fisik beradu badan’, maka jika dihadapkan pada permainan sepakbola menjadi gampang tersulut amarahnya, menjadi mudah berkelahi. Permainan yang menggunakan alat seperti bola hanya permainan “sipak rago”. Ini merupakan permainan ketangkasan memainkan rago, memindahkan rago dari satu pemain ke pemain lain dengan menggunakan kaki tanpa rago boleh menyentuh tanah, tanpa satu pemain dan pemain lain berkontak secara badaniah. Pemain tidak merebut bola dari pemain lain, tapi memberikan bola sebaik mungkin kepada pemain lain agar dapat diterima dengan baik, begitu seterusnya. Tidak ada kalah-mengalahkan, yang ada hanya ‘menciptakan permainan yang indah’. Sepakbola otomatis dibawa orang-orang Belanda ke daerah kita. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa permainan sepakbola dimainkan pertama kali oleh sinyo-sinyo Belanda dan populer hanya di kalangan mereka awalnya. Sebuah  foto bertahun 1906 (Rusli Amran, 1986: 171), misalnya, memperlihatkan: pemain tim “Ster van Agam”, Bintang Agam, hampir seluruhnya berwajah Belanda. Terlihat, setidak-tidaknya, dari 11 orang pemain yang berfose, hanya 2 orang yang tampak berwajah pribumi.  Begitu pun lawan tandingnya dalam foto itu, berkostum bergaris-garis vertikal, pemain THOR juga didominasi wajah-wajah Belanda.   

Dari orang-orang Belanda itulah sepakbola kemudian ‘ditularkan’ kepada pribumi-pribumi yang telah secara ‘kultural’ memiliki kedekatan hubungan dengan mereka. Biasanya para ambtenaar (pegawai negeri) atau pun kaum terpelajar sekolah-sekolah Belanda. Untuk yang disebutkan terakhir, banyak pemuda-pemuda Indonesia yang bersekolah di sekolah Belanda adalah pemain-pemain bola, setidak-tidaknya pecinta bola. Sebut saja Tan Malaka, Sjahrir, atau Bung Hatta. Atau bisa jadi tidak begitu. Toh, kerusuhan suporter terjadi di hampir setiap daerah yang bahkan telah punya tradisi sepakbola yang tua sekali pun. Barangkali di sisi ini Colombijn bisa dipakai: sepakbola masa itu merupakan sarana mengekspresikan identitas sesuatu etnis dalam beroposisi dengan etnis lainnya. Tim sepakbola merekrut pemain berdasarkan prinsip-prinsip kesukuan. Dan pertandingan antarklub—yang menghimpun anggotanya yang sesama etnis itu—merupakan sarana pelepasan uneg-uneg mereka terhadap etnis lain. Dan di sisi lain, pertandingan sepakbola juga  merupakan sarana untuk menunjukkan bahwa etnis tertentu lebih superior dibanding etnis lain. Perasaan etnisitas yang kuat dan cendrung berlebihan akan menyebabkan orang dengan gampang berkelahi mempertahankan marwah etnisnya yang tengah dipertaruhkan di lapangan. Jika marwah etnisnya diinjak-injak, karena kalah atau dicemooh, mereka akan membelanya mati-matian. Begitu pun jika yang bermain kampungnya, kampungnya yang dibela. Tidakkah dikenal prinsip: “tegak di kaum membela kaum, tegak di kampung membela kampung”? Tidakkah ini bisa juga dipakai dalam sepakbola?  Setiap anggota suku maupun anggota kampung, dengan begitu, berpotensi untuk menjadi agresif dalam membela etnis dan kampungnya. Namun, pada orang Minang, keakuan itu sedikit lebih besar sehingga berkelahi pun mereka mau jika superioritas itu terganggu. Untuk sementara kita bisa memberi jawabnya, bahwa ke-aku-an etnisitas yang tinggi dari orang Minang itulah, yang menganggap dirinya superior yang tidak boleh kalah dan harus menang, yang jadi soalnya. Kebanggaan yang berlebihan menyebut diri “aku orang Minang!” atau “aku anak nagari kampung itu yang harus membela kampungnya” itulah barangkali yang membuat sentimen kesukuan maupun sentimen kedaerahan gampang tersulut di lapangan hijau.

