Rabu, 30 Maret 2011

Pengkhianatan Kaum Cendekiawan

Oleh : Muhammad Ilham

Judul diatas, sungguh "menggigit". Julian Benda yang buat kalimat tersebut jadi judul bukunya, "la trahision des cleres" demikian judul aslinya. Bahasa Perancis, kalau saya tak salah. Buku yang sudah dianggap klasik ini - karena ditulis jelang invansi Nazi-Hitler diawal 1930-an ini - telah diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, awal tahun 2000. Tentu dengan edisi terjemahan. Julien Benda mengawali karirnya sebagai filsuf ketika ia menulis karya filosifis-reflektif yang mengulas skandal Dreyfus di Perancis pada 1898 dengan judul Dialogues a Byzance. Setelah itu Benda tidak lagi menulis. Ia seakan menghilang dari percaturan wacana intelektual Perancis, yang saat itu geger dilanda skandal Dreyfus.Dan, malam ini saya merasa sangat terlambat membaca buku tersebut. Kebetulan, istri saya pulang dari Gramedia, mungkin ada uang lebih sedikit, jadilah ia membeli buku ini untuk saya. Ter-lam-bat, bagi saya untuk menikmati buku yang sering diperbincangkan oleh banyak intelektual Indonesia ini. Tapi tak masalah. Bukankah better late than never. Dan sepulang sholat maghrib tadi dari musholla, Julian Benda akhirnya saya "sandingkan" dengan Ali Shariati - ideolog Revolusi Islam Iran - pengarang buku "Tugas Cendekiawan Muslim". Dan nampaknya, Julian Benda maupun Ali Shariati yang mengistilahkan cendekiawan/intelektual ini dengan "rauzan fikr" (manusia tercerahkan) memiliki kesamaan pemahaman tentang fungsi intelektual serta pengkhianatan yang dilakukan.

Julian Benda melihat pengalaman kasat mata ketika sebagian besar kaum intelektual Perancis berkolaborasi dengan Nazi : bersikap anti terhadap hak-hak asasi, anti-perikemanusiaan dan anti-moralita. Dan yang lebih penting, mereka telah berkhianat terhadap tanah airnya. Ia mengatakan bahwa orang terpelajar yang "disewa" oleh pihak yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya. Kaum terpelajar bukan hanya telah banyak "dikalahkan", tetapi juga banyak "dipungut". Lihatlah, kata Benda, begitu banyak kaum intelektual modern yang menyerahkan diri mereka sepenuh-penuhnya kepada perjuangan politik yang meluap-luap. Dan Benda lebih banyak mengingatkan - untuk tidak mengatakan menuduh - bahwa kaum terpelajar tidak lagi memberi petunjuk dan memberi spirit kepemimpinan kepada perkembangan kemanusiaan, malahan menyerahkan diri mereka kepada golongan yang berkuasa untuk memperjuangkan kepentingan parsial-individual. Alih-alih memelihara persaudaraan segala bangsa berdasarkan kemanusiaan, kaum terpelajar justru ikut serta mempertajam pertentangan bangsa, pertentangan kelompok atas nama apapun jua yang telah menyebabkan timbulnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Bagi Benda, itulah Pengkhiatan itu, Pengkhiatan Kaum Intelektual.

Sejatinya, kaum terpelajar adalah orang yang berpijak pada kebenaran, walau sebenarnya kebenaran itu juga sarat dengan nilai-nilai/perspektif. Tapi fungsi memberikan pencerahan, bukan memperuncing, merupakan ikhtiar bagi kaum intelektual untuk tidak menjadi pengkhianat. Nampaknya, bila kita sepakat dengan Julian Benda dan Ali Shariati diatas, sudah teramat banyak pengkhianat-pengkhianat intelektual tersebut. Mereka, para kaum cerdik-pandai, bukannya berusaha mengantarkan rakyat menuju ke gerbang kemakmuran tetapi mengajak seluruh bangsa menyelusuri meminjam istilah Steven Hawking, black hole, yang tak bakal ditemui cahaya secercah pun. Centang-perenang peraturan maupun undang-undang yang mereka buat untuk menjalankan sistem tatanan kenegaraan, mereka pula yang melanggarnya. Ditambah dengan bobroknya mentalitas para pemengang otoritas kebijakan yang cenderung korup, kolusif dan nepotism menjadi salah satu kendala utama pengungkapan pelbagai persoalan pelanggaran hukum sulit menemukan titik terang. Mereka lupa, bahwa pendidikan yang diperoleh untuk menyelesaikan pendidikan hingga mencapai gelar doktor, dan bahkan ada diantaranya menjabat sebagai gurubesar, dibiayai kuliahnya dengan keringat dan darah rakyat. Beberapa komentar dari berbagai kalangan yang dikatakan terdidik mensikapi berbagai kasus - baik politik maupun agama - justru banyak yang tidak mencerahkan. Memperuncing yang terkedepankan. Terkadang banyak juga yang tidak sadar, komentar-komentar mereka ini justru memudahkan orang untuk memberikan "adress" pada mereka - untuk kepentingan siapa mereka berpendapat dan memberikan komentar. Tanpa saya sadari juga, saya juga sering menjadi pengkhianat cendekiawan. Itu kalau memang saya dikategorikan kaum terpelajar, kalau tidak, syukur alhamdulillah, terhindar saya dari labelling pengkhianat. halah !

(tulisan ini juga mengutip beberapa bagian dari analisis Eddy JS. /IMSS sebagai pengayaan informasi). Foto : www.bukabuku.com

Bunga Rosella Buat Suamiku

Oleh : Imla W. Ilham

Suami saya memiliki kebiasaan yang disatu sisi sangat baik namun disisi lain justru kebiasaan tersebut membuat ia terkadang sakit....... maniak membaca dan "ngetem" di depan komputer. Saya sangat menyadari bahwa kebiasaannya ini sudah mendarahdaging padanya sejak kami belum menikah. Ayahnya (mertua saya : Almarhum), di kampung dulu dikenal sebagai seorang guru honorer yang memiliki bacaan "kelas tinggi" untuk ukuran kampung saya waktu tahun 1980-an/1990-an yaitu Majalah Tempo dan Panji Masyarakat, bahkan konon mertua saya ini juga memiliki buku-buku Soekarno (biografinya) serta buku-buku sosialis yang sangat banyak (maklum waktu beliau masih muda pernah menjadi Ketua Pemuda Marhaenis Kota Medan tahun 1960-an). Jadi, suami saya sejak kecil sudah "dipaksa" membaca bacaan-bacaan berat seukuran dia dan kampungnya. Bahkan, buku-buku Soekarno dan Sosialis sekalipun, sejak kecil dibacanya, termasuk buku-buku Hamka. Jadi tidaklah mengherankan apabila di perpustakaan kami, buku-buku mertua saya yang diberikannya kepada suami saya hampir 200 buah buku. Kebiasaan ini terus berlangsung hingga kini....... suami saya paling suka membaca buku (terutama buku Filsafat, Politik, Sejarah, Budaya dan Sosial). Di rumah kami ada 4 kamar (3 kamar tidur dan 1 kamar pustaka). Kamar pustaka tersebut cukup besar dan memuat hampir 4.000 (empat ribu) koleksi buku-buku suami saya.

