Rabu, 30 November 2011

"Die Reise Der TRÄNEN" (Perjalanan Air Mata)

Oleh : Muhammad Ilham

Tiga dari empat khalifah/mati terbunuh/darah tetes di tengah rumah – Ya Rasulullah !
(Taufiq Ismail)

Ketika Khalifah ke-tiga, Utsman bin Affan (semoga Allah SWT. sentiasa menyayanginya) terbunuh, maka bermulalah cerita konflik internal berkepanjangan dalam tubuh ummat Islam. Ketidakmauan Ali mengusut secara tuntas pembunuhan ini, memunculkan “opini liar” ditengah-tengah masyarakat kala itu, Ali merestui gerakan para perusuh yang membunuh Utsman. Dan, ketegangan antara Aisyah ra. (cs) ini berakhir dengan perang. Thalhah dan Zubeir gugur (kedua orang mereka ini termasuk sahabat paling utama Rasulullah, bahkan dianggap memiliki “tiket-jaminan” masuk sorga). Sementara Aisyah ra. – janda Rasulullah – ditangkap dan dipulangkan dengan baik-baik ke Madinah. Ketika putra Ali bin Abi Thalib – Al-Hasan bin Ali ra. menyerahkan hak pemerintahan ke tangan Mu’awiyyah anak Abi Syofyan dan Hindun (Hindun dalam sejarah dicatat sebagai wanita yang pernah memakan jantung/hati Hamzah paman Rasulullah setelah Hamzah gugur dalam peperangan). Ini terjadi pada 41 H. Saudara kembar Al-Hasan, Al-Hussein bin Ali ra., dibujuk oleh penduduk Kuffah – tempat Muawiyyah “bersemayam” – untuk datang dan dibai’at. Abdullah bin Abbas, sepupunya, serta Abdullah bin Umar bin Al-Khattab, sudah merayunya untuk tidak berangkat. Namun ini ditolak oleh Al-Hussein. Takdir kemudian menentukan : Al-Hussein bin Ali ra. bersama keluarga dan para pengawalnya dibantai oleh bala tentara Gubernur Basrah di Padang Karbala. Ini tejadi pada era Yazid bin Mu’awiyyah. Inilah salah satu episode heroic berbasis etos dendam yang kelak menentukan karakter pembentukan kelompok keagamaan (Syi’ah). Kepala Al-Hussein dipenggal dan kemudian diarak-arak di seputar kota Damaskus. ………….. “Darah Tetes di tengah rumah, Ya Rasulullah!”.







"DIE REISE DER TRÄNEN" (Perjalanan Air Mata) bagian 1-4, sebuah film sejarah berbahasa Arab dengan subtitel bahasa Jerman. Film sejarah dengan setting "menggetarkan" .... KARBALA, peristiwa pembunuhan cucu Nabi - Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Sang Pembunuh juga mengklaim bahwa ini adalah misi Islam. Tragik dan ironik. Peristiwa yang begitu mengguncang dunia Islam pada waktu itu (41 Hijriah, bertepatan dengan tahun 685 Masehi)





Terima kasih Kak Ida Muis atas inspirasi dan diskusinya. Semoga "tetap bersemangat" dan sehat
di Hamburg, Germany sana.


Sumber Film : youtube.com

Senin, 28 November 2011

Variabel Transisi Demokrasi

Oleh : Muhammad Ilham

Ada empat variabel, dalam tradisi ilmu politik, untuk menentukan apakah negara tersebut menjalani masa transisi secara damai atau anarkis bahkan "berdarah". Pertama, Watak Civil Society. Konsep ini mengacu kepada kemampuan, dinamika dan kemampuan organisasi kemasyarakatan. Dalam masyarakat transisi, civil society-nya penuh dengan dinamika. Masyarakatnya terlibat secara emosional dengan persoalan-persoalan publik. Namun, Civil Society ini memiliki dua karakter yaitu karakter demokratis dan karakter sekterian-parokial-primordial. Karakter pertama "dihidupi" oleh aura dan nilai-nilai penghargaan terhadap pluralisme, kesediaan berkompromi untuk mewujudkan platform bersama yang demokratis serta timbulnya iklim kritik-terbuka dan transparan. Sementara yang kedua, dimotivasi oleh semangat fanatisme ideologi atau agama, anti-pluralisme, menginginkan previlese (baca: hak-hak khusus) bagi suatu kelompok dan anti kritik. Di antara kedua karakter civil society tersebut, hanya berkarakter demokratis yang memiliki kontribusi pada penyelenggaraan transisi secara damai.

Kedua, efektifitas pemerintah dalam mewujudkan atau mengimplementasikan kebijakannya. Pemerintah merupakan satu-satunya "organ" yang sah-legal untuk bertindak mengatasnamakan masyarakat secara keseluruhan. Memiliki daya paksa. Pemerintah yang efektif sangat mudah mempengaruhi kondisi politik secara nasional. Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang dipercaya oleh masyarakatnya. Pemerintah jenis ini dapat mempengaruhi transisi ke demokrasi secara damai. Sebaliknya, pemerintahan yang lemah dan kehilangan legitimasi, maka kebijakan-kebijakan mereka akan mudah dinilai dan ditafsirkan oleh kelompok politik lain sebagai upaya manipulatif. Dengan sendirinya, kebijakan-kebijakan tersebut bukannya diikuti, malah dilawan. Pemerintah jenis ini berpotensi membawa negara ke arah anarki.

Ketiga, Political Society. Konsep ini mengacu kepada aturan main yang menjadi mekanisme kompetisi politik antar aktor dan organisasi politik. Aturan main politik sangat penting. Dalam masyarakat politik ini, juga terdiri dari dua karakter yaitu masyarakat politik harmoni dan masyarakat politik terdisintegrasi. Masyarakat politik yang harmoni akan mudah menerima kemenangan atau kekalahan dalam sebuah kompetisi politik. Penyebabnya, karena mereka yakin dan percaya akan sifat adil dan jujur dari kompetisi. Pihak yang kalah merasa kalah secara fair dan bukan merasa dicurangi oleh sebuah sistem atau aturan main yang manipulatif. Masyarakat tipikal ini memiliki kontribusi bagi terciptanya transisi damai. Sedangkan masyarakat politik yang terdisintegrasi sangatlah rawan. Kekalahan dan kemenangan sangat sulit diterima dengan lapang dada. Bukan karena faktor kebesaran jiwa para aktor politik, akan tetapi lebih disebabkan kepada rasa dizalimi oleh aturan main yang manipulatif. Bahkan, konflik tidak akan menyusut setelah terselenggaranya kompetisi politik melalui pemilu, justru konflik semakin rawan dan menakutkan. Tipikal ini dengan cepat akan membawa negara ke dalam anarki yang berkepanjangan.

Dan yang Keempat, soal kondisi ekonomi. Memang harus diakui, bahwa ekonomi bukanlah satu-satu soal, namun memiliki peranan yang sangat signifikan karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan tersedianya lapangan pekerjaan. Perekonomian yang tumbuh akan memberikan kesejahteraan yang lebih kepada masyarakatnya. Kepuasan publik akan meningkat. Kepuasan publik yang meningkat akan berkorelasi positif dengan kemampuan pemerintah membawa masyarakat menuju demokrasi damai. Sebaliknya, ekonomi yang memburuk justru menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat akan menjadi rumput kering yang akan mudah terbakar untuk melawan dan marah secara massal. Krisis ekonomi akan mudah menyulut anarki berkepanjangan.

Pertanyaannya : "Bila diperhatikan variabel-variabel di atas, apakah Indonesia masa reformasi ini bisa atau berpotensi melakukan transisi secara damai ?"

Selasa, 22 November 2011

Ketika Monarki (Sudah) Mulai Digugat : "Fenomena Bahrain"

Oleh : Muhammad Ilham

"Revolusi itu menjalar", setidaknya demikian diktum gerakan sosial yang sering didengung-dengungkan. Dan hari ini, kawasan Timur Tengah nampaknya - meminjam istilah Soekarno - "belum selesai melaksanakan revolusi" mereka. Bila gerakan sosial yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman, Libya dan Suriah menggugat keberadaan tiran dari kalangan rakyat biasa (Ben Ali, Hosni Mubarak, dan Moammar Khaddafi serta Bashar al-Assad), maka pergerakan isu gerakan sosial di kawasan Timur Tengah sudah mulai intens menjangkau kawasan "tabu-politik", menggugat eksistensi monarki. Ini bermula dari Bahrain. Kerajaan/keemiran kaya minyak di kawasan Teluk ini, sedang menghadapi gerakan sosial yang bukan lagi sekedar gerakan protes menggugat politisi mereka (saya tak tahu, apakah negara ini memiliki politisi). Tapi sudah menukik pada gerakan yang membuat Arab Saudi (negara pilar monarki di kawasan Timur Tengah) merasa khawatir. Rakyat Bahrain sudah berani menentang eksistensi Sultan Hamad ibn Isa Khalifa. Menentang hedonisme dan sistem politik yang diterapkan oleh Sultan yang teramat dekat dengan Arab Saudi tersebut. Arab Saudi pantas merasa khawatir. Bila eksperimen rakyat Bahrain bisa menjatuhkan Sultan Hamad ibn Isa Khalifa, tentu ini menjadi "gempa bumi" bagi eksistensi monarki-monarki di kawasan Timur Tengah. Karena itu pula, sebelum "revolusi" ini menjalar, Arab Saudi mengirimkan ratusan tentara lengkap. Al-jazeera melaporkan terjadi "pembantaian" demonstran di Bahrain, sebagaimana halnya yang terjadi di Suriah, misalnya. Seperti biasa, Liga Arab, NATO dan PBB (apalagi Amerika Serikat), mendiamkan Bahrain dan "menaikkan" Suriah.

Hingga sekarang, gerakan sosial yang (bisa) mengarah kepada revolusi di Bahrain terus berlangsung, walau tidak sesporadik Suriah ataupun Yaman. Namun, bila eksperimen revolusi Bahrain berhasil, tentu monarki-monarki di Timur Tengah akan merasakan bagaimana hukum dari revolusi itu sendiri .............. "menjalar".


