Rabu, 27 Juli 2011

Ketika Media Massa Menjaga Kecemburuan Publik

Oleh : Muhammad Ilham

Media Televisi sedang "menjaga" kecemburuan publik yang siap meledak, setidaknya demikian kata Cak Nun, suatu waktu.

Sebagai pilar demokrasi, pers memang menjadi harapan terbesar bagi publik untuk terus mengontrol "kurenah" sang penguasa. Dan karena itu pulalah, akhir-akhir ini kita selalu disuguhi tontonan, dialog dan sejenisnya yang terus memupuk kecemburuan itu. Dengan bungkusan jurnalistik yang luar biasa profokatif, beberapa media televisi senantiasa menayangkan kurenah sang penguasa atawa elit politik bangsa loh jinawi ini. Hampir tak ada, gerak-gerik para elit yang tak luput dari pemberitaan. Mulai dari Syarifuddin hingga Nazaruddin, Ipad "seksi" Arifinto, Gayus yang terus membuat rakyat Indonesia "berdecak" melihat kekayaannya, hingga perseteruan Ruhut Sitompul dengan istrinya dan seterusnya ... etc. (panjang nian bila diungkai satu demi satu), dikupas tuntas bak mengupas kehidupan para pesohor (baca : entertain) negeri ini dengan bahasa profokatif. Akhirnya, dalam perbincangan tingkat "lepau"pun, publik memberikan penilaian (dengan tentunya Media Televisi sebagai rujukan) dalam bahasa seperti : "Gaji Presiden Satu Tahun, bila dibelikan beras akan mampu menghidupi sekian keluarga Indonesia", "Biaya perjalanan dinas Presiden satu tahun bisa mendirikan masjid dan musholla sekian buah", dan seterusnya. Publik hanya tahu dengan "rumus matematika" sesederhana itu, karena memang mereka terus "dijaga" oleh media televisi yang menawarkan rumus tersebut. Walau kita terus merasa jengah dengan kelakuan para elit, namun mengajak masyarakat untuk tidak berfikir sesederhana itu, adalah suatu pembelajaran berharga. Media Televisi sebagai media kontrol adalah sebuah keharusan, tapi memupuk pola berfikir masyarakat tidak profokatif dengan dalil-dalil komparatif yang sederhana, adalah juga sebuah kewajiban. Membandingkan biaya perjalanan dinas Menteri dengan berapa roti yang bisa diberikan pada masyarakat, bukan sebuah perbandingan yang mencerdaskan masyarakat itu sendiri.

Orang yang sedang memancing di pinggiran sungai dan senar pancingnya di bawa arus, pasti berfikir bahwa air di tempat itu deras. Sebuah rumus-kalkulasi logis yang sederhana. Karena itu, ia kemudian berpindah tempat,sesuai dengan naluri memancingnya. Tapi ia melupakan, air menjadi deras karena tanahnya terlalu miring. Bahkan ia lupa bahwa air itu mengalir ke bawah, karena tanah dibawah sungai itu menurun. Kala kita menunggu Angkutan Kota di pinggiran jalan, kita hanya melihat bahwa mobil-mobil hilir-mudik terus menerus. Kita melupakan bahwa jalan di depan kita itu berhubungan dengan jalan-jalan lain terus menerus dan membentuk sebuah jaringan. Tanah miring yang menggerakkan air sungai di atasnya dan jaringan Angkutan Kota dan mobil yang hilir mudik adalah hal-hal yang luput dari pandangan karena (terkadang) letaknya tersembunyi atau memang abstrak untuk dibayangkan. Dan ... terkadang, kita hanya melihat di permukaan peristiwa, tapi tidak mengetahui apa yang memungkinkan peristiwa-peritiwa itu terjadi. Mengajak orang untuk selalu menyelami dasar sebuah peristiwa, jauh lebih mencerahkan dibandingkan hanya memaparkan apa yang ada dipermukaan (Semoga saya salah, Wallahu a'lam bish shawab).

Islam dan Budaya Lokal Minangkabau Modern : Genealogi Islam Radikal di Nusantara

Ditulis ulang : Muhammad Ilham
(c) Mestika Zed

Pembaruan Islam pertama di Minangkabau terjadi pada penghujung abad ke-18, bersamaan dengan meningkatnya perdagangan kopi Minangkabau di pantai barat Sumatera. Selama berabad-abad pantai barat Sumatera menjadi ajang pertarungan dagang antara VOC dan Aceh serta pedagang lokal Minangakabau. Mula-mula emas dan kemudian lada. “Kebangkitan ekonomi” Minangkabau pada penghujung abad ke- 18 dan abad ke-19, menurut Dobbin (1983) telah mengotori lembaran sejarah Minangkabau, terutama setelah daerah itu ditarik ke dalam ekonomi pasar dunia. Komersialisi komoditi pertanian Minangkabau telah melahirkan kelas pedagang yang menyebar kemakmuran ke pedalaman. Kemakmuran selanjutnya merembet kepada dorongan mengejar kesenangan duniawi (hedonisme). Maka pada penghujung abad ke-18, kebiasaan lama menyabung ayam dan kecanduan minum madat, mengunyah sirih dan tembakau (bahasa sekarang Nafza), kumat meraja lela. Sementara itu kelompok pembaharu agama yang relatif ‘moderat” yang berpusat di Koto Tua Agam di bawah tarekat Syatariyah pimpinan Tuanku Koto Tuo sibuk dengan perdebatan mengenai seruan kembali ke syariah bersama aliran Nagsyabadiyah. Kelompok pembaharu ini kemudian mendapat amunisi baru ketika sekelompok tokoh ulama yang baru pulang dari naik haji dari Makkah. Mereka lalu mendorong timbulnya gerakan Paderi yang radikal.

Gerakan Paderi adalah gerakan radikal pertama dan terbesar di Asia Tenggara, mirip dengan gerakan revivalisme Islam seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka dalam perkumpulan tareqat di Afrika Utara (Marokko dan Sudan) serta di India (Dobbin, ibid dan Vol, 1982, Laffan, 2003). Gerakan itu menyapu bersih lawan-lawan mereka, khususnya dari kaum adat yang dianggap pembela ajaran adat lama dan kerajaan. Gerakan itu makin meluas dan massif ketika campur tangan Belanda pada tahun 1820-an dan celakanya, pertaruangan berakhir dengan kemenangan Belanda dan bukan salah satu pihak yang beratrung, kaum adat dan reformis Islam. Analisis sejarah mengenai ideologi Gerakan Paderi cenderung mengaitkannya dengan atau setidaknya mendapat inspirasi dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi, dan segera mendapat pengikutnya lewat guru-guru tareqat di surau-surau pedalaman Minangkabau. Namun menurut kesaksian Syeikh Jalaluddin Ahmad (Pakiah Saghir) yang ikut berperan di awal Gerakan Paderi dalam bukunya dikatakan bahwa gerakan Paderi di Minangkabau menganut ajaran Tuanku Di Ulakan (Tharekat Syattariyah). Tidak seperti dikatakan banyak buku sejarah bahwa awal gerakan Paderi itu menganut faham Wahabi yang dibawa tiga orang haji yang pulang dari Tanah Suci Mekah. Salah seorang haji ialah "Haji Miskin", ia sampai di Minangkabau setelah empat tahun gerakan tersebut mulai. Diceritakan tatkala Haji Miskin kembali dari Mekah, ia langsung berdakwah di Batu Taba, Canduang (Syeh Djalluddin, trans. 1991). Sebab pada masa dahulu sebelum berangkat ke Tanah Suci Mekah, ia lama berguru pada ayah Syekh Jalaluddin di nagari Canduang tersebut. Setelah setahun lamanya ia mengajar di nagari tersebut dan barulah setelah itu ia kembali ke kampung halamannya di Pandai Sikek. Jadi tidak ada catatan adanya bentrokan faham atau aliran antara Haji Miskin dengan tokoh Paderi waktu itu, yakni Tuanku Nan Tuo yang beraliran ajaran Tuanku Di Ulakan. Bahkan Tuanku Nan Tuo konon pernah marah ketika mendengar rencana hendak membunuh Haji Miskin yang ketika itu mengajar di mesjid Aia Tabik, Payakumbuh. Lalu Tuanku Nan Tuo bersama pengikutnya datang ke kawasan itu menolong beliau. Adapun pangkat atau jabatan Syekh Jalaluddin waktu itu selain guru agama, juga sebagai "Kepala Bermulut" (Juru Bicara) Tuanku Nan Tuo.


Surau suku sekitar tahun 1880-an di Bukittinggi, koleksi museum Leiden
Sumber:geheugenvannederland (2011). Gambar kanan, surau suku di Simabur, Kab.Pariangan Tanah Datar
(hasil penelitian Nasbahry Couto, 1996)


Abad ke-19 menyaksikan dominasi kekuasan Eropa (Belanda), yang semakin meluas dan masuknya pengaru Barat ke dalam nilai-nilai sosial lokal lewat jaringan birokrasi dan pendidikan sekuler. Namun demikian kehadiran Belanda untuk sementara waktu unsur-unsur Islam dikucilkan. Dengan kuasa dan wibawa kaum adat yang diberikan mandat oleh Belanda, kelompok Islam membangun keutuhan umat lewat lembaga surau. Dari suraulah lahirnya kaum “intellegentsia agama”, sementara di luar sana muncul kelas baru yang disebut kaum terpelajar hasil pendidikan sekuler Belanda. Kebanyakan mereka menjadi birokrat atau guru sekolah. Pada awal abad ke-20 kolonialisme tidak hanya bertindak sebagai penjajah dalam arti kelompok demoninan yang mengeksploitasi sumber daya lokal (alam dan manusia), melainkan memperkenalkan ide tengan “kamajuan”, suatu corak kebudayaan yang sama sekali lain dari yang dianut oleh budaya lokal selama ini. Sekularisme tidak hanya bermakna memisahkan agama dari urusan negara, tetapi juga melahirkan kelas baru yang di luar kelompok kaum adat dan agama. Dengan demikian, masalah pertama yang harus dihadapi oleh budaya Minangkabau masa kolonial ialah menjaga keutuhan komunitas dari ketagangan kultural dan struktural segi tiga antara rasionalisasi adat dan syara’ atau aqidah dan ide “kemajuan” atau kemodrenan yang diidentikkan dengan bawaan Barat.