Ketika kami sudah menikah, biasanya ia membaca pada jam-jam hening, antara tengah malam hingga jelang subuh, sambil mengetik ataupun main internet. Apalagi bila beliau sedang mempersiapkan bahan kuliah, penelitian ataupun menulis buku (hingga sekarang ia telah menghasilkan 7 buah buku). Kalau sekarang, ketika sore kami pulang (tapi ia sering pulang jelang Maghrib), ia biasanya terus ke Musholla, dan sampai jam 9 malam, ia akan duduk-duduk dengan teman-teman di komplek di kedai. Biasa ..... "maota politik". Beliau dari dulu hingga sekarang memang paling suka berkumpul-kumpul di kedai-kedai, baik di komplek perumahan kami ataupun ketika sedang di kampung. Ia paling suka diskusi dan berdebat (konon, tahun 1996, ia pernah menjadi Juara Debat Mahasiswa Tingkat Universitas Andalas). Setelah pulang ke rumah sekitar jam 9 malam, ia biasanya bercengkerama dengan anak-anak, tidak begitu lama. Setelah itu, ia akan membaca, mengetik dan sesekali menonton TV apabila ada acara Dialog/Berita ataupun Bola (beliau juga maniak bola.... idolanya dari dulu Manchester United). Bila ia tidak melakukan kegiatan luar seperti riset atau penelitian, kegiatan-kegiatan ini seperti rutin dilakukannya. Akibatnya, saya melihat bahwa ia sering pusing dan mengidap penyakit yang sering kambuh yaitu migrain. Akhir-akhir ini, migrainnya sering kambuh karena memang intensitas kegiatannya di kampus, penelitian dan kegiatan-kegiatan lainnya cukup menyita istirahatnya. Bila Migrainnya kambuh, saya terkadang kasihan melihatnya. Matanya sebelah kanan memerah dan berair seperti menangis. Kadang-kadang ia saya urut, tapi tak banyak membantu. Saya sering menasehatinya agar cepat tidur, istirahat ataupun kurangi membaca atau berada di depan komputer. Tapi dasar sudah talentanya, nasehat tersebut tidak pernah didengarnya. Bahkan terkadang dalam mata memerah dan berair itu, bila ada acara Today Dialog di Metro TV, ia akan "memaksakan" diri untuk menonton.

Belakangan ini, disamping Migrain, ia juga merasakan nyeri-nyeri di tulang ataupun pinggangnya setiap bangun pagi. Mungkin letih atau memang karea kebiasaannya yang tidak baik lainnya ..... suka mandi malam (biasanya habis pulang dari Musholla). Saya suruh ia sering ke klinik untuk chekup migrain dan rasa nyeri tersebut. Namun, hanya sekali dua.... itupun obat yang diberikan dokter jarang dimakannya dengan alasan "tidak mau sering mengkonsumsi obat-obat kimia". Kondisi ini akhirnya membuat saya berusaha mencari obat-obat herbal. Melalui seorang teman, akhirnya saya diberitahu tentang khasiat Teh Bunga Rosella. Saya promosikan pada suami. Ia oke. Saya beli di sebuah apotik di Simpang Anduring. Awalnya ia tidak begitu menikmati. Namun lama kelamaan, ia enjoy. Belakangan ini ia mengatakan bahwa rasa nyeri dan sakit di pinggang sudah jauh berkurang, tinggal migrain. Dan Alhamdulillah, ia sekarang rutin meminum teh Bunga Rosella itu.

Rosella, atau dalam bahasa latinnya - Hibiscus Sabdariffa Linn (cantik namanya yaa....) adalah tanaman dari keluarga sejenis kembang sepatu. Konon tanaman ini berasal dari Afrika dan Timur Tengah. Tanaman perdu ini bisa mencapai 3-5 meter tingginya dan bila sudah dewasa, tanaman ini mengeluarkan bunga warna merah. Bagian bunga dan biji inilah yang bermanfaat serta baik bagi kesehatan. Menurut Depkes RI (No. SPP. 1065/35.15/05), dalam setiap 100 gram Rosella mengandung 260-280 mg Vitamin C, D, B1 dan B2. Kandungan lainnya adalah 486 mg Kalsium, Omega 3, Magnesium, Beta Karotin serta Asam Amino Esensial (he...he....saya bukan ahli farmasi, saya salin saja dari kotak Teh Bunga Rosella yang saya beli di salah satu apotik untuk suami saya, jadi walaupun tak tahu kegunaan zat ini, setidaknya zat-zat tersebut baik bagi tubuh). Konon, bunga Rosella ini juga baik untuk pencernaan bila dikonsumsi. Dan zat-zat tertentu dalam kandungan bunga Rosella ini dipercaya mampu menangkal radikal bebas penyebab kanker, mencegah keropos tulang, dan untuk zat-zat lainnya juga bisa meremajakan sel tubuh serta melindungi tubuh dari inveksi kuman dan virus (Waaah, Allahu Akbar, ruaaar biasa). Jadi, rasanya saya tidak salah memberikan obat herbal-alamiah ini pada suami saya. Walaupun pada awalnya ia protes, tapi lama kelamaan karena ia merasakan ada kemajuan, justru ia terus yang selalu mengingatkan saya untuk selalu membeli bunga Rosella. Untuk ini pula, saya setiap pagi selalu "membekali"nya satu gelas besar (dari plastik) seduhan teh bunga Rosella bila ia berangkat ke kampus...... terus hingga tulisan ini saya buat. Nampaknya, ia senang dan tak keberatan.

Minggu, 27 Maret 2011

Budaya Militerisme

Oleh : Muhammad Ilham

Militerisme ? Sebuah pemahaman yang selama ini - setidaknya yang dipahami publik mayoritas - adalah sesuatu yang menakutkan. Lihatlah misalnya penggalan "cerita" berikut yang terinspirasi dari sebuah artikel koran - Djalaluddin Rahmat (?) - diawal tahun 2000 : Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, “siapa yang mengetuk pintu tadi?”. Si anak menjawab, “Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !”. Spontan si ayah ini menjawab, “Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara”. Sebuah ketakutan dengan simbol-simbol riil militerisme - "tentara".

Tapi janganlah terlebih dahulu kita berburuk sangka. Militerisme bukanlah (mutlak) suatu keadaan dimana pemerintahan dipimpin oleh para perwira militer seperti junta militer di Myanmar dan negara-negara "sejenis". Tentara jadi representasi kekuasaan politik dihampir semua lini vertikal masyarakat. Bukan itu. Militerisme lebih kepada kondisi sosial dan kejiwaan masyarakat. Ini bisa dijumpai dalam masyarakat yang dipimpin oleh sipil sekalipun. Refleksi militerisme, kata Noam Chomsky (1997) bisa dijumpai dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam benak dan pemikiran kita yang terkadang kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Pakar Sosiologi Politik, Michael Mann (1999) mengatakan bahwa kehadiran militer/tentara bukanlah sesuatu yang otomatis menjadi perwujudan dari militerisme. Pada sisi lain, misalnya, negara yang dikuasai oleh pemimpin sipil secara formal, tidak terdapat jaminan pasti akan steril dari militerisme. Secara teoritis, kata Michael Mann lebih lanjut, militerisme adalah seperangkat sikap dan praktek sosial yang didasarkan kepada anggapan bahwa "peperangan" dengan segala persiapannya merupakan sesuatu yang normal dan "menggairahkan". Bagaimanapun jua, adalah sebuah kewajaran bila sikap militerisme melihat segala sesuatunya sebagai sebuah "medan peperangan". Menyerang atau diserang, kanai atau manganai - kata seorang kolega saya (alm.) adalah suatu prinsip hidup utama militerisme.

Huntington (1989) mengatakan bahwa ada dua prinsip utama dari budaya militerisme : (a). rasa takut yang memasyarakat, dan (b). simbol kekerasan dan kejantanan (kebuasan) ditonjolkan. Bila dihubungkan (a) dan (b), maka berlaku asumsi dasar : masyarakat yang mengidap militerisme tersebut secara formal mungkin menyanjung simbol-simbol kekerasan dan kegagahan, tapi ini merupakan kompensasi psikologis karena mereka menderita teror dan trauma. Kekerasan tidak hanya dominan dalam masyarakat "bar-bar"ataupun monopoli dari negara-negara Dunia Ketiga (yang baru "mau" berkembang). Modernitas yang membawa simbol-simbol dan spirit kebebasan, kemerdekaan politik bagi segala bangsa, HAM, rasionalitas serta kapitalisme dengan perangkat "pasar bebas"nya, ternyata tak kurang buasnya. Untuk ini, dalam bukunya Modernisme dan Post-modernisme, Ben Anderson menyimpulkan bahwa dua abad modern terakhir ini merupakan masa-masapenuh kekerasan yang tak ada bandingannya dalam durasi waktu panjang ummat manusia. Tak ada negara yang lebih banyak berperang selama abad ke-19 daripada Inggris - negara pemuka industri (dengan revolusi industri-nya) dan pasar bebas. Demikian juga, tak ada negara di paro abad ke-20, bahkan hingga sekarang yang lebih banyak berperang ketimbang Amerika Serikat, negara yang jumawa berkiblat pada pasar bebas. Dan sejarah masih "segar"mencatat, perang Dunia I dan II, disponsori oleh negara-negara kapitalis.

