Minggu, 28 Agustus 2011

Mudik Lebaran : "Burung-Burung Rantau yang Senantiasa Rindu Kehangatan Sarangnya"

Oleh : Muhammad Ilham

" ...... Bila kita adalah burung yang terbang jauh di jagat kosmopolitan modern, tentu kita sadari dulunya kita pernah menjadi telur dalam cangkang. Kita sekarang adalah burung-burung rantau yang selalu rindu pada kehangatan sarang ... ! (YB. Mangunwidjaja)



Tradisi mudik berkait sebab akibat dengan fenomena merantau masyarakat urban, pastinya mudik merupakan "kerinduan primordial" terhadap kampung halaman. Tradisi ini bukan sesuatu tradisi yang kebetulan. Tradisi yang menyiratkan sekaligus makna religius dan sosiologis. Melalui ‘pulang kampung’ itu orang ingin kembali kepada keintiman diri melalui reuni kedekatannya dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman. Pendeknya, fenomena sosial mudik merupakan cermin kerinduan untuk bersilaturahmi dalam kelekatan intim dengan Tuhan dan sesamanya. Semakin kita dibawa menjauh dari "titik awal" di mana kita berasal, bentangan dunia kita akan semakin luas, namun kehendak untuk kembali juga semakin besar. Di era gadget dan internet yang semakin memudahkan dan memanjakan kita untuk melakukan kontak melalui media-media jejaring sosial, bahkan untuk melakukan "komunikasi sekarang juga" dengan siapa pun di belahan dunia mana pun, justru akan membuat kita tambah memberi arti pada kerinduan pulang kampung. Perpindahan dan ruang jelajah kita hingga ke ujung-ujung pergaulan kosmopolitan, seperti kata Goenawan Mohammad, meregang kita dalam sentrifugal emosi untuk kembali ke pusaran diri yang intim. Sejatinya setiap manusia selalu merindukan keintiman. Kerinduan pada yang intim itu semakin membesar manakala kita semakin jauh menjelajah atau pergi merantau.











للّهُ اَكْبَرُ، اَللّهُ اَكْبَرُ، اَللّهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللّهُ اَللّهُ اَكْبَرُ، اَللّهُ اَكْبَرُ، وَلِلّهِ الْحَمْ

اَللّهُ اَكْبَرُ، اَللّهُ اَكْبَرُ، اَللّهُ اَكْبَرُ، لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللّهُ اَللّه اَكْبَرُ،اَللّهُ اَكْبَرُ، وَلِلّهِ الْحَمْدِ

تَقَبَّلَ اللّهُ مِنَّ وَ مِنْكُمْتَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ

تقبل الله منا ومنكم صيا منا وصيا مكم من العا أدين والفا أزين




Photo's : www.infomudik.com/vivanews.com/detik.com

Kamis, 25 Agustus 2011

Rancaknya Orang Minang "Saisoeak"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Banyak orang percaya tidak boleh berkodak bertiga karena akan tersua yang tidak elok nantinya. Ada yang percaya, kalau berfoto bertiga, salah seorang akan cepat mati. Tapi yang jelas gadis dari Padang Panjang ini telah melanggar tabu itu dengan berfoto bertiga. Kita tidak tahu bagaimana nasib ketiga gadis Minang ini setelah berfoto bersama. Tapi yang penting didiskusikan di sini adalah image yang terekam dalam foto ini, sebab foto adalah sebuah situs sejarah. Kelihatan betapa rancaknya pakaian pesta perempuan Minang di zaman dulu, tak kurang bagusnya dibandingkan dengan pakaian wanita Minang zaman sekarang. Kainnya sejenis songket balapak yang bagus. Demikian pula dengan baju, selendang dan hiasan kepalanya. Tikuluak gadis yang berdiri di tengah kelihatan agak berbeda modelnya: ada tambahan kain di tengahnya. Di leher mereka kelihatan untaian perhiasan dan di lengan terpasang galang gadang. Rupanya inilah bentuk pakaian tradisional Minangkabau dari Padang Panjang zaman dulu. Tak tahu apakah para wanita Padang Panjang sekarang masih suka memakai pakaian bagus seperti ini atau sudah nge-njeans dan nge-you can see. Banyak bukti visual menunjukkan bahwa setiap daerah di Minangkabau memiliki aksesoris pakaian yang khas, di samping ada ciri umum yang berlaku di seluruh Minangkabau.

Kalau kita lihat foto ini, kelihatan bahwa wanita Minang cukup dimanjakan dengan pakaian bagus. Jarang kita lihat dalam foto-foto klasik tempo doleoe perempuan Minang yang berpakaian tidak sandereh. Barangkali ini salah satu efek dari sistem matrilineal Minangkabau: wanita cukup dimanjakan. Foto ini tampaknya dibuat dengan sebagus mungkin. Artinya, penampilan ketiga gadis ini memang sudah dikondisikan sebelumnya. Bukan tidak mungkin foto ini dibuat di sebuah ‘studio’. Judul foto ini adalah “Minangkabausche vrouwen in nationale kleederdtracht, Padang-Pandjang” (Perempuan Minangkabau dalam pakaian nasional [adat] dari Padang Panjang). Foto ini berbentuk kartu pos, dicetak oleh Tjan Djoe Sien di Padang sekitar tahun 1910. Tampaknya foto ini telah dikirimkan dari Nederlandsch East Indies ke suatu tempat lain. Menurut keterangannya, kartu pos ini dikirim ke Beyrouth di Syiria. Perangko yang tertempel di kartu pos ini adalah salah satu seri perangko Hindia Belanda. Kalau ada pencinta filateli kita yang memiliki perangko seperti ini, tentu sudah bisa belasan juta pula harganya. Pakaian adalah salah satu identitas etnis. Jenis pakaian tertentu memberikan kepercayaan diri kepada pemakaianya. Pakaian berdampak kepada kepribadian. Orang mungkin tak sadar bahwa imperialisme budaya bisa dilakukan antara lain melalui pakaian. Jadi, alangkah bagusnya jika orang Minangkabau tetap menghargai pakaian tradisionalnya.

Sumber : (Suryadi – Leiden, Belanda/Sumber foto: http://www.worthpoint.com/)
(Judul merupakan improve dari Judul Aslinya : Gadis Minang dari Padang Panjang)

Rabu, 24 Agustus 2011

Identitas dan Makna Nama Bagi Etnik Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Elfitra Baikoeni

Diantara sejumlah suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, mungkin nama-nama orang Minang tergolong kompleks, aneh, variatif, longgar, tapi sekaligus fleksibel, unik, kreatif serta pragmatis. Orang Batak dan Manado selalu mencantumkan nama marga dan clan di belakang nama kecil. Nama orang Maluku dan Papua dapat dikenali secara cepat dan familiar. Sebagai pengaruh Islam, nama orang Melayu lazim mencantumkan bin/binti sebelum nama orang tua. Orang Jawa dan Sunda lumayan ketat dalam memberi nama anak, sehingga kita nama-nama mereka memiliki kekhasan tersendiri. Bagi orang Jawa dan juga Sunda, dari nama saja bisa langsung dikenali status sosialnya sekaligus, apakah dia keturunan bangsawan atau rakyat biasa. Nama depan “Andi” jelas berasal dari kaum ningrat Sulawesi Selatan (Bugis). Demikian juga halnya dengan kelompok masyarakat adat lain : Badui, Dayak, Sakai, Nias atau Mentawai, masing-masing memiliki karakter tersendiri yang mudah dikenali (addressed). Bagaimana dengan dengan Minangkabau??? Penamaan dalam masyarakat Minangkabau masa lampau kelihatannya berpegang pada falsafah “alam takambang jadi guru”. Orang-orang menamai daerah-daerah baru, kampung, dan nama-nama suku-suku dengan falsafah ini, termasuk juga menamai orang (anak) dan gelar. Tak mengherankan kiranya, kalau nenek moyang kita bernama : Kirai, Upiak Arai, Talipuak, Sirancak, Jilatang, Masiak, atau Jangguik. Kedengarannya aneh dan lucu, ya.. ??

Setelah Islam masuk dan berkembang, mulai pula nama-nama orang Minang berubah menjadi kearab-araban (Islam). Nama-nama seperti ini, contohnya : Mohammad Attar, Mohammad Natsir, Saiful, Bahri, Mochtar, Ali, Amir, Arifin, Ismail, Aziz, Fauzah, Hamid, M. Rais, Zakiah, Ibrahim, Idris, Rasid, Sofyan, Dahlan, Fatimah, Aminah, Maimunah, Hayati, Nurhasanah, Nuraini, Saidah, dst.
Pasca takluknya peristiwa PRRI-Permesta, orang Minang mengalami tekanan mental luar biasa dari pemerintahan Jakarta, banyak diantara mereka kemudian memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau. Setidaknya, demikian pendapat yang tertulis dalam buku “Merantau”-nya sosiolog Mochtar Naim. Mulai pula orang berusaha menanggalkan identitas dan label keminangannya, salah satu lewat perubahan nama. Tak sedikit orang Minang memiliki nama yang kejawa-jawaan, ada seperti nama Eropa, Parsia, atau Amerika Latin. Sekedar contoh, seorang pejuang pemberontak PRRI yang semula bernama Bastian St. Ameh, kemudian merantau ke Jawa dan berhasil jadi pengusaha sukses : Sebastian Tanamas. Ada “urang awak” bernama Revrisond Baswir, ekonom UGM yang terkenal. Beberapa nama yang ikut menjadi calon gubernur Sumbar tempo hari bernama ; Leonardy Armaini, Jeffry Geovanni dan terakhir siapa kira kalau Irwan Prayitno itu adalah putra asli Kuranji, Padang? Saya berkali-kali berusaha meyakinkan orang-orang tua di kampung halaman, kalau Irwan Prayitno bukan orang Jawa, pada saat Pilkada berlangsung. Mungkin mereka kuatir dengan “trauma” masa lalu, pada penghujung Orde Lama banyak sekali pejabat tinggi di Ranah Minang yang di”drop” dari Jakarta dan berasal dari etnis Jawa.