Pergumulan intelektual antara ketiga unsur inilah yang mewarnai ketegangan dan konflik budaya Minangkabau awal abad ke-20. Dalam konteks inilah lahirnya gerakan Islam Minangkabau modernis seeprti yang dikaji oleh Deliar Noer (1982). Gerakan pembaruan Islam generasi kedua oleh para ulama Kaum Muda awal abad ke 20 bukan berasal dari semangat gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah. Sejak akhir abad ke-19 gerakan itu di Minangkabau menampakkan wujud dalam bentuk konflik Kaum Muda vs Kaum Tua. Dari satu segi, gerakan ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari periode sebelumnya. Risalah agama tetap dijadikan sebagai landasan perubahan sosial, tetapi selain itu juga terjadinya pematangan orthodoksi ajaran. Namun isu yang dipersoalkan sudah bergeser, demikian juga metode yang digunakan. Isu sentral pada periode ini ialah masalah fikh, khususnya masalah-masalah khilafiah. Sementara itu perdebatan seru antara pengikut tareqat Naqshabandiayah dan Syatariyah menimbulkan polarisasi ke dalam, seperti yang tampak dari konflik antara kaum tua dan kaum muda. Yang sangat khas dari periode ini ialah metode yang digunakan lewat diskursus intelektual, baik melalui buku, media massa (majalah dan surat kabar), atau forum muzakarah. Begitu dahsyatnya arus gerakan itu di tengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan para ahli cenderung menilai bahwa tonggak sejarah pembaharuan Islam terpenting di Indonesia berkambang subur di Minangkabau pada periode awal abad ke-20. Basis gerakan itu berada di surau dan lembaga pendidikan modern suasta yang dikelola oleh kelompok Islam, baik kaum tua maupun kaum muda. Surau-surau ini pada gilirannya juga berafiliasi dengan organisasi massa seperti SI (kemudian PSII) dan Muhammadiyah, Permi dan bahkan juga dengan PKI.

Periode berikutnya, yakni yang ketiga ialah Gerakan Islam Ideologis, yang berkembang ketika Islam berhadapan dengan kekuasaan politik kenegaraan sejak periode perjuangan kemerdekaan, 1945 sampai tahun 1960-an. Memang Gerakan Kaum Muda sebelumnya juga telah menampilkan dirinya sebagai gerakan ideologi tandingan terhadap ideologi dominan, yaitu hegemoni kolonialisme, tetapi berbeda dengan Gerakan Islam Ideologis yang berkembang kemudian, gerakan pembaharuan Kaum Muda menampilkan tiga ciri utamanya. Kecuali lebih mengutamakan diskursus intelektual ke dalam anggota masyarakat penganutnya sendiri; juga menggunakan basisnya di lembaga keagamaan seperti di surau-surau, mesjid dan lembaga pendidikan agama. Lagi pula, gerakan ideologis Kaum Muda tampak lebih bersifat akomodatif terhadap ideologi-ideologi kepartaian sezaman (seumpaman sosialisme dari SI Cokromainoto-Abdul Muis, dan komunisme Dt. Batuah dkk, Dan kemudian Permi dan kemudian Masyumi). Ketiga ciri ini berbeda perkembangannya dalam era Orde Baru ketika (i) kelompok Islam tampil sebagai pembela ideologi tandingan terhadap pluralisme partai-partai politik yang ada, baik sekuler maupun gerakan keagamaan ‘tradisional’, seperti Perti. [b] Gerakan pembaharuan Islam Ideologis, seperti yang terdapat dalam Partai Masyumi dan Muhammadiyah; lebih mengutamakan diskursus politik ketika bergumul dengan kekuasaan negara Republik Indonesia dan [c] basis utamanya justeru sudah semakin meluas, bukan hanya dalam lembaga keagamaan dan pendidikan, tetapi di dalam isntitusi politik atau partai itu sendiri. Dalam hal ini misalnya, perdebatan tentang konsep “Negara Islam”, seperti juga kontribusi Islam dalam perjuangan kemerdekaan yang cenderung dimarginalkan, seperti juga ketika kelompok Islam merasa diperlakukan tidak adil oleh negara, salah satu bibit ketidakpuasan dan menyediakan jerami kering di musim kemarau.

Mengapa generasi kita cenderung latah untuk mebuat undang-undang dan “dialog interaktif’ ketimbang menelorkan fikiran-fikiran bernas untuk keluar dari tantangan zaman hari ini? Mengapa adat dan budaya kita selalu hangat dibicarakan, tetapi seringkali ditinggalkan dalam praktek? Bukankah segala yang kini dianggap ide­al dan baik, seperti ide tentang kemajuan, egaliter, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan seterusnya, telah tercakup dalam ajaran dua pencipta agung adat Minangkabau, Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketemanggungan? Akan te­tapi mengapa kenyataan sosial yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari kita sudah sedemikian merosot, tidak lagi mengidahkan ajaran adat yang bersendikan agama tersebut?

Penyatuan sistem adat dengan Islam, setiap suku diwajibkan memiliki surau suku,
hasil penelitian Nasbahry Couto, di Nagari Saningbakar, Kabupaten Solok, tahun 2004.


Jawaban sederhananya ialah karena tuntutan adat tak dipenuhi dan adat yang terpakai sudah tidak murni lagi. Maka demi kemajuan, tuntutan adat yang ideal haruslah dipenuhi, atau, sebaliknya, perobahan-perobahan haruslah dijalankan demi ketinggian adat dan "semarak gunung Merapi", simbol kebesaran alam Minangkabau. Namun masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Kini kita berada pada suatu kisaran sejarah yang sama sekali lain dari zaman ketika nenek moyang kita yang hidup dalam suasana agraris. Zaman ketika mereka masih mampu mencukupi sendiri kebutuhan hidup keluarga (self-subsistenced), kepemilikan komunal (tanah ulayat), dan zaman ketika pengalaman merantau di masa lalu bukan terutama untuk tujuan ekonomi, melainkan untuk menuntut ilmu dan kepuasan batin untuk melakukan mobilitas sosial di luar kampung halamannya. Bukankah orang Minangkabau di Sumatera Barat dikenal memiliki tingkat mobalitas individual yang tinggi; mereka jug terbiasa melakukan perjalanan jauh untuk berniaga, bahkan sampai ke pantai timur Afrika dan di sana mereka bergabung dalam kelompok pemukiman Melayu Madagaskar dan di Semenanjung Malaya mereka mendirikan Negeri Sembilan (Mestika Zed, 2010).

Dalam suasana silang budaya global seperti sekarang, tampaknya sia-sia mempertanyakan apakah pendukung suatu kebudayaan ― atau yang lebih halusnya “peradaban” ― sanggup mengetahui dan memahami kebudayaan lain. Pepatah Arab mengatakan, “tuntutlah ilmu pengetahuan walaupun sampai ke negeri Cina” dan setidaknya orang Islam telah lebih dulu meneguk khazanah ilmu pengetahuan (termasuk seni dan filsafat) Helenis, jauh sebelum Eropa modern terjaga dari tidur panjangnya selama Abad Pertengahan, sehingga memungkinkan mereka untuk bangkit kembali sejak zaman Renaissanse abad ke-11 dan 12 M. Nenek moyang orang Indonesia juga sudah lama bersentuhan dengan peradaban-peradaban besar seperti India dan Cina, tetapi hanya agama Islam yang membawa mereka ke dunia modern tatkala tradisi-tradisi lokal menyerap Islam sebagai identitas komunitas mereka yang relatif langgeng sampai hari ini, sehingga dalam peta agama dunia, negeri bekas jajahan Belanda itu dikenal sebagai pemeluk agama Islam terbesar dunia saat ini. Perbenturan budaya adalah suatu kenicayaan, hal yang tak terelakkan dan akan berlangsung terus (Janse, 1982, Hadle (2008). Adanya konflik dan konsesus dengan sedirinya juga mengidikasikan pula perlu pembelajaran terus menerus, sehingga menghasilkan sintesis baru dalam mengahadapi era global di mana hegemoni pemikiran global yang bersumber di Barat yang ditandingi dengan khazanah buadaya sendiri. Harus diakui, bahwa kini orang Minangkabau bukan lagi semata-mata menjadi ’anak-kemenakan’ (warga) dari ninik mamak di nagari ini dan itu saja. Kini mereka juga menjadi bagian dari anak kemenakan (warga negara) Indonesia dan dunia global yang semakin terbuka untuk disiasti memperkuat budaya sendiri dan bukan sebaliknya.