Syekh Hamad ibn Isa Khalifa, Sultan Bahrain bersama (mantan) Presiden Amerika Serikat George W. Bush


Nampaknya ke depan, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya (Inggris dan Perancis) serta yang masuk dalam "kategori" historis-kultural Barat seperti Australia, merasa berkepentingan untuk menjaga eksistensi monarki di Timur Tengah. Demokrasi/demokratisasi bukan menjadi parameter utama, namun kepentingan ekonomi dan politik adalah entitas abstrak yang jauh lebih utama. Sudah menjadi "ayat politik" bahwa dalam politik, tidak ada yang gratis. Secara prediktif, kita bisa membayangkan peran Barat selanjutnya di Libya, khususnya dalam masalah minyak, sebab penguasa baru pasti merasa berutang budi kepada NATO yang telah berhasil melumpuhkan rezim Moammar Qaddafi dengan dibantu oleh serangan udara. Sebagai seorang Muslim, kita tentu selalu berharap agar rezim-rezim pengganti ini tidak lupa kepada cita-cita revolusioner mereka untuk berpihak kepada rakyat dan keadilan, yang sebelumnya hampir absen selama sekian puluh tahun. Saya melihat, pergantian rezim-rezim di kawasan Timur Tengah tidaklah begitu penting dan urgen bagi Barat, sebagaimana yang terlihat selama ini. Selama rezim-rezim itu siap menjaga kepentingan Barat, tidak peduli apakah diktator, demokratik, atau campuran dari keduanya, pasti akan didukung. Slogan demokrasi dan hak-hak asasi manusia yang dikibarkan Barat selama ini tidak lain adalah topeng untuk mengelabui mangsanya. Dan ....... monarki-monarki di Kawasan Timur Tengah adalah pendukung setia "kepentingan Barat" itu sendiri. Simbiosis mutualisme kepentingan berlaku, walau sebenarnya hanya satu pihak yang paling (banyak) diuntungkan.








Foto : al-jazeerra.com/reuters.com

Senin, 21 November 2011

Bola dan Aroma Nasionalisme

Oleh : Muhammad Ilham

" .... boooola, kau terobos gawang cintaku ... ooo ya ... oo ya .... kaulah sang primadoona ... booola "
(Ona Sutra, penggalan nyanyi Dangdut)

Baru kali ini saya merasa bangga dan kenal dengan yang namanya Indonesia !
(Status FB "kawan sebelah" tentang kebanggaannya pada Tim Sepak Bola Indonesia)

Ada aroma nasionalisme di Gelora Bung Karno (GBK) dan di depan layar televisi dalam beberapa hari terakhir ini. Semuanya karena Bola dan "Garuda di Dadaku". Nasionalisme sepertinya di keseharian mulai terkikis, entah karena tawuran antara warga, atau korupsi yang menghiasi halaman depan surat kabar dan televisi. Namun kemarin Nasionalisme itu hadir, saat Tim Garuda Muda bertanding melawan Vietnam, Malaysia, Singapura dan Thailand. Apakah berlebihan bila saya mengatakan bahwa aroma nasionalisme ada di GBK ? Nampaknya tidak sama sekali, bila yang kita bicarakan adalah nasionalisme bangsa. Melihat aura nasionalisme di GBK beberapa malam terakhir ini, membuat saya teringat dengan Peristiwa Lapangan Ikada pada tahun 1945. Lapangan Ikada ini telah "berpindah" ke GBK, sebuah tempat dimana yang ada hanya satu warna, lautan manusia berbaju merah yang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan bergetar haru bercampur bangga, dan memekikkan satu suara: “Indonesia! Indonesia!”, bahkan ditambah dengan "Tibo" ... "Tibo" ... "Wanggai" .... Wanggai" .... dua striker U-23 asli Papua, sebuah daerah yang belakangan ini dipertanyakan nasionalisme mereka. Mereka menamakan dunia itu sepak bola, bahkan sebagian menganggapnya lagi "agama" (tanda kutip).

Sepak bola bagi banyak negara tidak lagi olahraga semata. Tetapi sudah menjadi harkat dan martabat negara dan bangsa. Karena itu, Kiper La Furia Roja Spanyol, Iker Cassilas mengatakan : "sepak bola adalah harga diri bangsa, dan ditengah banyaknya pengangguran di Spanyol akhir-akhir ini, kami ingin memberikan kebahagiaan tersendiri bagi rakyat Spanyol untuk bangga sebagai orang Spanyol" (reuters.com). Senada dengan Iker Cassilas, striker Pattrick Wanggai berujar : "semoga bola memberikan rasa damai di Papua" (okezone.com). Bola menjadi ukuran martabat, karena tuntutan-tuntutan fundamental dalam sepak bola seperti sportivitas, kecepatan, kekuatan, kerjasama dan kecerdasan, telah menyatu dengan tuntutan fundamental bangsa itu. Kekalahan dan kemenangan dianggap mewakili harga diri bangsa. Karena itu kemenangan dihargai setinggi langit, sedangkan kekalahan dicampak ke dasar jurang yang paling dalam. Semua negara yang bermartabat dan beradab dalam sepak bola tahu akan risiko itu. Tahu apa artinya menang, dan tahu pula apa artinya kalah. Bola memang luar biasa, mampu menyatukan semua elemen manusia. Lupa dengan konflik politik ataupun kesulitan ekonomi. Tak salah memang bila Presiden FIFA, Sepp Blatter mengatakan bahwa Seandainya bola itu manusia, niscaya ia akan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, mungkin setiap empat tahun sekali.

Walaupun tim U-23 dikalahkan oleh tim Malaysia, cukup penggalan puisi ini yang ingin mewakili apresiasi saya terhadap pemain dan penonton :

..... pecah gelas berdentang.
kecewa terpaku nyilu
beta terpana
ternyata mereka sudah dewasa ... !!"


(Geliat BOLA tak seumpama kerdilnya PILKADA). Hormat buat penonton dan usaha keras Tim U-23. Bukan kalah-menang. Ada ichtiar dan pembelajaran disana.
Mereka (pemain dan penonton) benar-benar GARUDA ...... dan bukan Burung Perkutut ! (meminjam Iwan Fals)

Sebuah FootNote :


(Dari kejadian beberapa tahun lalu) : Salah seorang teman saya, mengganti Sticker salah seorang calon Gubernur dengan gambar Maradona. Ia menjadi marah bergejolak, ketika gambar itu ditutup kembali dengan sticker baru oleh tim sukses salah seorang calon gubernur. "Maradona dan Piala Dunia jauh lebih bermakna dibandingkan Pilkada", setidaknya demikian yang ingin ia sampaikan.





Sumber Foto : www.google.picture.com

Syafruddin Prawiranegara : "Genetik Sunda, Sosiologis-Historis Minangkabau"

Oleh : Muhammad Ilham

Nampaknya ada kesamaan antara SiPongki Na Ngolngolan Sinambela atau biasa dikenal dengan Tuanku Rao dengan Syafruddin Prawiranegara. Bila Tuanku Rao yang merupakan kemenakan Sisingamangaraja dan dianggap sebagai salah satu tokoh utama Perang Paderi di wilayah Pasaman dan "front utara" tersebut secara genetik berasal dari Batak tapi secara sosiologis dimaknai sebagai bagian penting dalam perjuangan sejarah Islam Minangkabau, maka demikian juga halnya dengan Syafruddin Prawiranegara. Syafruddin yang "terlambat" diberi gelar pahlawan ini (karena dianggap "pemberontak"), lahir dari rahim budaya Banten (dulu : Jawa Barat/Sunda), namun beliau ini justru dianggap sebagai "insan" Minangkabau. Membincangkan tradisi politik Minangkabau pasca kemerdekaan, sosok ayah Farid Prawiranegara ini tidak bisa dilepaskan. Seumpama Tuanku Rao yang teramat sulit orang memberi batas apakah ia orang Minangkabau atawa Batak, maka demikian juga halnya dengan Syafruddin Prawiranegara. Beliau memiliki kedekatan emosional dan historis dengan masyarakat Sumatera Barat. Buktinya, ketika Syafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Pahlawan Nasional, justru orang Sumatera Barat jauh lebih antusias dibandingkan masyarakat Banten. Menurut laporan Detik.com+, masyarakat Banten banyak yang terheran-heran Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai pahlawan nasional atas usul Pemerintah Banten. Banyak warga Banten beranggapan Sjafruddin merupakan orang Minangkabau, Sumatera. Sesungguhnya pria yang akhirnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011 ini kelahiran Banten. Sjafruddin lahir di Anyer Kidul, Serang, Banten pada 28 Februari 1911. Ayah Sjafruddin Raden Arsjad Prawiraatmadja, keturunan Sultan Banten. Sang ibu, Nur Aini binti Mas Abidin Mangundiwirya, anak pejabat pangreh praja Banten. Meski demikian, anggapan Sjafruddin merupakan orang Minang tidak terlalu salah. Kakek buyut pria yang biasa dipanggil Kuding itu, Sutan Alamintan yang berasal dari lingkungan Kerajaan Pagaruyung Minang. Sutan Alamintan mengorganisasi rakyat melawan Belanda dalam Perang Paderi. Perang Paderi ini terkenal dengan pemimpinnya Tuanku Imam Bonjol. Setelah ditangkap Belanda Sutan Alamintan dibuang ke Banten.

Dari keluarganya, darah Syafruddin memang darah pejuang. Tidak cuma sang kakek yang melawan Belanda. Saat Syafruddin berumur 12 tahun, sang ayah yang merupakan seorang jaksa juga dibuang ke Kediri, Jawa Timur, karena dianggap memihak pribumi. Raden Arsjad sebagai pejabat pemerintah Belanda menolak duduk bersila di lantai saat memberi laporan kepada pejabat Belanda. Duduk bersila dan memakai bahasa Sunda halus saat itu sudah menjadi aturan baku bagi pejabat pribumi bila berhadapan dengan penguasa Belanda. Namun Arsjad menentang aturan tersebut. Saat sang ayah dibuang ke Kediri, Syafruddin pun mengikutinya. Dengan begitu, masa hidup presiden kedua RI yang memimpin 207 hari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini tidak banyak dilewatkan di Banten. Tidak mengherankan bila kita akan kesulitan untuk menemukan jejak Sjafruddin di kota Jawara tersebut. Ia tidak dikenal di Banten karena Syafruddin menimba ilmu (keIslaman) bukan di daerah ini, tapi di Sumatera Barat. Tidak mengherankan bila pemberian gelar pahlawan nasional kepada Syafruddin pun mengejutkan masyarakat Banten. Mayoritas masyarakat Banten baru mengetahui bila pria yang memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini merupakan orang Banten.