Dalam pemberian nama kepada anak orang Minang sangat pragmatis tapi kreatif. Di SD saya punya kawan bernama hebat, John Kennedy, sayang dia sempat tinggal kelas. Waktu kuliah teman akrab saya bernama Socrates, asal Labuh Besilang Payakumbuh, yang waktu lahir kakek yang memberinya nama terkagum-kagum pada pemikiran Filsafat Yunani. Semula saya kira dia orang Tapanuli, namanya Hardisond Dalga, ternyata dia dari Singkarak dan nama belakang adalah nama ayah-bunda ; Dalimi-Gadis.
Ada lagi kawan bernama Ida Prihatin, karena waktu melahirkan orang tuanya mengalami masa-masa ekonomi susah. Indah Elizabeth, Indah namanya dan waktu lahir ditolong oleh bidan Tionghoa yang ramah bernama Elizabeth. Dian Bakti Kamampa, kata terakhir bukan nama daerah melainkan akronim dari “Kepada Mama dan Papa”, juga ada Taufik Memori Kemal, menurut cerita orang tua yang memberi nama tersebut, dia selalu terkenang (teringat) kepada komandan seperjuangan yang gugur pada Revolusi Fisik Kemerdekaan bernama “Kapten Kemal”. Juga menarik seorang mahasiswa bernama M. Batar. Sudah pasti M tersebut adalah Mohammad, dan “Batar” mungkin saja diambil dari kata bahasa Arab, begitu pikir saya selama bertahun-tahun. Tetapi kemudian ketika sesi "mukaddimah" saat dia ujian skripsi, dia menceritakan kisah dibalik nama tersebut (karena memang ada dosen yang iseng nanya arti namanya). Singkatnya M. Batar artinya; “mambangkik batang tarandam”, itulah nama yang sekaligus menjadi misi hidup laki-laki berperawan kurus ini. Kalau kita rentang, akan banyak kisah-kisah seterusnya dibalik pemberian nama Orang Minang. Nama-nama singkatan/akronim bagi orang Minang sudah mentradisi. Salah satu “perintis”nya adalah Buya Haji Abdul Malik Karim Amarullah, yang menyingkat namanya jadi HAMKA. Setelah itu tak sedikit yang meniru, memendekkan nama panjangnya menjadi akronim atau singkatan. Ada Pak AR, Buya ZAS, STA, HAP, HAKA, Zatako (Zainudin Tamir Koto).

Yang menarik ada nama yang sering diasosiasikan sebagai khas Minang, karena nyaris tak dijumpai pada di etnik lain, yakni nama yang mengandung atau ber-akhiran …Rizal. Sampai sekarang penulis juga belum tahu pasti dari mana asal usul tersebut. Sebutlah misalnya ; Rizal, Rizaldo, Rizaldi, Afrizal, Erizal, Syamsurizal, Syahrizal, Endrizal, Masrizal, Syafrizal, Hendrizal, Efrizal, Nofrizal, dst.
Memasuki pertengahan tahun 1980-an, ketiga pemerintahan orde baru sedang puncak-puncaknya, mulai pula “trend” nama anak berbau kebarat-baratan. Ada yang bernama Alex, Andreas, Hendri(k), Anthon(y), Roni, Yohanes, Octavia, Octavianus, Matius, Agustin, Angela, Monica, Susi, Selly, Ryan, Mathias, Dona, Harry, Sintia, Agnes, Yosep, Yoserizal, John, Johan, Yohanna, dan kalau diteruskan nama-nama ini akan jadi deretan cukup panjang. Mungkin pengaruh dominasi budaya orde baru, banyak juga nama yang berasal Sangsekerta seperti : Eka, Eko, Ika, Dharma, Bakti, Agus, Esa, Kurniawan, Sinta, dst. Seiring dengan itu, pernah juga sebagian orang mengangkat nama suku sebagai nama belakang. Ini menurut saya karena pengaruh nama orang Batak dan Mandailing yang terlihat “gagah” dengan nama marga yang selalu menempel di belakang nama mereka. Maka kemudian muncul nama semisal, Hendri Chaniago (karena berasal dari suku Caniago), Indra Piliang, Afrizal Koto, Anisa Jambak. Nampaknya hanya nama Chaniago (mengherankan….entah mengapa nama suku itu selalu dibubuhi “h”, padahal aslinya hanya “caniago”) dan Piliang saja yang cukup populer sebagai nama, suku yang lain relatif jarang. Memang, nama-nama semacam itu hanya sedikit peminatnya, karena tidak lazim. Bagi orang Batak atau Mandailing, kalau mereka berasal dari marga yang sama misalnya sama-sama Sitorus atau Nasution berarti bersaudara. Sementara suku-suku di Minang bersifat menyebar pada semua nagari di seluruh Sumatra Barat, sehingga rasa pertalian sesama suku itu – meskipun di rantau - pun terasa longgar.

Runtuhnya rezim Suharto dan digantikan oleh era reformasi sekarang, kembali trend nama-nama Islam dan religius untuk nama anak. Sebutlah misalnya ; Habib, Farhan, Said, Anisa, Naufal, Aqila, Zahra, Najla, Najwa, Zahira, Salma, Sarah, dst. Sebenarnya banyak hal yang masih menganjal dengan “style” nama-nama orang Minang, misalnya mengapa karakter nama Minang cenderung berubah-rubah, dari satu periode ke periode berikutnya? Mengapa begitu variatif dan kompleksnya nama orang Minang, sehingga kadang bersifat “menipu”, , lalu adakah yang mereka sembunyikan dibalik nama-nama tersebut? Apa arti/makna nama bagi orang Minang zaman sekarang, sejauhmana nama seseorang dianggap penting sebagai identitas sosial? Sejauhmana hubungan antara nama/gelar dengan politik, modernisasi, atau birokrasi? Kalau dulu nama sebagai identitas yang dijumpai adalah, misal : Y. Dt. Rangkayo Basa, M. Dt. Mangkudun Sati atau B. Bagindo Sutan, mengapa tiba-tiba sekarang tak ada yang mencantumkan gelar adat tersebut sebagai dan kadang kartu nama, atau sebagai nama resmi (yang disandang kemana-mana karena bangganya) sebagaimana dulu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab melalui sebuah kajian ilmiah atau penelitian.

Selasa, 23 Agustus 2011

Dari Meja Makan hingga Terowongan : "Selamat Berbuka Puasa"

Narasi oleh : Muhammad Ilham

" ..... Foto bisa jauh lebih menyentuh/menukik kedalam relung nan paling dalam/memberikan pemaknaan yang tidak bisa ditangkap dengan narasi-oral/yang bisa berbicara lintas usia dan kepekaan hati .. " (Pulitzer). Apa yang dikatakan Pulitzer, nampaknya bisa menjadi "pijakan" bagi kita untuk menelaah foto-foto dibawah ini. (Mungkin) pemahaman kita sederhana, tafsiran kita tidak begitu komprehensif. Semua itu logis, karena pemahaman dan tafsiran berkaitan dengan pengalaman epirik dan bacaan serta kemampuan empati yang dimiliki. Namun, foto-foto dibawah ini, setidaknya membawa pesan. Entah apa pesannya, silahkan kita masing-masing yang menciptakannya ..... Selamat Berbuka Puasa !!


Hidangan makanan pada keluarga di negara Timur Tengah (Teluk)

Hidangan makanan pada keluarga di negara Mesir

Hidangan makanan pada keluarga di negara Turki

Hidangan makanan pada keluarga di negara Jepang

Hidangan makanan pada keluarga di negara India

Hidangan makanan pada keluarga di Italia

Hidangan makanan pada keluarga di Amerika Serikat

Hidangan makanan pada keluarga di Meksiko

Hidangan makanan pada keluarga di Ekuador

Hidangan makanan pada keluarga di Inggris

Hidangan makanan pada keluarga di Perancis

Lalu ....
Lihatlah foto-foto dibawah ini
Saudara-saudara kita di jalur Gaza - sudah sangat lama - begitu sulit untuk sekedar
menghadirkan makanan yang bisa dinikmati seperti keluarga-keluarga di negara-negara diatas.
Akses jalur Gaza yang tidak hanya ditutup negara Israel, tapi juga oleh saudara mereka - Mesir.
Hanya untuk memperoleh suply makanan, mereka harus membangun terowongan
Dari terowongan inilah kemudian mereka menyalurkan makanan, (hanya) sekedar untuk
mengimpikan bisa bersantap bersama keluarga mereka.





Sumber foto : www.picture.google.com

Sabtu, 20 Agustus 2011

Kemerdekaan RI dan Posisi Historis Tan Malaka

Oleh : Muhammad Ilham

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agusut 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap. Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apa pun juga, seperti sudah dibuktkan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok. Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri. Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita. Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab. Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.

Hidup Republik Indonesia!
Hidup Bangsa Indonesia!

Jakarta, 1 Oktober 1945
Sukarno - Moh. Hatta
(ejaan telah disesuaikan oleh "Tan Malakalog" Harry Poetze)


"Setiap raja biasanya memiliki stock wasiat, agar kerajaannya bisa langgeng", kata Hamlet. Wasiat, apalagi bersangkut dengan kerajaan, selalu berbentuk surat ataupun testamen. Bak kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, surat sebagai sarana suksesi sebetulnya telah dipergunakan Soekarno pada awal kemerdekaan. Presiden RI pertama itu yang merasa kuatir keselamatannya setelah memproklamasikan kemerdekaan,17 Agustus 1945, merasa perlu menunjuk orang lain untuk memimpin kelanjutan perjuangan bangsa. Ia waswas kalau ditangkap oleh Sekutu. Orang yang dia percayai untuk menggantikannya adalah Tan Malaka. Rencana Soekarno untuk menunjuk seorang pemegang mandat pemimpin bangsa itu tidak disetujui oleh Moh Hatta. Hatta hanya dapat menerima bila mandataris tersebut terdiri dari beberapa orang. Akhirnya disepakati oleh Soekarno dan Hatta orang-orang yang diberi kepercayaan tersebut adalah Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro. Testamen Politik 1945 merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi: “Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini”. Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda (Hatta, 1974:13-14).

Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno. Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut. Meskipun Testamen Politik Soekarno 1 Oktober 1945 merupakan surat tugas kenegaraan yang diberikan oleh pimpinan nasional, namun paling sedikit terdapat perbedaan (atau persamaan?) menyangkut dua hal. Dalam pembuatan Testamen Politik 1945 tidak ada paksaan. Bahkan penyusunannya dilakukan Soekarno secara demokratis dengan berkonsultasi dengan Bung Hatta. Testamen Politik 1945 telah dibakar oleh sendiri oleh Bung Karno agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Namun yang pasti, Tan Malaka si Putra Pandam Gadang nan fenomenal itu, pernah "dipercaya" sebagai putra mahkota bila suatu saat kelak pada masa itu, sang "raja dan wakilnya" tercederai. Hal ini setidaknya memberikan kepada kita, begitu signifikannya posisi hitoris Tan Malaka pada awal kemerdekaan Indonesia. Sayang, sejarah terkadang terasa "asin".

:: beberapa data mentah diambil dari Asvi Warman Adam (1999)/Foto : dari FB Tan Malaka

Jumat, 19 Agustus 2011

Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim” (Bagian : 1)

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.

Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim” (Bagian : 2)

Oleh : Muhammad Ilham

Dan pertumpahan darah “ditengah rumah” terus berlanjut hingga periode dan dinasti-dinasti berikutnya. Teringat saya dengan tulisan “Viking dan Tartar”nya Syu’bah Asa. Syu’bah Asa mengutip Thantawi Jauhari yang mengatakan bahwa andai saja musyawarah bisa dilestarikan, takkanlah sejarah Islam ini dipenuhi kisah-kisah perebutan kekuasaan yang begitu brutal. Menurut Thantawi Jauhari, apa yang ditempuh para penguasa muslim itu tidaklah berbeda kekejaman dan “gaya” pengkhiatannya dari tingkah raja-raja dan kaisar despotic Eropa, Cina atau dari manapun jua. Bahkan juga tidak berbeda dengan Amangkurat II pada masa Mataram (Islam) yang pernah membantai sekaligus ratusan – bahkan ribuan – santri dan kiai. Apa yang dilakukan Amangkurat II tak kalah “serunya” dengan apa yang diperbuat oleh Abul Abbas As-Saffah – pendiri Dinasti Abbasiyah – yang tangannya banyak dilumuri darah kaum muslimin (As-Saffah secara harfiah bisa diartikan “penumpah darah”). As-Saffah bersama pasukannya dicatat dalam sejarah membunuhi klan Umayyah dan diakhir pembunuhan itu, As-Saffah memerintahkan untuk membentangkan karpet diatas gundukan mayat-mayat yang mereka habisi. Lalu mereka makan minum diatas bentangan karpet itu, diantara rintihan tubuh-tubuh menggeliat yang masih terdengar. Fantastis !!.

Cerita memilukan ini, dinarasikan dengan luar biasa sehingga bisa membawa bulu kuduk “bergidik” oleh George (Jirji) Zaidan dalam novelnya Bendera Hitam dari Khurasan. Menurut Jirji Zaidan, pada orang Arab, referensi kebrutalan memiliki referensi histories : tradisi Jahiliyah. Bahkan Nabi Muhammad SAW. pernah mengingatkan akan hal ini agar mereka jangan (nanti) kembali pada kekafiran jahiliyah dimana “sebagian dari kamu akan menebas leher yang lain” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi). Kekhawatiran Rasulullah inilah yang kemudian mereka lakukan belakangan. Ini juga yang (mungkin) sekarang juga dilakukan oleh Bashar Al-Assad yang “membantai” ratusan rakyatnya di Suriah (dahulunya menjadi salah satu enclave utama basis Islam politik). Tapi, apapun kebrutalan yang dinukilkan oleh etnik Arab dalam sejarah, bagi beberapa sejarawan (Thantawi, Ira Martin Lapidus, JE. Bosworth, Martin DGS. Hodgson – untuk menyebut beberapa nama diantaranya), tetap memiliki “beda” dengan kebrutalan Viking, Tartar apalagi Amangkurat II (yang terakhir ini, hanya improve saya). Di luar kekuasaan, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah (dua dinasti besar yang pondasi-nya diletakkan oleh klan dari etnik Arab) dikenal mempraktekkan “puncak keadilan dan peradaban”, ini yang membedakan mereka dengan dari para despotic Eropa, Jepang dan Cina dan dibelahan manapun jua - tentunya pada masa mereka – dimana tempat kekuasaan raja memungkinkan mereka untuk menjadikan leher seorang rakyat hanya untuk (sekedar) mencoba ketajaman sebuah pedang. Sementara para penguasa muslim justru mempraktekkan ajaran Qur’an, namun dalam soal politik, itu berbeda. Dalam soal politik itulah terjadinya pengingkaran kemanusiaan. Di bagian hidup yang lain, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memiliki catatan manis peradaban dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan.

Referensi : Thantawi Jauhari (1981 ed.ter), Jirji Zaidan (1992), Ira Martin Lapidus (1999), DGS. Hodgson (1998), Syu'bah Asa (1998).Foto :luvislam.com

Jumat, 12 Agustus 2011

(Tanggapan) Darah Tetes di Tengah Rumah : “Bila Muslim Melawan Muslim” (Bagian : 3)

Tulisan ini merupakan tanggapan dari beberapa "sahabat" facebookers terhadap tulisan "Darah Tetes di Tengah Rumah : Bila Muslim Melawan Muslim". Pada bagian-bagian tertentu saya edit dan tidak semua tanggapan "sahabat" facebookers yang saya nukilkan dalam blog ini. Pendapat-pendapat mereka sangat bernas, mencerahkan dan memiliki kearifan argumentasi. Sungguh teramat sayang seribu kali sayang, bila di"biarkan" untuk tidak dinikmati oleh yang lain. Berikut :


Mas'oed Abidin :

Tilka al ayyamu nudawiluhaa baina an-Naas .. bagaimana semestinya menyikapi semua perubahan yang sedang dan akan selalu terjadi, tidak hanya air mata, darah dan juga nyawa .. Na'udzubillah .... Makasih telah ingatkan .. l'histoire ces't repete ... Inna az zamaan qad istadara .. Subhanallah !!

Faisal Zaini Dahlan :

Mohon tidak ada stressing "Muslim" sebagai predikat dari tragedi-tragedi kemanusiaan seperti itu. Selama aktornya manusia, bisa saja terjadi oleh siapa dan dari agama mana saja. Sekedar mengingatkan, jika terus dikaitkan dengan agama, seakan membenarkan bahwa agama adalah the tragedy of mankind. Bisa muncul pula Islam phobia, padahal akar persoalan adalah ketidakmampuan "penganut"nya sendiri untuk mengimplementasikan ajaran agamanya dalam realitas sejarah.


Nurul Firmansyah :

Salut, paparan yang lugas tentang kondisi umat. Akankah sejarah berulang kembali atau kita mau belajar dari sejarah

Muhammad Ilham :

Bang SuhArmen Kini dan bang Faisal Zaini Dahlan ....... konteks-nya bukan menuhankan sejarawan. Sebagaimana halnya ilmu Hadits (yang secara epistimologik, kerjanya mirip dengan sejarawan), ilmu sejarah pun dan ilmu lainnya, juga berhak untuk didebat. Yang salah menurut saya adalah ketika kita mengatakan bahwa sebuah Disiplin Ilmu tidak sepenuhnya benar. Persoalan Rahmatan Lil 'Alamin, ibarat memahami memahami CANTIK. Cantik bagi orang Nias, berbeda dngan pemahaman CANTIK bagi orang Pushtun ataupun Tajik dan Indian sono. Sejarah hanya memaparkan kondisi yang ada bedasarkan FAKTA/SUMBER sejarah yang ditulis oleh sumber primer yang ada. Sementara kita, hanya menafsirkan. Namanya menafsirkan, sangat debatable. Persoalan bias kepentingan, saya fikir tak ada manusia sejak Nabi Adam hingga sekarang yang Objektif. Semuanya memiliki motivasi tersendiri. Untuk itulah ILMU/EPISTIMOLOGI ilmu ada disana. Ibarat Survey Pemilu, ada metodologinya. Metodologinya itu yang dikritik, buka kepentingannya saja. Kalau demikian adanya, maka kita hanya akan menerima kebenaran menurut Versi "habitat" kita sendiri. Bang Faisal Zaini Dahlan ...... tragedi kemanusiaan juga ada pada siapun juga, pada entitas sosial manapun jua. Tapi stressing artikel saya pada alinea terakhir. Saya fikir, agama apapun di dunia ini, baik Samawi maupun Ardhi, memiliki melodramatika-tragedi masing-masing, termasuk peradaban Islam. Kemudian, menyikapi kalimat dari bang SuhArmen Kini yang mengatakan : "Kalau tidak begitu maka saya harus siap dengan resiko bahwa islam itu memang bukanlah sumber kedamaian", saya fikir kita harus membedakan, ya MEMBEDAKAN antara entitas kultural yang bernama ARAB/ARABISME ataupun Orang Arab dan Sejarah ARAB dengan Ajaran ISLAM itu sendiri. Ibaratnya, antara ILMU POLITIK dengan POLITISI, satu "kandungan-rahim" tapi bisa berbeda tingkah polah, bahkan terkesan saling tak kenal mengenal. Wallahu A'lam bish Shawab.

