Senin, 23 Mei 2011

Atas Nama Politik, Atas Nama Tuhan

Oleh : Muhammad Ilham

Pemikir Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa masyarakat yang dibangun atas dasar pandangan tentang realitas harus dapat memadukan segala sesuatu yang abadi dengan yang berubah dalam kehidupannya. Iqbal ingin menekan konsep "yang abadi" dan "yang berubah" - teologis dan historis. Masyarakat, menurut Iqbal, harus memiliki dua karakteristik - yang abadi seperti kepercayaan pada suatu keMutlakan (agama) dan segi-segi yang berubah (kesadaran historis pada dinamika zaman yang harus disikapi dengan cara yang berbeda pula). Kesadaran teologis dan historis ini merupakan sesuatu yang penting dalam membangun sebuah peradaban. Karena itu pulalah, dibutuhkan sebuah kesadaran para elit sosial politik maupun tokoh agama untuk tidak memposisikan rakyat sebagai "objek" belaka. Sedangkan pada sisi lain, negara harus memposisikan (diposisikan) sebagai "sesuatu yang biasa", bukan sakral tapi lebih kepada "pelayan" apa yang dibutuhkan masyarakat. Ia tidak bertindak sebagai "pembenar" satu-satunya. Apabila dua hal ini tercipta dengan baik, hubungan "saling" curiga antar masyarakat dan negara maupun antar elemen masyarakat akan bisa dihilangkan.

Dalam perspektif sejarah peradaban Islam, "kehadiran" komunitas yang beradab ini telah tumbuh dengan baik pasca hijrahnya Nabi Muhammad saw. ke Madinah. Nabi yang mulia ini, tentunya bersama-sama dengan elemen penduduk Madinah, meletakkan dasar-dasar peradaban tentang berbagai hal yang menyangkut kehidupan beragama, ekonomi, politik maupun sosial. Dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini - kalau boleh saya mengistilahkan demikian - masyarakat dibangun oleh semangat universalisme Ketuhanan untuk menegakkan sistem hukum yang adil dan menjunjung kemanusiaan. Sayang, semangat dari "pilot project" nabi Muhammad saw. ini "hilang" selepas wafatnya Ibnu Abdullah ini. Selain karena "dikangkangi" oleh para petualang-petualang politik, kejumudan ini juga diakibatkan oleh - dalam bahasa sosiolog Robert N. Bellah - karena masyarakat Arab pasca nabi Muhammad saw. tidak siap menerima ide-ide "besar" yang sangat maju pada zamannya. Nabi Muhamad saw. tidak membentuk sebuah negara yang "disakralkan" atas nama agama, atas nama Tuhan. Nabi yang ummi ini membentuk negara yang berkeadaban, sebuah masyarakat sipil yang religius. Bukan membentuk masyarakat yang dibungkus oleh negara politik dengan embel-embel religius. Sehingga kita begitu "trenyuh" melihat ketokohan Nabi yang mulia ini, menghargai keberagaman tanpa memaksa orang untuk "memasuki" dengan keterpaksaan agama Islam itu sendiri. Nabi Muhammad saw. bukan raja-raja masa dahulu yang "menaklukkan" jiwa raga masyarakat taklukkan tanpa menghormati nilai-nilai historis masyarakatnya.

(Semoga saya salah) ... tapi lihatlah sekarang, dan juga gejala ini sudah menyejarah, Nama Tuhan Robbi Izzati dibawa kemana-mana untuk memenuhi target politik mereka. Nama Tuhan disimbolisasikan dalam struktur politik, sehingga harus disakralkan, sesuatu yang ditentang oleh Iqbal di atas. Hampir semua kalangan mengklaim perilaku politiknya berlandaskan Tuhan. Begitu banyak partai-partai dan kelompok-kelompok masyarakat pasca Orde Baru ini lahir dengan menbawa merk kecap "atas nama Tuhan". Nabi Muhammad saw. yang nyata-nyata telah mendapat mandat dari Allah swt. tidak pernah "memaksakan" kehendaknya atas nama Tuhan pada orang yang "berbeda" dengannya. Ia ingin mengatakan bahwa Islam itu rahmatan lil'alamin. Rahmat bagi sekalian alam, walau mereka tidak sama dengan kita. Pertanyaannya, apakah klaim beberapa kelompok yang mengatasnamakan Tuhan itu, telah mendapat mandat dari Tuhan untuk membawa-bawa nama-NYA atau tidak ?.

:: Bendahara Umum Partai Demokrat yang lagi (diduga) terlibat kasus Korupsi Sesmenpora dan Gratifikasi, Muhammad Nazaruddin, bersumpah "Demi Allah" sampai tiga kali tidak pernah memberikan uang kepada Sekjen Mahkamah Konstitusi. "Demi Allah ... sampai tiga kali lho Nazaruddin mengucapkan itu, masa kalau orang sudah bersumpah dengan agamanya, kita tak percaya", kata si Jubir Partai berlambang Bintang Mercy - Ruhut "si Poltak Raja Minyak dari Medan" Sitompul. Sementara, Ketua MK, Mahfud MD yang Professor S3 itu (ini di"satire"kan Ruhut dengan menganalogikan dirinya sebagai Es Lilin) justru menganggap Nazaruddin - Amnesia (lupa ingatan).