Sabtu, 23 Juli 2011

Rohana Koedoes : Si Soenting Melajoe

Oleh : Muhammad Ilham

Kecuali nama sepotong jalan kecil teduh di Padang dan usaha keripik balado yang produknya kerap dibawa keluar kota sebagai oleh-oleh, tidak banyak yang tahu tentang Roehana Koeddoes. Tidak banyak pula yang tahu, ketika Raden Ajeng Kartini, menulis berlembar-lembar suratRoehana School. Nama Roehana memang tidak begitu dikenal di tengah hiruk-pikuk perayaan emansipasi kaum perempuan. Tidak banyak pula dokumentasi yang mencatat kiprahnya sepanjang lebih dari 80 tahun masa hidupnya. Dalam catatan sejarah pers Indonesia, Roehana Koeddoes disebut sebagai wartawati Sumatra Barat pertama, yang menerbitkan koran perempuan Soenting Melajoe pada 1912. Buku Roehana Koeddoes, Perempuan Sumatera Barat, karya Fitriyanti yang terbit pada 2001, mengungkap bahwa Roehana sudah melahirkan dua karya besar yang melampaui jamannya.

Pertama kegigihannya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan Minangkabau di awal abad 19 dengan membangun sekolah keterampilan Kerajinan Amai Setia dan Roehana School dan kedua terbitnya surat kabar yang ia bangun dan pimpin sendiri. Dalam buku Tanah Air Bahasa terbitan 2007, yang menghimpun tokoh dan kejadian penting dalam 100 tahun, Roehana disebut sebagai tokoh yang berhasil menyuarakan perubahan bagi perempuan. Roehana percaya surat kabar adalah alat yang ampuh untuk menyebarkan gagasan yang bisa mempengaruhi pikiran perempuan. Lahir di Kotogadang, kampung sunyi di Sumatra Barat, pada 20 Desember 1884, Siti Roehana adalah anak perempuan tertua Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, seorang jaksa yang acap berpindah-pindah kota. Meski hidup sederhana, keluarga Roehana terpandang dan terpelajar. Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, adalah saudara Roehana satu ayah. Ayahnya menikah dengan ibu Sjahrir setelah Kiam -ibu Roehana-- meninggal. keluhan dari kamar pingitannya di Jepara, Jawa Tengah, kepada teman-temannya di Belanda, Roehana Koeddoes sudah mendirikan sekolah perempuan bernama Dengan Haji Agus Salim, Roehana juga bertalian darah. Kakek Roehana dan Agus Salim bersaudara kandung. Roehana anak kesayangan Rasjad. Tidak heran jika di tengah keluarganya, Roehana dipanggil dengan sapaan "Roehana anak ayah."

Sejak kecil, Roehana yang disapa dengan panggilan "One" oleh ayah dan adik-adiknya, gemar membaca buku dan koran, juga menulis, di samping kepandaian putri lainnya seperti menyulam terawang khas Koto Gadang. Meski tidak bersekolah-- karena anak perempuan Minangkabau di masa itu umumnya tidak dikirim ke sekolah formal-- Roehana cepat sekali menyerap berbagai ilmu. Buku-buku mahal, yang dipesankan sang ayah jauh-jauh dari Singapura dilahapnya dengan cepat. Sejak kecil, kemampuan memimpin Roehana sudah tampak. Ia menjadi guru kecil bagi teman-temannya. Padahal, ketika itu, Roehana baru berusia 8 tahun. Di usia itu, ia sudah mahir menulis dalam bahasa Melayu, Arab, dan Arab Melayu. Kegiatan ini rupanya berlanjut hingga dewasa. Di usia 24 tahun, ketika menikah dengan keponakan ayahnya, Abdoel Koeddoes, yang aktivis dan notaris yang gemar menulis kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda di koran-koran lokal, niat untuk memajukan kaum perempuan kian kencang. Beruntung Roehana mendapat dukungan suami yang berpikiran maju dan tidak segan mendukung cita-citanya. Ketika mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia untuk mendidik perempuan agar mahir baca-tulis, menjahit, menyulam, pengetahuan akhlak agama, dan pengetahuan umum lainnya pada 1911, sang suami juga menyokongnya. Ketika ia mengeluhkan soal tidak adanya koran khusus untuk perempuan di Minangkabau, suaminya bahkan menggerakkannya untuk membangun sendiri koran perempuan itu. Bagi Roehana, membaca koran ibarat meminum air laut. Makin banyak diminum, makin haus. Roehana kemudian berkirim surat pada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Oetoesan Melajoe, yang acap dibacanya. Sutan Maharadja adalah penghulu adat yang berkiblat ke barat. Pikirannya maju dan sangat menentang penjajahan. Ia juga sangat memperhatikan emansipasi perempuan. Anaknya Zubaidah Ratna Djuwita acap membantu sang ayah di koran, yang berkantor di Padang ini. Surat Roehana pada Sutan Maharadja itu berisi permohonan agar ia bersedia mendanai berdirinya koran pertama untuk perempuan di Minangkabau. Datuk sangat terkesan membaca surat Roehana. Ia datang ke Koto Gadang untuk menemui Roehana.

Dari pembicaraan dengan Roehana, Datuk bersedia menerbitkan sebuah koran perempuan, yang diberi nama Soenting Melajoe. Sunting artinya perempuan. Niatnya, koran ini diperuntukkan bagi perempuan di merata tanah Melayu. Di suratkabar ini, Roehana jadi pemimpin redaksi. Ia dibantu Ratna Djuwita. Untungnya, Roehana tidak perlu pindah ke Padang, cukup mengirim tulisannya dari Koto Gadang. Soenting Melajoe memang bukan surat kabar perempuan pertama di Tanah Air. Pada 1903, Tirto Adhi Soerjo sudah membikin koran Poetri Hindia. Ia menempatkan istrinya untuk membantu. Tapi peran Roehana jadi penting karena dialah perempuan Indonesia pertama yang memprakarsai berdirinya sebuah koran perempuan dan menjadi pemimpin redaksi. Dalam suratkabar itu, Roehana menyoroti kehidupan perempuan dari kelas ekonomi menengah dan bawah. Dalam tulisannya, Roehana mengimbau agar perempuan tidak mau lagi jadi pemanis dalam rumah tangga. Ia juga tidak segan-segan mengkritik poligami. Dalam satu tulisan, Roehana menyeru agar poligami dihentikan karena merugikan perempuan dan keluarga. Sudah jamak, jika ada perempuan yang terlalu maju untuk jamannya, jika ada perempuan yang berhasil, makin besar tantangannya. Aktivitas Roehana tidak lepas dari gunjingan dan tuduhan. Mulai dari penggelapan uang hingga tuduhan berselingkuh dengan pejabat kolonial Belanda. Maklumlah, ketika itu tenun terawang bikinan sekolah Roehana laku di kalangan petinggi Belanda. Tidak tahan dengan kondisi ini, Roehana pindah dari kampungnya menuju Bukittinggi. Di sana ia mendirikan Roehana School. Hingga usia tua, Roehana tinggal berpindah-pindah mengikuti anak tunggalnya Djasma Juni. Meski sudah sepuh, Roehana tetap mengikuti perkembangan pers. Dua tahun setelah ia meninggal pada 17 Agustus 1972, Roehana mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Sumatra Barat sebagai wartawati pertama. Pada 1987, ia mendapat gelar penghargaan perintis pers oleh Dewan Pertimbangan Persatuan Wartawan Indonesia. Hingga kini, namanya belum juga diakui sebagai pahlawan nasional. Roehana Koeddoes, dengan segudang jasanya itu, hanya dikenal sedikit orang lewat sepotong jalan kecil teduh di Padang.

Sumber Utama : korantempo.com/html/April 2007

Rabu, 20 Juli 2011

Politisi Tempo Doeloe, Politisi Tempo Kini dan Politisi Zaman

Oleh : Muhammad Ilham

"Apa beda politisi Indonesia zaman dulu dibandingkan dengan masa sekarang?", tanya seorang kawan saya sepulang dari musholla, maghrib tadi. Sebuah tanya yang mungkin tersebabkan oleh "bingung"nya kawan ini terhadap akrobat para politisi Indonesia belakangan ini, sebagaimana yang selalu ia tonton di layar kaca. Pertanyaan yang bisa menjebak kita kepada subjektifitas untuk mengatakan bahwa para politisi Indonesia masa sekarang tidak teramat baik dibandingkan politisi Indonesia zaman dulu. Katakanlah, politisi kala era Indonesia "menggeliat", atau meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah - politisi yang "hidup" pada masa A Decade of Ideology. Pertanyaan yang membuat kita memandang penuh gairah curiculum vitae politisi tempoe doeloe. Dedikasi, pemikiran reflektif, kecendekiawanan dan kesederhanaan membuat garis batas yang jelas bila dibandingkan dengan style politisi masa kini yang penuh intrik, nabalisme, corrupt dan tidak inspiratif. Pertanyaan kawan saya tersebut rasanya tak salah. Demikian juga dengan perbandingan "prematur" politisi tempo doeloe itu cendekia, sementara yang sekarang, lebih banyak tidak inspiratif. Ibarat membandingkan menara Pisa dengan Twin Towers Petronas, maka membandingkan politisi tempo doeloe dengan sekarang, terkesan a-hitoris dan lepas-konteks. Tapi, tak teramat salah pula bila kawan saya bertanya dan (saya yakin) berkesimpulan politisi tempo doeloe lebih baik dibandingkan sekarang. Maklum, ia hidup masa sekarang. Berinteraksi secara live dengan tingkah polah para politisi. Layar kaca-pun mempertontonkan bagaimana akrobat politisi sekarang. Bahkan terkadang kita juga miris dengan apa yang dipertontonkan layar kaca, rasanya tak ada yang baik dari makhluk bernama politisi tersebut. Sekecil apapun kesalahan para politisi, dijamin akan menjadi "makanan empuk" layar kaca. Kasus "komisi3@yahoo.com" di Australia beberapa bulan lalu, menjadi berita hangat di media TV Indonesia. Sekian hari lamanya. Atau berita teranyar tentang Misbakhun yang berjalan-jalan di Ratu Plaza, padahal ia masih menjalani masa hukuman 2 tahunnya akibat L/C fiktif Bank Century. Berita Misbakhun ini menjadi trending topic sebuah TV swasta hari-hari belakangan ini. Walau beberapa pakar hukum pidana mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Misbakhun tersebut adalah sesuatu yang lumrah dan legal karena menjalani tahapan asimilasi, tapi tetap TV Swasta ini menganggap sebagai sebuah kejelekan haram-jadah. Pokoknya, perilaku politisi masa sekarang adalah kumpulan makhluk yang tak pantas ditiru.

