Senin, 28 Februari 2011

Karya-Karya Sastra Tentang PRRI

Diedit/ditulis ulang : Muhammad Ilham

Soewardi Idris (1930-2004), yang bergabung dengan kaum pemberontak selama perang saudara, setelah turun dari hutan, menulis novel Dari Puncak Bukit Talang (1964). Soewardi juga menuangkan pengalamannya selama perang dalam dua antologi cerpen: Di Luar Dugaan (1964) dan Istri Seorang Sahabat (1964). Ketiganya diterbitkan NV Nusantara Padang. Memang, karya Soewardi Idris yang diterbitkan NV Nusantara banyak berbicara tentang PRRI. Bahkan secara lebih jauh Soewardi dalam karya-karyanya banyak menyoroti sisi buruk prajurit-prajurit PRRI, terutama pada masa-masa menjelang PRRI kalah. Ali Akbar Navis termasuk pengarang Sumatera Barat lainnya yang banyak menulis tentang periode ini. Novelnya Saraswati si Gadis dalam Sunyi (diterbitkan pertama kali pada tahun 1970), misalnya, adalah di antara sedikit novel yang secara khusus menyorot realitas perempuan selama perang saudara. Di sisi lain, novel ini juga dianggap telah dengan berani keluar dari pakem resmi historiografi saat itu yaitu dengan menolak untuk menyebut PRRI sebagai pemberontakan atau pembangkangan. Bahwa hampir tidak satu pun kata itu ditemukan dalam novel ini. Sementara, dalam genre lain, AA Navis juga menulis setidak-tidaknya 11 cerita pendek yang berbicara tentang PRRI. Cerpen-cerpen tersebut tersebar dalam beberapa kumpulan seperti Hujan Panas (1964), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Dua Kelamin Midin: Cerpen Kompas Pilihan 1970-1980, Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996, dan Karya Lengkap AA. Navis (2008). Tahun 1978, Wildan Yatim menebitkan novel Pergolakan, berlatar Sidempuan pada periode pemberontakan. Di samping menulis Pergolakan, Wildan Yatim juga menulis cerpen yang menyinggung tentang kehidupan pada periode pemberontakan PRRI, salah satunya Saat Orang Berterus Terang.

Makmur Hendrik menulis Tikam Samurai. Novel ini diterbitkan pertama kali oleh CV. Pena Emas Padang pada Febuari 1983 dengan harga awal per novelnya Rp. 1.000,- (seribu rupiah). Novel ini diterbitkan 12 jilid. Si Bungsu, tokoh utama dalam novel ini, dianggap mewakili bangkitnya superioritas ‘orang Minang’ paska pemberontakan yang tertindas dan diperhinakan. Tahun 2005, Ular Keempat karya Gus Tf Sakai diterbitkan penerbit Buku Kompas. PRRI bukanlah tema sentral dalam novel ini, sebab novel ini lebih banyak berbicara tentang kisruh haji tahun 1970. Peristiwa PRRI hanya disinggung sebagai ingatan tokoh utama terhadap masa lalu puaknya. Di tataran pemrosa yang datang lebih agak belakangan, ada Ragdi F Daye dalam Lelaki Kayu dan Perempuan Bawang juga menulis beberapa cerpen tentang peristiwa PRRI. Beberapa cerpen Zelfeni Wimra dalam Pengantin Subuh juga berlatar periode ini. Dalam genre sajak, Rusli Marzuki Saria yang pernah terlibat dalam pemberontakan, menulis banyak sajak tentang periode perang saudara ini. Dari beberapa kumpulan sajaknya yang telah diterbitkan, terdapat sajak-sajak yang berbicara tentang perang saudara.