Foto : www.luvislam.com

Tan Malaka: Sebuah Opera tentang Ketakhadiran

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Wajah kebingungan terpancar pada sebagian besar penonton yang melenggang keluar dari ruang pertunjukan Teater Salihara Oktober tahun lalu. Ragam pertanyaan sepertinya membuat beberapa hadirin kebingungan. Pertanyaan yang muncul dari keraguan dan ketidaktahuan. “Opera apa ini? Sungguh, tak mengerti. Tidak ada ceritanya.” “Judulnya Opera Tan Malaka, tapi dimana Tan Malaka-nya?”. “Goenawan Mohammad (GM) yang terlalu pintar atau aku yang terlalu bodoh?”. “Oh, jadi itu yang Tan Malaka itu? Dia komunis ya? Atheis dong!”. Ragam pertanyaan yang menarik—semenarik senyum GM dalam meningkahi jabatan tangan dan ucapan selamat dari beberapa rekan dan hadirin yang sepertinya juga kebingungan menyaksikan malam penutupan Festival Salihara. Apakah GM menyenangi kebingungan para penontonnya itu? Menarik. Semenarik pesta penuh alkohol sesudahnya—tanda pesta sudah usai. Mungkin seperti itu. Mungkin pula tidak—karena aku tak hadir sesudahnya, sama seperti Tan Malaka yang tak pula hadir di opera-esai itu. Aku tak hadir maka aku ada.

Sebelumnya, di penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah pertemuan pertamaku dengan naskah Tan Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995). Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam melawan kolonialisasi tersebut. Menarik. Aku pun hadir kemudian sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka yang tak membaca naskah lakon itu. Ada apa ini? Lalu tak lama kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.

Opera-esai tiga babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony Prabowo yang di-conduct oleh Josefino Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih. Aria dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan mengenai opera tersebut. Nah lho?. Menarik pula akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11) dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera. Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.

Jika IJP bertanya musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik, Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukit Tinggi dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert. Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya. Mengenai sastra, pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.

Mengenai lakon, sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan sepakbola) bernama Pantai Selatan. Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain. Gaya penulisan lakon Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu. Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi bangsanya. Berpuluh tahun kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya. Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka. Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat satu film fiksi pendek berjudul “Tan Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.

Jika Althusser menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang, hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab, pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan berbagai cara. Bagiku, Tan Malaka adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir dalam diskursus. Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas itu sendiri. Ambigu. Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.

(c) Devy K. Alamsyah (Note diskusi Facebook)

Jumat, 20 Mei 2011

Kebangkitan Nasional dan Kehormatan Bagi yang Berhak

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sejarah "pesanan" adalah sesuatu hal yang sering kita jumpai. Baik "pesanan" penguasa yang kental dengan nuansa politik, ataupun "pesanan" individual yang bisa jadi terkadang narsis. Tapi sejarah yang bisa jadi simpang siur tersebut, dan tentunya berpotensi besar membuat kita jadi bingung akan hal yang bernama sejarah mana yang paling benar, akan terus beadaptasi oleh seleksi alam. Artinya, sejarah (penulisan/karya sejarah) itu akan terus melangkah ke arah kebenaran, setidaknya mendekati kebenaran, walaupun ada pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk membuat karya sejarah tersebut sesuai dengan kepentingan mereka. Terlebih setelah 1965—dengan peristiwa G30S, segala macam peran ideologi yang berbau marxis (komunis, sosialis, leninisme, dan lain-lain) tak diakui di negeri yang berpancasila ini. Padahal sejatinya gerakan ke arah Indonesia Merdeka banyak digagas oleh orang-orang—sebut saja misalnya Tan Malaka, H. Misbach, Soekarno, dll—yang terpengaruh dengan paham ini—yang memang cocok menganalisa apa yang terjadi di Indonesia waktu itu : dimana ada bangsa yang menjajah dan terjajah (tertindas), peran mereka banyak yang dikaburkan. Kemudian penguasa menulis buku putih dan bilang kepada semua anak bangsa : ”Inilah sejarah Indonesia yang baik dan benar!”.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)—selanjutnya Pram—selalu lantang melakukan pelurusan sejarah ini. Melawan lupa yang ditebar penguasa. Untuk sejarah kebangkitan nasional misalnya, yang selama ini oleh sejarah resmi dimulai dengan berdirinya Budi Utomo (BU, 20 Mei 1908)—organisasi modern yang bercorak nasional pertama, sastrawan-sejarawan ini menyatakan bahwa ini keliru—walaupun Pram tidak menafikan peran-peran Budi Utomo. Dalam ”Sang Pemula” Pram mengungkap sejumlah data dan fakta bahwa sebelum BU berdiri telah berdiri organisasi modern nasional pertama: Serikat Priyayi (SP) yang berdiri tahun 1904. Tokoh utama organiasi ini adalah Tirto Adhi Suryo—selanjutnya Tirto. Pram menulis : ”Dalam hal semangat wawasan SP jauh lebih luas. BU merupakan organisasi kesukuan, sedang SP tidak. Sebagai organisasi kesukuan BU menggunakan bahasa Jawa dan Belanda. Karena dalam kehidupan organisasi tidak setiap orang Jawa bisa bahasa Jawa, maka juga bahasa Melayu digunakan sebagai akibat dari persepsi, bahwa bangsa Jawa terdiri dari Sunda, Jawa, dan Madura, yang mempunyai bahasanya masing-masing. SP berwawasan seluruh Hindia tanpa memperhitungkan bangsa-bangsa (suku-suku) di dalamnya, maka bahasa organisasi adalah Melayu lingua-franca sebagai ”bahasa bangsa-bangsa yang terperintah”, dan dengan demikian secara sadar ini menjadi peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional untuk masa-masa selnjutnya.” (Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Lentera Dipantara, Hal. 144).