Walau tidak semuanya benar, tapi itu adalah realitas bentukan masa sekarang. Kebebasan dalam transformasi informasi ke publik, membuat "nasib" para politisi masa kini menjadi makhluk malang. Padahal banyak diantara mereka yang inspiratif, reflektif dan dedikatif. Pada sisi lain, tak semua politisi tempoe doeloe yang negarawan-cendekia. Banyak juga yang ultra-primordial, licik dan corrupt. Buktinya, Soekarno sampai membubarkan Konstituante karena sang "Putra Fajar" ini muak melihat akrobat dan primordialisme politisi masa itu. Tapi karena zaman teramat berbeda, primordialisme dan kelicikan politisi tempoe doeloe tidak tertransformasi secara sistemik kepada publik, dibandingkan dengan masa sekarang. Namun kalau lihat secara umum (tidak secara keseluruhan), ada perbedaan yang signifikan antara "kehidupan" para politisi tempoe doleloe dibandingkan dengan politisi masa sekarang. Aktifis politik tempo doeloe terdiri daripada figur-figur cendekiawan yang secara intelektual sangat artikulatif. Pada umumnya, mereka adalah aktifis yang sekaligus juga pemikir politik. Dalam diri mereka berpadu intelektualisme dan aktifisme secara integral. Karena itu tak salah bila curiculum vitae mereka dikenang oleh publik hingga sekarang "siapa" mereka dan "bagaimana" dialektika antara gagasan dan sepak terjang kepolitikannya. Sesuatu yang secara umum (sekali lagi, secara umum) tidak terlihat pada politisi masa sekarang.

Kemudian, politisi yang hidup pada episode masa A Decade of Ideology, diskursus intelektualisme di bidang politik diwakili sepenuhnya oleh para aktifis kepartaian itu sendiri. Herbert Feith & Lance Castel (ed.) dalam buku mereka yang terkenal, Indonesian Political Thinking 1945-1965 (sudah diterjemahkan) melihat bahwa kehidupan politisi tempo doeloe mencerminkan pemikiran-pemikiran yang berasal dari pengamatan yang tajam dan penghayatan yang dalam tentang masyarakat mereka. Mereka, bukan hanya politisi tulen, tapi rauzan fikr - meminjam istilah sosiolog Iran Ali Shariati. Disitulah letak kekuatan mereka sehingga berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan original. Bung Karno, misalnya, dalam sejarah tidak hanya dikenal sebagai orator politik jempolan dan menggetarkan semata. Ia juga dikenal sebagai sosok cendekiawan yang memiliki pemikiran melalui karya-karya yang profokatif dan menggelora : Indonesia Menggugat dan Di Bawah Bendera Revolusi adalah dua contoh dari begitu banyak karya intelektual Soekarno. Demikian juga dengan Mohammad Hatta melalui karya reflektifnya : Indonesia Merdeka dan Kumpulan Karangan yang terdiri dari beberapa jilid. Dan jangan tanya tentang Tan Malaka. Masterpiece-nya Madilog - disamping beberapa karyanya yang lain seperti Pacar Merah Indonesia, Dari Penjara ke penjara, Aslia dan lain-lain - memperlihatkan kualitas intelektual sekaligus aktifitas politik Ibrahim Tan Malaka ini. Aktifis politik Islam seperti Mohammad Natsir juga dikenal dengan karya-karya visioner-nya seperti dua jilid Capita Selecta, Islam sebagai Dasar Negara, Islam sebagai Ideologie, Some Observations Concerning the Role of Islam in National and International Affairs dan "seabrek" karya visioner-nya yang lain. Syafruddin Prawiranegara yang menulis Sistem Ekonomi Islam, HOS. Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme, Zainal Abidin Ahmad dengan Membentuk Negara Islam serta SH. Amin yang menulis Indonesia di Bawah Demokrasi Terpimpin. Singkatnya, sebutkanlah nama-nama aktifis politik tempo doeloe, hampir semuanya meninggalkan jejak politik dan intelektual yang mengagumkan. Publik mengenal mereka bukan semata-mata karena sepak terjang politiknya, akan tetapi juga melalui jejak-jejak dinamis gagasan dan pemikirannya, bahkan literal. Sesuatu yang (secara umum) tidak kita temui pada politisi masa sekarang.

"Apa beda politisi Indonesia zaman dulu dibandingkan dengan masa sekarang?" tanya seorang kawan saya sepulang dari musholla, maghrib tadi. Rasanya "hampir" terjawab. Setidaknya secara umum. Tapi memang, kehidupan dan langgam politik tergantung pada masanya. "....... mereka adalah politisi zaman" (meminjam dan mengimprove puisi Kahlil Gibran), adalah rumusan yang terkesan justifikasi, bisa menjawabnya. Atau bisa jadi apa yang diutarakan politisi vocal PKS - Fachri Hamzah - bisa pula menjawabnya dalam versi lain : "tugas politisi adalah bicara, dengan bicara itu kami dibayar".

Referensi : Herbert Feith & Lance Castle (1997, terjemahan), Hajriyanto Tohari (1999). Photo : politicalnetwork.com

FEODALISME A-LA MEGAWATI, (ternyata) BENAR ADANYA !

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mendengar "nyanyian" Nazaruddin dari negeri "antah barantah", mengingatkan kita pada Megawati Sukarnoputri. Lantunan instrumentalia mantan bendaharawan Partai Demokrat yang seumpama lantunan Kitaro tersebut, membuat "pilihan politik/style politik" Megawati terasa "kontekstual" bagi situasi politik Indonesia masa transisi ini. Ketika kasus Nazaruddin mulai mencuat, saya tidak percaya seorang Anas Urbaningrum terlibat. Bagaimana pun, latar belakang Anas adalah seorang aktivis-intelek. Partai Demokrat juga partai pertamanya. Mana mungkin dalam tempo waktu 5 tahun bisa mengubah Anas sedemikian jauh. Tatkala... Anas mati-matian membela bendaharanya itu saya juga maklum. Nazar anggota Tim Suksesnya sewaktu Kongres Partai Demokrat 2010 lalu. Sudah sewajarnya dibela meskipun tahu ada indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan Nazar. Ruhut Sitompul, Bhatoegana, Saan Mustofa juga melakukan hal yang sama terhadap teman “faksi” mereka itu. Tapi, pernyataan Nazar kemarin kalau dicermati sungguh luar biasa mengerikannya. Khususnya betapa besar biaya untuk menggolkan Anas pada kongres tahun lalu. Dua puluh juta dollar! Sebegitu besarkah uang untuk sebuah kursi ketua umum partai penguasa? Lagipula, Anas bukanlah seorang pengusaha beken seperti halnya Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kedua orang ini konon menghabiskan uang ratusan miliar di Munas Golkar tahun 2009 lalu. Tapi Anas?

Peluru yang ditembakkan Nazar kemarin mulai membukakan mata saya betapa parpol adalah cerminan dari kegagalan demokrasi di Indonesia. Katanya parpol itu adalah pilar demokrasi, kalau tidak ada parpol belum demokrasilah sebuah negara. Lewat parpol suara rakyat (demos) dilembagakan. Dengan demikian, demokratis tidaknya sebuah negara ditandai lewat demokrasi dalam parpol itu sendiri. Parpol yang demokratis pasti memilih wakil rakyat yang tepat berdasarkan kualitas. Jadi bukan cara-cara feodal dan nepotis di mana orang-orang dekat saja yang terpilih. Untuk menjamin hal itu, proses pemilihan para pengurus juga harus demokratis. Setiap pemilik suara bebas menentukan pilihannya. Bebas di sini tentu bukan karena fulus yang mengalir ke kantong. Kalau karena uang, tentu bukan kebebasaan lagi tetapi kebablasan. Apalagi jikalau beberapa calon menggunakan cara yang sama. Tinggalah siapa beri lebih tinggi dia yang dapat suara. Karena dasarnya uang, manusia pun jadi lupa diri. Apabila calonnya kalah, mereka pun pecah dengan kelompok pemenang. Akhirnya timbul kegaduhan yang membuat suasana partai tidak kondusif. Kalau apa yang dikatakan Nazar itu benar, hal ini pula yang terjadi pada Partai Demokrat. Pantas saja, mengapa sampai timbul faksi-faksi dalam partai itu. Tidak mungkin sebegitunya andai pertarungan itu dilakukan fair demi menyenangkan Sang Bapak. Bahkan Sang Bapak itu—menurut Nazaruddin lagi—tahu apa yang terjadi tapi didiamkan sehingga Sang Bapak sampai perlu membantah lewat konferensi pers.