Kembali ke militerisme yang bercirikan pada kejantanan dan mempertentangkan sikap hidup kaku menjadi dua realitas belaka : kawan/lawan, kalah/menang, atau kanai/menganai. Sebagai sebuah sikap, militerisme bukan hanya milik anggota militer. Tak sedikit warga sipil, kelompok primordial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, organisasi-organisasi kepemudaan bahkan kemahasiswaan yang mengidap "virus" militerisme ini. Intinya, terkadang si penjaga demokrasi itu yang menghancurkan demokrasi, yang merasa berhak menjaga perdamaian yang merusak perdamaian, dan orang-orang yang bukan berasal dari militer, justru lebih militer dalam pendekatan sikapnya.

Referensi : Ben Anderson (1999), Michael Mann (1999) & Noam Chomsky (1997). Foto : www.google.picture.com

Sisi Lain "Revolusi" Bahrain

Oleh : Muhammad Ilham

Bahrain bergolak. Konsekuensi alur "domino" Revolusi Jasmine Tunisia dan Mesir. Tapi dunia terfokus pada Libya. "Penanganan" Libya jelas, NATO dengan ujung tombaknya Amerika Serikat, Inggris dan Perancis memiliki kontribusi besar melaksanakan opersai militer (walau hanya dalam tataran operasi udara) dengan target menjatuhkan Moammar Khaddafi. Tapi Bahrain, lain. Kesultanan kaya yang selama ini damai, bergolak sebagaimana halnya Libya. Tapi penanganannya bukan oleh pasukan in-group Bahrain. Mungkin karena tiodak memiliki tentara yang memadai, Sultan Bahrain mengundang tentara Arab Saudi untuk mematahkan demonstran-demonstran yang menyuarakan revolusi tersebut. Jadilah, saudara seiman Bahrain berjatuhan karena senjata saudara seiman yang lain - tentara Arab Saudi.

Pemimpin Hezbolah, Sayyed Hussain Nasser yang saya kutip dari republika.co.id mengatakan : "Liga Arab dan negara-negara Arab saat ini menghadapi dua revolusi (Libya dan Bahrain). Dalam menyikapi Libya, Liga Arab lebih memilih bungkam. Padahal banyak warga Libya yang tewas. Negara-negara Arab tidak mengirimkan pasukan ke Libya. Akan tetapi apa yang mereka lakukan terhadap Bahrain? Revolusi di Bahrain disikapi berbeda dengan revolusi di Libya. Negara-negara Arab mengirim pasukan ke Bahrain dan membantai para demonstran yang melaksanakan aksi damai. Aksi unjuk rasa di Bahrain berlangsung dengan damai, bahkan tidak ada satu mobil pun yang dibakar dan tidak ada sebuah kaca yang pecah. Akan tetapi pasukan Arab Saudi dikerahkan untuk membantai masyarakat yang melakukan demo damai. Bahkan pasukan keamanan menyerang rumah sakit dan rumah-rumah pemimpin pendemo. Ini adalah cara Zionis Israel. Rezim Zionis menyerang rumah-rumah penduduk. Hal yang sama juga dilakukan tentara Bahrain. Rezim Bahrain bahkan menghancurkan bundaran Mutiara dan meratakannya. Peristiwa-peristiwa itu mencerminkan karakter diktator dan rezim taghut. Akan tetapi ketertindasan terbesar bangsa Bahrain adalah revolusi di negara ini dikesankan sebagai perang sebuah madzhab atau kelompok aliran. Ini adalah hal yang sangat menyakitkan. Ulama Sunni dan Syiah tak sepatutnya bersikap diam atas masalah ini. Ini bukan perang madzhab, tapi peristiwa yang terjadi adalah kriminalitas murni yang tidak ada sangkut pautnya dengan madzhab."









Sumber foto :
www.mehr.com - www.al-jazeera.com - www.google.picture.com

Rabu, 16 Maret 2011

Ketika Tembok Cina Selesai Didirikan, Lalu (Kemanakah) Para Budak Disembunyikan ?

Oleh : Muhammad Ilham

"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini.

"Ketika tembok Cina selesai didirikan, kemanakah para pekerja bersembunyi atau disembunyikan ?", demikian kata Ernst Bloch. Untuk logika pertanyaan yang sama, akan timbul gugatan, kemanakah para mahasiswa bersembunyi atau disembunyikan setelah Suharto beserta rezimnya runtuh ? Kemanakah orang-orang yang dengan idealisme adiluhung mau secara tegar dihabiskan oleh ganas-garangnya Pembuangan Digul? Kemanakah mereka yang selama ini berjuang dengan “hati”, namun karena berbeda prinsip politik, mereka akhirnya dijadikan kambing hitam sejarah ?. Pertanyaan-demi pertanyaan akan terus bergulir. Namun, Ernst Bloch telah menjawabnya. Tembok Cina sejatinya dibuat oleh para pekerja (baca: budak), tapi justru nama Shih Huang-Ti yang tercatat dalam tinta emas sejarah karena “masterpiece” dunia ini. Berapa ribu budak menjadi “martir sejarah” hanya demi ambisi Fir’aun dengan proyek mercusuarnya, piramida. Suharto dan rezimnya telah jatuh, namun nama reformasi justru identik dengan segelintir orang. Terkadang, sejarah butuh tumbal untuk merubah arah geraknya.

Gerakan-gerakan nativis, ratu adil dan gerakan-gerakan yang dikompori oleh komunis yang nyata-nyata membuat daya dan energi kolonial Belanda “letih”, justru tidak diapresiasi secara proporsional oleh sejarah. Siapa yang kenal dengan Chalid Salim ? Adik “old-man greatest” H. Agus Salim ini, oleh Takashi Shiraisi, dianggap sebagai pribadi konsekuen. Chalid yang menghabiskan masa-masa produktif intelektualnya menggeluti komunis-sosialis, menjadi salah satu penghuni Digul pada tahun 1920-an s/d 1930-an. Masa itu, Digul adalah “daerah hantu pembuangan” yang ditakuti oleh para pejuang Indonesia. Bersama-sama teman-temannya, Chalid yang diakhir hidupnya menganut agama Nasrani (dan ini disyukuri oleh kakaknya Agus Salim karena selama ini Chalid memproklamirkan dirinya sebagai atheis), menghabiskan hari-harinya di daerah zona 3 Digul. Ketika itu, Pembuangan Digul oleh Belanda dibagi atas 3 zona. Zona 1 untuk para digulis (orang buangan) yang setelah dibuang ke Digul memperlihatkan kompromi dan bisa “dibina” oleh kolonial Belanda. Mereka ini diberi insentif untuk biaya hidup. Zona 2 bagi digulis yang dianggap “abu-abu”, antara melawan dan kompromi. Zona 3 merupakan zona bagi digulis yang nyata-nyata melawan kepada Belanda. Mereka tidak diberi biaya hidup. Survival in the fittest nyata terjadi di Zona 3 tersebut. Di Zona 3 ini, para digulis banyak berasal dari Minangkabau, diantaranya Hatta, Syahrir dan Chalid Salim. Tapi sayang, Chalid Salim hilang entah kemana dari catatan sejarah. Sejarah pada akhirnya, meminjam istilah dedengkot mazhab Frankfurt-Juergen Habermass, adalah sejarah yang dikondisikan oleh pemegang hegemoni.