Selain itu, ketidaktahuan masyarakat juga diakibatkan lamanya sosok Syafruddin dilupakan dalam sejarah kemerdekaan RI. Kehidupannya semakin dikucilkan dari ruang publik ketika dijebloskan penjara dengan cap pemberontak karena terlibat Pemerintah Revolusioner RI (PRRI) oleh Presiden Soekarno. Bahkan, ketika Presiden Soeharto pun sosok yang satu ini pun dianggap musuh, karena sering mengkritisi kebijakan Orde Baru. Pada Juli 1980, Sjafruddin bersama AM Fatwa, dan Bung Tomo, dilarang memberikan khutbah Idul Fitri dengan alasan kutbah mereka bisa memancin emosi masyarakat. Khutbah Syafruddin berjudul 'Kembali Pada Pancasila dan UUD 1945' isinya 80 persen soal politik. Tapi sekali lagi, biasa saja orang lahir di sebuah daerah, namun dianggap menjadi milik daerah lain. Che Guevarra yang merupakan orang Argentina, justru diagungkan kaum sosialis Bolivia. Demikian dengan Tan Malaka yang dihormati pejuang Filiphina, hingga sekarang. Beberapa ulama penyebar Islam di Sulawesi "hanya" menumpang lahir dan DNA dari ranah Minangkabau, karena orang Bugis menganggap mereka bagian dari icon Bugis itu sendiri. Tanyalah pada orang Malaysia, siapa Syekh Taher Djalaluddin. Mereka pasti secara serempak akan menjawab, "Syekh Taher adalah orang mulia Melayu Malaysia". Padahal, Syekh yang bergelar al-Falaki (karena dianggap ahli ilmu Falak tersebut) merupakan "produk asli" Minangkabau. Tapi bila ditanya pula orang Minangkabau, siapakah DN. Aidit ? Secara serempak pasti mengatakan : "gembong PKI". Dan banyak diantara orang Minangkabau akan merasa "risih" ataupun bengong, rupanya DNA DN. Aidit ini berasal dari "air danau Maninjau" - ayahnya, Haji Aidit adalah ulama dari daerah di pinggiran Danau Maninjau, dan ketika memberi nama anaknya dengan Dja'far Nawawi (DN) Aidit ketika si anak lahir di Bangka Belitung. Belakangan, Dja'far Nawawi ini diganti oleh Aidit menjadi Dipa Nusantara. "Kurang terkesan proletar", ujarnya suatu ketika kala ditanya mengapa ia mengganti nama yang "Islami" tersebut. Wallahu a'lam.

Referensi : detik.com+/7-11-2011.
Foto : masyumicentre.com

Sabtu, 19 November 2011

Meluruskan Sejarah dan "Udang Dibalik Batu"

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian Singgalang dalam Rubrik Opini/17-11-2011)

Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?"

Setiap komunitas - apakah itu kelompok ataupun golongan - membutuhkan collective of identity yang terbangun dari collective of memory. Dua hal ini menjadi dasar untuk memberikan collectif of action. Tidaklah mengherankan kemudian, setiap kelompok masyarakat, "berlomba-lomba" mengajukan pahlawan bagi daerah/golongan mereka "sendiri" (saya katakan "sendiri," karena terkadang nama-nama pahlawan yang diajukan itu, terasa "asing" dalam memory publik). Tapi sudahlah, manusia sudah ditakdirkan sebagai "homo-simbolic" yang butuh icon-identity. Saya tak bisa bayangkan, beberapa tahun ke depan, karena stock pahlawan lama-lama akan mulai habis, maka terjadi pemaksaan, atau setidaknya, pahlawan yang diterima secara parsial-lokal. Ada pahlawan di atas kertas dan ada pahlawan di dalam hati. Maka tak sulit menduga bahwa usulan gelar pahlawan mirip seumpama pesta launching new product dari bisnis yang namanya Taman Makam Pahlawan. Sebuah pesta meriah di mana Agency Event Organizer pahlawan pasti meraup untung, terutama untung politis. Tak peduli rakyat bingung dan penonton linglung.

Teringatlah saya debat antara Chaeruman Harahap yang politisi Golkar dengan sejarawan Anhar Gonggong di TV One. Perdebatan di seputar, "Apakah Soeharto Layak Jadi Pahlawan?". Perdebatannya tak perlu saya deskripsikan. Dalam tulisan terdahulu telah saya publish bagaimana "aroma" debat yang sulit mencari titik temu, karena pendekatannya sungguh berbeda - satu politis-pragmatis, satu lagi akademik-indikator-metodologis. Si akademisi terlampau "kaku" dengan indikator-indikator, sementara si politisi seperti menyuguhkan "politik balas budi", mengemukakan "Cara baik Pak Harto" (maklum dari Golkar dan sudah menjadi "hukum kemanusiaan", orang yang telah meninggal, yang baiknya saja dikenang dan dieladani, yang buruk, disembunyikan dibalik layar sejarah).

Kita tahu bahwa baik buruknya mantan Presiden Soeharto selama berkuasa 30 tahun jaman Orde Baru harus dibuka lebar sesuai dengan fakta sejarah. Masa jaya ekonomi dan ketertiban umum - yang selalu disebut sebagai kelebihan ayah Hutomo Mandala Putra ini - memang benar. Sebuah sumbangsih besar Orde Baru yang darinya kita bisa belajar. Tapi juga harus "diajarkan" pada publik, bahwa pada masanya juga terjadi rangkaian pemalsuan sejarah, sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh etnik tertentu serta orang dekatnya, hukum yang penuh rekayasa dan penyakit akut korupsi yang hingga hari ini masih sulit untuk dihabisi. Golkar yang terang terangan memanipulasi Pemilu - dan ini sudah menjadi "rahasia umum" yang tak perlu lagi diperdebatkan. Pendekatan militeristik dalam menyelesaikan gerakan-gerakan separatis. Cerita Aceh dan Irian Jaya menjadi catatan kelabu pendekatan militeristik ini. Kemudian tak kurang 600 ribu rakyat dibiarkan tewas dibantai ketika awal masa Orde Baru berkuasa. Mungkin cuma Gus Dur yang berani minta maaf kepada kaum komunis yang darahnya sempat “menghiasi” pekarangan, danau dan sungai di dusun-dusun pulau Jawa. Terlampau naif hanya melihat sisi ekonomi sambil mengesampingkan sisi kemanusiaan.

Bila calon pejabat tinggi membutuhkan fit and propert test, seluruh cara baik nan inspiratif serta "koda dan tukak"-nya harus diungkapkan pada publik, maka pahlawan sudah seharusnya diberlakukan hal yang demikian. Fit and propert test melalui "dialog sejarah" yang dinikmati publik, bukan pemalsuan sejarah apatah lagi ungkapan balas budi. Karena itu, sudah selayaknyalah sejarah diluruskan terlebih dahulu sebelum menentukan sosok yang layak jadi pahlawan. Terakhir, sudah seharusnya kita mengajukan pertanyaan, manakala sejarah palsu di pangkuan kita, manakala penegakan hukum menunjang palsunya sejarah, adakah pahlawan yang layak kita junjung dan kita teladani? Dan jika ada pihak yang getol mengajukan daftar antrian pahlawan seolah terdesak momentum, ada-kah "Udang Di balik Batu?". Wallahu a'lam.

Muhammad Ilham : Dosen IAIN Padang dalam Rubrik "Kisah" Harian Padang Ekspres

Oleh : Alee Kitonanma (Wartawan Harian Padang Ekspress)

Artikel ini dipublish dalam rubrik Kisah Harian Pagi Padang Ekspres/Minggu 20-11-2011

Tidak Pernah ia bayangkan sebelumnya, kehidupannya seperti sekarang. Dulunya Muhammad Ilham, 37, dosen IAIN Padang yang dikenal sangat produktif menulis tersebut, berasal dari keluarga yang memiliki banyak kekurangan. Demi mambangkik batang tarandam, berbagai profesi ia lalui. Mulai dari menjajakan kue talam dari rumah ke rumah, sampai belasan tahun menjadi garin mesjid. Kini ia telah berhasil menjadi dosen dan mengangkat derajat keluarganya. Ingin tahu kisahnya? Sebagai anak sulung, Ilham menyadari kekurangan keluarganya. Sejak kelas I SD sampai kelas III SMP, Ilham menjajakan kue talam di perkampungan tempat ia tinggal. Setiap pulang sekolah, anak pertama dari lima bersaudara ini berkeliling kampung dengan meletakkan tempat kue talam di atas kepalanya. Sepanjang jalan ia tak berhenti meneriakkan kue talam sebagai pengimbau warga yang ingin membeli jualannya. Setelah menamatkan pendidikan di SMP, Ilham melanjutkan ke SMA Simpang Empat Pasaman. Setahun sekolah di sana, ia terpaksa hijrah ke Payakumbuh melanjutkan sekolah, karena ayahnya yang berprofesi sebagai tukang jahit dan ibunya yang berjualan ketupat, juga harus me nanggung biaya sekolah adik-adiknya. Di Payakumbuh, Ilham bekerja di tempat famili orangtuanya sambil sekolah. “Saya bekerja di Percetakan Eleonora, Pasakabau, Payakumbuh sambil bersekolah di SMA 3 Bukiksitabuah. Kini namanya SMA 2. Setelah tamat di sana, saya ikut tes SPMB. Saya lulus di Universitas Sumatera Utara (USU) jurusan Farmasi, karena jurusan saya IPA di SMA. Tapi mau bagaimana lagi, biayanya sangat mahal bagi saya waktu itu. Kesempatan itu sangat terpaksa saya lepaskan. Tapi keinginan berkuliah sangat kuat. Saya kemudian mencoba tes masuk di IAIN Imam Bonjol jurusan Sejarah, dan alhamdulillah lulus. Untuk mengatasi dana kuliah, saya rela bekerja apa saja,” kata anak pasangan Fadli Almatrizi dan Nurliam ini.