Faisal Zaini Dahlan :

Saya lebih setuju jika menguak sejarah yang berlumuran darah, analisis yang dipakai bukan teologis tapi lebih pada sosiologis politis. Kalaupun berjalin berkelindan, tapi mestinya dibaca secara sosiologi agama.


Muhammad Ilham :

Apapun pendekatannya bang Faisal Zaini Dahlan tidak masalah. Disanalah bemaknanya : "begitu lemah rasio manusia", sehingga dibutuhkan banyak pendekatan dalam melihat (hanya) satu-dua buah fenomena/entitas sosial historis yang terjadi. Dalam konteks artikel tersebut, saya mempertentangkan Konsep TEOLOGIS yang adiluhung - rahmatan Lil 'Alamin (sebagaimana hadits Rasulullah yang prediktif diatas tentang perpecahan) dengan Kultur Arab dan juga kultur lainnya, seperti kasus Amangkurat II atau sebagaimana yang di"novelkan"oleh Pramoedya Ananta Tour tentang seorang Ulama dalam novel "Gadis Pantai"nya.


Faisal Zaini Dahlan :

Ya, mudah-mudahan kita tidak teperosok sendiri dalam lobang pemikiran yang kita gali sendiri yang justru merugikan diri kita sendiri juga, bahwa agama adalah tragedi kemanusiaan. Saya belum baca "Gadis Pantai" nya Pramudia, tapi prediksi saya itu menggambarkan sesosok manusia yang ulama. Stressingnya mestinya pada "sosok manusia" nya, bukan Ulama sebagai warisatul anbiya'. Ya, samalah dengan kasus-kasus pastor yang terlibat skandal, stressingnya bukan pada kepasturannya, tetapi pada sosok manusianya.


Muhammad Ilham :

Bang Faisal Zaini Dahlan.... intinya, konstruksi interpretasi sangat dipengaruhi oleh kultur. Dalam konteks ini pulalah kita berupaya memahami suatu peristiwa. Bukan secara a-priori mengatakan "menuhankan" atau menganggap sesuatu itu dengan pendekatan under-estimate. Begitu kan bang
?

Muhammad Ilham :

Kalau olah masuak ko intinyo, bo'a le..he-he-he... Saya memang bukan sejarawan, tetapi menaruh kekhawatiran terhadap pembacaan yang seringkali menyeret-nyeret agama secara paksa untuk menjadi "latar" peristiwa. Nah, jika ini terjadi, maka menjadi "kultur" yang mempengaruhi konstruksi interpretasi/ analisis. Lihatlah bagaimana Islam dan Muslim "dibaca" dan "dipahami" bahkan menjadi under-estimate secara salah oleh generasi Islam phobia di Barat, sebagai hasil (kultur) yang dikonstruksi berabad-abad. Dan celakanya, seringkali seorang Muslim ikut pula melanggengkan konstruksi interpretasi itu... !


Suharmen (Kini) :

Saya hanya seorang pedagang, bukan akademisi, akibatnya cara berpikir saya cenderung sangat sederhana, jadi tolong dimaafkan kalau ada kesalahan. Dalam kesederhanaan pemikiran saya, sangat sulit bagi saya untuk begitu saja mempercayai sejarah yang lebih ingin mengesankan islam itu disebarkan dengan jalan kekerasan. Bagaimana tidak, saya lihat Belanda dan banyak negara salibis lainnya yang nota bene melakukan ekspansi dengan kekerasan terbukti memang negaranya jauh lebih makmur dari daerah jajahannnya. Negara-negara penjajah Eropa kaya raya sedangkan wilayah yang diekspansinya terlilit kemiskinan yang menyedihkan. Dan itu wajar karena memang demikian logika yang bisa diterima ketika kekayaan dan kekuasaan diperoleh dengan jalan perampasan dan jalan kekerasan semata. Sedangkan hal tersebut tampaknya tidak terjadi sebagai akibat dari perkembangan islam. Turki yang jauh dari Makkah dan Madinah pun bisa menjadi pusat pemerintahan islam, begitu juga Gordova yang sempat berjaya, sesuatu yang sangat sulit dibayangkan bagaimana mungkin Indonesia menjadi wilayah yang lebih makmur dan lebih berkembang dari Belanda sebagai ekspansionisnya. Eropa sebagai sumber penjajahan kaya raya sedangkan Makkah dan Madinah sebagai sumber islam praktis begitu-begitu saja, malah jejak sejarah tampaknya lebih memewahkan wilayah teranyar yang kemudian dijadikan pusat pemerintahan islam itu sendiri.

Kalau dikaitkan dengan Minangkabau maka bisa kita ambil contoh tentang adanya versi yang menyebut bahwa islam disebarkan di Minangkabau juga dengan jalan kekerasan dengan diikuti dalil sejarah yang diungkap. Tuanku Nan Renceh dideskripsikan berdarah-darah sampai-sampai konon eteknya yang makan sirih pun ditikamnya karena makan sirih dianggap Tuanku nan Renceh sudah keluar dari koridor islam. Bagaimana seorang pedagang seperti saya akan bisa mempercayai begitu saja kisah sejarah di atas karena saya terlahir sebagai orang Minang dimana dalam budayanya, pemimpin itu hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah saja. Bagaimana mungkin seorang Tuanku Nan Renceh masih memperoleh dukungan yang solid dari loyalis Minangkabaunya kalau perangainya seperti itu? Membayangkannya pun nyaris saya tidak mampu. Tetapi karena ini wilayah bernama sejarah maka berlaku hukum pasar, barang siapa yang bisa mengemukakan jalur dan lajur yang lebih runtut melalui rangkaian peristiwa demi peristiwa maka versinya akan mendominasi dan bisa dianggap sebagai kebenaran sekalipun ketidak-logisan yang dikandung pekabarannya sangat menyolok.

Apakah ada yang mencoba menegasikan perilaku Tuanku Nan Renceh secara lebih logis, misalnya pembunuhan terjadi karena kesalahan yang telah dilakukan eteknya memang layak menerima hukuman mati (bukan karena sedang mengunyah sirih) tapi tidak ada yang mau menjadi eksekutor karena kesalahan lahir dari etek pemimpin mereka sendiri, sehingga kemudian Tuanku Nan Renceh terpaksa mengambil alih tugas ini secara langsung dan kebetulan saja eteknya adalah seorang yang suka memakan sirih, bukan dieksekusi karena makan sirihnya? Seorang pemimpin dengan karakter “tibo di paruik indak dikampihkan, tibo di mato indak dipiciangkan” seperti itu memang akan lebih mudah diloyali dan jadi panutan di lingkaran orang berbudaya Minang yang tidak feodalisitik. Atau bisa juga kita mencari alasan logis lainnya untuk menidak-mungkinkan kisah tersebut karena memang tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin Tuanku Nan Renceh lebih mengutamakan membunuh wanita pemakan sirih ketimbang pejudi, pemabuk, penyabung ayam dan para perokok yang sampai sekarang masih menjadi bagian dari adat istiadat di Minangkabau dan kemudian tetap menjadi seorang pemimpin yang disegani? Atau kita kembali terpaksa harus menerima deskripsi kekejaman Tuanku Nan Renceh ini demi menuhankan sejarah yang telah berusaha sungguh-sungguh mengggambarkan islam memang identik dengan pedang dan jalan kekerasan.

Cukup banyak yang tetap menelan ketidak-logisan pekabaran apabila sudah masuk wilayah yang disebut SEJARAH, malah sebagian mengcopy-pastekannya begitu saja. Penulisan sejarah memang telah menjadi tuhan di zaman kita, tidak ada yang melakukan pensortiran kredibilitas dan akseptabilitas kepribadian para penulisnya sebagaimana intelektual muslim dahoeloe telah melakukannya secara bermartabat terhadap hadits-hadis palsu dan yang sejenisnya. Jangan coba-coba membantah sejarah berdasar dugaan semata, sebetapapun logisnya dugaan dan analisis tersebut kalau kita tidak ingin dicap sebagai pembela “habitat” kita saja, sektarian dan seperti katak di bawah tempurung. Di mata non muslim, membela ketidakmungkinan islam disebarkan dengan kekerasan adalah ahistoris dan terlalu memaksakan diri membela “habitat” sendiri. Tapi, syukurnya saya hanya seorang pedagang, lebih bebas berimprovisasi ke sana kemari menggunakan logika saya sendiri. Wallahu ‘Alam.

Muhammad Ilham :

Bang SuhArmen Kini ..... demikianlah adanya. Setiap kita memiliki hak untuk berimprovisasi karena kita memang memiliki parameter sendiri berdasarkan apa yang kita "dekati" selama ini. Terima kasih bang SuhArmen Kini ..... perspektif yang mengayakan. Salam Ramadhan !

Ramadhan dan Religiositas Masyarakat Konsumer

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Membaca artikel Rahmat Hidayatullah "Ramadhan dan Religiositas Masyarakat Konsumer" (Kompas, Kamis, 4 Agustus 2011, p.7) sambil menonton acara "Tabligh Uje" di MNC-TV. Geleng-geleng kepala: mau diapain aja agama di Indonesia ini bisa demi uang .... : (kegundahan seorang sahabat : Suryadi Sunuri FB)

Memasuki bulan Ramadhan, artefak-artefak budaya populer dan situs-situs budaya konsumer di Indonesia mulai dilanda demam ”islamisasi”. Media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, televisi, dan radio, program-program hiburan seperti film, sinetron, musik, dan opera sabun; pusat-pusat perbelanjaan dan makanan seperti mal, plaza, dan restoran mendadak ”masuk Islam”. Pada bulan ini, perkawinan antara elemen-elemen kebudayaan Barat dan simbol-simbol keislaman—yang sering kali diandaikan sebagai dua entitas yang saling bertentangan—memasuki episode ”bulan madu”. Dari segi kuantitas dan intensitasnya, ”peristiwa” semacam ini jarang kita jumpai di bulan-bulan lain. Fenomena ini mendemonstrasikan sebuah ritual perkawinan yang aneh dan membingungkan sehingga memaksa kita untuk bertanya, ada apa dengan Ramadhan di abad ini.

Sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan teknologi baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme telah menjadi kekuatan dominan yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status serta identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya konsumer memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat kontemporer. Di zaman ini, logika komoditas telah jadi logika umum yang tak hanya mendikte proses-proses kerja dan produk-produk material, tetapi juga mentransformasikan bentuk-bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, agama, serta masyarakat. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar ini, cara pandang manusia terhadap agama pun mengalami pergeseran. Agama tidak lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi telah menjadi instrumen gaya hidup itu sendiri. Agama telah berubah menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka ”identifikasi diri”. Kecenderungan ini merepresentasikan proses komodifikasi agama yang melibatkan manipulasi tanda. Alhasil, yang dikonsumsi manusia bukan lagi makna agama, melainkan simbol-simbol agama. Strategi komodifikasi agama ini melibatkan dua proses sekaligus: religifikasi komoditas dan komoditisasi agama (Ronald Lukens-Bull, 2008).

Proses pertama dimulai dengan produk, kemudian menginfusi makna religius ke dalamnya. Dengan memasukkan makna religius ke dalam komoditas, para ”khalifah kapitalis” mampu menciptakan produk-produk mereka lebih dari satu cara untuk memuaskan dahaga konsumen. Proses tersebut sekaligus menjadi cara untuk menyuguhkan imaji ketaatan beragama di benak konsumen yang mengonsumsi produk-produk kapitalis. Proses kedua dimulai dengan makna religius, kemudian mengekspresikannya ke dalam produk-produk material. Para produsen produk-produk ini berusaha mengartikulasikan sentimen-sentimen religius yang sudah bersemayam di benak konsumen dengan cara menciptakan produk-produk yang mungkin diminati oleh mereka. Dalam banyak kasus, persentuhan antara agama dan budaya populer kerap menghasilkan apa yang disebut sebagai hiburan keagamaan (religiotainment). Proses religiotainment ini mempertautkan dua modus ekspresi, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi paket hiburan (Akh Muzakki, 2008).

Bulan Ramadhan menyuguhkan testimoni sosiokultural yang paling gamblang dalam konteks ini. Selama bulan ini, kita dapat dengan mudah menemukan berbagai bentuk ”hiburan keagamaan” di sejumlah media massa dan elektronik, mulai sinetron islami, musik religi, kuis, iklan, unjuk omong, dakwah keagamaan, hingga kontes dai cilik. Singkatnya, dalam kasus ini, Islam mengalami transformasi menjadi merek-merek populer (popular brands) bagi komoditas, media, dan produk-produk budaya. Barangkali kita tidak perlu membangun pengandaian hiperbolis atas fenomena agama di dunia kontemporer ini. Sudah sejak dahulu agama sebagai sebuah gejala historis-sosiologis selalu memuat nilai-nilai ekonomi. Dalam setiap momen keagamaan, seperti ziarah ke pemakaman orang suci, perayaan Maulid Nabi, ritual ibadah haji, hingga perayaan Idul Fitri, nilai-nilai ekonomi selalu menjadi ”mitra” agama yang sulit untuk diceraikan. Persoalannya, di zaman postmodern ini, ketika manusia dikepung dalam gelombang budaya konsumer, mana yang mendefinisikan yang mana: agama mendefinisikan ekonomi atau sebaliknya, ekonomi yang mendefinisikan agama.

Sederet pertanyaan lain bisa saja kita ajukan. Apakah fenomena di atas merepresentasikan proses komodifikasi agama atau religifikasi komoditas? Proses pendangkalan agama atau peningkatan kesadaran beragama? Proses islamisasi kesenian atau estetisasi Islam? Jawabannya bisa sangat ambigu dan kontradiktif, berpulang kepada siapa yang menjawab: apakah kaum elite (pemerintah, ulama, dan kapitalis) atau kaum awam (rakyat, umat, dan massa). Tulisan ini sama sekali tidak berpretensi menawarkan kerangka kepastian atas persoalan-persoalan di atas. Ini sekadar refleksi atas realitas empiris yang mengepung keberadaan kita atau mungkin sekadar ekspresi kebingungan atas simtom zaman yang serba tidak pasti. Satu hal yang saya yakini, ikhtiar untuk memahami dan menghayati agama di dunia postmodern memerlukan ”jalan berputar” yang kerap sulit untuk dilakoni. Tanpa melewati jalan berputar tersebut, umat beragama cenderung rentan menjadi mangsa kapitalis, pemuja komoditas, ”nomad” ideologi, pengidola simbol, jemaah kultus, pelaku teroris, atau malah menjadi rasionalis-skeptis yang renta dan pesimistis. Semoga Ramadhan kali ini dapat menjadi momen yang baik bagi kita untuk meretas jalan berputar yang rumit itu; sebuah ritus primordial yang senantiasa diajarkan oleh para malaikat di atas langit, oleh bintang-bintang di semesta tata surya, oleh para pencinta Tuhan di sekeliling Baitullah. Barangkali inilah yang mendorong para sufi kerap menyitir firman Allah Swt, ”Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.” Mampukah kita menapaki jejak Tuhan dalam kepungan budaya konsumer?

Sumber : (c) Rahmat Hidayatullah.
Foto (www.jawapost.com)

Tanggapan dari beberapa sahabat-Facebookers (dalam Muhammad Ilham Fadli FB), berikut :

Ida Muis Ridwan - Berlin Germany :

Buat kami yang tinggal di negeri mayoritas bukan muslim tidak merasakan hingar bingar "parade" tersebut. Kami melalui hari-hari puasa sangat biasa dan bersahaja. Waktu puasa di atas 19 jam dengan rentang waktu berbuka ke waktu sahur kira-kira hanya 5 jam saja. Menu berbuka dan sahur pun sangat simpel. Puasa dipenuhi rutinitas harian yang padat. Untuk menikmati alunan suara adzan, shalat tarawih dan buka bersama, harus menempuh perjalanan beberapa puluh kilometer. Itupun hanya di akhir pekan. Hari raya pun terkadang harus dilalui di tempat kerja, kuliah atau sekolah anak. Tapi dalam situasi apapun, semoga wajah Allah selalu hadir dan menyapa kami dengan penuh kehangatan. Selamat menunaikan ibadah puasa!

Selinaswati - Australia:
Agama menjadi komoditas, jadi objek bagi budaya konsumen, bukan subjek. Selama momen ramadhan, gebyar kuis, ceramah dll.......sepertinya memang tampak jelas di Indonesia.. saya tak punya perbandigan dengan negara muslim mayoritas lain ... semisal Malaysia, Brunai dll.. mungkin hanya di Indonesia yakk yang begitu terasa gebyar nya..Tapi sayang, maraknya 'syiar' agama demikian tak sejalan dengan sikap moral dan prilaku kebanyakan orang Indonesia.. apalagi pelaku para petingginya..:)


Nico V. Vargas - Indonesia :

Ekonomi digerakkan oleh momentum2 dalam kehidupan manusia...dari yang sangat personal (perayaang ulang tahun seseorang dst) sampai upacara keagamaan...semuanya "diperbesar" gaungnya..agar menjadi sesuatu yang patut "dirayakan", dan tak ada ...perayaan tanpa kebendaan...kita tak mungkin bersenang2 cukup dengan berkumpul mendengarkan cerita, setidaknya hadirkan jualah teman untuk menemani obrolan kumpul2 itu seperti penganan dan minuman (satu pintu masuk untuk para saudagar dapat memanfaatkan segera terbuka lebar)...apakah kita mungkin menghadiri "pertemuan" yang mengumpulkan orang banyak dengan tampil dengan baju beserta aksesoris yang sama tahun demi tahun ?...maka satu lagi pintu masuk bagi "saudagar"...apakah pulang kampung dari tahun2 ke tahun akan selalu naik kendaraan umum ?...mengapa tidak menyewa kendaraan laksana milik pribadi ?...satu lagi peluang muncul dari saudagar...mereka buat masyarakat "membutuhkan" apa yang mereka tawarkan...:-)). Konon katanya...kata saudagar berarti "seribu akal"...jadi itulah mereka yang akan berpikir bagaimana caranya memanfaatkan momentum dalam kehidupan manusia...dan "pemilik seribu akal nan tulen" tidak membutuhkan kedekatan/kesamaan momentum yang ada dimasyarakat dengan yang ada pada dirinya...ia boleh berasal dari agama yang berbeda untuk ikut "berniaga" di momentum umat agama lain ?...apakah sah ?...sah dong !...sebagaimana kita banyak melihat penduduk negeri ini berbondong2 berdesak2an tanpa ada malu lagi memenuhi tempat peribadatan umat lain untuk sekedar memperlihatkan kemiskinan masing2, untuk sekedar memperoleh uang puluh ribu rupiah per orang, ataupun sedikit sembako ?. jadi maaf tampaknya kita tidak sedang membicarakan agama dan prilaku yang seharusnya dicerminkan, tetapi ini murni bisnis, ini ekonomi, yang "disusupkan" dalam setiap kesempatan termasuk momentum keagamaan, dengan pelakunya dari lintas budaya dan agama...yang mayoritas dijalani penduduk di negeri "krisis" ini... :-))


Selasa, 09 Agustus 2011

Timur Tengah : Semua Karena Minyak

Oleh : Muhammad Ilham

Artikel saya ini telah dipublish di GBI Tokyo - Jepang (editor : Seiichi Okawa/mantan wartawan TEMPO untuk wilayah Asia Timur). http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/

(Teramat betul) adagium klasik ilmu politik, bahwa kawan abadi tak ada dalam hubungan politik, kepentingan-lah yang tetap diutamakan. Dan, ketika Qaddafi mau dijungkalkan oleh NATO (hingga hari ini/7-8-2011 NATO tetap belum berhasil) dengan alasan Qaddafi sebagai pemimpin negara pelanggar Hak Asasi Manusia yang menembaki warganya, pada sisi lain Presiden Bashar al-Assad membunuhi ratusan warganya, NATO seakan-akan tutup mata. Tak ada operasi militer NATO menghantam Presiden Suriah ini. Padahal secara kuantitatif, semua orang akan setuju, tangan Presiden Bashar al-Assad teramat "berdarah". Who get what, how and when, kata Harold Lasswell. Dan, sumber minyak melimpah di Libya menjadi dasar utama. Ini yang tidak dimiliki Suriah.


http://webryblog.biglobe.ne.jp/images/manage/emoji/webry/07_bomb_a.gif" alt="" />日本国民の目が東日本大震災に集中している最中、アラブ世界では“ドミノ革命・維新”が進行中だ。福島原発の命運を注視している間、リ ビアで は、またまた「多国籍軍」による“制裁攻撃”が本格化した。そしてインドネシアは?