Dari kejadian ini, saya jadi paham mengapa partai-partai lebih suka menggunakan cara-cara feodal dalam memilih ketua. PDI Perjuangan misalnya, selalu memunculkan Megawati, padahal banyak kader potensial yang dimilik partai ideologis Bung Karno itu. Hanya pada Megawati “orang-orang Banteng” patuh karena cintanya pada Bung Karno serta perjuangan Megawati sendiri selama Orba. Bisa jadi bukan karena itu saja. Ada alasan lain seperti hasrat tiada henti Mega sendiri untuk menjadi raja capres di tahun 2014 nanti. Tapi paling tidak kita bisa melihat PDI sampai sekarang tetap adem-ayem. Mereka satu suara mendengar petuah Sang Ibu. Dia bilang “oposisi”, tidak ada yang berani bantah. Wakil Walikota Surabaya yang berniat mundur karena tidak suka menjadi orang nomor dua—sebelumnya menjabat walikota—mengurungkan niatnya lantaran Sang Ibu tidak beri restu. Partai lain semisal PKB dan PKS hampir sama polanya. Yang satu dulu Gus Dur yang beri perintah sedangkan yang kedua lewat lembaga Majelis Syura yang digenggam seorang ustadz. Partai-partai ini ideologis dan kultural. Mereka haus kekuasaan juga, tapi sadar bahwa kekuasan itu harus diraih lewat kekompakan tanpa konflik. Walau mereka tahu hal itu tidaklah demokratis. Mungkin, demokrasi di negeri ini masih jauh realita dari cita. Semua serba paradoks. Yang satu nampak demokratis meski penuh intrik; sedang yang lain hadirkan ketenteraman walau feodal.

Referensi/Sumber : Diskusi di Kompasiana/(c) S. Saragih

Senin, 11 Juli 2011

Hatta dan Kultus

Oleh : Muhammad Ilham


"Kultus, membuat daya kritis dan kewarasan kita hilang".
(Mohammad Hatta)


Karena ingin tetap waras, Mohammad Hatta mengirim surat perpisahan pada sahabatnya, Bung Karno Sang Putra Fajar. Setelah Bung Karno ditahbiskan jadi Presiden seumur hidup dengan seabrek gelar-gelar pengkultusan, dan itu diterima dengan welcome oleh Bung Karno, maka saat itu juga Hatta merasa perlu untuk mengambil jarak dari sahabat-nya itu, tanpa konfrontasi, tanpa menyakiti dan dengan elegan. Bacalah Memoir Bung Hatta, didalamnya tergambar bagaimana Hatta ingin mengatakan bahwa rakyat Indonesia akan menjadi rakyat tidak waras, bila sang pemimpin merasa nyaman kala dikultuskan, karena baginya, pemimpin bukan dijunjung setinggi langit tanpa cacat-cela. Pemimpin bagi putra Batuhampar ini ibarat filosofi Minangkabau, (hanya) ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Ada perhitungan, ada batas dan ada penghormatan yang rasional dan normal.

Mungkin Bung Karno tak meminta, tapi membiarkan, sama halnya dengan meng-iya-kan. Bukankan diam itu tanda setuju (setidaknya, demikian kata almarhumah ibu saya kala menerima pinangan almarhum ayah saya, beliau jawab dengan diam, dan seluruh hadirin mengatakan calon anak daro setuju). Karena membiarkan itulah, akhirnya sejarah mencatat "lelucon" sanjungan yang mengarah pada pengkultusan buat Bung Karno ini, "Pemimpin Besar Revolusi", "Penyambung Lidah Masyarakat", "Nahkoda Agung", "Wartawan Agung", "Rimbawan Agung" dan sederet sebutan lainnya. Konon ayah saya yang pengagum berat Bung Karno ini juga pernah mengatakan pada saya bahwa Bung Karno itu adalah "Penakluk Wanita Gentlemen". Entahlah, tapi ia flamboyan, dikagumi banyak wanita, semuanya cantik.

Zaman nampaknya tak lepas dari pengkultusan. Lihatlah, kala skuad Sepak Bola Korea Utara yang dianggap sebagai tim penuh "misteri" pada perhelatan Piala Dunia Afrika Selatan Juni lalu, begitu mengagungkan pemimpin mereka, Kim Jong-Il. Dalam wawancara skysport dengan kapten tim sepakbola negara yang beribukotakan Pyongyang ini, kebanggaan apa yang akan kalian persembahkan buat rakyat Korea Utara?. Jawab si-kapten ini sederhana : "pertama kami persembahkan bagi Bapa Agung Kim Jong-Il, ia yang bisa mengubah pasir jadi padi, membuat bom dari batang pohon tinggi, pusat partai yang gilang gemilang tinggi menjulang tak terbilang", kata si-kapten dengan sesegukan. Sulit untuk memahami mengapa semua ini terjadi. Tapi semua itu adalah contoh dari begitu banyak pemimpin yang dikultuskan. Stalin, yang bernama lengkap Joseph Ilyich Stalin ini, memiliki banyak koleksi gelar yang luar biasa, "Pemimpin Besar nan Agung Rakyat Sovyet", "Genius Ummat Manusia", "Cahaya Pembimbing Ilmu", "Ahli Agung Dalam Hal Keputusan-Keputusan Revolusioner Yang Berani" dan entah apalagi. Konon, menurut sejarawan Anton Antonov, ada 24 gelar menjulang disematkan kepada pemimpin yang identik dengan horor-state ini.

Ada pemujaan yang tulus, yang tidak memiliki hubungan dengan kekuasaan yang besar. Manusia bisa idiot sekali merindukan sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya, perwujudan dari segala yang diidam-idamkannya. Dan ketika Tuhan tak diyakini lagi atau disingkirkan dari perbendaharaan kata - misalnya kasus Korea Utara, kasus Bung Karno, kasus Stalin diatas - maka sang Terkasih, sang Pujaan, Sang Bapak dan seterusnya hadir pada sosok Bung Karno, Stalin dan Kim, bahkan bisa pada artis, SBY ataupun Mbah Maridjan. Maka beruntunglah bagi orang yang percaya bahwa Tuhan tak bisa digantikan dan nabi-pun tak ada lagi setelah berakhir pada Muhammad bin Abdullah. Karena itulah, Islam mengajarkan, jangan sekali-kali "menduakan" Tuhan, karena membuat kamu tak waras dan tidak memiliki kemampun berfikir kritis. Hatta benar, dan ia tak mau "menduakan" Tuhan, karena ia ingin tetap waras dan kritis.

Minggu, 10 Juli 2011

Prita Mulyasari, "Mantagi" Receh dan Kasasi

Oleh : Muhammad Ilham

Hak publik pula untuk memiliki persepsi tersendiri tentang apa itu keadilan. Dengan logikanya yang sederhana, masyarakat kadang bahkan lebih cermat dalam menakar keadilan ketimbang para penegak hukum yang berkiblat dengan logika-logika yuridis yang kaku tanpa memiliki nurani keadilan itu sendiri (Adnan Buyung Nasution)

Masyarakat dihinggapi perasaan tak berdaya (powerless), pesimis, dan frustrasi menghadapi mandulnya hukum dalam mencipta keadilan. Hari ini Prita, esok, atas nama hukum, mungkin kita yang akan ”dipritakan”. Bak kata sosiolog Imam B. Prasodjo (vivanews.com), Koin receh adalah bentuk perlawanan dengan satire di tengah ketidakberdayaan, sekaligus adalah kanal nonagresi untuk meliberasi diri dari semua emosi, kejengkelan, dan ketegangan psikologis akibat keadilan yang tak tertegakkan. Sementara uang receh sengaja dipilih untuk menggambarkan begitu mudah dan murahnya keadilan itu dibeli. Hati publik yang terketuk dalam kasus Prita adalah tanda hati yang masih memiliki empati. Secara imajinatif, publik memosisikan dirinya pada perasaan, pikiran, dan penderitaan seorang ibu rumah tangga, yang atas nama hukum dipaksa negara membayar ratusan juta, justru ketika ia menuntut haknya. Empati itu lantas mengalirkan dukungan yang tidak sebatas pada pernyataan belaka, tetapi diikuti perilaku prososial berupa pengumpulan uang receh yang secara spontan dilakukan di beberapa kota di Indonesia. "Uang Receh" menjadi catatan manis ..... "fenomena sosial" yang menampar kebekuan hukum Indonesia. Namun Catatan Manis tersebut kehilangan "mantagi" oleh aturan hukum lainnya yang bernama KASASI.

Palu hakim acapkali lebih berpaling kepada mereka yang berduit. Asumsi tersebut memang tidak dapat digeneralisasi, tetapi setidaknya kasus Prita menjadi pelajaran bahwa lembaga peradilan kita masih perlu pembenahan. Sepertinya kita harus lebih dewasa lagi dalam berpikir dan bersikap. Kita harus dapat melihat sebuah permasalahan dengan berbagai pertimbangan. Setidaknya ada pertimbangan tentang nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan yang menjadi patokan di dalamnya. Jangan hanya berpedoman pada Undang-undang yang sering menyesatkan dan sering menimbulkan perdebatan. Kedewasaan dalam beretika dan berpikir harus kembali kita kedepankan. Bukan malah memperuncing permasalahan dan saling berkeras untuk mengklaim sebagai pihak yang benar dengan menjadikan Undang-undang sebagai senjata yang mematikan.