Justifikasi intelektual yang mencari pegangan ke masa lampau sangat jelas terlihat dalam perjalanan panjang sejarah "anak bangsa" Indonesia. Kita sebagai bangsa yang merdeka, senantiasa berhadapan dengan ketentuan-ketentuan politik dan ekonomi-global yang tidak dapat dikendalikan, bahkan cenderung tidak disadari seperti yang dikatakan oleh Adam Smith -- "tangan-tangan yang tak terlihat". Ada perasan hanyut dalam arus global itu dan obat untuk menstabilkan semua itu adalah masa lampau yang diharapkan dan dapat menjamin konsensus dan kemapanan. Pandangan seperti ini dikenal dengan istilah historisisme, sebuah pandangan yang mengabaikan sama sekali sejarah sebagai suatu perubahan dan dengan demikian menutup mata bagi kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik yang bisa diupayakan untuk masa yang akan datang.

Sederhana yang ingin saya sampaikan dalam tulisan di atas ........ Saat sekarang ini, banyak diantara masyarakat Indonesia mulai melupakan sejarah dan track seseorang ....... sekali lagi : ketika menilai seseorang, lihatlah life-track-nya.

"Jasa Lain" C. Snouck Hourgronje

Oleh : Muhammad Ilham

"Christian Snouck Hourgronje ditakdirkan disumpah dan dipuji sejarah", setidaknya sejarawan Taufik Abdullah pernah berkata pada suatu waktu. Tapi Hourgronje lebih sering dipandang sinis. Rekomendasi intelektual-akademiknya dianggap sebagai "pangkal bala" kehancuran Aceh diawal abad ke-20. Hourgronje yang antropolog serta fasih berbahasa Arab tersebut dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai figur "Malin Kundang". Masuk Islam, belajar tentang Islam, mendekati kaum Muslim Indonesia secara emik, namun bermuara pada kepentingan kolonial Belanda. Tapi tak sedikit yang mengaguminya. Kekaguman atas totalitas akademik, pemetaan sosio-kultural kaum muslimin dan rekomendasi-rekomendasinya yang amat brilyan pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Semua ini bisa kita lihat dalam buku Surat-Surat Snouck Hourgronje pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang diterbitkan INIS. Sekian jilid, didominasi oleh karakter sosial budaya Aceh - sebuah daerah yang amat sulit ditaklukkan Belanda.

Snouck Hourgronje yang amat dikagumi oleh Raja Faisal anak Raja Saud pendiri kerajaan Arab Saudi (sebelumnya bernama Hejaz) ini, pernah dicatat dalam sejarah memiliki "jasa lain". Karena kredibilitas intelektualnya yang otoritatif, membuat pemerintah kolonial Belanda selalu mempercayai rekomendasinya. Salah satu rekomendasinya adalah "jangan menghambat orang Indonesia pergi ber-haji". Ini pernah disinggung oleh salah seorang sejarawan Belanda yang pernah melaksanakan studi tentang sejarah haji di Indonesia, namanya Vredenbergt. Menurut Vredenbergt, pada tahun 1926-1927, jumlah jemaah haji dari Indonesia mencapai 43% dari seluruh jamaan haji Indonesia. Dari segi ekonomis, jumlah jamaah haji Indonesia ini cukup menguntungkan. Namun dari segi politik, jumlah ini menggetarkan. Hal ini tersebabkan oleh kekhawatiran Belanda akan pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipimpin oleh para haji, setidaknya sebelum tahun 1920-an. Pemberontakan Cilegon 1888 merupakan salah satu pemberontakan yang dipimpin oleh kaum haji yang cukup fenomenal. Bersamaan dengan pembukaan Terusan Suez dan kekhawatiran akan preseden sejarah, pemerintah kolonial Belanda yang sebenarnya ingin mengurangi orang Indonesia pergi ber-haji ke Mekkah, akhirnya justru membiarkan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan karena alasan ekonomis, melainkan karena pandangan Hourgronje. Ia membuka mata pemerintah kolonial Belanda atas kebutaan mereka selama ini terhadap mitos Islam.

"Dalam Islam, tidak ada lapisan klerikel dan kere, kata Hourgronje meyakinkan. "Kiai bukan Paus seperti dalam agama Katholik. Mereka tidak lebih dari suatu anggota hirarki agama dari pelaksana komando Khalif Konstantinopel. Seorang khalifah tidak dilengkapi dengan kekuasaan agama untuk menetapkan dogma, tapi ia hanyalah simbol bagi kesatuan semua orang Islam" lanjut Hourgronje. Gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang "mekar" pada masa itu (bahkan hidup hingga sekarang) telah menggetarkan Belanda, karena gagasan tersebut tersebar kedaerah jajahannya - dalam hal ini Indonesia - melalui penunaian ibadah haji. Anggapan ini kemudian ditepisHourgronje. "Mekkah tak akan merubah ribuan jamaah haji Indonesia menjadi haji-haji fanatik yang penuh semangat pemberontakan", ujarnya. Pemerintah kolonial Belanda nampaknya harus mempercayai ucapan Hourgronje. Bukan saja karena ia sangat lama menetap di sana dan kemampuannya memadamkan Perang Aceh secara kultural, tapi ia juga memiliki hubungan yang amat sangat akrab dengan keluarga kerajaan Arab Saudi. Akhirnya mau tidak mau kita mengakui "jasa" Hourgronje karena pemerintah kolonial Belanda tak membatasi atau menghentikan orang Indonesia pergi ber-haji ke negeri Ibnu Saud ini.

Foto : Jamaah haji Indonesia pada masa kolonial Belanda. Sumber foto : www.republika.co.id

Selasa, 15 Maret 2011

Belajar dan Bersahabat dengan Gempa

Oleh : Muhammad Ilham

"Belajar dari Gempa Jepang", setidaknya demikian hot topic Metro TV beberapa hari ini pasca Gempa dan Tsunamy yang meluluhlantakkan Jepang. Dan biasanya event melankolik-dramatik-tragik, selalu dilatarbelakangi oleh musik yang melankolik pula. Gempa Padang 30 September beberapa tahun lalu, musik-musik Kitaro menjadi background-musicnya. Tapi, saya tak tahu, mengapa Gempa dan Tsunamy Jepang ini, Metro TV tak menggunakan instrumentalia Kitaro sebagai background music, padahal Kitaro DNA-nya asli 100 % dari negeri Ameterasu Omikami ini. Tapi sudahlah, bukan itu substansinya. Setiap peristiwa memiliki hikmah, kata Cicero (historia vitae magistra). Itu intinya. Gempa dan tsunamy yang datang, adalah bagian dari "memiliki hikmah" tersebut. Dibawah ini, saya posting kembali, bagian terpisah dari artikel saya yang pernah diterbitkan sebuah harian lokal pasca gempa 30 September 2009 Sumatera Barat.