Sumber : (Note FB : Deddy Arsa)

Sejarah Perempuan Masa PRRI dalam "Kacamata" Sastra

Diedit/Tulis Ulang : Muhammad Ilham

Perang menyisakan satu kesimpulan sederhana, bahwa untuk melumpuhkan mental musuh, perempuan mereka terlebih dahulu harus ‘dilumpuhkan’. Dalam kasus ini, untuk melumpuhkan mental kaum pemberontak, perempuan mereka harus dinistai. Dalam Saraswati si Gadis dalam Sunyi AA Navis mencatatkan bahwa hal itu benar adanya. Perempuan telah menjadi korban ‘perang laki-laki’. Tentara pusat menistai perempuan di hadapan keluarga laki-lakinya sendiri untuk meruntuhkan mental dan menyurutkan dukungan terhadap pasukan PRRI. Saraswati yang remaja, di antaranya, telah menjadi korban pelecehan dan penistaan. Rumah Angahnya dikepung dan digeledah tentara pusat. Saraswati juga turut ‘digeledah’ di hadapan Angah dan Busra. Seorang prajurit mencoba memperkosanya. “Tangannya diulurkan ke dadaku. Ketika aku mengelak dan hendak menyingkir, aku didesaknya ke dinding. Sehingga aku tergencet dan menjerit-jerit,” tulis Navis. Ketika Saraswati yang bisu dan tuli itu melawan, prajurit APRI itu berlaku serupa ini: “…pangkal bedil yang dihantamkan ke kepalaku, hingga aku terjerongkang. Aku berteriak-teriak dan memaki-maki. Kepalaku berdarah dan darahnya mengalir menutupi mataku.”

Ular Keempat Gus tf Sakai juga mencatat tentang perempuan yang diperkosa tentara pendudukan. Ibu dan kakak perempuan Janir, misalnya, diperkosa dan dibunuh tentara pusat karena dituduh mempunyai hubungan dengan kaum pemberontak. “Tentara APRI membunuh mamakmu yang dituduh tentara pusat itu mata-mata, membunuh ibumu yang karena mamakmu dibunuh jadi gelap mata, membunuh ayahmu yang dengan kalap ingin membalas kematian istrinya, membunuh kakak perempuanmu setelah berulang-ulang diperkosa,” tulis Gus tf Sakai. Perlakuan buruk terhadap perempuan di daerah pendudukan tidak saja dilakukan tentara pusat. Kaum pemberontak pun ada juga yang berlaku demikian kepada ‘orang kampungnya’ sendiri. Ini dilakukan baik karena keterpaksaan bathiniah terpisah dari istri selama bertahun-tahun atau karena moralitas kaum pemberontak yang terus memang merosot di tengah himpitan beratnya medan gerilya.

Di Luar Dugaan
Soewardi Idris mencatat, setelah dua tahun lebih bergerilya di hutan-hutan dan terdesak di mana-mana, diceritakan Soewardi, kehidupan kaum pemberontak semakin terjepit. Hal ini mengakibatkan perbuatan mereka semakin nekat. Soewardi mencatat bagaimana kaum pemberontak mendatarkan sebuah kampung menjadi abu karena tak mau membantu menyediakan perbekalan. Dalam pada itu, “Anak-anak gadisnya kami seret untuk memuaskan nafsu,” tulis Soewardi pula. Di Luar Dugaan sendiri berkisah tentang seorang prajurit PRRI bernama Hadi. Dia bersama pasukannya melakukan pencegatan terhadap sebuah bus yang penuh muatan di Lubuk Silasih. Bus itu dicegat, lalu penumpang dan muatannya diturunkan. Pasukan yang mencegat membariskan penumpang perempuan dan menelanjangi mereka. Bagi prajurit-prajurit itu, perempuan-perempuan itu merupakan “hasil pencegatan yang paling besar, yang membuat anggota gerombolan kami mabuk karena gembira,” tulis Soewardi. “Mereka ingin agar wanita-wanita itu dibagi-bagi seperti membagi nasi bungkus.” Tokoh Hadi sesungguhnya telah ingin memperkosa seorang di antaranya. Tapi Halimah, begitu perempuan itu memperkenalkan diri, ternyata adalah istri adiknya. Hasrat-birahinya yang telah sampai ke ubun-ubun surut seketika. AA Navis dalam cerita pendek Sang Guru Juki (1990), juga berkisah tentang perlakuan buruk yang diterima perempuan. Mayor Ancok yang PRRI membiarkan anak buahnya memperkosa perempuan di desa-desa yang mereka duduki. “Apa salahnya bila anak buahku hanya memakai, bukan merampas perempuan itu?” alasan sang Mayor ketika berdebat dengan Si Dali, anak buahnya yang moralis, dalam sebuah kesempatan. Sang Mayor menganggap prajurit yang memperkosa sebagai “itulah resiko perang!”