Sambil kuliah, Ilham kemudian menjadi garin di Masjid Al Mukarramah, Jati, Padang. Tahun 1993, ia kembali mengikuti SPMB. Kali ini, Ilham mengambil jurusan Sosiologi di Unand. Ia pun lulus. Tanpa meninggalkan kuliah di IAIN, Ilham kemudian menjalani dua kuliah. Kebetulan saat itu salah seorang adiknya juga menyambung pendidikan di IAIN, dan ia pun membiayai perkuliahan adiknya itu. Bukan main sibuknya Ilham dalam berjuang ketika itu. Selain profesi garin, ia juga membuka les beberapa mata pelajaran, seperti Matematika, Fisika hingga baca Al-Quran di luar aktifitasnya menjadi garin. Walau demikian, Ilham tetap aktif di kegiatan ekstrakurikuler kampus. Ia menjadi Ketua BEM di Fisip Unand, dan menjadi ketua senat di Fakultas Adab. “Ketika itu ayah terkena stroke, saya sempat ling-lung. Sanak famili sudah meminta saya agar tinggal di kampung saja. Seharusnya, dengan kondisi yang demikian, sebagai anak jantan yang paling tua, saya memang harus tinggal di rumah, kerja melaut, mengayomi adik-adik yang hampir semuanya perempuan, dan membenahi rumah yang sudah hampir roboh,” ucapnya. Ilham mengatakan, budaya di tempat tinggalnya, jika orangtua laki-laki tak bisa mencari nafkah, maka anak sulung laki-laki harus pulang kampung untuk menjadi kepala keluarga. “Tekad saya untuk membangkik batang tarandam tetap kuat. Di kampung, saya sempat menjadi cemoohan warga, dianggap anak yang tidak tahu diuntung. Saya berjanji kepada keluarga dan adik-adik saya yang di rumah, saya minta beberapa waktu untuk menyelesaikan kuliah dulu,” papar pria kelahiran 11 Juni 1974 ini.

Ilham memburu mimpinya. Tahun 1999, di usia 23 tahun, ia kemudian mendapat kesempatan menjadi dosen di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol. Dari situ, ia mulai membenahi keluarganya di kampung halaman. Namun ia tidak meninggalkan pekerjaannya sebagai garin masjid dan guru les. Hingga 10 tahun profesi garin ia tekuni. Ia pun berhasil menjadikan adik-adiknya sarjana. “Saya baru berhenti menjadi garin dua bulan sebelum saya menikah. Saya menikah tergolong sedikit terlambat, karena baru menikah di usia 29 tahun. Karena saya harus membenahi keluarga dulu di kampung. Ketika itu bisa dikatakan saya menikah tanpa modal apa-apa. Kami mengontrak rumah dan hidup seadanya,” ungkap suami Imla Wifra ini. (Kepala PAUD Unggulan Citra Almadina Padang). Menjadi seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi sebenarnya bukanlah menjadi cita-cita Muhammad Ilham, 37, awalnya. Namun ia merasa beruntung dan sangat bersukur, karena perjalanan dan perjuangan hidupnya mengantarkannya ke arah yang lebih baik. Rintangan dan pengalaman pahit yang pernah dilaluinya, sekarang terasa sangat manis baginya. Walau hidup untuk dosen ia masih tergolong biasa dan sederhana, namun ia merasa puas dengan perjuangan hidupnya.

Ia bercerita kedatangan Gubernur Sumbar semasa jabatan Azwar Anas pada tahun 1982. Waktu itu, Airbangis masih bisa dikatakan terisolir, kehadiran gubernur bagaikan mukjizat bagi masyarakat Airbangis. Masyarakat berbondong-bondong ke tanah lapang untuk mendengarkan pidato gubernur sekaligus mengikuti kampanye. Selesai gubernur berpidato, ia menunjuk seorang anak yang berdiri di deretan depan, lalu menanyakan apakah si anak bisa membaca? Si anak menjawab ya. Sang gubernur kemudian menyuruh anak membaca Pancasila dan kandungannya. Dengan lancar anak yang duduk di kelas II SD itu membaca. Selanjutnya, sang gubernur meminta anak untuk mengikuti kata-katanya, “Hidup Golkar!” teriak gubernur dengan keras, tapi si anak diam saja. Gubernur kemudian menanyakan mengapa anak itu diam dan tidak mengikuti pekikannya. Dengan polos si anak menjawab, ”Saya dan ayah saya memilih PPP, Pak, bukan Golkar”. Cerita di atas bukanlah sebuah guyonan atau fiktif belaka. Tapi sebuah pengalaman Ilham ketika ia duduk di kelas II SD. Baginya, itu merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Karena, pengalaman itu membuat ayahnya sangat bangga padanya. Walau pun keesokan harinya guru-guru marah padanya. “Besoknya, saya dimarahi guru-guru SD, tapi saya tidak ambil pusing, karena ayah saya sangat bangga pada saya. Hari itu juga ayah langsung membelikan saya sepatu bot putih anti air, baru dari tekong Cina, bernama Liem She Kiat, di Kampung Cina, Airbangis. Ayah membelinya dengan kredit. Lagi pula, sepatu saya memang belum pernah diganti sejak saya masuk SD,” ungkap Ilham.

Sedangkan foto waktu dialog dengan gubernur tersebut, sampai hari ini tetap dipajang keluarga Ilham di Air Bangis, walaupun telah lusuh. Fotografernya merupakan teman akrab ayah Ilham, namanya Ruslin Sutan Batuah. Karena dialog tersebut membuat Ruslin Sutan Batuah ikut senang, ayah Ilham tidak harus membayar untuk menebus foto bersejarah itu. Padahal Ruslin Sutan Batuah tersebut butuh waktu tiga hari ke Padang hanya untuk mencucikan foto itu, satu untuk ayahnya, satu lagi untuk SD tempat Ilham bersekolah dan satu lagi untuk Ruslin yang bergelar Sutan Batuah. “Dulu saya bercita-cita menjadi gubernur setelah bertemu dengan gubernur itu. Tapi ternyata dalam hidup ini banyak hal kadang yang tidak sesuai dengan rencana. Menyikapi itu, kita harus sadar, Allah memiliki rencana lain. Perjalanan hidup memang tidak bisa ditebak. Walau sudah berencana sedemikian rupa, namun Allah SWT tetap menjadi penentu dalam segala hal,” pungkas Ilham.

Sumber : Harian Pagi Padang Ekspres/20-11-2011
http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=17286

Harapan dan Dunia Politik

Oleh : Muhammad Ilham

Bolehkah kita berharap ? Tentu tak salah, bahkan dianjurkan. Bukankah Imam Al-Ghazali justru menempatkan "cemas" dan "harap" dalam nukilan-nukilan teosofinya berkenaan dengan ibadah. Demikian juga, misalnya penyair klasik Cina Lut Szun pernah mengatakan bahwa : Harapan itu ibarat jalan di dalam rimba/Pada awalnya tak ada//tapi karena sering dilalui/Akhirnya//jalan itu ada dengan sendirinya/.

Demikian juga harapan kita tentang dunia politik yang diisi para politisi (itu sudah pasti, karena tidak mungkin diisi oleh seniman !). Dunia politik dan politisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah keniscayaan demokrasi. Namun melihat tingkah polah para politisi belakangan ini, setidaknya sebagaimana yang dipublish berbagai media massa, korupsi dan hedonisme yang berkembang pada badan-tubuh-jiwa mereka, membuat publik justru menganggap dunia politik dan politisi sebagai public enemy, untuk tidak mengatakan benalu. Mungkin publik over generalize, namun publik juga tidak bisa disalahkan. Ekspektasi publik terhadap dunia politik dan para politisi ini begitu besar. Karena itu tidaklah salah bila hedonisme yang menjangkiti para politisi tersebut membuat publik merasa dibodohi dan dipecundangi. Kasihan memang orang yang masuk dunia politik. Tak semua politisi itu yang busuk, pasti ada yang berhati bening dan berjiwa waras. Namun karena dunia politik adalah dunia tawar menawar, maka mau tidak mau, kepentingan publik harus dikesampingkan ketika berbenturan dengan kepentingan kelompok-partai. Banyak politisi berhati bening tidak sanggupmenolak "pakem" ini. Karena bagaimanapun juga, ketika seseorang ingin terjun di dunia politik, maka ia harus siap bergelut dengan dunia kebusukan. Kalau berhasil, dia akan menjadi politisi yang disegani kawan maupun lawan. Politik itu busuk, kata "rakyat bawah-pinggiran". Iya memang, bila kita dasarkan pada realita yang terlihat. Karena itu sebaiknya dipisahkan saja antara agama dan politik seperti di Barat. Jelas, terukur dan gentle. Kalau tidak, kasihan agama yang selalu di"tunggangi" oleh politisi-politik.

Politisi seharusnya tidak menjadi bagian utama dalam membiarkan masyarakat mempraktekkan pola berpolitik yang merusak, seperti money politic. Praktek jual beli suara hanya akan menjauhkan cita-cita indonesia menjadi lebih baik. Seorang calon yang menangnya dengan cara membayar, pasti yang dipikirkan pertama kali bagaimana mengembalikan modalnya, bukan bagaimana memperbaiki nasib rakyatnya. Politisi yang ingin memperbaiki negeri ini dengan setulus hati, agar tak mengajari rakyat dengan politik transaksional. Karena itu pula, Majelis Ulama Indonesia (pernah tahun 2009, walau tak jadi) yang berencana mengeluarkan fatwa haram Golput, idealnya justru mengeluarkan fatwa super "haram" bagi masyarakat untuk memilih politisi bermasalah dan mempraktekkan politik transaksional. Saya rasa, itu jauh lebih mendidik dan memiliki pengaruh besar dalam meniti harapan Indonesia yang lebih baik. Bagaimanapun juga, harapan ini harus terus kita pelihara !!

Catatan Tambahan :

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai menteri yang berasal dari partai politik cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan partai. Karena itu sebaiknya jabatan menteri tidak diisi orang dari partai. "Kementerian yang menterinya orang partai akan menjadikan kementeriannya untuk pundi-pundi anggaran," kata dia dalam kuliah umum pemberantasan korupsi di kampus Universitas Indonesia, Depok, Jumat 18 November 2011.
Menurut Busyro, jika ingin serius membersihkan Indonesia dari korupsi, jabatan menteri harus diisi oleh profesional dari kampus, lembaga swadaya masyarakat, dan profesional lain. Sebab, kata dia, menteri dari nonpartai bisa ditelusuri latar belakangnya sejak sekolah, kuliah, sampai ia berada di jalur profesional. Perkembangan korupsi saat ini, kata Busyro, telah merambah seluruh jajaran birokrat. Pusarannya sudah menggerogoti hakim, jaksa, kepala lembaga, kementerian, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. "Sumber korupsi itu lembaga negara, lembaga pemerintah, swasta ketika birokrasi tidak transparan." Transparansi, kata dia, merupakan kunci satu-satunya dalam memberantas korupsi. Birokrat dan politikus harus mau transparan tidak hanya dalam jabatannya, tapi juga dalam kehidupan pribadi. Orang yang punya kedudukan dalam kepemimpinan jabatan publik juga harus mau dikritik. Komitmen transparansi pun harus tecermin dari gaya dan bahasa verbal keluarga terhadap para pejabat. "Misalnya keluarga harus bisa mengkritik kalau ada anggota keluarganya yang jadi pejabat dapat barang mewah mendadak."