Ada cerita menarik : "disebuah perkampungan padat penduduk terdapat dua buah bangunan kontradiktif, masjid dan bangunan hotel yang sarat dengan aura prostitusi. Kedua bangunan kontradiktif ini, dibangun berdekatan, hampir sama tinggi. Tapi masjid lebih kokoh, sedangkan hotel mesum tersebut terkesan muram (maklum, pengunjungnya suka yang muram-muram). Sepintas lalu, bangunan masjid akan tahan dengan "ujian alam" - dari perspektif apapun, baik teologis maupun kepatutan alam fisik. Allah pasti akan menjaga rumahnya (baca: masjid), apalagi masjid dibangun dengan struktur bangunan yang cukup kuat, dibandingkan dengan hotel mesum yang nyata-nyata "musuh Allah". Tapi apa nyana, ketika petir-kilat datang menyambar, justru masjid yang hancur, sedangkan hotel mesum tetap berdiri kokoh dalam kemesumannya. Salahkah Allah ? ....................... tidak. Rupanya pengurus masjid ini terlampau over confidence, Allah pasti menjaga rumahnya, sehingga pengurus lupa membaca Sunnatullah. Pengurus lupa atau merasa tidak perlu menyuruh kontraktornya membuat kawat anti gempa di atas bangunan masjid nan kokoh ini, sementara hotel mesum membaca Sunnatullah .......... mereka pasang anti gempa di atas bangunan mereka. Masjid disambar kilat, hotel mesum tetap berdiri ................... dan ini berarti Bukan Allah yang salah atau marah kepada masjid, tapi Allah akan menjaga orang-orang yang tetap memperhatikan Sunnatullah (Muhammad Ilham, 1999: 20-21)

Saya bukan ahli gempa (bahkan istilah Richter tersebut sampai hari ini sayapun tak tahu sejarahnya) dan sangat bodoh tentang seluk beluk gempa. Bagi saya gempa ibarat "hujan", dari dulu hujan tersebut pasti ada dan selalu turun terus menerus, tergantung kondisi geografis-nya. Ada daerah yang intensitas turun hujannya cukup tinggi, ada daerah yang menganggap hujan sebagai fenomena langka, tapi tetap hujan itu turun. Ini memperlihatkan hujan adalah sunnatullah. Demikian dengan gempa. Persoalannya sekarang adalah gempa merupakan salah satu fenomena alam yang "sulit" bahkan hampir tidak bisa diprediksi, kapan ia datang sebagaimana halnya hujan, begitu mudah diprediksi dan memiliki tingkat validitas prediksi cukup tinggi. Gempa tidak. Tapi ia tetap fenomena (baca: sunnatullah) yang sejak nabi Adam hingga sekarang (dipastikan) telah ada. Oleh karena itu, prediksi-prediksi scientifik tentang gempa yang banyak bermunculan belakangan ini justru terkadang "melawan arus" metodologis keilmuan "pergempaan". Sejak gempa sering "berkunjung" ke Indonesia, hampir semua pakar Gempa mengatakan bahwa gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diketahui kapan dan dimana datangnya. Akan tetapi, tetap saja ada pernyataan-pernyataan (baik dari para ahli gempa, ahli nujum, dukun selebrities dan seterusnya) yang mengeluarkan komentar seakan-akan gempa seperti hujan yang bisa diprediksi. Kita masih ingat, bagaimana prediksi seorang ahli "nujum/paranormal" Brazil yang mengatakan bahwa pantai barat Sumatera Barat akan dihantam tsunami pasca tsunami Aceh ...... dan itu tidak akan lama. Lucunya, ia (konon) memprediksi akan terjadi pada hitungan bulan. Nyatanya, tak terjadi. Dan, kita banyak juga mendengar analisis "supranatural" lainnya yang tetap menganggap bahwa tsunami akan singgah di Sumatera Barat.

Tanpa menafikan dalil epistimologik sebuah disiplin ilmu, tapi yang jelas, pernyataan para ahli yang meng-klaim akan terjadi potensi gempa luar biasa (berikut tsunamy) di Kota Padang dan sekitarnya, jelas "berlawanan" dengan dasar epistimologik-metodologik yang baku dan menjadi mainstream dasar epistimologik dalam ilmu "pergempaan" ........... yaitu gempa adalah fenomena alam yang tidak bisa diprediksi. Tapi, simpulan para ahli tersebut tetap menjadi sebuah ikhtiar dari anak manusia dalam mengingat anak manusia yang lain, agar hati-hati dengan fenomena alam. Mungkin alam sudah mulai bosan (meminjam ungkapan Ebiet G. Ade). Oleh karena itu, bersahabatlah dengan alam. Bangunlah bangunan yang bersahabat dengan perhitungan yang mengikuti hukum alam. Jangan membohongi hukum alam. Kita masih ingat, tsunamy Aceh memberikan pelajaran paling berharga bagi peradaban ummat manusia. Bila konstruksi infrastruktur bangunan mengikuti hukum alam dan tidak mudah memberikan izin dalam membangun infrastruktur yang dimana mobilitas masyarakat pada infrastruktur tersebut cuukup mobile dan besar, kemungkinan korban tsunamy di Aceh bisa diminimalisir. Seandainya bangunan di Kota Padang (baca Pemerintah Daerah) "lebih memperhatikan" tata dan sistem bangunan-infrastruktur dengan baik, rigid, sistematik dan patuh pada sistem yang telah ditetapkan berdasarkan kepatutan alam, niscaya bangunan-bangunan kota Padang dan sekitarnya, pada waktu 30 September 2009 yang lalu, tidak menjadi penyumbang terbesar kematian anak bangsa. Ketika tsunamy Aceh terjadi, negara Malaysia (khususnya daerah Pulau Pinang) termasuk daerah yang dilandasi imbas tsunamy cukup besar, tapi mengapa korban tidak banyak yang berjatuhan ?. Sistem telah terbangun dengan baik, bangunan-bangunan kokoh dan sterusnya. Mengapa Jepang yang "marasai" kena gempa - bahkan tsunamy-pun menjadi hak paten Jepang - bisa "bersahabat" dengan gempa ? Mengapa orang Belanda bisa menjadi negara yang rata-rata berada 1 meter dibawah permukaan laut, sehingga masyarakat mereka memiliki kebiasaan memegang batang hidung ketika bicara (entah ada hubungannya entah tidak, saya tak tahu)?. Lalu mengapa, banyak rumah-rumah di komplek perumahan - setidaknya itu yang saya saksikan - di Kota Padang, banyak ambruk ? Mengapa banyak gedung-gedung yang rontok ? Adakah yang salah dalam proses membangunnya ? atau, pemerintah yang berhak mengurus kepentingan hajat hidup warganya, setidaknya mengayomi, tidak memperhatikan ketentuan/sistem yang harus ditetapkan secara tegas kepada warganya, terutama yang berkaitan dengan "prosedur pembangunan-infrastruktur" ?. Saya hanya membayangkan, tahun-tahun ke depan, bangunan menjulang tetap ada di Kota Padang, tapi kokoh dan telah teruji dengan sistem yang telah ditetapkan. Saya juga membayangkan, tidak ada lagi perumahan murah yang dibangun dengan "acak-acak" dan bisa bolong ketika anak kita menendang dindingnya. Ke depan, perumahan yang saya bayangkan di Kota Padang, adalah perumahan murah nan mungil lagi kuat serta bersahabat dengan alam ............ dan suatu hari saya membayangkan pula akan membaca headline sebuah media massa Kota Padang : "Sebuah Komplek Perumahan Murah Untuk Rakyat Miskin Dirobohkan atas Suruhan Pemerintah Daerah Karena Belum Lulus Standarisasi Gempa". Besoknya, saya juga membaca headline pada media lain : "Seorang Developer dicabut izin usahanya karena Perumahan yang dibangunnya banyak yang retak" ........... Selanjutnya, mau tidak mau, gempa selalu akan datang, tapi entah kapan dan dimana, hanya Allah yang tahu. Karena itu, bersahabat dengan gempa sudah harus mulai difikirkan oleh ummat manusia. Karena memang, sebagaimana halnya hujan-angin-puting beliung dan gempa itu ada di bumi. Saya tidak tahu, apakah ada "bumi" lain yang tidak pernah dikunjungi oleh gempa. Kalau memang ada, rasanya ingin kita membelinya ............ tapi tidak tahu di toko mana dijual. Wallahu a'lam bisshawab.

(Simpati dan empati buat saudara-saudara kita di Jepang)

::: catatan dari seorang kawan yang kuliah di Jepang ......... "Pemerintah Jepang mulai memperketat regulasi bangunan publik. Padahal, regulasi ketat sudah diberlakukan selama ini.