Dengan paparan Pram ini, maka SP menjadi peletak dasar bahasa Melayu sebagai alat komunikasi nasional—sebagai bahasa Indonesia yang kita gunakan sekarang. Selain mendirikan SP dalam perkembagannya Tirto juga ikut membidani Sarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian hari menjadi Sarikat Islam (SI) yang pecah menjadi SI putih dan merah (cikal bakal partai komunis di Indonesia). Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu: termasuk ketidakadilan yang diterima buruh kebun tebu, ketidakadilan hukum kolonial, dan lain-lain. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. (lihat : id.wikipedia.org/wiki/Tirto_Adhi_Soerjo). Tirto juga adalah perintis pers nasional. Ia menerbitkan Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907). Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Jejak langkah Tirto ini dapat dibaca dalam tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pram dalam tahanan Pulau Buru. Dalam roman ini, sosok Tirto mengejewantah dalam diri Minke. Buku-buku ini dilarang—termasuk Sang Pemula sebagai biografi Tirto—oleh rezim orde baru, dan sampai sekarang tak dicabut pelarangannya oleh Jaksa Agung. Tentu saja dengan alasan klasik: menyebarkan paham komunisme, marxisme, dan leninisme yang menjadi anak haram di negeri ini. Lagi-lagi memang sejarah adalah tafsir—lebih-lebih tafsir penguasa. Tafsir pemenang. Siapa yang berkuasa dia yang membuat sejarah. Tapi ini kezaliman yang harus dilawan, karena kita tak ingin terus tinggal di negeri para pelupa. (catatan kecil ini juga bagian dari usaha untuk terus melawan lupa itu) Kehormatan bagi yang berhak: kalau memang SP dengan Tirto adalah Sang Pemula bagi perintis kebangkitan nasional, saatnya penguasa menuliskannya dalam buku sejarah. Biar kita—anak bangsa ini—tahu sejarah negeri ini. Kan Bung Karno selalu mengingatkan: “Jas Merah—Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”.

Sumber : (c) Jamie Simatupang (2011) & Nugroho Notosusanto dkk. (1987). Photo : www.kaskus.us

Rabu, 18 Mei 2011

Taman Wisata "Anak-Anak Perang"

Oleh : Muhammad Ilham

Suka sekali saya menonton acara "Si Bolang" (si Bocah Petualang) di Trans TV. Edukatif dan anak-anak nDeso ditampilkan sebagai anak-anak yang kreatif. Menonton Si Bolang ini mengingatkan saya pada "Teori Nature" dalam tradisi Sosiologi serta HezbollahLand. Teori Nature mengasumsikan - salah satunya - bahwa alam dan lingkungan membentuk perilaku, persepsi dan kebiasaan. Tak salah akhirnya bila anak-anak suku Bajau dalam "Si Bolang" sangat laut-oriented. Hari-hari bermain di laut, bahkan berfantasi-pun senantiasa berbasis laut. Karena itu, ketika musim liburan sekolah (tentunya bagi yang bersekolah) anak-anak bajau menganggap karang, ombak dan menyelam adalah tempat dan kegiatan wisata liburan. Demikian juga dengan "anak-anak sawah", liburan adalah masa terindah bagi mereka. Seruling diatas kerbau, layang-layang di sawah nan kering adalah bentuk kegiatan favorit pengisi liburan. "Sungguh, kata Goenawan Mohammad, manusia bisa menghadirkan dirinya karena tuntutan masa dan lingkungannya". Dan kaidah ini juga berlaku bagi "anak-anak perang". Di Selatan Lebanon, terdapatlah daerah - tepatnya- Taman Wisata bernama HezbollahLand. Dari namanya kita mafhum, bahwa taman wisata ini adalah tempat yang mengabadikan nama sebuah kelompok perlawanan Islam pro-Iran di Lebanon dalam melawan Israel. Karena alam yang identik dengan nuansa perang, akhirnya tak mengherankan bila tank rusak, bekas rudal serta areal bekas bom menjadi karang, ombak dan menyelam bagi "anak-anak perang" ini sebagaimana halnya bagi anak-anak Bajau.








Sumber photo's : ABC News

Moammer Qaddafi : "Saya Anak Revolusi Nasser"

Oleh : Muhammad Ilham


Sungguh mengagumkan kekuatan Qaddafi, setidaknya hingga hari ini (10/05/2011).
Diserang dari seluruh penjuru mata angin, Qaddafi tetap tegak, walau "sempoyongan"
.

(times.com/10-05-2011)


Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis
(Moammer Qaddafi).