Perasaan superior di kalangan orang Minangkabau itu konon pernah meredup pasca-PRRI. Orang-orang inferior untuk menunjukkan identitas keminangkabauannya. Namun tampaknya, toh, identitas kesukuan itu kini kuat dan meninggi lagi, setidak-tidaknya dalam sepakbola. Sampai hari ini, di saat etnis lain sudah tidak terlalu menonjolkan warna-warna kesukuan, nama-nama klup sepakbola dari Padang masih berumbul-umpul etnisitas. Jika masa Belanda ada klub dengan nama Minangkabau Voetbalbond, kini PSP Padang, misalnya, diberi gelar Pandeka Minang yang nyata-nyata menunjuk pada kebanggaan etnis Minangkabau sebagai pandeka, pendekar. Semen Padang diberi julukan Kabau Sirah yang juga menunjuk pada lambang kerbau sebagai icon Minangkabau yang kuat dan tangguh. Dan yang terakhir adalah club teranyar asal Padang yang pernah ikut dalam Liga Primer Indonesia (LPI) diberi nama Minangkabau FC, yang semakin nyata menunjukkan ke-aku-an etnisitas orang Minangkabau di tengah etnis lain yang nyaris tidak memiliki kluk sepakbola yang bernada suku. Bukankah tidak ada Batak FC, PS. Dayak, atau Sunda Berjaya misalnya? Tampaknya, ekpresi kesukuan yang semarak pada masa Belanda itulah pula yang masih hendak diperlihatkan orang Minang dalam sepakbola dan melalui sepakbola sekarang ini. Sekali pun, siapa pun tahu, bahwa pemain-pemain klub-klub sepakbola itu hampir-hampir tidak ada lagi yang orang Minang, tapi orang asing yang disewa. Apakah ini sebuah kemajuan atau justru kemunduran bagi pertumbuhan semangat kebangsaan yang hendak meretas batas-batas kesukuan itu? Atau ini merupakan ekspresi belaka dari sebuah etnis yang superioritas dalam diri masyarakatnya dipadamkan oleh kekuasaan selama berpuluh-puluh tahun? Oleh cap pemberontak, atau stigma Padang bengkok, misalnya? 

:: Artikel akan dipublikasikan di Jurnal Khazanah edisi Januari-Juni 2012

Minggu, 11 Maret 2012

Pencatat Melayu yang Bukan Melayu : Suara-Suara Kolonialis-Orientalis

Oleh : Deddy Arsya & (ed.) Muhammad Ilham 

Karya lengkap dan paling berpengaruh untuk kajian orientalisme ditulis Edward Said, Orientalism (versi terjemahan nya, Orientalisme, terbit 1985). Dalam buku itu, Edwar Said mema-parkan bagaimana dunia Timur di mata orientalis Barat adalah Timur yang bersifat representatif; Timur adalah citra, demostikasi, dan generalisasi dari realitas Timur yang sebenarnya. Timur yang khusus dan spesifik, tutur Said, ditranstimurkan menjadi Timur yang umum yang mewakili seluruh Timur. Atau dengan kata lain, Timur yang personal, khusus, dan spesifik itu menjadi representasi dari Timur yang luas terbentang dan kompleks.  Melayu sebagai bagian dari Timur (versi orientalis) adalah bagian dari objek kajian orientalis. Melayu mendapat perlakuan yang sama seperti dunia Timur lainnya seperti yang disebutkan Edward Said di atas sejak berabad-abad silam. Wiliam Marsden, missalnya, menulis History of Sumatera (versi terjemahannya, Sejarah Sumatera, terbit 2008) di abad ke-18. Karya ini merupa-kan laporan perjalanan orang Inggris tersebut ke Suma-tera. Marsden mencatat hampir semua aspek dari Sumatera yang telah diamatinya. Mulai dari flora dan fauna, bentangan alam dan iklim, sampai kepada tabiat suku-suku di tanah Andalas itu. Tentang Melayu, Marsden mencatat, Melayu identik dengan fauna khas yang dimilikinya. Melayu yang luas dan komplek, dalam paparan Marsden, diringkaskan dalam dua kata saja. Melayu bagi Marsden tak ubahnya seperti kerbau: malas dan suka mengalai, sedikit-sedikit tidur, dan suka bersantai-santai.  