Foto "kreasi" Gempa dan Tsunamy di Miyagi, Jepang, 11 Maret 2011. Sumber foto : kyodonews.com

Jumat, 11 Maret 2011

Manusiawinya Kekuasaan

Oleh : Muhammad Ilham

Berceritalah saya dahulu agak dua buah sahaja ... !. Di sebuah tempat di pedalaman Aceh, ketika DOM (Daerah Operasi Militer) masih diberlakukan. Ada sebuah gubuk terpencil yang dihuni satu keluarga. Mereka adalah sebuah keluarga yang mengungsi ke tengah hutan karena tidak sanggup menghadapi konflik bersenjata GAM-TNI. Kedamaian seakan-akan menjadi barang luks. Ketakutan selalu menghantui mereka. Malam itu mereka berkumpul, makan malam bersama, sambil berbincang-bercanda. Suasana terasa hangat-lepas penuh kekeluargaan. Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Suasana riang berubah menjadi muram. Dari raut mukanya, terlihat sang ayah sangat takut. Disuruhnya salah satu diantara anaknya untuk melihat dan membukakan pintu. Si anak kemudian pergi ke arah pintu, sebagaimana yang diminta oleh ayahnya, dengan raut muka yang juga takut. Sementara sang ayah dan anggota keluarga lainnya menanti dengan harap-harap cemas. Beberapa saat kemudian, si anak yang disuruh membukakan pintu tadi mendatangi ayahnya, masih dengan raut muka takut. Sang ayah bertanya, "siapa yang mengetuk pintu tadi?". Si anak menjawab, "Malaikat maut, yah. Ia ingin bertemu dengan ayah !". Spontan si ayah ini menjawab, "Alhamdulillah, saya kira tadi yang datang tentara".

Ketika melalui Gunung Thai bersama-sama dengan murid-muridnya, Kong-hu Chu melihat seorang perempuan sedang menangis dekat sebuah kuburan. Filosof yang ahli hikmah ini kemudian mendekati perempuan ini dan bertanya, mengapa dia menangis. Perempuan itu menjawab, "Dulu ayah suamiku disergap harimau disini hingga mati. Kemudian suamiku-pun diterkam harimau. Malah sekarang anak laki-lakiku juga mengalami hal yang serupa". Kong-hu Chu kemudian bertanya, "Kalau seperti itu, mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ?". Sambil terus menangis, si perempuan itu kemudian menjawab, "Karena disini tidak ada pemerintah yang menindas". Lalu Kong-hu Chu berkata kepada murid-muridnya, "Ingatlah, pemerintah yang menindas jaub lebih mengerikan dari pada harimau".

Sang ayah di pedalaman hutan belantara Aceh di atas, tidak takut dengan kedatangan Malaikat Maut dibandingkan dengan kedatangan-kunjungan seorang tentara (baca: TNI) kala itu. Demikian juga dengan peringatan Kong-hu Chu. Seekor harimau, paling-paling hanya bisa membunuh dengan satu-dua kali terkaman, tetapi pemerintah dan perangkatnya (baca: penguasa) yang dzolim dan tiranik, dapat membunuh manusia dengan penyiksaan terlebih dahulu yang jauh lebih menyakitkan dan mengerikan dari Malaikat Maut atau harimau sekalipun. Penguasa atawa kekuasaan sungguh menggiurkan. Penguasa atawa kekuasaan juga bisa melahirkan kemashlahatan manusia. Tapi kekuasaan yang tiranik - tanpa ada kontrol dan pembatasan - jauh lebih menakutkan dari Malaikat Maut dan Harimau. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi agar tidak menjadi tirani yang "menandingi" kekuasaan Tuhan. Karena itu, untuk membatasi kekuasaan sang penguasa, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara serius, diantaranya : Kekuasaan negara harus berorientasi kepada demokratisasi ekonomi. Artinya, sektor-sektor bidang ekonomi (baik skala hulu maupun hilir) harus memberikan manfaat bagi masyarakat secara umum. Kemudian, pemerintah atau penguasa yang sedang berkuasa tidak boleh memaksakan diri melanggengkan kekuasaannya, dengan dalih dan justifikasi apapun, apalagi melalui intimidasi. Tidak ada hukuman bagi pengkritik, baik yang disampaikan secara resmi atau tidak resmi, asal kritik tersebut argumentatif dan proporsional.

Selanjutnya, demokrasi harus menekankan perlindungan terhadap individu-individu dan minoritas-minoritas dari tirani. Kemudian, penguasa harus "mengajarkan/memperlihatkan" kepada masyarakat bahwa kekuasaan yang dipegangnya tersebut sebagai hal yang biasa, manusiawi dan hanya merupakan titipan dari Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan ini tercermin ketika kekuasaan tersebut lepas dari genggamannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Lech Walesa, seorang tukang listrik di Pelabuhan Gdanks Polandia. Walesa yang memimpin Partai Kaum Buruh (Partai Solidaritas) menggulung Partai Komunis Polandia, menjatuhkan Jenderal "the untouchable" Jaruzelski, sekitar tahun 1990. Walesa kemudian didaulat jadi Presiden Polandia. Buruh jadi Presiden, dalam demokrasi itu biasa dan bisa. Ketika tahu 1995, Walesa turun dari jabatan Presiden. Partainya kalah dalam Pemilu. Walesa kemudian kembali ke habitatnya, jadi buruh listrik di Gdanks. Tanpa malu dan tanpa beban apa-apa. Ketika ditanya tentang hal ini, Walesa menjawab, "saya masih muda untuk pensiun dan tidak punya cukup uang untuk hidup". Alangkah wajar dan bersahajanya jabatan dan kekuasaan kepresidenan dipandang dan diperlakukan di di Polandia. Presiden yang tadinya "di atas", ketika selesai, bisa (dan mau) alih profesi menjadi buruh yang "dianggap di bawah" (bila dibandingkan dengan Presiden). Walesa melenggang ketika turun dari kursi kekuasaan tanpa "isi dompet" bengkak-memelar, melainkan kembali ke "khittahnya" sebagai buruh listrik, tanpa post power syndrom. Kekuasaan pada prinsipnya adalah sesuatu yang manusiawi, karena itu perlakuan kita terhadap subjek dan objek kekuasaan juga harus manusiawi.

Sosok Historis Al-Ghazali

Oleh : Muhammad Ilham

Siapakah yang tak kenal dengan Al-Ghazali. Manusia jenial dengan jambang dan jenggot panjang, muka tirus dan mata sayu. Manusia besar yang seringkali dimasukkan orang sebagai manusia unggul yang lahir per-1000 tahun dalam siklus peradaban Islam. Pendapat dan hujjah-nya menjadi referensi paling diminati dan dianggap otoritatif oleh sebagian besar muslim dunia, hingga sekarang. Dari seorang penuntut filsafat rasional yang fanatik, menjadi tokoh mistikus yang (juga) fanatik. Tapi sayang, terkadang, kita tidak menempatkan Al-Ghazali sebagai sosok historis yang terikat waktu dan tempat. Al-Ghazali bukan Muhammad yang "terjamin" oleh Tuhan, sehingga pendapat Al-Ghazali membutuhkan analisis konteks, dan alangkah "kejamnya" kita, bila pendapat Al-Ghazali harus dianggap benar bila dibawakan pada masa sekarang. Tidak jelas benar, bila ia masih hidup sekarang, apakah pemikiran mistik dan sufistiknya tetap tegar bertahan. Mungkin tidak. Tapi lihatlah, Al-Ghazali tetap selalu hadir pada masa kini. Dalam berbagai kesempatan, baik perbincangan akademik hingga diskusi tingkat mushola-masjid, Al-Ghazali senantiasa dihadirkan.