Moammer Qaddafi, tak lebih tak kurang adalah pribadi yang responsive dan spontan. Ia beda dengan Anwar Sadat ataupun Husni Mubarak, apatah lagi bila disandingkan dengan Hafeez al-Assad yang kala hidupnya termasuk tokoh paling berpengaruh di Timur Tengah. Qaddafi memiliki “dunianya” sendiri yang terkadang kontradiktif. Merindukan Arab yang bersatu di satu sisi, pada sisi lain dengan mudahnya ia melecehkan para Sultan-Sultan konservatif Timur Tengah. Qaddafi yang menyedot kekaguman saya untuk kali pertama lewat cover majalah TEMPO milik ayah saya di tahun 1980-an ini, mengklaim dirinya sebagai “anak ideologis” Nasser. Saya masih ingat sebuah penggalan wawancara wartawan TEMPO (pasca peristiwa peledakan pesawat terbang Pan Am di Lockerby) dengan Qaddafi. “Ketika saya berhasil menurunkan Raja Idris, bertanyalah Raja Hassan dari Maroko pada saya, apakah saya anak sosialis Partai Baath?”, kata Qaddafi. Lalu saya jawanb, “Tidak, saya adalah anak revolusi Nasser”. Qaddafi mungkin bukan pribadi yang kompleks seumpama Nasser. Kontradiktif, memang. Boleh dikatakan, Qaddafi merupakan pribadi puritan dalam dunia yang kompleks. Baginya, selain Islam, tidak ada alternative lain. Dan ini ia tuangkan dalam buku ideologisnya yang terkenal, Buku Hijau, sebuah buku “mirip” Das Kapital bagi kaum Marxis. Baginya memilih diantara dua “kutub ideology besar” – Amerika Serikat arau Rusia/Uni Sovyet – bukanlah pilihan cerdas. “Satu imperialis, satu lagi atheis”, sebuah ungkapannya yang terkenal seperti “Tak Barat, Tak Timur”nya Ayatullah Ruhullah Khomeini. Kala ia menggugat Nasser memilih Rusia/Uni Sovyet sebagai “teman berdayung” menghadapi Israel yang tentunya dibawah bayang-bayang Amerika Serikat, Nasser kelabakan menjelaskan hubungan-hubungan politik-regional yang tidak hitam putih ini kepada Qaddafi.

Puritanisme Qaddafi ini lebih merupakan refleksi dari kesederhanaan anak padang pasir pedalaman. Wartawan TEMPO era 1980-an – Parakitri (kalau saya tak salah) – menganggap Qaddafi menemukan dirinya sendiri dalam dinas ketentaraan. Ia mencintai dunia ini karena satu factor : kedisplinan. Tapi nalurinya tetap kebebasan a-la badui Padang Pasir. Tidaklah mengherankan bila ia responsive dan spontan. Ia pernah marah besar pada Raja Yordania – Hussein – yang mengobrak abrik kelompok Fedayyin, “Raja sinting itu harus diborgol dan dibuang ke luar Arab”. Dengan santai-nya Qaddafi juga memanggil raja-raja Arab dengan “saudara”. Tentunya raja-raja konservatif ini merasa tersinggung luar biasa. Qaddafi tak peduli, apakah ucapannya itu akan berpotensi menjadi batu penghalang mewujudkan mimpinya akan “Persatuan Arab”. Dan memang, ide besar yang ia rujuk pada Pan-Arabisme Nasser ini, tak pernah didukung negara-negara Arab yang mayoritas kerajaan itu. Jauh sebelum Qaddafi menjatuhkan Raja Idris di Libya, ia menyaksikan betapa rapuhnya persatuan Arab. Ia miris kala menyaksikan kehancuran dunia Arab, baik dalam Perang Suez 1955 maupun Perang Juni 1967 (Yom Kippur). “Semua ini karena masyarakat Arab bercerai berai,” pekiknya. Tidaklah mengherankan kemudian, tidak sampai dalam hitungan minggu ia merebut kekuasan di Libya, Qaddafi menyampaikan “pesan” pada Nasser – mentornya. “Beritahukan Nasser, revolusi ini digerakkan untuknya, karena itu, ia boleh ambil apa saja milik kami. Libya punya berates mil pantai tengah, punya dana dan segalanya. Semua itu bias dipakainya untuk bertempur mewujudkan persatuan Arab”, ujarnya. Gagasan ini tidak ditanggapi Nasser secara serius. Ketika Nasser meninggal dan digantikan oleh Anwar Sadat, Qaddafi juga mengajak suami Jehan Sadat ini untuk penyatuan Arab – bermula dengan tawaran menyatukan Libya dan Mesir. Bersama ibu, istri dan bayinya dan menggerakkan 40.000 rakyat Libya long march dari Libya ke Kairo – sebuan perjalanan teramat panjang – Qaddafi ingin menunjukkan kesungguhan yang spontan dan responsive. Anwar Sadat tergugah, pembicaraan dua negara ini bermula. Libya akan dijadikan salah satu propinsi Mesir. Lalu Qaddafi ? … ia siap melepaskan jabatannya. Tapi ambisi penyatuan dua negara ini tak lama. Anwar Sadat dan Qaddafi, pecah kongsi dan berselisih paham. Bagi Sadat, Qaddafi tidak matang dan tidak memiliki keseimbangan. Ia terlampau spontan dan tak stabil, menggelora tanpa perhitungan. Sebaliknya, Qaddafi menilai Sadat kurang revolusioner.