世 界最大のイスラム教徒人口を誇るインドネシア共和 国。「多国籍軍」によるリビア制裁をどのように捉えているのだろうか。もちろん、立場により感じ方は大 いに異なるだろう。どうなんだろう、と思っているところ、友人で西スマトラ州(Provinsi Sumatra Barat)のIAIN(国立イスラム宗教大学)Ketua PSIFA/Dosen IAIN Padang Sumatera Barat( ・文化学部イスラム歴史センター) 所長のムハマド・イルハム・ファドゥリ(Muhammad Ilham Fadli)さんが一文を寄せてくれた。翻訳の時間的余裕がないので。原語で紹介する。

Tunisia bermula, lanjut ke negeri Piramida, “angin revolusi” bergerak ke Libya, Bahrain, Yaman bahkan Maroko dan Aljazair. Oman yang diperintah Sultan Qabus-pun merasakan “angin” ini. Ada apa denganmu Timur Tengah ? Apa yang sedang terjadi di Timur Tengah ? Mengapa anak-anak muda di Negara-negara Arab tersebut bangkit dan melawan “orang tua” mereka ? Sebagaimana halnya hakikat sebuah revolusi, sebagaimana yang dikatakan Hannah Arendt – “sebuah revolusi itu sangat inspiratif, begitu mudah melenakan orang tanpa sempat orang memikirkan secara rasional implikasi logis yang mungkin harus diterimanya”. Sehingga janganlah kita heran bila sebuah revolusi akan membuat implikasi besar, minimal keterkaguman terhadap geloranya. Lihatlah, semenjak Revolusi Islam Iran – “revolusi para Mullah” – Revolusi Jasmine Tunisia - Revolusi Sungai Nil, banyak merubah psikologi anak muda. Apa yang terjadi Tunisia dan Mesir serta negara-negara Arab sekarang ini, bisa secara live ditonton dan dihayati masyarakat dunia. Rasa empati “menjalar”. Apa yang membuat rasa empati ini menjalar ? – diluar ikhtiar media massa yang membentuk opini publik.

Untuk memahaminya, nampaknya kita tidak bisa melepaskan diri dari perspetif sejarah dan social politik. Kita nampaknya harus kembali ke zaman sesudah Perang Dunia Pertama. Perang ini telah mendegradasi pengaruh Imperium Ottoman (Turki Utsmany) nan fenomenal itu. Inggris kemudian muncul sebagai penguasa utama. Imperium Ottoman yang mulai lemah tidak bisa secara maksimal menjaga tanah-tanah taklukan mereka dari Istanbul hingga Rabat, Maroko di Afrika Utara. Banyak daerah taklukan ini luput dari “kawalan” Kekhalifahan Ottoman. Maroko jatuh ke tangan Spanyol, Libya masuk dalam genggaman Mussolini-Italia. Tunisia dan Aljazair menjadi taklukan Perancis, sedangkan Mesir dikuasai Inggris. Syiria dan Lebanon secara politik berada dibawah kekuasaan Perancis. Sejarah kemudian mencatat, Keluarga Saud ditabalkan oleh Inggris tahun 1932 di Semenanjung Arab. Irak dan negara Teluk dipecah-pecah untuk tujuan – pecah dan perintah. Inggris sebagai sebagai salah satu neagara colonial berpengaruh pada masanya, menjalankan praktek paling asali dari kolonialisme, mengadu domba satu negara Arab dengan yang lain. Kolonialisme, kata Noam Chomsky, merupakan hasil dari perkembangan kapitalisme. Pasar dan pemasaran merupakan kata kunci kolonialisme, sekaligus juga asumsi dasar dari kapitalisme. Kekuasaan imperialism dan kaum pemodal memerlukan bahan mentah dari tanah jajahan mereka, sekaligus menjadi konsumen dari produk yang telah dibuat. Hukum dan syarat ini tak lekang dan tak pernah berubah.

Tahun 1938, dunia Arab berubah. Minyak untuk kali pertama ditemukan di Saudi Arabia. Karena gula, semut-pun berdatangan. Penemuan minyak ini telah mengundang datangnya perusahaan-perusahaan minyak dari luar Arab. Bila Saudi Arabia adalah pucuknya, pasti dahannya banyak bercabang. Akhirnya, perusahaan-perusahaan minyak ini berlomba-lomba melakukan penggalian. Benarlah kiranya, dahan minyak yang pucuknya di Saudi Arabia ini ternyata banyak. “Emas hitam” kemudian dijumpai di negara-negara Teluk, Iran, Irak, Libya, Mesir dan Aljazair. Penemuan minyak ini membuat sistem ekonomi kapitalis berkembang pesat. Minyak telah menjadi bahan yang teramat strategis. Bahkan beberapa kajian sejarah mengetengahkan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia ke-2 meletus, berawal dari perebutan bahan bakar minyak ini. Jerman yang kalah pada perang Dunia pertama, tidak mau ketinggalan dalam upaya menaklukkan tanah Arab. Jerman tak memiliki sumur minyak karena itu, ekonomi Jerman tidak akan berkembang. Hitler kemudian kemudian mengambil keputusan untuk melancarkan peperangan. Konon, setelah perang pecah, Hitler berusaha merampas telaga-telaga minyak di negara-negara Arab yang dimiliki oleh Inggris. Perang bergejolak. Bahan bakar minyak inilah yang menjadi hukum dan syarat yang menjadikan suasana di Timur Tengah terus hangat dan menggelegak semenjak 60 tahun lalu hingga sekarang.

Setelah Perang Dunia ke-2 usai, ekonomi Inggris mengalami kemerosotan. Bak pendulumnya “siklus” Ibnu Khaldun, kekuasaan Inggris bak kekuasaan Ottoman dahulu. Beberapa daerah jajahan menuntut kemerdekaan. India, misalnya, yang merupakan ">tanah jajahan terkaya Inggris, merdeka tahun 1947. Di Semenanjung Malaya, Partai Komunis Malaya “bergejolak” terhadap Inggris. Di Kenya, Gerakan Mau Mau pada tahun 1952, juga mengangkat senjata melawan Inggris. Mensikapi kemerosotan kekuasaan politik sedemikian ini, tahun 1948 Inggris kemudian bekerjasama dengan Amerika Serikat – untuk mendirikan apa yang dinamakan dengan Negara Israel - di bumi Palestina. Israel sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dunia Arab. Tujuan didirikannya negara Israel ini adalah untuk memastikan satu pangkalan militer yang tersusun rapi akan terus menerus eksis di Timur Tengah. Pangkalan militer ini bertujuan untuk menjaga dan mengawal sumur minyak. Israel bak kata Edward Said, akhirnya menjadi “perpanjangan tangan” Anglo-Amerika. Negara yang diproklamirkan Ben Gurion ini dipersenjatai penuh oleh Anglo-Amerika. Hari ini Israel dianggapsebagai Negara yang memiliki kekuatan militer terbesar dan tercanggih di Timur Tengah. Semua ini untuk memastikan negara-negara Arab produsen minyak tidak akan berani melakukan seperti apa yang telah dilakukan oleh Presiden Nasser – menasionalisasikan Terusan Suez pada tahun 1956 dan Raja Feisal - menutup eksport minyak pada tahun 1974. Dari strategi jangka panjang Anglo-Amerika ini, telah membuat semua negara Arab sebagai “tanah jajahan baru”. Negara-negara Arab ini menjadi pelayan Anglo-Amerika. Dalam masa yang sama Israel sebagai “hantu” akan terus menakut-nakuti negara-negara Arab ini. Maka akhirnya hukum jualbeli berlaku …… Apabila negara Arab takut maka tidak dapat tidak, negara Arab akan membeli senjata dari Inggris atau Amerika atau-pun Perancis.

Selama lebih kurang 50 tahun, strategi inilah yang dilakukan oleh kaum imperialis, setidaknya demikian yang pernah diutarakan oleh Noam Chomsky dan Edward Said. Minyak dan gas disedot dari “tanah” Arab, uangnya digunakan untuk beli senjata – walau sebenarnya pasti banyak juga dialokasikan untuk kepentingan rakyat mereka, tapi tetap pembelian senjata yang sangat tidak proporsional, memperkuat asumsi ini. Dalih mempertahankan diri dari Israel yang di-“hantu”-kan itu, pembelian senjata terus di-update. Bila kepentingan terjaga, maka mereka dimasukkan dalam kategori “kawan”. Lalu lihatlah, kala praktek demokrasi dan hak asasi Manusia tak berjalan bagus di negara-negara, Amerika Serikat dan Inggris tetap tidak ambil peduli, karena memang itu tadi …. Kepentingan mereka akan lebih terjaga dengan kondisi demikian, walau untuk kasus-kasus yang lain, seumpama Iran, Amerika Serikat dan Inggris akan berteriak lantang tentang praktek demokrasi, HAM dan nuklir. Padahal dibawah “ketiak” mereka, tiga persoalan ini terlihat sebesar “gajah”.