Walau dia selalu hadir, tapi Al-Ghazali bukanlah sebuah mitos. Dan memang ia tidaklah harus dimitoskan, karena itu tadi, ia manusia biasa yang pemikirannya merupakan refleksi zaman dimana ia hidup, lahir dan hidup di "zaman laki-laki". Karena itulah, tidak mengherankan apabila Al-Ghazali dalam ajarannya sufistik dan mistikus-illahiyyah-nya tidak memperhitungkan dan membincangkan wanita. "Upayakanlah dalam setiap kali berwudhu', air mengenai seluruh wajah dan empat tempat tumbuh rambut alis, kumis ...." ujarnya. Instruksi ini oleh Al-Ghazali berulang dalam tata cara mandi bersama ..... "basahilah rambut, kepala dan jenggot-mu .. !". Satu hal, wanita tak berkumis dan berjenggot. Sebegitukah Al-Ghazali mengenyampingkan wanita ? Manusia jenial yang dibanggakan kaum muslimin seluruh dunia ini, hanya memandang yang berjenggot dan berkumis saja ?. Jawabannya tentu tidak. Al-Ghazali hidup pada masa patriarkhat yang sangat dominan. Mungkin saking dominannya, konsep matriarkhat sebagaimana yang dikatakan Hodgson (1998) tidak dikenal sama sekali pada masa ini. Dan karena Al-Ghazali itu manusia, maka pendapatnya yang "laki-laki sentris" tersebut tidaklah salah. Sebagaimana halnya Karl Marx yang terinspirasi terhadap struktur agama (Kristen) yang sengaja dibentuk oleh kaum "berduit" untuk mengeksploitasi kalangan mustadhaffin, dan karena itu ia yang juga punya jenggot dan jambang lebat ini "menghujat" Agama sebagai Candu. Seandainyalah, Marx hidup di Aceh - katakanlah demikian - pada masa perjuangan menentang kolonial Belanda, niscaya ia akan "menghujat" pula pendapatnya tentang Agama sebagai candu. Tapi Marx hidup pada masanya, sebagaimana halnya, Al-Ghazali juga berkembang pada zamannya. Dan sebagai orang yang belakangan menikmati buah pemikiran Al-Ghazali, kita terkadang tak mau memahami zaman dimana Al-Ghazali hidup. Niat kita mengagungkan Al-Ghazali, tapi terkadang justru membuat kita mengkerdilkannya. Dan, hal ini juga sering kita lakukan pada manusia-manusia besar lainnya dalam memahami pemikiran-pemikiran bernas mereka. Sayang Al-Ghazali tidak bisa melakukan pembelaan.

:::: (terinspirasi dari diskusi dengan seorang kawan yang mengatakan : "Al-Ghazali itu anti kesetaraan gender)

Minggu, 06 Maret 2011

Kolonel Moammar Qadhafi : Revolusioner yang digoyang Revolusi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Berawal dari Benghazi, 42 tahun silam. Kapten Muammar Qadhafi memimpin sejumlah tentara muda melakukan kudeta. Saat itu, Raja Idris I sedang berobat di Turki, sehingga perebutan kekuasaan berlangsung tanpa pertumpahan darah. Ketika itu, Qadhafi muda mendapat dukungan rakyat. "Kami pikir, revolusi Qadhafi demi kebebasan dan hak asasi manusia," kata Fathi Baja, warga Benghazi yang mendukung langkah Qadhafi saat itu. Ironisnya, 42 tahun kemudian, ia kembali ikut revolusi, tapi kali ini untuk "memecat" Qadhafi. "Setelah empat dekade, yang ada hanya kekacauan," ujarnya. "Yang ada kediktatoran yang brutal." Dipimpin Qadhafi, yang lahir dari keluarga Badui pada 1942, Libya menjadi begitu terkenal. Dia menyediakan surga bagi para penentang Barat. Di bawah kepemimpinannya, tak ada presiden ataupun perdana menteri. Dia juga tak mengangkat diri menjadi jenderal, tapi hanya kolonel. Qadhafi cuma menyebut diri sebagai pemimpin dan pengarah.

Pada 1970-an, ia mengeluarkan "Buku Hijau" yang menggabungkan sosialisme, kapitalisme, dan Islam untuk mengatur negerinya. Buku ini seolah menjadi konstitusi yang tak pernah ada selama kepemimpinannya. Dia juga mendeklarasikan sistem "jumhuriyah": kekuasaan ada di tangan rakyat. Implementasinya, kekuasaan berada di tangannya sendiri. Dengan cepat Qadhafi terlena. Dia tidak mau ada ancaman terhadap kepemimpinannya. Sebanyak 10-20 persen rakyat Libya dijadikan mata-mata di berbagai sektor kehidupan. Kebebasan yang diimpikan Fathi Baja dan teman-temannya lebih dari empat dekade silam tak pernah terwujud. Berbicara dengan orang asing pun bisa diganjar penjara selama tiga tahun. Tak ada kebebasan pers. Penghilangan orang pun kerap terjadi. Hubungan Libya dengan masyarakat internasional pun tak mulus. Pada 1980-an, Qadhafi menyediakan kamp latihan bagi kelompok-kelompok pemberontak di Afrika Barat. Sang pemimpin revolusi juga menggelontorkan dana bagi berbagai kelompok perjuangan di beberapa negara, seperti Angkatan Bersenjata Republik Irlandia, Brigade Merah Italia, dan Organisasi Pembebasan Palestina. Libya dituding mensponsori serangan terhadap Barat, termasuk pengeboman di Jerman dan pembajakan pesawat Pan Am 103 yang jatuh di Lockerbie, Skotlandia. Semua itu membuat Libya terisolasi. Beragam sanksi dari masyarakat internasional membuat negeri itu terpuruk. Belakangan Qadhafi melunak. Libya memberikan kompensasi besar kepada keluarga korban Lockerbie. Qadhafi berjanji tak akan mengembangkan senjata pemusnah massal. Amerika dan negara Barat lain kembali bermanis muka. Tapi kali ini ancaman datang dari rakyatnya sendiri. Kesabaran rakyat Libya sudah habis atas sikap otoriter Qadhafi. Kini giliran sang revolusioner yang digoyang revolusi.







Bersama Perdana Menteri Italia nan flamboyang, pemilik AC Milan - Silvio Berlusconi

Dengan Sharkozy - Presiden Perancis

Qadhafi dengan Vladimir Putin - si penguasa Kremlin

Sumber teks : Pd. Prabandari/BBC-AP. Foto : al-jazeera.com

Sabtu, 05 Maret 2011

Wanita dan Demonstrasi di Bahrain

Diedit ulang : Muhammad Ilham

Wanita selalu menjadi daya tarik tersendiri, dalam ranah apapun jua, termasuk ranah yang selama ini dianggap sebagai ranah "laki-laki" seperti politik. Ada yang menarik dari demonstrasi-demonstrasi yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara (Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain, Yaman dan Oman). Bila di Tunisia dan Mesir, haru biru demonstrasi seolah-olah diambil alih oleh kaum laki-laki, maka demonstrasi di Bahrain, wanita memiliki daya tarik yang signifikan, setidaknya demikian laporan cnn dan al-jazeera.










Foto : al-jazeera.com/cnn.com

Selasa, 01 Maret 2011

Timur Tengah dan "Tuhan Yang Menangis"

Oleh : Muhammad Ilham

“Bangsa Palestina dibiarkan sendiri”, demikian kata Tony Clifton, seorang jurnalis Newsweek beberapa tahun lalu. Rasanya keluhan ini tak pernah kehilangan konteks. Selalu aktual. Wartawan asal Australia ini, secara terus terang mengaku pro-Palestina. “Di Timur Tengah …… tak ada damai tanpa Mesir, tak ada perang tanpa Suriah, akan tetapi dalam kondisi apapun, Palestina tetap dalam posisi yang dirugikan”, demikian epilog Clifton dalam bukunya God Cried (Tuhan yang Menangis).