Gagal dengan Nasser dan Anwar Sadat, tak menyurutkan Qaddafi untuk mewujudkan keinginan dan mimpinya tentang penyatuan Arab. Pada awal tahun 1980-an, ia pernah mengajak negara Aljazair dan Syiria serta Maroko bersatu. Tapi karena ia gabungan “militer yang disiplin dan naluri badui” membuat negara-negara yang diajaknya ini tidak berkenan. Nasser yang “bermantagi”, gagal, apatah lagi Qaddafi yang spontan-menggelora ini. Tapi “mimpinya” ini setidaknya memberikan catatan bagi sejarah bahwa solusi terbaik bagi negara-negara di Timur Tengah agar tidak identik dengan konflik adalah dua – “penyatuan Arab” dan selalu mengingat kata-katanya … Amerika Serikat dan Rusia sama saja, yang satu imperialis, lainnya atheis !. Rasanya, Qaddafi benar !. (Hanya catatan kecil : di Timur Tengah, tak ada yang mengalahkan lamanya Qaddafi berkuasa, tak Husni Mubarak ataupun Ben Ali serta pemimpin negara Arab lainnya seperti Yaman ataupun Aljazair. Libya bukan negara baik dalam praktek demokrasi. Tapi riak Jasmine Revolution dan Egypt Revolution seakan tak "bergema" di Libya. Tapi kita tidak tahu, setidaknya kala artikel ini ditulis, hembusan Tunisia dan Mesir telah mejadi pemicu konflik horizontal di Libya. Atas nama demokrasi, Obama (cc) NATO yang kental dengan "kepentingan minyak" dan para pemberontak di Libya menyerang Qaddafi. Awalnya hitungan hari, namun minggu yang mendekati bulan, Qaddafi tetap tak "kalah", walau ia diserang dari empat penjuru mata angin. ).


Qaddafi "muda" dengan Gamal Abdel Nasser

Qaddafi "muda" dengan Anwar Sadat (Mesir) dan Haffez Al-Assad (Syiria)


Buku Hijau Momamar Qaddafi

Sumber Foto : www.time.com

"Fakta-Fakta Senyap" Tragedi September 1965 : Catatan Prof. WF. Wertheim (1)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Tulisan ini merupakan Makalah Prof. WF. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam. Penulis kutip secara utuh, berikut :

Para hadirin yang terhormat! ........ Saya minta ijin untuk, sebelum mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama kelamaan mulai merasa diri sebagai pembaca suatu detective story yang cari pemecahan suatu teka-teki. Dalam tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. Saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, baru itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit: "Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?" Ucapan itu saya masih ingat waktu dalam tahun 1964 saya terima kunjungan di Amsterdam dari tokoh terkemuka lain dari PKI, Nyoto, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya engingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip sekadarnya kepada keadaan di Tiongkok dalam tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah bahwa ada bahaya besar bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan kera s supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan dibawah tanah, dan mundur ke udik. Jawaban Nyoto ialah bahwa saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto. Pagi 1 Oktober '65 kami dengar siaran melalui radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: "Itu tentu revolusi kiri!" Saya menjawab: "Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!". Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil tangkap kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: "Saya takut mungkin kemarin Anda benar!"

Seminggu sesudahnya saya terima kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: "Apa yang sebenarnya situasi politik di Indonesia sekarang?" Jawaban saya ialah: "Tentu Anda sebagai orang Tionghoa dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok dalam tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek mulai kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah, di Syanghai, dan lantar di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)" . Ia tidak mau setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya terima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell Univesity di A.S., suatu 'Laporan Sementara' tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat. Yang terima laporan itu, boleh memakai bahannya (begitu mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tanpa menyebut sumbernya, oleh karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta reaksi dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda "De Groene Amsterdammer" pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul "Indonesia berhaluan kanan" Dalam karangan itu saya tanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang- kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah - apakah bukan mereka sendiri yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan 6 jendral itu?.

Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa- peristiwa dan menarik kesimpulan bahwa sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga tambah bahwa cara perbuatan dengan menculik dan membunuhi jenderal tidak mungkin berguna untuk PKI - jadi salah mereka tidak masuk akal. Lagi hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai dalam tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di "Groene Amsterdammer" itu: "Terminologi resmi di Indonesia masih adalah kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan". Kemudian, dalam bulan Februari tahun '67, Mingguan Perancis "Le Monde" mengumumkan wawancara dengan saya. Dalam wawancara saya bertanya: "Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, bahwa mereka itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka itu, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokatir, yang pakai nama palsu?" Mencolok mata bahwa beberapa minggu sesudah wawancaranya itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, yang namanya sebenarnya Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang Double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8 diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini TIDAK ditambah bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi saya dapat Sinar Harapan dari 13 Maret '67, dan di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: "Apakah Sjam double agent?"

Tetapi sesudahnya di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu MENGAKU bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu tambah bahwa yang sebenanrya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang sebenarnya menurut Sjam dalang dibelakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala bohong dari Sjam, oleh karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk kedalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik.

Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan "De Nieuwe Linie" dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya telah menyebut kemungkinan bahwa "kup" dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah TAMBAH bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begitu: "Aneh sekali: kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling sedikit sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. Lagi, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah main peranan yang utama dalam komplotan. Aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka dimana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menginjak pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung." Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan: "Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story" .