Ide Busyro ini mendapat dukungan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Menurut Zainal, selain hanya memperkaya partai, menteri dari partai politik tidak cakap menjalankan amanah sebagai pemimpin di kementerian. Jadi, "Jabatan menteri harus diisi oleh orang yang lebih paham," ujar dia kemarin.
Zainal mengungkapkan praktek memperkaya partai politik oleh menteri ini sudah lama terjadi. Ini bukanlah hal baru di mata masyarakat. "Sudah lama dan mengakar di kementerian." Pada bagian lain Busyro menegaskan agar terbentuk pemerintahan yang bersih, perlu ada distribusi kewenangan secara tegas. Hal ini didukung oleh komitmen transparansi dan keterbukaan informasi dalam pemerintahan. Setelah memberikan kuliah umum, Busyro menyatakan Komisi akan segera mendalami keterlibatan sejumlah pihak yang terlibat memuluskan pembangunan Stadion Hambalang. Menurut dia, ini termasuk menyelidiki keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Dari hasil penyelidikan, menurut Busyro, tidak tertutup kemungkinan akan dilakukan pemanggilan terhadap Anas. "Tergantung pada hasil penyelidikan. Kalau Anas ataupun yang lain harus diperiksa, akan kami tangani," ujar Busyro. Bekas Bendahara Umum Partai Demokrat yang sekarang menjadi tersangka korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games Jakabaring, Palembang, Muhammad Nazaruddin, menyebutkan dalam proyek Stadion Hambalang di Bogor senilai Rp 1,1 triliun itu beberapa petinggi Demokrat terlibat. Namun dalam berbagai kesempatan Anas membantah tudingan Nazaruddin itu.


Sumber Catatan Tambahan : tempointeraktif.com
Foto : www.cartoon.com

Kamis, 17 November 2011

Mr. Assaat dan Peci Beludru

Oleh : Muhammad Ilham

Dalam sebuah artikelnya, "begawan pers" Indonesia Rosihan Anwar pernah menukilkan : "Selama ini, Mr. Asaat dan Syafruddin Prawiranegara tidak pernah disebut-sebut. Orang tidak kenal lagi. Makanya, saya bilang selama ini, bangsa ini brengsek".

Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam (Asvi Warman Adam, 2006)


Di bulan "Para Pahlawan" ini, saya ingin meng-up date Mr. Asaat. Pahlawan yang teramat sangat jarang disebut. Saya mulai tulisan ini dengan Fidel Castro. Ketika, si flamboyan asal Cuba, disidangkan dalam sebuah pengadilan ketika rencana kudetanya yang pertama tidak berhasil, Castro berteriak dengan lantang di pengadilan : "Historia Me Absolvera !". Biarlah sejarah yang akan membebaskanku, demikian kira-kira maksud tokoh berjambang dan berjanggut lebat ini. Castro benar. Sejarah (hampir) selalu untuk para pemenang. Risalah dan kisah orang-orang besar, yang hidup dan pemikirannya sangat inspiratif bagi generasi berikutnya, tapi karena pilihan politiknya yang tidak sejalan dengan pilihan politik pemegang kekuasaan, "orang-orang" ini diletakkan dalam "footnote" sejarah. Tapi tetap, setiap yang inspiratif itu akan muncul oleh perjalanan waktu - setidaknya demikian kata Hemingway dalam salah satu novelnya. Sekuat apapun daya upaya pemegang kekuasaan politik menghilangkan ketokohan seseorang, melawan waktu adalah sebuah kemustahilan. Ini berlaku pada Mr. Assaat.

Tokoh bangsa kelahiran Kubang Putih Banuhampu Sumatera Barat (Minangkabau) ini, mulai dibicarakan "kembali" namanya dalam sejarah pergerakan bangsa ini. Saya katakan "kembali", karena untuk beberapa masa - mungkin satu generasi - keberadaan Mr. Assaat dalam perbincangan sejarah bangsa ini seakan-akan dihilangkan. Tidaklah mengherankan apabila suami Roesiah, putri cantik Sungai Puar ini, tidak begitu "familiar" dalam memori anak bangsa. Asvi Warman Adam (2006), ingin menggugat - istilahnya "meluruskan" - sejarah yang selama ini dipegang bangsa ini. Bagi Asvi dan kalangan sejarawan lainnya, Mr. Assaat (18 September 1904–16 Juni 1976) adalah salah seorang Presiden Republik Indonesia tokoh pejuang Indonesia. Ia adalah pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Menurut Asvi, Republik Indonesia ini dianggap pernah mengalami kekosongan atau vakum pemerintahan, bila Mr. Assaat ini tidak ditulis dalam sejarah sebagai presiden ke-3. "Bila tidak, maka RI pernah terputus sejarahnya," ujar Asvi yang mendapatkan doktor ilmu sejarahnya dari Universitas Sorbonne, Prancis ini. Beginilah versi urut-urutan Presiden Republik Indonesia menurut Asvi Warman Adam: 1. Presiden Soekarno (1945-1969) 2. Sjafruddin Prawiranegara, Presiden (Ketua) (PDRI) (1948-1949) 3. Mr Assaat, Presiden (RI-Yogyakarta) (1949-1950) 4. Presiden Soeharto (1967-1998) 5. Presiden Baharuddin Jusuf Habibie (1998-1999) 6. Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001) 7. Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) 8. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009/2009-) .

Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot bangsa yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa. Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta. Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang mereka namakan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau Bangka. Rambutnya bertambah putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr. Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan politiknya. Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya “Bung Presiden”. Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin. Ia yang pada masa kecil dan remaja ini belajar di sekolah agama “Adabiah” dan MULO Padang, dikenal religius dan menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.

Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat antara lain pada tahun 1946-1949 (Desember) menjadi Ketua KNIP dengan Badan Pekerja. Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi Penjabat Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. “Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia,” ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004. Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat kurang terdengar namanya dalam bidang politik. Pada tahun 1955 namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr. Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu itu, Parlemen menolaknya.

Ketika Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi angin pada Partai Komunis Indonesia. Mr. Assaat saat itu merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang “akan berbelanja” bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion Tanah Abang. Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra Selatan sudah dibentuk “Dewan Gajah” yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk “Dewan Banteng”. Kol. Simbolon mendirikan “Dewan Gajah” di Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun “Dewan Manguni” di Sulawesi. Akhirnya dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI. Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan mejalani “hidup” di dalam penjara “Demokrasi Terpimpin” selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru. Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat gelar Datuk Mudo ini meninggal dirumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan.

Mr. Assaat yang kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam. Peci beludrunya sudah mulai "menguning-lusuh", tapi oleh sejarah justru makin bermakna. Historia Me Absolvera !", demikian Castro.

Referensi : Asvi Warman Adam dan Bambang Purwanto (2006)

Minggu, 13 November 2011

Negara dan Hak Menggunakan Kekerasan

Oleh : Muhammad Ilham

"Tindak kekerasan selalu menjadi benih terciptanya sebentuk kesatuan politik"
(Ernst Renan)

Ketika beberapa daerah melakukan aktifitas yang beraroma subversif, katakanlah misalnya seperti di Papua belakangan ini, adilkah kita mengatakan bahwa penduduk lokal lagi jelata sebagai "pelaku utama" dari semua kerusuhan yang terjadi ? Lalu ketika negara Iran yang dianggap (sebagai) "negara biasa" melawan negara yang (dianggap) "super-negara", lantas negara "super-negara" dan para sekutunya menganggap Iran yang berasal dari komunitas "negara biasa" salah, tindak pantas melawan dan tidak boleh memiliki teknologi nuklir (walau mereka sebenarnya adalah negara produsen senjata nuklir itu sendiri). Bagaimana kita memahami konsep abstrak dari negara ? Apakah makhluk yang bernama negara ? Negara punya Presiden, punya bendera, punya rakyat, punya lagu kebangsaan dan juga punya pahlawan. Bila hanya sebatas ini, tak beda tampaknya dengan klub bola seumpama AC Milan, Real Madrid, Barcelona ataupun Manchester United. Silvio Berlusconi (PM Italia yang sekarang lagi dipusingkan dengan krisis ekonomi internal dan Eropa) juga seorang Presiden - Presiden AC. Milan. Klub bola fenomenal ini juga memiliki bendera, bahkan bendera mereka jauh lebih mendunia dibandingkan - katakanlah bendera Merah Putih. AC. Milan juga punya "rakyat", fans istilahnya yang dalam kosakata persebakbolaan dunia sering disebut Milanisti, bahkan mereka teramat fanatik. Lagu kebangsaan ? .... AC. Milan punya lagu yang menggetar-menggelorakan. Apakah AC. Milan punya pahlawan ?. Jangan ditanya, banyak. San Siro, adalah salah satu nama pahlawan mereka yang diabadikan menjadi nama stadion AC. Milan nan megah (kata orang, karena saya belum pernah ke sana). Bila Franco Baresi, Ruud Gulllit ataupun Marco van Basten meninggal dunia, saya yakin, mereka akan di-SK-kan menjadi Pahlawan AC. Milan. Demikian juga dengan FC. Barcelona, Manchester United atau Real Madrid. Klub-klub bola ini hampir mirip dengan defenisi sederhana dari negara. Lionel Messi, Eric Cantona dan Zinedine Zidane mungkin (nantinya) akan menjadi pahlawan Barcelona, MU dan Real Madrid yang akan paling sering dikenang. Persis pahlawan-pahlawan di sebuah negara, ada yang sering disebut, ada yang tidak, bahkan ada yang dianggap - dalam bahasa kampung saya - mantimun bungkuak, masuk hitungan, tapi tak berbilang.