Prita tidak salah (setidaknya menurut saya yang "bodoh" dalam ilmu hukum). Ibu tiga anak ini hanya mengkritik managemen rumah sakit yang merugikan kepentingan pasien. Lalu kemudian dia menggunakan media online untuk itu, dan menurut saya sah-sah saja karena media itu kan terbuka untuk publik. Langkah MA yang menghukum Prita dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) semakin menunjukkan ketidakpekaan lembaga ini terhadap perubahan kesadaran publik dalam menggunakan teknologi informasi. Menghukum dia dengan menggunakan UU informasi dan transaksi elektronik, itu membungkam hak kritik, membungkam hak untuk melakukan koreksi. Akhirnya .......... Membandingkan PRITA dengan GAYUS TAMBUNAN, NUNUN, NAZARUDDIN dan entah siapa lagi (saking banyaknya) ...... memberikan sebuah pelajaran kepada kita bahwa Terkadang HUKUM itu "Tajam Sebelah".

Berikut saya kutip pernyataan Wayan Sudirta (anggota DPD) dari detik.com :

Prita Mulyasari terancam dibui menyusul putusan Mahkamah Agung yang memutuskan Prita bersalah kasus pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Anggota DPD I Wayan Sudirta berpendapat Prita tidak layak dipenjara. "Prita itu orang baik, bukan perampok, pencuri, tidak ambil uang negara, dan merugikan negara. Kalau dihukum, apa tidak cukup hukuman percobaan? karena kasus perdatanya saja tidak terbukti. Padahal masih banyak koruptor dan pengemplang uang negara yang masih bergentayangan," kata anggota DPD, I Wayan Sudirta, kepada detikcom, Sabtu (9/7/2011). DPD mendorong agar Prita mengajukan PK. "Diharap saat PK, ada hakim yang menggunakan nurani, tidak hanya fakta dan data di perkara pidana tetapi disandingkan dengan perdata yang gugatan lawan ditolak, lalu disandingkan juga dengan kasus korupsi besar, seperti BLBI yang pelakunya tidak tersentuh," papar pria yang juga Ketua Kaukus Antikorupsi DPD ini. Wayan meminta agar hakim-hakim di MA tidak hanya menjadi alat dan mulut UU semata melainkan menjadi alat dan mulut keadilan. "Tanya pada rakyat apakah Prita layak dihukum sementara koruptor tidak tersentuh. Hakim harus punya kemampuan menggali rasa keadilan yang hidup di masyarakat," kata Wayan. Ia juga akan membahas kasus Prita di Komite I DPD pada Senin 11 Juli 2011. "Kita harap Prita dapat dukungan mayoritas masyarakat Indonesia. Andaikata Prita masih membutuhkan pengacara tambahan, DPD bisa menjadi penghubung," ujar Wayan. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah karena menggunakan sarana elektronik terkait layanan RS Omni International, Alam Sutera, Tangerang.

Referensi : detik.com. Photo : www.mediaindonesis.com

Pahlawan dan Ideologi “Merah" dalam Historiografi Orde Baru dan Pasca Orde Baru

Oleh : Muhammad Ilham

(Makalah lengkap diterbitan dalam Jurnal Humaniora/Edisi Mei-Juni 2011)

Pengantar

Harus saya akui, teramat sulit untuk menukilkan kalam – meminjam istilah Raja Ali Haji - berkaitan dengan historiografi Orde Baru yang dikomparasikan dengan historiografi era pasca keruntuhan rezim yang dibangun oleh Soeharto tersebut. Kesulitan terletak pada beberapa hal, diantaranya masa Orde Baru yang relatif cukup panjang (1966-1998). Dengan time-dimention temporal tersebut, diasumsikan sangat (bahkan teramat banyak) karya-karya sejarah yang diterbitkan, dengan isu yang teramat beragam, dan oleh berbagai penulis dari berbagai “aliran”. Kemudian, kesulitan lain adalah faktor subjektifitas dan politisasi sejarah. Bagaimanapun juga, hingga hari ini, “gugatan” – untuk tidak menyebut kebencian - terhadap penulisan sejarah a-la Orde Baru masih belum bisa dihilangkan dalam ranah publik, khususnya diantara akademisi (baca: sejarawan). Buku-buku sejarah yang diterbitkan pada era Orde Baru, masih banyak yang “dicurigai” sebagai karya “pesanan” dan justifikasi politik. Saya berasumsi, tidak semua karya sejarah pada masa Orde Baru layak dicurigai, karena masih banyak karya yang netral dan tidak terkontaminasi untuk sekedar memberikan pembenaran terhadap rezim Orde Baru tersebut, walau sebenarnya, karya-karya sejarah jenis ini pada masa Orde Baru (melalui “tangan” Kejaksaan Agung) [1] tidak terdistribusi dengan baik di ranah publik. Pada sisi lain, tentunya tidak berarti karya-karya sejarah yang dilahirkan pada masa pasca Orde Baru cenderung netral dan objektif. Banyak juga karya-karya sejarah yang dilahirkan pada era ini terjebak pada subjektifitas ideologis, sekedar “menghantam” politisasi sejarah pada masa Orde Baru. Jadi tidaklah mengherankan apabila Gadamer mengatakan : “jangan kamu cari arti kata-kata, tapi pahami bagaimana kata-kata tersebut difungsikan”. Intinya, setiap karya sejarah, terlepas netral ataupun subjektif-ideologis, merupakan “kreasi zamannya” – atau dalam istilah Bennedicto Croce sebagai storia e storia contemporania, memahami kebenaran sejarah itu sebagai reaksi zamannya.

Dalam konteks diatas, maka dalam makalah ini saya lebih memfokuskan kepada komparasi historiografi dalam hal mainstream (arus/topik umum) penulisan sejarah. Bukan pada penilaian objektifitas dan subjektifitas masing-masing karya sejarah pada dua era berbeda ini. Pada masa Orde Baru, mainstream umum penulisan sejarah, cenderung “berseragam” – meminjam istilah Asvi Warman Adam[2] – untuk mengatakan bagaimana peran militer teramat dominan. Sedangkan pada masa pasca Orde Baru, sebagaimana halnya spirit reformasi – karya-karya sejarah cenderung “bebas”. Kejaksaan Agung tidak “segarang” masa Orde Baru dalam menyaring buku-buku yang diterbitkan. Diktum “Buku dilawan dengan Buku”, pada masa ini lebih dikedepankan.
Untuk itu, dalam makalah ini, saya membagi dalam beberapa bagian, diantaranya : konteks aksiologis sejarah ditulis, mainstream historiografi Orde Baru dan pasca Orde Baru serta konsep kepahlawanan yang militeristik.

Untuk Apa Sejarah Ditulis ?

Untuk apa dan untuk siapa sejarah ditulis ?”. Teringatlah saya dengan Bennedict R.O’ Gonnor Anderson[3] yang telah memperbaiki tesis dan asumsi dominant selama ini yang berkembang – khususnya sejarah versi Orde Baru – tentang penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965. Beberapa versi selama ini mengatakan bahwa penyebab dan aktor Gerakan 30 September 1965 tersebut adalah Ketua CC PKI ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi.[4] DN merupakan singkatan dari Dipa Nusantara.[5] Kembali ke Anderson. Melalui Cornell Paper’s-nya, Anderson secara tidak langsung telah merevisi G 30 S/PKI menjadi G 30 S saja. Anderson mengatakan bahwa penyebab terjadinya gerakan tersebut bukan disebabkan oleh faktor tunggal, tapi cukup komprehensif karena analisis sejarah diseputar gerakan tersebut harus memasukkan faktor keterlibatan CIA, konflik internal Angkatan Darat dan peta politik global serta regional. Karya Anderson dan beberapa karya sejarah lain yang berkaitan dengan gerakan 30 September 1965 tersebut dipahami dalam konteks untuk memperbaiki “mainstream” yang selama ini berkembang.

Sulit memang menganggap semua karya sejarah akan bersikap objektif. Karena subjektifiyas itu merupakan kondisi objektif dalam penulisan sejarah. Standar keilmiahan sebuah disiplin ilmu, secara umum biasanya diukur dari cara kerja (metodologi) disiplin ilmu itu sendiri yang mengacu kepada metode-metode baku sehingga hasil dari kerja ilmiahnya akan dinilai sebagai sesuatu yang objektif, sebagaimana halnya pada disiplin-disiplin ilmu lainnya – eksak, khususnya. Disiplin ilmu sejarah memiliki kaedah-kaedah metode penelitian tersendiri sehingga dikatakan sebagai disiplin ilmu yang objektif. Ungkapan nan “klasik” Leopold van Ranke bahwa sejarah itu harus dikaji “seperi apa yang sebenarnya ia terjadi” memberikan pondasi awal ke-objetifitasan disiplin ilmu sejarah itu sendiri. J.B. Burry[6] misalnya mengatakan bahwa “sejarah itu sains, ia memiliki metode sendiri, tak lebih tak kurang”, kembali mempertegas bahwa ilmu sejarah bisa objektif karena metode sendiri. Karena memiliki metode sendiri, maka kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan merujuk kepada metode yang dimilikinya. Karena memiliki metode sendiri, maka pola kerja dalam sebuah penelitian serta penulisan bisa dianggap sama dikalangan sejarawan di seluruh dunia. Dalam konteks inilah, objektif ilmu sejarah tersebut dipahami.