Begitulah pendapat saya di tahun 1967. Tetapi dalam tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya "The Communist Collapse in Indonesia". Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya dalam tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh yang ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: "Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, dapat celaka di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru perlu mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu at as keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang terkemuka dalam kejadian yang sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenar-nya UNTUK MENCEK SAYA. Ia hendak tahu betapa genting celaka anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah". Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Untuk saya pengakuan ini dari Soeharto, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal mulai, sungguh merupakan 'rantai yang hilang' - the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.

Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, 3 atau 4 jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah 7 jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka ¡V tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Hanya satu hal yang kurang terang. Mengapa Soeharto mencerita-kan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu yang dalam dipahami: Latief mau periksa apakah Soeharto begitu susah oleh karena keadaan sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya! Pengakuan Soeharto itu menjadi untuk saya kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan "Vrij Nederland" pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul "De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep? " (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi - kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di dalam majalah ilmiah "Journal of Contemporary Asia" tahun 1979, dengan judul: "Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link". Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu - tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, "Der Spiegel", tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: "Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?" Jawaban Soeharto yaitu: "Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak elaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum." Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap 7 jenderal yang lain akan dimulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan apa-apa, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, sebagai Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama terkena hukuman mati dan diekseskusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia 'sakit-sakitan' an tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa. Akhirnya, dalam tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia besama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8 untuk berunding.

Mereka memutuskan untuk malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka akan bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan dari Soeharto waktu Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, dengan Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intellijen dari Komando di Makasar. Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan 'relevan'. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: "Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang" (hal. 128). Pledoi dan Eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan.

Mengapa begitu? Untuk saya dari mulanya jelas bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat DILUAR Indonesia, dengan pesan supaya lantas diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan BERTEMU dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu! Siapa sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto ,menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan terus mencoba memberikan tanda berwaspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, m elainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi. Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan bahwa memoirenya disimpan di satu bank - entah di mana. Jadi, telah agak tentu bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut fasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu juga segala orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalui dalam melapor kepada yang berwajib. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya bahwa Soeharto jauh lebih jelas 'terlibat' dalam peristiwa 1 Oktober '65 daripada semua korbannya yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat 'tidak langsung' dalam peristiwa G30S!. Jadi, sekarang telah jelas bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai pengetahuan lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu PROVOKASI. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya pengetahuan lebih dahulu. Terang bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta. Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk memkompromitir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu. Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu. Tetapi tentu ia tidak ingin PEMBUNUHAN jenderal yang dituduhi membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggungjawaban mereka. Sesudah ia dengar bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim.

Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan- perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim. Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri - kami hanya punya keterangan dari Sjam yang membohong seolah-olah semua ia, Sjam, berbuat, terjadi atas perintah Aidit. Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam 'mengaku' bahwa bukan Latief, melainkan DIA yang memberi perintah untuk m embunuhi jenderal- jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya ¡V tetapi ia tambah seolah- olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief TIDAK dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala 'jasanya' kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono. Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya dalam tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.

"Fakta-Fakta Senyap" Tragedi September 1965 : Catatan Prof. WF. Wertheim (2)

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Dalam tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ADA. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan apakah dewan itu benar ada dan aktip dalam tahun 1965. Sudah tentu, kalu peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dimanakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno. Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 dimuka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia terima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-dua dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-dua dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito akan membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal. Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia dengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi . Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang lantas diserang dan diculik pada 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri HANKAM, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, diantaranya Jenderal Sukendro. Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR. Kesimpulan saya: kemungkinan besar bawha tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan, pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya: ialah sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno DIYAKINKAN DAN PERCAYA, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ADA dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.

Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal. Untuk saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada. Tentu gampang menyangka bahwa rencana itu tercipta dikalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman- Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti BARANGKALI Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono - yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan - pastilah sangat aktip dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono. Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu nalisa penting tentang peristiwa 1965 dalam "Journal of Contemporary Asia" pada tahun 1979.

Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai DALANG dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro. Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis 'Nawaksara' pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: "1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: Neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an A.S. campur tangan dengan politik Indonesia. Telah mulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, dalam tahun 57-58. Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan A.S. dalam tahun 60an: dahulu karangannya diumumkan dalam tahun 1975, dan lantas di "Pacific Affairs" tahun 1985: "The U.S. and the Overthrow of Soekarno". (Ada terjemahan dalam bahasa Bel anda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).

Dalam tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 U.S.A. sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA - masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan A.S. maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD - supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh! Tetapi bagaimana SEBELUM 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan dalam tahun 1988 (yang judulnya "Confronting the Third: U.S. Foreign Policy 1945-1980"), bahwa semua bahan dari ked utaan A.S. di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan SEBELUM 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapapun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah dari tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan bahwa ia tidak kenal suatu masa manapun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sungguh penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Moga-moga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan A.S. di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan 'de-classified' , jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari A.S. untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (ANSOR) dan nasionalis bagi menghantem PKI. Kedutaan A.S. setuju akan mengirim barang-barang itu yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan A.S . ke Washington dari 5/11, 7/11, ... dan 11/11-65.

Tetapi kita harus insyaf bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijens negara lain yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada SATU surat kabar diluar negeri yang tahu siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Jepang lagi banyak mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru. Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965? Saya akan baca pendapat saya yang baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah "Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan". Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit polan dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menutur kebenaran. Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak-anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurahcman Suriomihardjo dalam "Editor" 2 Juni 1990 menulis, bahwa "pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah". Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali. Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran dalam tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu. Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini.

Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel Jasir Hadibroto, dalam "Kompas Minggu", 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiar- kan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung- jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: "Bereskan itu semua!".

Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan- akan mereka dibunuh karena "terlibat dalam Gestapu/PKI 1965". Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita "The Washington Post" 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ' terlibat dalam peristiwa G30S-PKI '. Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai 'terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI' . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat LANGSUNG adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965. Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan.

Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil terluput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu. Dalam tahun 70an 'tokoh-tokoh Blitar Selatan' ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ' terlibat persitiwa G30S/PKI '. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan 'keterlibatan' demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai 'subversi', yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi siterdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi untuk kebanyakan dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.

Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi dalam tahun 1985. Tapi pada saat inipun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno - dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Ada sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965. Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara 'harum bunga' sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal- jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal- jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman 'terbuka tapi tertutup' dan 'serba umum tapi tidak umum', bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka. Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalan ilmiah "Indonesia", memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tiddak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji matapun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu.

Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada 'perbuatan Gerwani' dalam akhir taun 1965 itu. Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI beroleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan manapun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yuang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak "Tangkap Maling!" Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi.

Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah SEJUMLAH PEMERINTAH yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang. Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti komunis luar negeri. Tentu saja ada sementara tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar 'mulai menghargai harkat diri' dan memulihkan perasaan bangga diri.

Tulisan ini merupakan Makalah Prof. WF. Wertheim yang diterbitkan sebagai suplemen pada majalah ARAH, No. 1 tahun 1990. Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam.

Sumber Foto-Foto : www.historia-online.com

Minggu, 15 Mei 2011

Futsal a-la Ahmadinedjad

Oleh : Muhammad Ilham

Setiap pemimpin negara memiliki hobby tersendiri pada olah raga. Lee Kuen Yeuw, pendiri negara "liliput" Singapura yang sekarang menjadi menteri mentor itu, dikenal sebagai Perdana Menteri yang menyukai olah raga lompat tali. Itu dilakukannya setiap pagi, dan biasanya setelah itu ia akan menyeduh teh dari termos yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Anak Lee yang pintar, Lee "big Lee" Shie Long, yang sekarang memimpin negara ciptaan Rafless ini juga menyukai olah raga beladiri - karate dan judo, misalnya. Soekarno setahu saya tak menyukai olah raga, paling-paling bersepeda ontel. Putra Sang Fajar ini lebih menyukai keindahan, sensualitas dan kecantikan (hmmm, relevan dengan catatan hidupnya sebagai Don Juan). Sedangkan Hatta nampaknya lebih menyukai buku, walau ada catatan sejarah yang mengatakan Hatta "sesekali" main bola pada waktu ia dibuang di Bandar Neira, dulunya. Lalu, Soeharto bagaimana ? ..... nampaknya beliau ini menyukai Golf dan memancing sambil isap cerutu. Habibie dan Gus Dur ? entahlah, tapi kedua-duanya sama dengan Hatta, tampaknya, lebih cinta pada buku. Lalu SBY suka-kah dengan olah raga ? (konon), putra Pacitan yang menantu Sarwo Edhie Wibowo ini suka tenis meja dan volley ball, tapi kesukaannya pada "gitar" dan "nyanyi" lebih kentara.

Obama suka pada Golf, sebagaimana halnya dengan presiden Amerika Serikat terdahulu seperti Clinton dan JFK (namun yang dua terakhir ini, perlu juga dicatat sebagai tambahan, suka pada sensualitas). Perdana Menteri Italia, Silvio Berluschoni, memiliki hobbi golf dan pesta, walau klub bola AC Milan, ia yang punya. Perdana Menteri Rusia, Vladimir Putin, punya hobbi olah raga yang serius, Bridge (beliau suka dengan strategi-strategi dengan basis otak, maklum, mantan ketua KGB). "Orang besar" RRC, Mao Tse Tung suka renang, sedangkan istrinya suka judi. Pemimpin RRC setelahnya, Chou Enlai tak tercatat sebagai penyuka olah raga, padahal pemimpin RRC pasca Chou, Deng Xiao Ping menyukai Mahyong. Dan, bila diungkai-diurai, setiap pemimpin negara-negara di dunia ini memiliki hobbi olah raga masing-masing. Tak salah, karena mereka juga manusia. Mereka sama juga dengan kita. Demikian juga dengan Ahmadinedjad, Presiden Iran yang "bagak" itu. Anggapan saya dahulu, ia suka olah raga otak ataupun menembak (maklum, beliau bekas anggota tentara elit Republik Islam Iran). Rupanya beliau sangat menyukai olah raga Futsal (bola kaki dalam ruangan). Biasanya, bila ada tamu negara yang datang, dalam masa-masa rehat, beliau selalu mengajak untuk bermain Futsal, sebagaimana Presiden Bolivia, Evo Morales, ketika berkunjung ke Iran beberapa waktu lalu.