Buku ini sangat menarik, walaupun edisi awalnya dicetak tahun 1982 sehingga ada fakta-fakta yang terkesan kehilangan “konteks”. Akan tetapi, persoalan Palestina selalu aktual. Tangisan yang aktual. Penderitaan yang aktual. Ketidakadilan yang aktual. Dan sikap ummat Islam (baca: entitas Islam Timur Tengah) yang selalu aktual : “masa bodoh”. Anti Menachen Begin dan anti Sharon (dua pilar utama ideologi zionisme tahun 1980-an) sangat terasa sekali dalam buku ini. Menachen Begin (kala itu PM Israel), diakui dunia sebagai pahlawan kemanusiaan. Bersama-sama dengan Anwar Sadat (Presiden Mesir) dan Jimmy Carter (Presiden AS sebelum Reagan), dihadiahi Nobel Perdamaian berkat Perjanjian Camp David. Ariel Sharon (kala itu Menteri Pertahanan/Menteri Luar Negeri), tercatat memiliki tangan yang "berlumuran darah" karena pembantaian orang-orang Palestina di Kamp Pengungsian Sabra Shatilla. Sharon mengomandoi pembantaian ini. Nobel yang diterima Begin diawali oleh darah rakyat Palestina dan kegarangan "monster" yang bernama Sharon. Lalu Arafat dan rakyat Palestina dimana ? Mereka ditinggalkan. Dibiarkan sendiri dan menjadi proyek politik elit-elit politik negara Timur Tengah.

Lalu mengapa judul buku ini “Tuhan yang Menangis?”. Idenya datang dari sebuah lelucon Palestina. Konon, Ronald Reagan (Presiden AS era 1980-an), Leonid Ilyich Ulyanov Brezhnev (Presiden Uni Sovyet) dan Yasser Arafat (tokoh sentral PLO) dipanggil menghadap Tuhan. Reagan bertanya kepada Tuhan, kapan Presiden AS memerintah dunia ? Tuhan menjawab 200 tahun lagi. Dan Reagan-pun menangis. Brezhnev juga bertanya senada, kapan komunis menguasai dunia? Tuhan menjawab 250 tahun lagi. Sebagaimana halnya Reagan, Brezhnev juga menangis. Akhirnya Arafat bertanya, kapan bangsa Palestina memiliki tanah air yang merdeka dan kehidupan damai ? Kali ini, justru Tuhan yang menangis.

Indie Verloren, Rampsoed Geboren

Oleh : Muhammad Ilham

Ada satu kutipan menarik yang ditulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam novel-sejarahnya, Panggil Aku Kartini. Kutipan dalam bahasa Belanda - Indie verloren, rampsoed geboren. Ungkapan yang berkembang pada tahuan 1910-an ini bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia - "kehilangan Hindia Belanda (Indonesia sekarang), berarti bencana". Ungkapan yang bukan datang dari penduduk pribumi. Tak bisa disamakan dengan begitu berarti-nya tentara Amerika Serikat bagi Presiden Afghanistan dan Irak sekarang. Bila tentara Paman Sam ini "hengkang" dari negara penuh konflik tersebut, berarti bencana. Untuk konteks historis Hindia Belanda, ungkapan bencana ini dipahami bukan bencana bagi pribumi (Indonesia), tapi bagi negara Belanda itu sendiri. Bukan ber-apologi, tapi tak akan diperdebatkan lagi bahwa Belanda begitu amat beruntung memiliki Indonesia sebagai koloninya. Ketika masih hidup, Indonesianist terkenal asal Australia, Herbert Feith, pernah saya bawa mengisi studium general di Fakultas Ilmu Budaya-Adab IAIN Padang tahun 1997. Kala saya masih mahasiswa, ketika Herbert Feith melakukan penelitian di Sumatera Barat. Ada statement-nya bagi saya yang sangat menarik. Negara Belanda, kata pengarang buku klasik The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia ini, adalah negara "bawah air" yang tanpa menjajah Indonesia hanya akan menjadi negeri cilik yang dingin dan terpencil di Laut Utara. Belanda hanyalah negara lemh dalam abad kapal api (the age of steam). Negara ini muncul begitu saja tanpa memiliki angkatan perang yang mampu bersaing dengan rival-rival Eropa mereka. Tapi penguasaan mereka atas wilayah nusantara yang sesungguhnya merupakan buah dari strategi geo-politik Inggris Raya yang melihat kehadiran Belanda di Asia Tenggara untuk menahan ekspansi Perancis - rival utama Inggris di lautan. "Pembiaran" yang dilakukan oleh Inggris telah serta merta membuat Belanda menjadi negara koloni nomor empat terbesar di dunia pada masanya. Sesuatu prestasi yang dimulai dari "ketidaksengajaan" untuk sebuah negara cilik.

Hal ini pernah disinggung oleh Cristinne Dobbin dalam bukunya Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatra Tengah 1784-1847, bahwa Belanda memang dibiarkan oleh Inggris untuk menguasai wilayah nusantara (Indonesia), walau sebenarnya Inggris memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengambil alih semua itu. Dalam Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824, keberuntungan Belanda tersebut memang jelas. "Dalam berbagai hal tampaknya sangatlah menguntungkan jika Belanda memiliki kawasan nusantara itu. Jika tidak di tangan Belanda, ia akan jatuh ke dalam kekuasaan maritim lainnya, yang mungkin saja Perancis, kecuali kita kata pihak Inggris dalam perjanjianj itu, merebutnya untuk diri kita sendiri", tulis Dobbin. Perancis mungkin akan benar-benar berbahaya bagi India dan Australia yang merupakan koloni Inggris jika memiliki imperium di sebelah timur itu (maksudnya : nusantara). Tapi Belanda bagi Inggris masih terlalu lemah untuk menimbulkan bahaya pada mereka.

Inilah mungkin salah satu makna dari "bencana" yang bisa dapat kita tafsirkan dalam konteks historis. Namun pada sisi lain, terutama bila kita percaya pada "pameo" bahwa Belanda hadir di nusantara dengan lebih menekankan maksud-maksud dagangnya daripada penyebaran agama - dibandingkan dengan Portugis atau Spanyol - maka jawaban bencana tersebut haruslah dicari dalam bidang ekonomi. Sejak awal abad ke-17, kala VOC mendirikan basis teritorialnya di Batavia, sumber daya Indonesia ini telah ditransformasikan ke dalam aset-aset ekonomi Belanda. Dalam sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Angus Madison (cf. KITLV), berapa besdar pendapatan (income) Belanda di-dari Indonesia pada zaman baheula sangat-lah mencengangkan. Sejak tahun 1700 hingga 1921, rata-rata 90 % dari seluruh pendapatan yang berasal dari sumber daya alam Indonesia dikirim ke Belanda ... ya, 90 %. Angka ini kemudian mulai turun setelah diterapkannya kebijakan liberal di Belanda dimana sektor swasta memainkan perannya sejak tahun akhir abad ke 19, sekitar 60-65 % setiap tahunnya. Secara keseluruhan, "sumbangan" Indonesia pada masa-masa penjajahan yang panjang tersebut bagi ekonomi Belanda, rata-rata 89,4 %. Hanya 10,6 % saja orang Belanda yang ada di negara Belanda mampu "memberikan" kontribusi bagi pendapatan ekonomi negara mereka ini. Jadi taklah mengherankan apabila kehilangan Indonesia bagi Belanda pada masa dahulu, merupakan bencana, bahkan bencana luar biasa. Sekali lagi, bukan apologik, seandainyalah Inggris tidak membiarkan Belanda mengambil Indonesia, tentu Belanda tetap menjadi negara cilik yang tidak "sekaya" sekarang, dan mungkin Indonesia tidak "tersedot" potensi ekonomi-nya secara luar biasa. Buktinya, menurut Madison, selama India menjadi koloni Inggris, pendapatan ekonomi yang berasal dari India hanya memberikan sumbangan tidak sampai 20 % bagi ekonomi Inggris. Maklum, koloni Inggris banyak sekali, sedangkan Belanda, mungkin hanya Indonesia, kemudian belakangan Suriname yang tak kaya amat dari aspek potensi alam. Bak kata almarhum ayah saya .... "seadainyalah boleh memilih, lebih baik kita dijajah Inggris !". Halah !

Referensi : Dobbin (1988), Fachry Ali (1995), Pramoedya Ananta Toer (1999), Foto (holland.com)