Bila ada perdebatan-perdebatan dari sebuah karya sejarah, biasanya berawal dari teknik analisi dimana teori-teori/paradigma/pendekatan dari si penulis sejarah/sejarawan tersebut “bermain”. Karena ini pula, hasil sebuah penelitian/tulisan sejarah terkadang berbeda-beda. Tapi, hampir semua disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial, perbedaan-perbedaan tersebut selalu bersumber dari paradigma/pendekatan yang digunakan. Berangkat dari pemahaman ini, maka kerapkali kita menemukan beberapa karya sejarah dengan tema yang sama justru menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena seringkali karya sejarah tersebut menghasilkan simpulan yang berbeda, timbul anggapan bahwa karya sejarah tersebut dalam proses rekonstruksinya, tidak objektif. Padahal, perbedaan kesimpulan yang didapatkan bukan karena metode penelitian yang berbeda. Metode-nya sama, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda. Banyak karya sejarah, untuk kasus-kasus yang sama, memperkuat hal ini. Kasus tragedi 30 September 1965 juga bisa kita lihat dalam konteks ini. Hermawan Sulistyo[7] melihat konflik pertanahan/agraria sebagai penyebab terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap eks-PKI dan Gerwani di wilayah Jawa Timur, sedangkan Asvi Warman Adam[8] justru melihat pembunuhan tersebut dari pendekatan Tipe Ideal-nya Weber, dimana eksistensi kepemimpinan kharismatik Kiai “tereduksi” oleh pengaruh PKI yang mengedepankan semangat “egaliterianisme” dan anti borjuis (termasuk borjuisasi agama). Untuk kasus yang sama, simpulannya berbeda. Tapi, rekonstruksi sejarah ini dianggap objektif karena mengikuti prosedur kerja baku yang dikenal dalam epistimologi sejarah.[9]

Kita masih ingat dengan ungkapan filosof - sejarawan Italia, Bennedicto Croce yang pernah mengeluarkan ungkapan terkenal : “storia e storia contemporanea”. Artinya kira-kira, sejarah yang benar-benar sejarah adalah sejarah kekinian. Ungkapan ini bisa dipahami dalam dua perspektif. Pertama, Croce ingin mengatakan bahwa penulisan sejarah yang baik haruslah berangkat dari kondisi atau realitas kekinian yang untuk kemudian dicari “akar”nya kedalam “relung panjang sejarah” – meminjam istilah Taufik Abdullah. Pemahaman kedua, Croce ingin menjelaskan posisinya dalam melihat sejarah. Baginya sejarah tersebut sangat terikat dengan konteks masanya yang diistilahkannya sebagai contemporanea – kekinian atau ke-masa-an. Intinya adalah, penulisan sejarah, nilai objektifitasnya tersebut sangat terikat dengan ruang dan waktu. Pemahaman orang terhadap suatu fenomena sejarah pada suatu era, akan berbeda dengan era yang lain.[10].
Dalam penulisan sejarah, ada kesan subjektif yang pada umumnya menimbulkan penulisan yang bias atau berat sebelah. Memang, kecenderungan untuk lumrah terjadi karena seorang sejarawan yang dalam bahasa sosiologi-nya : “seorang manusia individu, ia adalah gejala sosial, hasil proses dari masyarakatnya” dan dalam kedudukan seperti itulah, ia berusaha untuk mendekati sejarah/merekonstruksi sejarah itu sendiri yang pada prinsipnya hanya terjadi satu kali atau einmalig tersebut. Tentu, subjektifitas sangat sulit untuk dihindarinya. Bahkan, subjektifitas sejarawan itu sendiri juga sebuah entitas objektif dalam penulisan sejarah. Ketika ia mulai memilih judul dan pendekatan yang (akan) digunakannya, maka, subjektifitas tersebut telah “masuk” dan bermain. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan subjektifitas, tidak bisa dihindari.

Namun yang tidak boleh dilakukan adalah subjektifitas dalam pengertian mengebiri data, memalsukan dokumen dan menyesuaikan dokumen-dokumen yang ada agar sesuai dengan “tuntutan” yang ada. Inilah yang dinamakan dengan subjektifitas ekstrem. Buku Babon Sejarah Nasional Indonesia yang “dimotori”oleh Nugroho Notosusanto, sebagai contoh, adalah salah satu bentuk “pemerkosaan dokumen” agar sejarah yang ditulis tersebut mengkisahkan peran besar Orde Baru, marginalisasi peran sipil, hegemoni dan keunggulan militer (dalam hal ini : Angkatan Darat) dan kesalahan yang “melulu” harus ditimpakan pada Soekarno dan PKI dibalik terjadinya Gerakan 30 September 1965. Peran histories Nugroho Notosusanto ini dibuka secara gamblang oleh Katherine Mac. Gregory (pembahasan lebih lanjut, lihat dibawah) yang membongkar habis “kepalsuan”Nugroho Notosusanto serta bagaimana Nugroho ini “memilah-milah” dokumen yang seharusnya masuk dalam bagian analisis, justru disisihkan karena berpotensi merendahkan peran histories Suharto, Orde Baru dan militer. Karena itu pulalah Chaterine memberi judul bukunya dengan “Ketika Sejarah Berseragam”. Cukup banyak buku-buku sejarah yang ditulis dengan memalsukan berbagai dokumen agar penulisan sejarah tersebut bisa sesuai dengan kehendak yang memesan (biasanya pemerintah).[11]

Ketika Sejarah “Berseragam”


Dalam beberapa minggu ini, saya begitu tertarik "kembali" (dalam tanda kutip : artinya, sudah lama tidak tertarik) tentang sejarah militer di Indonesia, khususnya militer di era Orde Baru. Kembali saya baca Harold Crouch[12], TB. Simatupang[13], karya-karya tentang “Perang Gerilya”-nya AH. Nasution dan Yahya Muhaimin serta Katherina Mc. Gregory, termasuk "catatan kritis" Bambang Purwanto dan Asvi warman Adam. Saya tak berkisah banyak tentang hegemoni militer - meminjam istilah Juergen Habermas - selama Orde Baru. Hegemoni yang ditafsirkan sebagai kekuatan yang masuk dalam segala lini kehidupan manusia Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam hal ini penulisan sejarah, yang oleh Asvi Warman Adam dan Harold Crouch, "sejarah Orde Baru adalah sejarah versi militer". Diantara buku-buku diatas, buku Katharine E. McGregor - Ketika Sejarah Berseragam - sangat menarik. Pasca Orde Baru banyak kajian yang menyoroti keterlibatan kaum militer dalam berbagai ranah kehidupan kenegaraan bangsa ini. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari menguatnya peran militer pasca 1965 yang bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga ada yang mengatakan bahwa pada masa Orde Baru militer Indonesia tak ubahnya seperti, sebuah negara dalam negara.
Dominasi militer tidak hanya tampak physically, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat untuk mengontruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia, sehingga yang terjadi, ingatan kolektif massa rakyat menjadi terkendalikan oleh nalar militer yang kemudian mempengaruhi tindak laku sebagian massa rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai “mirip-mirip” kaum militer.

Katharine E. McGregor sebagai penulis buku ini melakukan kajian mendalam tentang bagaimana nalar pikir dikonstruksikan oleh persepsi-persepsi kesejarahan dari beberapa kelompok inti yang mempunyai wilayah kerja untuk memproduksi ingatan sejarah versi penguasa, yang didalamnya berkelit kelindan antara kepentingan ideologis patriotik dan pelanggengan mitos-mitos kekuasaan militer. Melalui pengkajian simbol-simbol dan penelurusan mitos-mitos wiracarita yang diciptakan, penulis buku ini relatif berhasil untuk melakukan pembongkaran dominasi historiografi yang selama Orde Baru telah menjadi narasi resmi. Buku yang berjudul asli History in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past ini hadir di hadapan pembaca Indonesia sebagai upaya untuk melacak bagaimana tafsir sejarah diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya, dan tentu saja supaya kita menjadi belajar dari sejarah yang selama ini hanya menciptakan dendam untuk dinegasikan dengan kepentingan bangsa yang lebih beradab dan manusiawi. Publik Indonesia bisa membaca karya berbobot ini, sehingga bisa melakukan refleksi atas mitos-mitos yang diciptakan di masa lalu. Dibawah ini, saya kutipkan pendapat beberapa pendapat tentang buku ini.


Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru Suharto adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan sejarah militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Pada akhirnya versi militer tentang kejadian di tahun 1965 mendominasi historiografi periode tersebut dan melegitimasi naiknya rezim Orde Baru.
Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia sebagai hasil dari perbenturan antara kolonialisme dan imperialisme melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu. Orde Baru hanya menggantikan Soekarno dengan militer, sementara itu para penentang Pancasila khususnya komunisme dan Islam ekstrimis telah menggantikan posisi kolonialisme dan imperialisme sebagai kambing hitam.Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang selama ini sebenarnya kita telah memiliki "jawaban" nya sendiri, khususnya yang berkaitan dengan dominasi militer (baca : ABRI) pada masa Orde Baru, diantaranya : ABRI merupakan institusi yang sangat sistematis, loyalis dan cerdas (bahkan hal ini juga "diamini" hingga sekarang oleh publik). Kemudian, ketika kita membaca buku Ketika Sejarah Berseragam tersebut, kita juga akan tahu bahwa sejarah akan berbahaya bila berada "ditangan" militer (walaupun di tangan "politisi" juga demikian). Selanjutnya, sejarah berbasiskan senjata, amat sangat ampuh untuk memupuk nasionalisme. Namun terlepas dari semua itu, sejarah haruslah dipaparkan apa adanya. Dalam bahasa Edmund Husserl, "harus dikembalikan kepada posisi awal perustiwa itu terjadi". Maka dari sana akan kita ketahui, apa sebenarnya motif yang melatarbelakanginya. Sejarah harus "ditelanjangi", dan Katherine nampaknya menelanjangi sejarah militer Indonesia masa Orde Baru. Ini bermanfaat bagi perjalanan bangsa ke depan. Dan inilah keberkahan orde reformasi, buku-buku sejenis Katherine ini begitu massif didistribusikan dan didiskusikan di berbagai tempat oleh berbagai kalangan. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada era Orde Baru.