Sumber foto : www.isna.com

Sabtu, 14 Mei 2011

Shalat Politik di Iran

Oleh : Muhammad Ilham

Bila ingin merasakan bagaimana "menyatunya" Islam dan praktek politik, lihatlah Iran, demikian kata salah seorang teman yang pernah kuliah di Qom, Iran. Hingga hari ini, "aura" dan semangat revolusi Islam Iran 1979, masih terasa dan masih terus membara. Dan bara Islam politik tersebut terlihat nyata-jelas ketika sholat Jum'at dilaksanakan. Berbeda dengan di Indonesia dimana shalat jumat dapat diselenggarakan di setiap masjid mana saja, di Iran dalam satu kota besar shalat jumat hanya boleh didirikan di satu tempat yang ditunjuk oleh pemerintah. Dapatlah kita bayangkan bagaimana "semarak" dan berjubelnya masyarakat (laki-laki) melaksanakan sholat Jum'at ini. Sangat padat. Apalagi hari Jumat merupakan hari libur di Iran. Umumnya, entral university (mirip GOR) atau hall universitas disulap menjadi tempat shalat. Biasanya sebelum khatib jumat naik, pasti ada teriakan yel-yel dan shalawat yang disambut dengan gemuruh oleh ribuan jamaah sambil mengepalkan tangan ke atas. Jamaah jumat yang sudah mulai berkumpul sejak jam 10-an ini, sambil menunggu masuk waktu shalat, ada banyak pidato-pidato yang berisi kecaman-kecaman terhadap Amerika Serikat, Israel dan kompradornya di Iran. Pidato-pidato itu disampaikan untuk mengingatkan dan menjaga nilai-nilai revolusi. Demikian juga khutbah yang disampaikan khatib yang dalam doa di penghujung khutbah berisi doa-doa hancurnya Amerika Serikat, Israel dan musuh-musuh Islam.

Intinya ...... shalat jumat di Iran bukan sekedar seremonial ibadah rutin, namun menjadi forum rakyat untuk mengkonsolidasikan dan menjaga semangat revolusi yang telah dicanangkan Ayatullah khomeini sejak tahun 1979 yang lalu.















Sumber foto-foto : www.irna.com/mehr.com

Rabu, 11 Mei 2011

Sejarah yang Eksklusif

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Secara tidak sadar sejarawan telah membangun sejarahnya sendiri. Sejarah untuk sejarawan. Kenapa? Karena sejarah ditulis bukan untuk masyarakat awam yang ingin mengetahui dan mengerti masalalunya, namun sejarah ditujukan untuk kepentingan penguasa, kepentingan politik dan para penikmat sejarah [akademik]. Sebagai contoh, dalam pembabakan historiografi Indonesia yang dipaparkan oleh Nina Lubis dalam bukunya Historiografi Indonesia dan Permasalahannya bahwa ada 4 babak dalam penulisan sejarah di Indonesia, (1) zaman Tradisional, sifat historiografi Indonesia bersifat istanacentris (2) zaman Kolonial, Historiografi Indonesia bersifat Eropacentris (3) pada zaman pergerakan-kemerdekaan, Historiografi Indonesia bersifat nasionalis (4) dan pada zaman modern yang dimulai pada tahun 1957, historiografi Indonesia berkembang akibat ditemukannya metode dan metodologi sejarah baru yang mengakibatkan focus historiografi Indonesia semakin meluas, namun tetap terpenjara oleh sejarah orang-orang besar dan politik. Dalam babakan zaman ini, tidak terlihat sejarah orang kebanyakan seperti yang disebutkan oleh Bambang Purwanto. Jarang sekali bahkan tidak ada ditemukannya buku-buku yang membahas tentang anak-anak, remaja, perempuan pada masa colonial maupun pada zaman kemerdekaan. Keberadaan mereka dianggab tidak laku dalam nilai ekonomi. Alhasil, kakulah persejarahan di Indonesia, secara tidak sadar sejarah menjadi ‘eksklusive’, sejarah hanya diminati oleh orang-orang tertentu saja.

Sejarah menjadi milik mereka yang menganggap penting sejarah tanpa menularkan pentingnya sejarah, sejarah menjadi milik mereka yang pernah menyentuh masa penjajahan dan perang kemerdekaan, sejarah menjadi milik penguasa untuk legitimasi kekuasaan, sejarah menjadi alat kepentingan politik dan sejarah tentunya milik sejarawan sebagai penulisnya. Ahirnya, seharusnya sejarah milik siapa? Bagaimana dengan mereka yang bukan jurusan sejarah?, bagaimana dengan mereka yang masih anak-anak, remaja? Patutkah kita mempersalahkan mereka dengan ‘ketidaktahuan’ mereka akan sejarahnya? Dengan tawaran metode dan metodologi yang beragam sekarang ini, saatnya sifat eksklusive sejarah menjadi inklusive. Cerita masa lalu harusnya milik semua orang baik secara isi, bahasa maupun tujuan. Artinya sejarah bukan milik penguasa, politik, akademisi, penikmat sejarah lagi, tetapi sejarah milik segenap lapisan masyarakat dengan tawaran bahasa yang mudah dimegerti dan tentu saja dengan topik-topik yang berkaitan dengan ‘orang kebanyakan’. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika dimasa yang akan datang akan ada specialisasi sejarah anak-anak dan spesialisasi yang lain-lain.

(c) Iska Purba. Artikel ini menjadi basis dari diskusi di FB Muhammad ilham via Inbox (33 komentar di Inbox). Tidak dipublish.