Negara memang tak sesederhana entitas klub bola. Dahulu, Max Weber pernah memberikan defenisi tentang negara. "Negara adalah lembaga sosial, kata Weber, yang memiliki hak monopoli untuk menggunakan senjata dan melakukan tindakan kekerasan (termasuk membunuh) secara absah, didalam wilayah kedaulatannya". Weber ingin memperjelas, ada perbedaan negara dengan kelompok preman jalanan ataupun komunitas beragama. Defenisi yang dikemukakan Weber ini, teramat jarang dikutip oleh buku-buku "negara". Oleh karena itu, ketika Papua bergolak, banyak yang beranggapan bahwa anarkisme yang terjadi merupakan letusan frustrasi emosional dari masyarakat jelata, yang rasa keadilannya dilukai secara bertubi-tubi. Lalu banyak diantara kita (mungkin juga termasuk saya) yang membela dan mengabsahkan kekerasan, tetapi tetap menerima dan mengukuhkan tuduhan umum terhadap rakyat jelata lokal sebagai tersangka pelaku kekerasan tersebut. Masyarakat umumnya sudah begitu terbiasa berfikir bahwa negara memiliki aparatur hukum dan keamanan yang tupoksi-nya untuk "mengamankan" masyarakat. Negara kemudian dikenali sebagai sosok yang paling bermusuhan dengan pencuri, maling, perampok, pemberontak dan kelompok-kelompok pengacau keamanan. Dalam pemahaman ini, negara pada akhirnya dipahami sebagai pihak yang dirugikan bila dalam masyarakat terjadi kekerasan dan kerusuhan. Karena itu pula, negara Iran misalnya, dikondisikan oleh negara super kuat sebagai negara "sumbu setan" kata George W. Bush, "teroris" menurut Hillary Clinton atawa "negara yang dipimpin teroris gila" versi seorang senator AS asal Texas. Mereka tersebut seakan-akan menganggap diri mereka dan dunia sebagai korban terorisme dan tak mungkin menjadi pelaku atau penyebab utama dari terorisme itu sendiri.

Ernest Renan, ilmuan-filosof asal Perancis pernah berkata : "Tindak kekerasan selalu menjadi benih terciptanya sebentuk kesatuan politik". Sejarah kolonial Hindia Belanda yang penuh dengan kekerasan tersebut telah mampu melahirkan teori Indonesia. Saya tak bisa membayangkan bila Belanda tak menjajah Indonesia dahulu, atau hanya fokus di pulau Jawa saja, maka bisa saja, saya harus menggunakan pasport bila ke ke pulau Jawa. Demikian juga dengan pertumpahan darah tahun 1965-1966 memberikan justifikasi berdirinya rezim Orde Baru. Pembunuhan pengikut komunisme dan "anak cucu ideologisnya" menjadi bagian kekerasan kemanusiaan yang dilakukan sebuah atas nama negara untuk membentuk sebuah justified kebersatuan dan kebersamaan. Demikian juga halnya dengan kekerasan demi kekerasan yang terjadi pada tahun 1998 (yang embrionya sudah mulai sebelum tahun ini), menjadi landasan berdirinya era yang (entah siapa memberinya) bernama reformasi. Apapun yang terjadi di Papua dan (mungkin nantinya) di daerah lainnya, sudah sepantasnya kita tak melupakan defenisi negara menurut Weber di atas.

Foto : cartoon.com

Kereta Api dan Parameter Budaya Bangsa

Oleh : Muhammad Ilham

Saya pernah membaca sebuah novel karangan sastrawan Perancis, kalau tak salah namanya Jean-Paul Sartre. Ia pernah menuliskan sebuah kalimat : "Bila ingin melihat bagaimana negara memberlakukan rakyatnya, lihatlah Kereta Api-nya. Bila ingin melihat budaya negara itu, lihatlah bagaimana masyarakatnya memperlakukan Kereta Api".



Kereta Api Cepat Metro Milik Dubai

Kereta Api Cepat TGV Milik Perancis

Kereta Api Cepat AVE Milik Spanyol

Kereta Api Shinkansen Milik Jepang

Kereta Api KTX Milik Korea

Kereta Api THSR Milik Taiwan

Kereta Api (saya tak tahu merk-nya) .... ada di Pakistan

Kereta Api (saya tak tahu merk-nya) .... ada di India

Nah, ini Indonesia punya ...hehehehe

Bukan karena tidak cinta tanah air, karena bagaimanapun juga, saya masuk dalam bagian itu. Tapi otokritik (termasuk mengkritik diri sendiri) dalam menggunakan alat transportasi umum, adalah bentuk kecintaan saya terhadap bangsa dan negara ini.

Sumber Photo : beberapa situs yang "dilayari" dalam /www.google.com/

Sabtu, 12 November 2011

Soekarno : "Mengapa Aku jadi Sasaran Kesalahpahaman ?"

Oleh : Muhammad Ilham

Walau kita bisa bersepakat mengatakan Soekarno itu flamboyan, tapi masa remajanya bukan dihiasi oleh pacaran. Soekarno mendekam di kamar dengan Das Kapital. Karena itulah mungkin, Soekarno selalu mengatakan : “Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian" (Bambang Widjanarko, 1986: 77)


"Membincangan Soekarno, terkadang sering membuat kita salah duga", setidaknya Cyndi Adams pernah suatu masa berkata demikian. Dan Putra Sang Fajar ini seringkali kita identikkan dengan sesuatu yang sebenarnya tidak menjadi pilihannya. Dianggap sebagai "pelindung komunis", bahkan bagian dari komunis itu sendiri. Padahal, bila dilihat garis sejarah yang dilalui putra tersayang Ida Ayu Rai ini, karena kecintaan luar biasanya terhadap konsep "kesatuan" Indonesia, ia menjadi figur yang sadar sejarah. Sebuah kesadaran sejarah yang mengakui entitas pembentuk negara-bangsa yang dicintainya ini. Entitas riil dimana gerakan Islam, kalangan nasionalis dan kaum Marxis menjadi kontributor lahirnya bangsa "Sumpah Palapa" ini. Bagi Bung Karno, gerakan Islam, Nasionalis, dan kaum Marxis punya tujuan sama : melawan kapitalisme dan imperialisme. Pada tahun 1960, ia "proklamirkan" Nasakom. Tiga kekuatan politik yang diwakili oleh PNI, Nahdlatul Ulama sebagai kelompok agama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI), "disatukannya". Sebuah fantasi yang sebenarnya telah dipupuk Sokarno sejak ia masih muda. Ia merangkul tiga kekuatan politik itu. “Nasakom adalah jiwa yang berisi tiga kekuatan tempat kami berdiri tegak.” kata Bung Karno. “Lagi pula, banyak orang komunis yang tulang belulangnya berserakan di kuburan tak dikenal di Digoel . Mereka pejuang kemerdekaan yang ulung,” Bung Karno meyakinkan.

Lebih dari itu, Bung Karno juga gandrung kepayang terhadap persatuan Indonesia. Baginya, persatuan Indonesia adalah conditio sine qua non – syarat mutlak – bagi tegak dan jayanya Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Di hadapan anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia memaparkan lima sila yang disodorkannya sebagai dasar negera Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang beritikan tentang persatuan ia tempatkan di urutan pertama dari Pancasila. “Saya ingin menunjukan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan yang memilputi semua orang yang tinggal dari Sabang sampai Merauke,” ujarnya lantang. Soekarno mengakui menyerap ideologi dari berbagai sumber. Dari neneknya ia belajar kebudayaan Jawa dan Mistik. Ketika Soekarno masih berusia sekitar lima hingga enam tahun, ia punya kekuatan supranatural. “Kakek dan neneknya mengatakan, aku mempunyai kekuatan gaib,” kata Soekarno. Setiap kali ada tetangganya yang sakit, Soekarno kecil diminta neneknya untuk menyembuhkannya.


Soekarno dan Presiden Uni Sovyet, Nikita Kruschev

Didepan ibunda tercita, Ida Ayu Rai


Bersama-sama dengan Kepala Negara pencetus Gerakan Non-Blok
(Jawaharlal Nehru, Gamal Abdel Nasser dan Josep Broz Tito)


“Dengan lidahku aku menjilati bagian yang dirasakan sakit. Anehnya, orang sakit itu sembuh,” kata Soekarno. Kekuatan gaib Soekarno itu, mehilang saat dia menemukan kekuatan pidatonya di depan rakyat. Sejak saat itu, lidah sakti Bung Karno menyihir orang lewat pidatonya. Pada tahun 1928, seminggu sekali ia keliling kota Bandung berpidato. “Aku memekik-mekik kepada ratusan rakyat yang menyebut di tanah lapang,” katanya. Saat berpidato Soekarno juga mampu mensintesakan ilmu modern dengan kebudayaan rakyat. Hasilnya berupa pesan-pesan dan pengharapan yang hidup dapat diserap oleh rakyat kecil. “Inilah yang disebut orang dengan istilah Soekarnoisme,” kata Bung Karno. Ketampanan dan kecerdasannya dikagumi banyak. Tak pelak lagi, ada sebagain orang memitoskan Soekarno sebagai Ratu Adil dengan julukan Heru Cokro.Kehadiran Soekarno diyakini akan menyelamatkan bangsanya dari cengkaraman penjajah. Mitos Ratu Adil ini sempat disoal oleh Hakim kolonial Belanda yang mengadili Soekarno di Landraad, Bandung tahun 1930. Pada kesempatan itu, Soekarno memaparkan, soal mitos Ratu Adil itu bukanlah bikinannya. Bukan pulan ciptaan “kaum pergerakan.” “Tetapi, karena hati rakyat dalam menangis mengharap pertolongan,” kata Bung Karno.

Bung Karno, menganal politik sejak masih berusia belasan tahun, saat Sokarno belajar HBS (Sekolah Menengah zaman Belanda), di Surabaya. Pada waktu itu, ia indekos di rumah tokoh peregrakan nasional. Haji Omar said (HOS) Cokroaminto. Ia menggumi pula gaya pidato KH Ahmad Dahlan yang saat itu kerap berkunjung ke sana. “Dari Pak Cokro aku belajar Islam dan Sosialisme. Aku menghirup lebih banyak lagi persoalan politik dan nasionalisme dari kawannya yang datang ke rumah itu,” kata Soekarno. Pada waktu itu, tokoh pergerakan nasisonal seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangukusumo, Sneevleit, dan Husni Thamrin, sering bertandang di rumah Cokroaminoto di Jalan Paneleh. Mereka mengadakan diskusi yang membahas berbagai persaolan bangsanya. Di rumah itu Soekarno juga bergaul dengan Alimin, Muso, dan Kartosuwiryo, pemuda indekosan di sana yang kemudian menjadi pelaku sejarah. Bahkan, Bung Karno menyebut Kartosuwriyo yang kemudian memimpin pemberontakan DI/TII ini sebagai teman makan dan temam mimpinya. “Pak Alimin dan Pak Muso sering bertindak sebagai guruku dalam politik,” kata Soekarno. Dua orang ini kemudian berlayar ke Rusia, belajar komunisme, lalu mendirikan PKI. Muso kembali ke tanah air beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, dan memimpin pemberontakan PKI di Madiun 1948. Alimin tak terlalu terlibat. Muso tewas dalam pemberontakan itu. Alimin selamat. Bung Karno kerap membesuk Alimim yang sakit-sakitan di hari tuanya. Tapi sikap Bung Karno kepada mantan gurunya itu mendapat kecaman dari lawan politiknya. “Surat kabar pun menulis : ”Hee.. lihat Soekarno mengunjungi komunis,” ujar Bung Karno mengisahkan sikap pers. Bung Karno juga mengaku memperdalam persolaan nasionalisme dan ekonomi dari Sun Yat Sen pendiri Gerakan Nasionalis Cina yang menerbitkan buku San Min Chu-I. Ia menambah renungan dari Karl Marx dengan pandangan Thomas Jefferson, tokoh besar dalam sejarah Amerika Serikat. Ketika para remaja seusianya masih asyik berpacaran, Soekarno mendekam di kamar dengan Das Kapital. “Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa aku jadi sasaran dari demikian banyak salah pengertian.