Namun di sisi lain, catat Marsden lagi, Melayu yang ‘diam’ itu juga bisa menjadi barbar dan kejam seperti harimau. (Gambaran yang kedua ini selaras dengan bagaimana terminologi “Bajak Laut Melayu” mendapat porsinya yang signifikan di kalangan orang Eropa, ditakutkan para pelancong dan pelaut Barat, dan menjadi ancaman serius bagi kuasa-politik kolonial sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.  Gambaran dari kontradiksi dan generalisasi dunia Melayu dalam citra yang dibangun Wiliam Marsden (dan mungkin oleh beberapa orientalis lain) tentang Melayu di atas muncul lagi dua ratus tahunan kemudian dalam Cinta di Dalam Gelas. Watak Melayu yang kontrafiktif versi Marsden misalnya tergambar pada sosok Pamanda Ikal, yang digambarkan pemberang, licik, keras, tetapi juga lembut dan penyayang. Ia tidak segan-segan ber-konspirasi demi menjungkangkan Maryamah bersama Motarom cs. dalam lomba catur, tetapi kadang ia juga ditampilkan penyayang terhadap sanak-keluarganya. Atau secara umum, keseluruhan tokoh dalam novel ini menegaskan bahwa Melayu memang ramah dan tenang (diwakilkan Selamot, dkk.), tetapi di sisi lain juga licik, beringas, pendendam (diwakilkan Mutarom, Aziz, dkk.).    

Contoh lain dari generalisasi watak Melayu dilakukan oleh Ikal (tokoh utama dalam novel ini). Oleh Ikal, watak Melayu dan segala yang berhubungan dengan Melayu, terepresentasi hanya dalam beberapa watak orang Melayu pulau Belitong. Tanah Melayu yang terbentang luas, menjangkau Sumatera, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Benua Asia, dengan kekomplekannya, hanya diwakilkan oleh beberapa orang dari pulau kecil di pantai timur Sumatera itu. Beberapa orang Melayu Belitong itu adalah gambaran Melayu seluruhnya. Melayu yang tidak sama dengan orang Tionghoa (yang tidur lebih awal agar bisa bangun pagi dan kembali bekerja keras). Ketika orang Tionghoa memilih tidur cepat karena harus bangun pagi untuk bekerja keras, ‘orang-orang Melayu Andrea’ malah menghabiskan malam mereka di kedai-kedai kopi membicarakan omong-kosong, berkeluh-kesah atau menyerempet ketidak-becusan pemerintah. “Karena lelaki Melayu gemar berlama-lama di warung kopi, dan yang mereka lakukan di sana selain minum kopi dan menjelek-jelekkan pemerintah adalah main catur …,” tulis Andrea (pemiringan tulisan dari penulis). Orang Melayu dengan kata lain adalah juga, bagi Andrea, terepresentasikan oleh orang-orang kota kecil Belitong yang tidak bisa ditertibkan, yang tidak bisa dimoderenkan. Ketika jalan-jalan kota Melayu kecil itu ‘dimoderenkan’ dengan diberi lampu merah untuk tujuan ketertiban, ‘orang Melayu’ tetap tak bisa ditertibkan. Lampu jalan itu tidak ada gunanya dipasang karena orang Melayu tak pernah bisa tertib dan melanggarnya terus-menerus. Traffic Light itu, tulis Andrea, “… bukan, bukan rusak, tapi sengaja dimatikan karena warna apa pun yang menyala, tak seorang pun mengacuhkannya.”  Watak ‘beberapa orang Melayu di pulau Belitong’ itulah, oleh Andrea, sekali lagi, mewakili watak orang Melayu seluruhnya.  Di sinilah terlihat bahwa yang spesifik dan yang personal, oleh Andrea Hirata menjadi yang umum.    