[1] Pembahasan mengenai peranan Kejaksaan Agung (termasuk Departemen Penerangan) pada masa Orde Baru dalam menyaring, melarang bahkan membreidel pendistribusian buku-buku sejarah serta majalah/koran, lihat Laporan Khusus Majalah GATRA edisi Agustus 1999/Minggu ke-3.

[2] Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Jakarta: Gramedia, 2010, hal. Vi

[3] Ibid., hal. 91

[4] Diantaranya Sekretariat Negara Republik Indonesia, Buku Putih G 30 S, Jakarta: Setneg RI, 1993; William E. Liddle, Cultural and Class Politics in New Order Indonesia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1977; Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Kudeta Gerakan 30 September 1965, Djakarta: Pembimbing, 1968; Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1998; Bernard Dahm, Sukarno and the Struggle of Indonesia Independence, Ithaca: Cornell Univ. Press, 1969; Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angfin Akan Menuai Badai, Jakarta: Sinar Harapan, 1989 – untuk menyebut berapa buku diantaranya. Diantara buku-buku yang “bersberangan” dengan teori G 30 S/PKI (pakai : PKI) tersebut adalah Anderson yang dikenal dengan Cornell Papers-nya tersebut. Karya Anderson ini tidak dibolehkan oleh Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru untuk dipublikasikan-didistribusikan kepada publik.

[5] Ada juga beberapa versi lain yang mengatakan bahwa DN adalah singkatan dari Danu Nusantara. Sebenarnya, DN merupakan singkatan dari Dja’far Nawawi Aidit. Karena Dja’far Nawawi terkesan “religius”, maka Aidit menggantinya dengan Dipa Nusantara/Danu Nusantara, sebagaimana halnya dengan tokoh komunis Sumatera Barat Chalid Salim (adik Haji Agus Salim) yang mengganti label namanya dengan Chalid Xalim. Tapi sudahlah, setiap orang berhak “mengkreasi” namanya.

[6] Wan Rahman Wan Latief, Sejarah dan Pensejarahan, Bangi, Selangor DE.: Universiti Kebangsaan Malaysia Press, 2003, hal. 118

[7] Hermawan Sulistyo, Pembunuhan di Ladang Tebu, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 36

[8] Asvi Warman Adam, “Meluruskan Pemahaman Sejarah September 1965” dalam Kompas 20 September 2003 dalam www.kompas.com/ (diunggah tanggal 7 Juli 2011

[9] Simpulan berbeda, karena pendekatannya berbeda. Untuk hal yang sama, dalam proses bimbingan skripsi, saya pernah mengalami hal serupa. Membimbing beberapa orang mahasiswa mengenai kasus yang sama, namun dilihat dari perspektif/pendekatan yang berbeda. Skripsi pertama tentang “Dinamika Fungsi Rumah Adat” yang dilihat dari pendekatan sosiologi antropologi (secara general). Mahasiswa bersangkutan melihat perubahan fungsi-fungsi rumah adapt tersebut dalam spectrum waktu dengan mengedepankan teori structural fungsional. Sementara mahasiswa yang lain justru melihat “Dinamika Fungsi Rumah Adat” tersebut dari perspektif arkeologis. Mahasiswa tersebut melihat perubahan-perubahan fungsi dari meaning (pemaknaan) dari tinggalan-tinggalan material yang ada di Rumah Adat itu. Simpulannya, terjadi perbedaan signifikan diantara dua skripsi ini. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan sama sebagaimana yang dikenal dalam ilmu sejarah, bagi saya, penelitian mereka tetap objektif karena memiliki parameter untuk bisa dipertanggungjawabkan.

[10] Ketika sebuah kalimat tertera dalam sebuah arsip yang dicatat pada era 1910-an : ”Anak-anak di Air Bangis berjalan di tepian soengai pada senja hari pergi sumbajang dan mengadji ke langgar dan poelang tidak pernah laroet malam sehingganja sumbajang isa’ (Isya: pen.) hanja diikoeti oleh orang-prang tua sahaja” (Lihat HAA. Haars, Hikajat Perang : Catatan 1st the Luittenant der Infanteri, Batavia: G. Golf and Co., 1897. Buku dalam bentuk PDF Penulis dapatkan dari kiriman seorang kawan dari Leiden Universitet Belanda). Kalimat “miring” akan berbeda pemahamannya bila ditafsirkan pada masa sekarang. Senja pada masa itu akan dipahami dalam durasi waktu pukul 4 – 5 sore, sedangkan larut malam dimaknai sebelum sholat Isya (lebih kurang pukul 8 malam). Bila hal tersebut ditafsirkan menurut “kacamata” sekarang, maka senja itu adalah pukul 6 – 7 malam, sedangkan larut malam diatas pukul 10 malam. Demikian juga dengan konsepsi poligami, misalnya. Banyak karya-karya sejarah, khususnya yang berkaitan dengan biografi ulama yang berkaitan dengan praktek poligami. Misalnya penggalan kalimat berikut : Syekh Halaban yang dianggap sebagai ulama kharismatik. Dengan potensi kepemimpinan seperti ini, sangatlah mudah bagi Syekh Halaban untuk memiliki istri banyak, bahkan para orang tua berlomba-lomba untuk “menyodorkan” anak mereka menjadi istri Syekh yang juga guru dari ulama tradisional Minangkabau terkenal – Syekh Inyiak Canduang” (Tim Peneliti FIBA, 2007). Konsepsi poligami dalam kalangan masyarakat pada masa-masa tersebut diatas adalah suatu kondisi sosial yang fungsional, baik bagi masyarakat maupun bagi elit agama itu sendiri. Nilai-nilai dan fungsi ini hanya bisa diletakkan pada era itu. Ini tidak akan bisa kita tempatkan pada masa-masa A’a Gym ataupun Zainuddin MZ. Apa yang dikemukakan diatas juga secara “gamblang” pernah dikemukakan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-sejarahnya yang bertitelkan “Gadis Pantai”. Dengan begitu bagusnya Pram menarasikan bagaimana seorang ulama begitu dikonstruksikan oleh realitas sosial dalam strata yang demikian tinggi. Walau bukan dalam bentuk karya sejarah “sebagaimana mestinya”, akan tetapi novel-sejarah ini setidaknya mampu memberikan kepada kita gambaran yang terjadi pada era awal 1900-an, khususnya di Pantai Selatan Jawa. Bila kita membaca Gadis Pantai ini dengan kaca mata kita sekarang, maka akan kita simpulkan : “ulama yang maniac seks, ulama yang suka daun-daun muda dan ulama yang sangat otoriter serta ulama yang sombong-pongah dengan keulamaannya”. Begitu juga dengan narasi berikut ini : “Sebagaimana anak muda kampoeng lainnja, tentunja Ridjal amat senang sekali bisa berkawan dengan kakak sepoepoenja jang manis itu. Namanya Halimah. Tapi sajang, ianja akan berkahwin dengan seorang saudagar kaja dari Bangkahulu, saudagar jang juga ulama karena baru pulang dari tanah Mekkah. Halimah yang baroe beroemoer 14 tahun, akan berkahwin beberapa minggoe lagi” (Muhammad Radjab, Masa Kecil di Kampung, 1938). Tentu, bila Syekh Puji hidup pada masa Ridjal ini hidup, ia akan dapat memperistri “anak dibawah umur”. Bila Syekh Puji juga hidup pada masa diatas tersebut, tentu juga ia tidak akan dikenakan sanksi mengawini anak-anak usia dibawah umur. Tapi sayang, Syekh Puji hidup pada masa sekarang. Dan karena itu, alangkah juga naifnya bila kita melihat fenomena diatas dalam pemahaman kacama kita saat ini pula. Karena itu pulalah, Croce dan kawan-kawannya beranggapan bahwa kebenaran sejarah (tepatnya : objektifitas sejarah itu) sangat bersifat relatif.

[11] Di Negara-negara otoriter seperti Korea Utara, Irak pada masa Saddam Hussein, Protocol Zion dalam menjustifikasi “duka-lara” sejarah bangsa Yahudi – merupakan beberapa contoh subjektifitas ekstrim dalam penulisan sejarah. Interpretasi dari penulis merupakan bentuk subjektifitas yang tidak bisa dihindari. Subjektifitas jenis ini bisa diminimalisir dengan latihan dan kepatuhan akan metode yang ada. Akan tetapi, subjektifitas dengan “memalsukan” dokumen-dokumen yang ada agar menguntungkan pihak tertentu, itulah subjektifitas yang tidak dibolehkan. Dan ini tidak membutuhkan latihan ataupun kepatuhan ketat terhadap metode penelitian, karena seorang Prof. Doktor “botak” sekalipun, bisa “terjebak” dan mau “dijebak” dalam subjektifitas ekstrem ini.

[12] Harold Crouch, Militer dalam Politik Indonesia, terjemahan, Jakarta: Sinar Harapan Press, 2000.

[13] TB. Simatupang, “Militer dalam Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Prisma Edisi XVI/1982.