Bersama John Fritzgerald Kennedy


Dengan Chou En-Lai

Dengan Ernesto Che Guevarra



Dengan John F. Kennedy dan Gerald Ford


Referensi : Cyndi Adams (1981), Bambang W. (1986), Hedi Lugito (2001). Foto : www.google.picture.om/kaskus & kombes.com

Rabu, 09 November 2011

(Siapa) "Jenderal" Nagabonar, (Siapa) "Jenderal" Mariam : Selamat Hari Para Pahlawan !

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini telah dipublish/diterbitkan oleh Republika dalam Rubrik Opini, 12/11/2011)

Beberapa tahun lalu, Asvi Warman Adam, sejarawan urang awak tamatan EHESS Perancis ini suatu waktu pernah menjawab secara tegas pertanyaan yang terus bergelayut dalam memori historis masyarakat Sumatera Barat : “Mengapa Muhammad Natsir belum diberi label Pahlawan ?”. Asvi bilang, Muhammad Natsir merupakan tokoh historis panutan, tapi sayang, beliau memiliki kesalahan politis – “Muhammad Natsir seorang pemberontak”. Kemudian, ragam pendapat bermunculan. Asvi mengecilkan peranan Natsir dalam belantara sejarah Indonesia. Asvi tidak berangkat dari rasa empati dan seterusnya. Bahkan kita “menangisi” mengapa orang Sumatera Barat sekaliber Asvi – yang notabenenya memiliki otoritas keilmuan untuk “meluruskan” anggapan Natsir sebagai pemberontak tersebut – justru terkesan tidak membela. Asvi bahkan dianggap sebagai orang Minangkabau yang mengecilkan tokoh besar Minangkabau, “anak tak mau membesarkan ayah”. Kontroversi Asvi ini kemudian juga berlanjut ketika salah seorang jurnalis-birokrat juga menulis dan memberikan perbandingan : “Pahlawan : Mana yang lebih pantas Natsir dibandingkan Fatmawati yang hanya menjahit sang saka merah putih ?” Sebuah komparasi historis yang kehilangan konteks.

Saya teringat, ketika itu bulan September 2007. Pemprov Sumbar mengundang beberapa pakar sejarah (diantaranya Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong). Gawe ketika itu – Seminar untuk “kembali” mengusulkan Natsir jadi pahlawan. “Kembali” karena usulan pertama ditolak. Dari awal dan akhir seminar, semua sepakat, kontribusi Natsir jauh lebih besar dari cacat politiknya. Salah satu otak pemberontakan PRRI yang dianggap sebagai cacat politik tersebut, pada prinsipnya bisa dilihat dari latar belakang penyebabnya, tentunya dengan diperkuat data-data sejarah. Ketika itu, saya dan mungkin semua yang hadir hampir sepakat, tak ada lagi alasan rasional untuk tetap menolak Natsir memberikan label pahlawan. Peluh, keringat, nilai-nilai luhur, kemanusiaannya dan nilai-nilai adiluhung yang diberikan oleh Natsir bagi “peradaban sejarah Indonesia” ini, rasanya jauh “menggunung” dibandingkan “onggokan kecil” cacat politiknya. Tapi nyatanya, “kembali” Natsir ditolak. Majalah Tempo bahkan dalam tahun ini mengeluarkan edisi khusus untuk mengenang Natsir. Natsir dijulang. Sabak dan air mata berlinangan, kita baca riwayat hidup Natsir sebagaimana air mata juga berlinangan ketika kita baca Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib karangan sejarawan Yahudi, George Jordac. Kita tak menyamakan Natsir dengan Ali, tapi setidaknya episode kehidupan mereka yang sangat kontributif bagi ummat manusia, tidak diapresiasi oleh sejarah. Indonesia (baca: pemerintah Indonesia) menganggap Natsir bukan Pahlawan. Beliau yang bersahaja ini tetap dianggap sebagai pemberontak. Tapi itu beberapa tahun lalu. Tiga tahun kemaren, putra Alahan Panjang ini, sudah didaulat masuk kelas "ksatria" bangsa .... Pahlawan. Walau teramat terlambat dan walau stigma pemberontak tetap (di)hidupkan. Tapi bagi saya, biarlah ini mengalir. "Le Historia me absolvera", kata Castro, si brewok Cuba itu. Biarlah sejarah yang menjadi penentu, siapa gading siapa pualam, siapa pahlawan dan siapa pecundang ..... atau, siapa Nagabonar dan siapa pula Mariam.

Setiap pemberontakan, apabila sudah ada komitmen untuk bersatu, apapun latar belakangnya, dianggap subversif. Itu diktum yang sudah menjadi hukum dalam dunia politik. Mengapa Kahar Muzakkar memberontak ? J. Soumokil melawan, Dewan Banteng karengkang, Buya Daud Beureuh marah pada Soekarno yang dianggapnya munafik, Hasan Tiro dan Ahmad Zaini serta Malik Mahmud mendirikan GAM dan masuk hutan Aceh dan lari ke Swedia dan seterusnya, Natsir serta Syafruddin Prawiranegara dan Soemitro Djojohadikusumo masuk dalam lingkaran “PRRI” dan seterusnya? Justifikasi historis tak diperlukan. Dalam dunia politik, mereka pemberontak. Kita tidak tahu, kapan gelar pahlawan akan diberikan kepada mereka. Mungkin nanti atau tidak sama sekali. Padahal, ada alasan-alasan “rasional” untuk setidaknya kita bisa memahami latar belakang mengapa mereka berseberangan dengan pemegang tampuk politik masanya. Mungkin “ketidakpuasan” atau alasan koreksi terhadap kebijakan pusat yang tak adil. Tapi sudahlah, jelang 17 Agustus dan 10 Nopember selalu ada Pahlawan-Pahlawan baru dalam “belantara politik Indonesia”. 10 November menjadi hari “keramat” untuk para Pahlawan. Selalu ada pahlawan yang “datang”, walaupun terkadang pahlawan itu (di)muncul(kan) belakangan. Benarkah kita butuh Pahlawan ? Tokoh-tokoh yang termasyhur, para pemimpin rakyat dan komandan pasukan ? Jika masa lampau dengan label kepahlawanan macam itu yang akan kita kenang, barangkali sejarah kita cukup selesai dengan serangkaian hidup orang-orang besar. Bukan itu sebenarnya yang kita butuhkan. Pahlawan adalah domain politik. Sejarah tidak pernah satu kalipun memberikan label pahlawan. Sejarah hanya mengenal “aktor sejarah”. Aktor-aktor tersebutlah, pada prinsipnya yang akan memberikan “warna” sejarah. Warna yang diterima pada masanya, tapi kemudian ditolak pada masa generasi setelah ia lewat. Dan mungkin, warna itu diterima secara bergairah kembali dua atau tiga generasi berikutnya.

Foto : librarything.com

Selasa, 08 November 2011

Di Footnote Sejarah : Syafruddin Prawiranegara dan Amir Syarifuddin

Oleh : Muhammad Ilham

(Artikel ini telah dipublish di rubrik Opini Harian Padang Ekspres/11 Nopember 2011)

Jelang tanggal 10 Nopember 2011, tanggal "keramat" dimana setiap tahun, bertambahlah jumlah pahlawan bangsa. Tahun ini, Indonesia secara resmi memiliki tujuh pahlawan baru. Mereka adalah almarhun Mr. Syafruddin Prawiranegara, almarhum DR. KH. Idam Chalid, almarhum Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal Buya Hamka. Beberapa tahun lalu, "sampai juga Muhammad Natsir jadi pahlawan", kata teman saya suatu waktu. Ia tampak letih - untuk mengatakan geram - mengapa "manusia besar" seumpama Natsir belum juga menjadi pahlawan Indonesia. Saya tak ambil pusing, mau diakui atau tidak, karena pahlawan itu bagi saya ada dua jenis, Pahlawan dan "Pahlawan" (tanda kutip). Tadi pagi, teman saya-pun gembira-riang, karena "dua jagoannya", Syafruddin Prawiranegara dan Buya Hamka masuk kelompok para pahlawan pula. (Sekali lagi), saya juga tak ambil pusing, karena mereka bertiga sudah menjadi pahlawan di mata saya. Kehidupan mereka penuh cahaya inspiratif yang membuat mata saya berbinar cerah membaca penggalan-penggalan hidupnya. Sesuatu yang hampir - untuk mengatakan tidak ada - figur seperti mereka. Terkhusus Syafruddin Prawiranegara yang boleh dikatakan "terlambat" diakui negara sebagai Pahlawan (bukan dalam tanda kutip), apa yang dilakukan pemerintahan SBY tahun ini, pada dasarnya sedang sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini muncul : "apakah pahlawan dari kalangan sipil harus melalui fit and propertest yang teramat sulit, dibandingkan kalangan militer ?". Padahal jasanya, sudah diakui secara akademik, walau bukan secara politik. Karena pengakuan politik, pada dasarnya lebih cenderung menyangkut yang namanya "selera". Selera itu bermacam tipe, ada yang rasa asin, manis, pahit bahkan ada koloborasi semua rasa, nano-nano istilahnya. Dan, Syafruddin Prawiranegara, sebagaimana halnya Muhammad Natsir, sudah diakui secara akademik,dengan pendekatan dan teori apapun jua (kecuali pendekatan politik).

"Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Presiden Indonesia yang terlupakan", demikian kata pembuka dari Sandra Malakiano. Mantan presenter Metro TV cantik dengan balutan jilbab yang juga istri pengamat politik Eep Saifullah Fatah ini menjadi pembawa acara peringatan 1 abad Syafruddin Prawiranegara (1911-2011) di Gedung Chandra Bank Indonesia (Kompas/29-3-2011). Tidakkah cukup sebagai "penyelamat Republik" membuat Syafruddin Prawiranegara yang (konon) telah diajukan hingga 2 kali kepada pemerintah untuk dijadikan sebagai pahlawan ? Tidakkah cukup, misalnya, track life beliau yang "luar biasa" sebagai anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas mempersiapkan garis besar haluan negara RI sebelum merdeka. Sebagai Menteri Keuangan pertama RI (1946), dan Menteri Kemakmuran (1947). Setelah PDRI yang diketuainya menyerahkan mandat, ia sempat diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1949. Ia kembali diangkat menjadi Menkeu di kabinet Hatta pada Maret 1950 dan menelurkan kebijakan yang cukup terkenal saat itu, yakni pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas (Gunting Sjafruddin). Ia-lah juga Gubernur Bank Indonesia yang pertama tahun 1951. Tapi karena pilihan ideologis - bisa juga kita katakan nilai-nilai prinsipil politis yang dipegangnya - Syafruddin kemudian memilih bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang juga berbasis di Sumatera, sebuah gerakan untuk menentang kebijakan presiden Soekarno. Gara-gara sikapnya yang berlawanan tersebut, ia sempat dipenjarakan oleh Soekarno tanpa proses pengadilan. Dan sikap "subversif"nya ini, jasa-jasa inspiratif Syafruddin Prawiranegara seakan-akan hilang. Kehidupannya seakan-akan dipenggal pada PRRI saja (walau masalah PRRI bisa diperdebatkan logika politiknya). Akumulasi kehidupan beliau yang mencerahkan, dedikatif dan kontributif tersebut dianggap hilang karena penggalan pendek waktu yang bernama PRRI - pemberontakan-subversif.

Mayoritas Pahlawan berasal dari kalangan militer. Taman Makam Pahlawan Kalibata, misalnya, "dihuni" oleh lebih kurang sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu diantaranya, lebih kurang, berasal dari kalangan militer. Ini-pun didominasi Angkatan Darat. Dari kalangan sipil hanya berjumlah 1/7-nya. Di antara 1/7 dari kalangan sipil ini, hanya 23 orang yang merupakan Pahlawan Nasional, diantaranya Haji Agus Salim. Di Taman Pahlawan Kalibata ini pula, bersemayam pahlawan "tercepat", yaitu Jenderal Basuki Rahmad (yang kala saya belajar PSPB waktu SD dahulu dianggap sebagai orang yang "menggertak" Sukarno mengeluarkan Supersemar bersama-sama dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Yusuf). Jenderal Basuki Rahmad dinyatakan Soeharto sebagai pahlawan pada hari kematiannya. Pada era Demokrasi Terpimpin, 36 orang dari 49 pahlawan berasal dari ernis Jawa. Pada masa Orde Baru, dua pahlawan yang "terdorong" diberi label pahlawan oleh rezim Soekarno yaitu Alimin dan Tan Malaka, justru "dicekal". Nama mereka berdua yang dianggap tokoh "kiri" ini tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah-sekolah. Dan biasanya, para pahlawan yang sering terlihat gagah dalam buku ini adalah pahlawan-pahlawan dengan baju-baju militer (khususnya Angkatan Darat).

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan ? Mengapa yang banyak "menghuni" Taman Makam Pahlawan selalu didominasi kalangan militer ? Jawabannya terdapat pada defenisi pahlawan itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Pahlawan, menurut Peraturan Presiden ini, adalah : (a). warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan - yang bermutu - dalam membela bangsa dan negara. (b). Warga Negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya tidak pernah ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Kriteria pertama, (pasti) mengacu pada militer, yang kedua pada kalangan sipil. Peluang militer jadi pahlawan lebih banyak seperti yang dikategorisasikan oleh defenisi diatas. Sedangkan bagi kalangan sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda", yang ditujukan pada tokoh-tokoh yang terlibat dalam beberapa pemberontakan seumpama PRRI/Permesta bdan lain-lain. Jadi jangan heran, bila Muhammad Natsir yang "curiculum vitae"nya melebihi cum untuk menjadi seorang pahlawan, justru "terseok-seok" mencapai gelar pahlawan tersebut. Itu-pun baru diperolehnya setelah pernah gagal diusulkan oleh banyak komunitas masyarakat. Bandingkan dengan Jenderal Basuki Rahmad diatas, yang tak sampai satu hari memperoleh gelar pahlawan setelah ia meninggal, yang hanya dikenang sebagai "bodyguard" Soeharto dalam mengusahakan Supersemar yang debatable hingga hari ini tersebut. Bandingkan dengan Syafruddin Prawiranegara, dianggap terlambat diakui sebagai pahlawan. Padahal PDRI yang mengambil lokasi di "somewhere in the jungle" di daerah Sumatera Barat tersebut dianggap sebagai "penyelemat Republik" sehingga RI tetap eksis walaupun Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Syafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan kala itu adalah Ketua, tapi kedudukan dan fungsinya sama dengan Presiden. Karena ini pulalah, sejarawan Asvi warman Adam dan beberapa sejarawan lainnya menganggap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono bukan Presiden RI yang ke-6, tapi yang ke-8 (Soekarno, Syafruddin Prawiranegara, Mr. Asaat, Soeharto, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan SBY). Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di Taman Makam Pahlawan, selain dari Pahlawan Nasional, adalah orang yang pernah mendapatkan tanda jasa seperti Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, Bintang Kartika Eka Paksi (Angkatan Darat), Bintang Swa Bhuana (Angkatan Udara), Bintang Jalasena Utama (Angkatan Laut) dan Bintang Bhayangkara (Polisi). Selain faktor politik, tersebab inilah, daftar "penghuni" Taman Makam Pahlawan didominasi militer.

(Hanya) Footnote Sejarah :

Hari ini saya menjadi ingat dengan Amir Syarifuddin. Sosok yang kuat mempertahankan prinsip-ideologinya ini hanya menjadi "footnote sejarah". Bila melihat album, mata kita akan terfokus lebih dulu kepada tokoh yang kita kenal baik. Setiap provinsi merasa mesti memiliki pahlawan. Tidak cukup daerah tingkat I, kabupaten pun berlomba mengusulkan pahlawan mereka. Ini terutama terjadi pada masa akhir Orde Baru. Setelah era reformasi, perlombaan ini menyurut. Pahlawan yang berjumlah seratusan orang itu seakan memiliki kelas. Ada yang sering disebut, ada pula yang tak pernah disinggung dalam pidato ataupun pelajaran sekolah. Amir Syarifuddin, termasuk kategori yang tak disebut, mungkin sudah dilupakan. Kalau di kota Padang, kala kita bertanya secara acak pada mahasiswa (terutama IAIN), "kenalkah kalian dengan Amir Syarifuddin ?", maka mereka akan menjawab, "kenal, mantan Rektor IAIN Padang dan Ketua MUI Sumbar !". Kebetulan IAIN Padang dan MUI Sumbar pernah dipimpin "sosok genius" bernama Prof. Amir Syarifuddin. Tapi bukan Amir Syarifuddin yang rektor atau Ketua MUI ini. Atau paling banter, bagi mahasiswa yang (sedikit) melek politik akan menjawab: Amir Syarifuddin Menteri Hukum dan HAM hasil reshuffle kabinet kemaren. Eh ... salah, itu Amir Syamsuddin. Amir Syarifuddin yang "kita ceritakan" adalah ia yang "entah berada dimana" dalam belantara sejarah anak bangsa (baca : sejarah formal).

Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen. Kakeknya, Ephraim, adalah seorang jaksa beragama Kristen. Ayahnya, Soripada, juga menjadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim. Amir Sjarifuddin Harahap merupakan Perdana Menteri RI yang dieksekusi bangsanya sendiri tanpa proses hukum. Pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo, sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir - berpiyama putih-biru, bercelana panjang warna hijau dan membawa buntelan sarung - bertanya kepada kapten yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Amir Sjarifuddin bersama 10 orang lainnya ditembak satu per satu. Konon, menjelang ia dieksekusi, Amir Syarifuddin masih sempat untuk terus membaca buku. Tanggalnya masih dipersoalkan apakah 27 Mei atau 27 April, tapi yang jelas ia lahir seabad silam di Medan. Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan. Pada 1945 sampai Januari 1948 keduanya menjadi perdana menteri. Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno-Hatta berkolaborasi dengan "saudara tua dari Negeri Matahari Terbit". Sjahrir dan Amir berjuang di bawah tanah semasa pendudukan Jepang. Ir Setiadi Reksoprojo, 86 tahun, Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifuddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya yang menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda.

Pada awal masa kemerdekaan, unsur tentara terdiri dari berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir diperlukan Tentara Masyarakat. Tentara itu juga butuh pendidikan politik. Pandangan ini bertentangan dengan Hatta, yang melakukan rasionalisasi tentara dari 400 ribu menjadi 60 ribu. Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948, tempat Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir menarik karena berkebalikan dengan yang sering terjadi sekarang. Ia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik menjadi Menteri Penerangan. Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di Negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya, T.S.G Mulia. Pada 1931 ia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo), yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda dari Pulau Jawa, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia). Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Rekan Amir dalam organisasi ini adalah Dr A.K. Gani, yang tahun ini diusulkan sebagai pahlawan nasional. Pada 1938-1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe. Selanjutnya, Amir juga aktif pada GAPI (Gabungan Politik Indonesia) bersama M.H. Thamrin.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, kini eksil di Belanda), yang ikut dalam pelarian pada 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga, Amir mengeluar kan tembakan peringatan dan memarahi mereka. "Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat," ujarnya. Dari empat tokoh nasional yang menduduki jabatan tertinggi (presiden, wakil presiden, dan perdana menteri) yang pertama di Indonesia, tiga orang (Soekarno, Hatta, dan Sjahrir) menjadi pahlawan nasional. Sedangkan yang satu lagi, jangankan diberi bintang jasa, biografinya pun tidak boleh beredar semasa Orde Baru. Pada 1984 penerbit Sinar Harapan sempat mencetak tesis Frederick Djara Wellem di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta berjudul "Amir Sjarifuddin, Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan". Namun, buku tersebut terpaksa dimusnahkan karena Jaksa Agung tidak berkenan. Dalam sejarah Indonesia, Amir Sjarifuddin tak hanya dibuang dan dilupakan, tapi juga tidak diakui. Kalaupun ada dalam perbincangan, ia berada di footnote !!

Referensi : Asvi Warman Adam (2010). Foto : www.google.picture.com/cintaindonesia/html