Pembicaraan tentang Timur oleh Barat berarti pembicaraan tentang Timur yang bukan untuk Timur, tetapi untuk kepentingan yang membicarakannya yaitu Barat. Edward Said mengungkapkan bahwa orientalis menjadikan Timur sebagai objek untuk kepentingan Barat yang selamanya tetap menjadi Subjek. Timur tidak diizinkan menampilkan dirinya sendiri. Tetapi penampilan Timur adalah hasil dari rekontruksi Timur oleh Barat. Dalam Cinta di Dalam Gelas, pembicaraan tentang Melayu dilakukan oleh Ikal yang ‘Barat’. Ikal memerankan pencatat kemelayuan yang mencatat apa saja tentang Melayu. Ia adalah murid-didikan Eropa yang merekonstruksi dunia Melayu dengan kerangka berpikir Baratnya tanpa mengizinkan Timur menyumbulka dirinya sendiri kepadanya. Jika pun Timur memperlihatkan dirinya sendiri kepada Ikal, dengan beberapa orang Melayu-nya, Ikal ternyata harus membangun kembali atau setidak-tidaknya memodifikasi gambaran Timur tersebut dengan menyelaraskannya dengan kerangka pikir Profesor-Doktor Baratnya.  Andrea, misalnya, menulis: Ikal “…telah diajar oleh profesor bermutu tinggi”. Ikal “berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedakan watak orang Melayu udik.” (hlm. 109)

 Buku Besar Peminum Kopi yang disusun Ikal adalah semacam ‘karya agung’ tentang Melayu yang coraknya hampir mirip karya-karya orientalis. Dalam menyusun buku itu, Ikal seperti orang-orang Eropa abad ke-18 dan ke-19 menulis Timur. Mereka, menurut Edwar Said, mencatat sejarah, zaman, dan geografi Timur untuk membuat suatu generalisasi dari setiap detail yang bisa diamati, dan merumuskan hukum yang mutlak mengenai watak, temperamen, mentalitas, adat-istiadat, atau tipe Timur dari setiap generalisasi itu.  Ikal, seperti telah juga disinggung selumnya, mencoba mengikuti guru-Belanda-Baratnya itu mengkategorikan tabiat orang Melayu ke dalam tipe-tipe tertentu. Ikal menyusun “semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami.”  Buku tersebut, bagi Ikal, diharapkan dapat berguna kelak jika “sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memusnahkan dinosaurus.” Buku tersebut berguna kelak bagi generasi yang kemudian untuk dipakai “menciptakan lagi masyarakat Melayu”.  Logika ‘menyelamatkan Melayu dari kepunahan’ atau ‘menciptakan lagi masyarakat Melayu’ yang dipakai Ikal, sesungguhnya sangat bercorak orientalis yang sok ingin menyelamatkan timur dari kehancuran dengan mempelajarinya dan mengkategorikannya, tetapi sebenarnya untuk menaklukkannya demi kepentingan penakluknya, imperialis Eropa. Tentu saja, hasrat kolonialis seperti itu tidak tampak pada diri Ikal, tetapi corak pikir kolonialis-lah yang diwarisinya.        

Corak berpikir kolonialis lain (diwakilkan oleh orientalis) adalah diaspora barat yang agung ke dunia timur yang bejat. Barat adalah pusat, dan timur selalu periperi. Dari pusatlah nilai-nilai menyebar ke wilayah periperi.  (Edward Said, 1985; Yusuf Syoeib 1980). Dengan Barat sebagai 'asal' dari segala hal yang ada di Timur, Barat kemudian menghegemoni Timur, menghegemoni 'sekutu-sekutunya'. Sehingga kemudian lahir apa yang disebut Gramsci sebagai kelas dominant dan subordinate classes (Antonio Gramsci dalam Alexandre Leger, 2001).  Barat sebagai kelas yang dominan mensupremasi dirinya atas Timur yang oposan. Apa yang milik oposan menjadi milik kelas yang dominan. Apa yang ada di wilayah oposan senantiasa mendapat warna dari yang dominan.   Dalam novel Cinta di dalam Gelas, jurus jitu catur Matarom, Rezim Matarom, menurut Ikal, adalah teknik yang sama yang pernah dipakai Nazi untuk mengalahkan Polandia para Perang Dunia II, yaitu ‘Serangan Halilintar’ yang dilakukan tentara Nazi ketika pagi-buta ke jantung pertahan Polandia. Dari situ kita tahu bahwa teknik bermain catur Matarom yang Melayu, diikatkan pada teknik serupa milik Eropa. Apa yang dipunyai Melayu tidak pernah sungguh-sungguh milik Melayu, tetapi ia hasil diaspora (penyebaran) dari apa yang menjadi milik Eropa yang agung. Eropa adalah pusat, yang dominan, sementara Melayu adalah periperi, daerah sebaran, daerah pinggiran; Eropa berhak mensupremasi Melayu. Maka apa yang bijak dari Melayu pada dasarnya berasal dari Eropa. Atau dalam kata lain, Melayu yang timur berada sebagai himpunan nilai-nilai yang senantiasa diwarnai, dipengaruhi, atau dikaitkan dengan Eropa.   