Lalu mengapa para rezim Arab ini tunduk dan takut ? Jawabannya simple. Pakar Timur Tengah LIPI, Riza Sihbudi, mengatakan bahwa mayoritas semua rezim di tanah Arab tersebut tidak memiliki otoritas dari rakyat. Dari Maghribi hingga ke negera-negara Teluk, para pemimpin, Sheikh dan Malikul Negara-negara ini dinaikkan ke atas tahta bukan karena dukungan mayoritas rakyat mereka, tapi lebih karena dukungan Anglo-Amerika. Saudi Arabia dan Yordania, misalnya, Inggris yang meletakkan “tahta” mereka. Memang betul ada beberapa negara, seperti Mesir, Irak atau Syria telah mengadakan Pemilihan Umum – tetapi semuanya sandiwara. Pemilu ataupun apalah namanya di bebeberapa negara teluk, lebih mirip dagelan. Itu bukan kata saya. Semua ilmuan politik yang intens pada kajian Timur Tengah mengatakan hal demikian."> Yang pasti, kontradiksi utama adalah diantara warga Arab dengan regim - regim Arab yang telah menjadi “perkakas” Anglo-Amerika plus Israel. Penentangan warga Arab ini juga bermakna bahwa mereka juga menentang Anglo-Amerika dan regim zionis Israel. Melawan Mubarak, Ben Ali, Bani Saud, Al-Makhtoum, Sultan Qabuus, sama seperti melawan pengaruh Anglo- Amerika dan zionis Isreal. Kita akan lihat satu kontradisi baru akan muncul. Pengaruh Anglo-Amerika akan memastikan regim zionis Israel selamat. Dan kekuasaan “imperium” ini juga akan memastikan aliran minyak tidak terputus, tetap “mengalir”. Tidakkah Irak diminati Bush hanya karena sumur minyak mereka. Tidakkah Obama yang lagi dihujat rakyatnya karena melancarkan serangan udara ke Libya dan Sarkozy yang panic karena Saef al-Islam bin Khaddafi membuka “borok” politiknya, bahu membahu membombardir Tomahawk ke Tripoli Libya hanya karena ingin memastikan minyak tetap mengalir normal ?

Sumber foto : www.google.picture.com/times.com

Menghargai Proses : "Suatu Malam di Musholla Pinggiran Sawah"

Oleh : Muhammad Ilham

Kalian Marahi/Tapi Tak Kalian Pupuk
(Kuntowijoyo : Ma'rifat Daun)


Setelah selesai memberikan ceramah di sebuah Musholla pinggiran Padang, seperti biasa saya berdiskusi dengan satu dua orang jemaah. Tentang berbagai hal. Biasanya, dari diskusi ini, sangat yang bodoh ini banyak mendapatkan inspirasi, pembelajaran dan kearifan yang saya dapatkan. Kebetulan, dalam Ramadhan tahun ini, saya lebih memfokuskan memberi ceramah Taraweh di musholla-musholla, khususnya di daerah-daerah pinggiran Padang. Entah kenapa, saya lebih tertarik menjadi "teman diskusi" jamaah pinggiran Padang ini. Biasanya penceramah - apalagi yang kondang - di bulan Ramadhan tersebut lebih suka memberikan ceramah di masjid-masjid, dan sedapat mungkin "menghindari" musholla kala diminta. Apalagi musholla pinggiran Padang yang cukup jauh dan menyita waktu untuk pergi kesana. Pertimbangan pragmatis, menjadi dasar utama para penceramah tidak "sreg" memilih ceramah di musholla-musholla tersebut. Biasanya, setelah pulang dari kampus pada sore hari, saya akan mandi lebih cepat. Sebelum berbuka, dengan dibekali perbukaan oleh istri, saya akan berangkat menuju musholla tempat saya ceramah. Ini sering saya lakukan, karena lokasi musholla itu cukup jauh. Maghrib dan berbuka ditengah jalan, bukan satu dua kali saya lakukan dalam Ramadhan tahun ini.

Malam itu, disebuah musholla pinggiran Padang dekat bukit, setelah sholat Taraweh selesai dilaksanakan, saya berkesempatan berdiskusi dengan beberapa jamaah yang rata-rata sudah tua. Musholla tersebut berada di pinggiran sawah. Tidaklah mengherankan apabila Honda Supra "Paling FIT" saya berlepotan ketika melewati pematang sawah. Sambil meminum dan memakan sisa-sisa perbukaan yang disuguhkan, terutama jagung rebus yang masih hangat, kami-pun mulai berdiskusi, tapi lebih tepatnya "curhat" dari mereka. Saya dengarkan satu persatu, curahan hati "terpendam" mereka tentang Ramadhan. Diantara banyak curahan hati tersebut, ada satu topik-isu yang menurut saya sangat menarik. Rupanya, sudah sekian malam mereka tidak melaksanakan ceramah taraweh. Setelah sholat 'Isya berjamaah, mereka langsung sholat taraweh. Biasanya menjelang sholat Taraweh setelah sholat 'Isya, akan diisi dengan tausyiah dari penceramah yang diundang. Kebetulan malam-malam sebelum saya memberikan ceramah di musholla ini, penceramahnya tidak datang. Karena tidak ada diantara jamaah ini yang bisa memberikan ceramah, tausyiah jelang taraweh ini-pun mereka "lewatkan". Ini terjadi bukan hanya pada Ramadhan tahun ini saja, tapi hal yang sama juga terjadi pada Ramadhan-Ramadhan tahun sebelumnya.

Dari diskusi malam itu saya dapatkan kesimpulan "sepihak" dari jamaah Musholla yang tidak asri ini, seringnya penceramah tidak datang ke musholla mereka tersebut karena letak musholla yang agak terpelosok dan di tepian sawah. Padahal, jauh sebelum Ramadhan, pengurus musholla telah membuat janji dengan beberapa penceramah. Ditambah lagi dengan "isi amplop" yang tak gemuk, diasumsikan memberikan kontribusi malasnya beberapa penceramah untuk datang memberikan ceramah. Bahkan, menurut salah seorang pengurus yang bekerja sebagai pembuat batu bata, "isi amplop" tidak pernah tetap, tergantung jumlah infak yang didapatkan pada setiap malam. Jadi tidaklah mengherankan apabila "isi amplop" tersebut cenderung fluktuatif. Biasanya, infak yang didapatkan tidak akan pernah banyak, maklum mayoritas jamaah berasal dari ekonomi lemah. "Sebenarnya kami juga segan memberikan uang transportasi (demikian si pengurus itu mengistilahkannya) yang tidak seperti masjid atau musholla lainnya, tapi apa mau dikata, itu yang sanggup kami berikan. Kami sebenarnya ingin sekali seperti musholla dan masjid yang lain, setiap malamnya mendapat tausyiah dari penceramah-penceramah cerdas. Tapi karena tempat kami yang jauh, dan jumlah uang transportasi yang tidak memadai, banyak diantara para penceramah tahun-tahun terdahulu yang tidak mau lagi berceramah pada Ramadhan tahun berikutnya di musholla kami ini. Kami sangat menyadari hal itu, tapi sekali lagi apa mau dikata, baru itu kemampuan kami", kata salah seorang pengurus yang usianya separuh baya tersebut. "Padahal, yang paling penting diberikan tausyiah itu kan kami, bukan hanya jamaah-jamaah di kota atau dimasjid-masjid sana. Kami berharap sekali, sekali dalam setahun dibulan Ramadhan ini, kami mendapatkan pengetahuan agama dari para penceramah. Tapi yang terjadi, justru para penceramah banyak yang tidak mau datang. Mungkin karena kami miskin, tak bisa beri amplop sebagaimana amplop yang diberikan pengurus masjid di daerah lain", sela seorang ibu yang dari tadi saya lihat menyimak diskusi kami dengan khidmat.

Malam itu, saya lebih banyak menjadi pendengar terbaik, sambil menawarkan satu-dua solusi mengatasi kegundahan mereka ini. Pukul 11 malam, lebih kurang, saya pamitan sambil dibekali dua bekal. Bekal pertama, amplop yang "tebal" (maklum ketebalan isi amplop tersebut karena diisi uang kertas seribu). Bekal kedua, jagung rebus beberapa buah. Bekal pertama saya tinggalkan, bekal kedua saya "kamehi", maklum, jagungnya sangat enak sekali. Malam itu saya dapatkan dua pelajaran berharga. Pertama, merekalah sebenarnya yang "membutuhkan" pencerahan keagamaan. Karena peluang dan akses mereka sangat minim memperoleh pengetahuan agama dibandingkan dengan masyarakat yang berada di kota atau masjid-musholla yang mampu mendatangkan penceramah cerdas. Peluang itu hanya mereka dapatkan satu kali satu tahun. Terkadang peluang itu tidak "dimanfaatkan" oleh mereka yang bekerja dibidang ini dengan baik (termasuk saya). Kedua, saya teringat dengan sebuah kasus di sebuah daerah kecil di pinggiran pantai Sumatera Barat. Beberapa masyarakatnya pernah menjadi anggota salah satu "kelompok sempalan". Dan masyarakat ini kemudian disalahkan. Padahal daerah yang hampir terisolir dan jarang dikunjungi muballigh ini membutuhkan pencerahan dari orang-orang yang "memarahi" mereka itu. Seandainyalah, musholla tempat saya ceramah malam itu rajin dikunjungi oleh penceramah dari salah satu kelompok Islam "antah barantah" (katakanlah demikian), niscaya mereka akan menjadi bagian dari kelompok Islam "antah barantah" tersebut. Wallahu A'lam bisshawab !! ............ Marhaban yaa Ramadhan 1432 H./2011 M.

Jumat, 05 Agustus 2011

Kemanakah Amien Rais ?