Diaspora barat ke timur ini melahirkan pula anggapan bahwa barat superior dan timur yang inferior. Pusat selalu lebih unggul dari yang pinggiran. Yang dominan mengendalikan, mengatur, mengetuai, menyelamatkan, menobatkan, dst, yang liyan. Oleh sebab itu, Barat yang dominan selalu lebih hebat dari Timur yang hanya sebaran darinya. Anggapan ini telah dikawal berabad-abad lalu oleh imperialis dengan para orientalis mereka. Ini pula kini yang ‘diterbitkan’ kembali oleh Andrea Hirata melalui novel ini.  Superior-inferior ini bisa dilihat: Maryamah yang tidak bisa bermain catur sama sekali, berguru pada pecatur perempuan dunia bernama Ninochka Stranovsky.  “Bayangkan,” tulis Andrea, “seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan.” Dalam proses tranformasi ilmu kepada Maryamah itu pula tergambar bagaimana Nochka yang dari ‘jantung Eropa’ terpingkal-pingkal mendengar cerita Ikal tentang Maryamah yang timur itu, yang Melayu, yang lucu. Nochka geli membayangkan tentang tingkah-polah kemelayuan Maryamah ‘yang berbeda’, yang unik, yang udik—oleh sebab itu menjadi menarik. “Ceritamu membuatku rindu ingin backpacking lagi, ingin melihat tempat-tempat yang jauh dan masyarakat yang unik,” tutur Nochka. Maryamah tidak saja menarik bagi Nochka yang barat karena keudikannya, tetapi lebih dari itu, dan mungkin yang terpenting: Maryamah yang Melayu itu mesti diangkat martabatnya, diselamatkan dari kegelapan nasibnya! Maka barat harus menjadi guru bagi timur; Melayu yang ‘buta huruf’ harus diaksarakan oleh Eropa yang cerdik-terpelajar.   

Kecendrungan seperti di atas ini, misalnya. secara lebih komplek dan meyakinkan telah muncul di dunia kita sejak Napoleon, seperti dicatatkan Edwar Said, menginvasi Mesir dengan membawa berlusin-lusin ilmuan dan peneliti. Mesir yang krisis, udik, dan larut dalam kejumudan berpikir harus ‘diselamatkan’ oleh kemajuan ilmiah Eropa yang gilang-gemilang, demi agar Mesir dapat kembali ke martabatnya yang agung di masa lalu. Karena keudikan dan kepurbaannya pula, Mesir dipandang dengan geli oleh Eropa yang modern (1984: 89). Lihat misalnya bagaimana ulama dan cendikiawan Mesir yang udik dan jumud terperangah di depan penemuan Eropa yang modern dan maju berupa alat-alat kimiah, seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi.  Melihat keudikan Timur itu, orang Eropa mungkin akan berkata sambil menggelengkan kepala dan tersenyum dengan sumbing: dasar Timur kampungan! Sedikit lebih mengejek dari tertawa geli Nochka dalam Cinta di Dalam Gelas Andrea Hirata memandang keudikan Melayu Maryamah.  

:: Artikel telah diterbitkan di Jurnal Tabuah edisi Juli-Desember 2011