Oleh : Muhammad Ilham

"Tiap orang dimudahkan untuk sesuatu yang dirinya memang dibentuk untuk itu"
(HR. Bukhari & Ahmad)

Ada satu statemen yang cukup menarik dari advokat senior/aktifis pro-demokrasi, Adnan Buyung Nasution, "Kita yang telah memperjuangkan demokratisasi di Indonesia ini. Namun yang bermunculan adalah tokoh-tokoh yang tidak jelas track recordnya". Statemen Bang Buyung ini "keluar" sebagai bentuk gundah gulana salah seorang "kontributor" demokratisasi di Indonesia terhadap lontaran "nyeleneh" Marzuki Ali. Ketua DPR-RI dari Partai Demokrat ini menyedot perhatian ranah publik beberapa minggu belakangan ini karena usulannya agar KPK dibubarkan, membuat berbagai kalangan menjadi berang-meradang, termasuk Bang Buyung. Walau perkataan Marzuki Ali tersebut (masih) bisa didiskusikan, namun kegundahan para kelompok orang, yang dalam bahasa bang Buyung "Kita yang memperjuangkan demokratisasi" bisa dipahami. Begitu banyak para tokoh yang "menggetarkan" pada era tahun 1998 - 2000, seakan-akan hilang/dihilangkan sejarah. Sementara pada sisi lain, para elit politik era sekarang ini adalah mereka yang "entah dimana berada" pada era 1998-2000 tersebut. Salah satu tokoh yang menggetarkan tapi sekarang (seakan-akan) "senyap" adalah Amin Rais.

Ada kerinduan pada Amien Rais. Terlepas suka atau tidak suka pada sosok yang vokal ini, rasanya jagad politik Indonesia kurang "garam" karena tidak ada komentar pedas-nyelekit dari seorang Professor Doktor Ilmu Politik (spesialis) Timur Tengah bernama Amien Rais. Kemana ia belakangan ini. Mengapa seakan-akan style beliau diambil oleh Buya Ahmad Syafii Ma'arif ataupun Din Syamsuddin yang selama ini tidak begitu "galak" dan garang. Mungkinkah Amien Rais sudah mulai bosan atau hopeless. Atau mungkin ia mulai berhitung, "buat apa saya mengeluarkan statement ke publik, toh masa saya sudah mulai hilang". Bila hal ini memang demikian adanya, tentu membuat saya kembali mengingat tahun 1998. Sebuah era dimana seluruh media massa dan perbincangan hangat publik hanya bersumbu pada dua orang : Soeharto dan Amien Rais (dan tentunya Habibie sebagai "lakon" pembantu). Seandainya tahun 1998, Amien Rais tidak satu korps/corps (orang kampung saya bilang "korop") dengan Bacharuddin Joesoef (BJ) Habibie, tentunya Amien Rais berpeluang besar jadi Presiden. Kalau-lah bukan karena ICMI, Amien Rais yang teramat vokal kala itu, tentunya akan juga bersemangat melengserkan Habibie. Tapi karena satu corps-lah, dalam hal ini ICMI, membuat Amien Rais merasa segan untuk berseberangan dengan Habibie yang bergelar "Mr. Crack" tersebut. Dan riwayat ini bermula setelah Soeharto mundur dari tahta politik Indonesia yang dipegangnya cukup (bahkan teramat) lama. Dan Habibie yang pada masa itu sebagai Wakil Presiden, tiba-tiba mendapatkan limpahan keprabon ("kerajaan") dari sang mentor yang dikaguminya itu. Begitu Habibie dilantik, salah seorang anggota Fraksi Golkar - Fraksi terbesar dan paling berpengaruh pada masa itu - mengatakan bahwa mereka lebih menginginkan dibentuknya sebuah Presedium, bukan Habibie. Presidium itu terdiri dari 5 orang tokoh bangsa yang dianggap sebagai representasi publik : Amien Rais, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengkubowono dan Megawati Soekarnoputri. Presidium ini hanya memiliki tugas sederhana, menyiapkan Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden berdasarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang. Tapi sayang, kata anggota Fraksi Partai besar ini, usulan itu terlambat.

Kalaulah kita boleh berandai-andai bila Habibie tak diterima "arus umum", kemudian Presidium terbentuk, lantas Pemilihan Umum berlangsung tahun 1998 itu juga. Maka pasti banyak yang bersepakat bahwa Amien rais akan tampil sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Siapa yang tidak kenal Amien Rais kala itu. Sahabat Buya Ahmad Syafii Ma'arif ini dianggap sebagai tokoh paling terkenal dan paling "bersuara" serta representasi dari tokoh pembangkang era 1997-1999. Gus Dur dimana ? Suaranya tidak begitu terdengar, sementara Megawati lebih banyak diam-senyum. Maka praktis hanya Amien Rais yang berjalan di depan gelombang besar mahasiswa. Bahkan dalam konteks nativisme, Amien Rais dipandang sebagai Juru Selamat. Bak HOS. Tjokroaminoto, Samin Surosantiko, Diponegoro ataupun Soekarno pada masanya. Ia juga memiliki pengakuan dari rezim berkuasa sebagai bukti bahwa ia memang tokoh yang dianggap oposan paling serius. Buktinya, ketika Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat ketika demonstrasi 1998 menjalar sedemikian cepat dan anarkis, Amien Rais adalah tokoh yang direkomendasikan oleh banyak kalangan, tapi ia ditolak Soeharto. Ketika para tokoh yang diundang Soeharto tersebut mengatakan bahwa reformasi harus jalan tetapi dibawah kendali Soeharto, maka Amien Rais menjelaskan posisinya : tidak. Reformasi harus tanpa Soeharto. Dan sejarah-pun kemudian mencatat, Soeharto tak berdaya. Kekuasaan kemudian diserahkan kepada Habibie. Ketika kekuasaan tersebut diberikan kepada Habibie oleh Soeharto, praktis gelombang besar publik sedang menunggu bagaimana komentar Amien Rais terhadap naiknya Habibie tersebut.

Apa kata Amien Rais ? "Biarlah kita beri kesempatan kepada Habibie untuk memimpin pemerintahan transisi. Pemerintahan transisi ini tidak akan lama, sekitar tiga hingga enam bulan", kata Amien. Ketika Amien mengeluarkan statement ini, saya masih ingat dengan tanggapan seorang wartawan Luar Negeri yang diwawancarai Majalah Forum Keadilan, "Waktu itulah, Amien Rais telah berhenti menjadi reformis". Walaupun tak sepenuhnya benar, tapi kekecewaan publik boleh jadi memang pada tempatnya. Ekspektasi publik yang luar biasa padanya, harus berhadapan dengan kenyataan lain bahwa ia berkompromi dengan Habibie. Coba kalau waktu itu ia menolak pelantikan Habibie, tentu pergolakan akan berlanjut, demonstrasi akan (kembali) marak terjadi, sampai pada akhirnya diambil solusi nasional : membentuk Presedium. Jangankan pembentukan Presidium, bila Amien Rais pandai menggelindingkan bola panas revolusi, bukan hanya sebatas reformasi, maka back up sosial politiknya sangat besar, meski hal ini akan ditolak oleh mbah "fikih konstitusi" masa itu, Yusril Ihza Mahendra. Namun yang jadi soal adalah, mengapa Amien menerima Habibie ? (Walau pada masa itu, ke dua orang ini, disamping Yusril Ihza Mahendra, adalah figur yang saya pandang dengan mata binar seorang mahasiswa, tapi tetap Amien Rais lebih "bahenol").

Tentu banyak yang geram pada Amien Rais, mengapa menerima Habibie. Paling tidak bagi kalangan masyarakat yang memiliki ekspektasi tinggi padanya. Pada detik-detik ketika takdir kepresidenan menggantung-gantung di atas kepalanya, alamaaak ternyata ia malah menerima orang lain. Akhirnya, bak kata Syubah Asa, jalan sejarah akhirnya berbelok bagai pekik seorang pengawal yang meneriaki Pangeran Hector, menyebabkan Perang Troya dalam sejarah Yunani Klasik yang sudah dihalang-halangi agar tidak meletus, pada akhirnya meledak jua. Dalam konteks Amien Rais, ia justru dianggap "dihalangi" menjadi Presiden, bukan karena Amien Rais tidak mau. Dan penghalangnya itu adalah ICMI - Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Amien Rais dan Habibie adalah dua sahabat yang berseberangan. Mereka berdua seumpama Agus Salim dengan Sutan Syahrir atau Soekarno dengan Hatta "dikemudian hari". Habibie merupakan murid Soeharto (bahkan, kalau saya tak salah, Amien Rais termasuk tokoh yang paling sering mengingatkan suatu hal : "bagi Habibie, Soeharto adalah Profesornya") dan Amien Rais adalah musuh Soeharto. Bila dihadapkan pada Soeharto, maka posisi Amien Rais dan Habibie teramat jelas berseberangan. Tapi ICMI, organisasi yang dibentuk atas restu Soeharto dimana Habibie duduk sebagai Ketua-nya dan Amien rais menjadi Ketua Dewan Pakar (walau kemudian ia didepak atas "pesanan" Soeharto) adalah sebuah corps, sebuah kubu. Dan bila kita lihat dalam konteks ini, sangat layak bila dikatakan bahwa pribadi dan pejuang ormas Islam seperti Amien Rais (kala itu ia masih menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah) menumbuhkan perasaan satu corps-satu kubu dengan Habibie. ICMI adalah jembatan pupuk hati antara Habibie dan Amien Rais. Minimal, Amien Rais merasa tidak tega menolak naiknya Habibie jadi Presiden pasca kejatuhan Soeharto. Seandainya Amien Rais bukan satu corps dengan Habibie, mungkin Presiden RI ke-4 bukan putra Pare-Pare Sulawesi Selatan bermata bulat ini. Tapi itulah politik. Politik adalah memilih, demikian kata Mohandas Karamachand Gandhi yang Mahatma itu.

Referensi : Forum Keadilan (1999/Agustus), Syu'bah Asa (2000). Foto : infocartoons.com