Sumber : (Note FB : Deddy Arsa)

Minggu, 27 Februari 2011

Ulama dan Kebangkitan Rakyat Bahrain

Oleh : Muhammad Ilham

Bila dibandingkan dan disandingkan kebangkitan rakyat Bahrain dalam bulan-bulan terakhir ini, terasa berbeda. Berbeda dengan negara yang menginspirasinya, Tunisia dan Mesir. Bila Tunisia dengan "Jasmine Revolution" serta Mesir, termasuk belakangan Libya dan Yaman, digerakkan oleh generasi muda serta elemen masyarakat civil lainnya, maka Bahrain bukan hanya itu saja, ada peran ulama. Ulama menjadi elemen signifikan dalam kebangkitan rakyat Bahrain dalam menetang "hegemoni" monarki. Bila kebangkitan rakyat Bahrain ini "berhasil", maka ini bisa dikategorikan sebagai revolusi rakyat yang digerakkan ulama, dengan tentunya tetap melihat sebagai bahagian dari efek domino yang "menggetarkan" dari Revolusi Tunisia dan Mesir.



Hasan Mushaima-pun pulang ke Bahrain ? Siapa Mushaima ? Pendiri Parti al Wefaq (partai Oposisi Syiah).
Dua kali di penjara Raja Khalifa.



Dua kekuatan utama Bahrain, Sunni dan Syi'ah




Ayatullah Sheikh Isa Qasim, ulama paling dihormati di Bahrain.

Sumber foto : abna.ir & al-jazeera.com

Jumat, 25 Februari 2011

"Revolusi Tak Bisa di Foto Copy, Ia Menjalar" : Tunisia, Mesir, Iran, Libya, Bahrain dan Iran

Oleh : Muhammad Ilham

Saya kutiplah penggalan "Catatan Pinggir"nya Goenawan Mohammad. Bagi GM, pada prinsipnya revolusi tak bisa difotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Mungkin ini kesimpulan sejak revolusi pertama dalam sejarah modern. Tapi ia bisa menjalar. Di abad ke-20, gema revolusi yang awalnya bermula dari revolusi Perancis dan Amerika tersebut, menjalar ke beberapa belahan dunia yang kebetulan terjajah. Gema egalite, liberte dan fraternite yang lahir dari "rahim revolusi Perancis" tersebut menjalar ke Asia, Afrika, Amerika Latin. Kini, di awal abad ke-21, tampak ia berjangkit dari Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, Libya. Mengapa? Menulis tentang gemuruh yang terjadi di Alun-alun Tahrir, Kairo, bulan ini, Slavojek menyimpulkan : pemberontakan ini universal. Seperti Lafayette tergerak Revolusi Amerika, "Semua kita di seluruh dunia dengan segera tak mustahil menyamakan diri dengannya." Yang menarik, ada kekontras an pemberontakan di Mesir dengan "revolusi Khomeini" di Iran. Di sana, kaum kiri harus "menyelundupkan pesan mereka ke dalam kerangka yang paling kuat, yakni Islam." Sebaliknya, di Alun-alun Tahrir, "kerangka itu jelas merupakan satu seruan sekuler yang universal untuk kebebasan dan keadilan." Justru Ikhwanul Muslimin, "menggunakan bahasa tuntutan sekuler." Kata "sekuler" di sini tampaknya sama dengan "tak didominasi pandangan agama apa pun" dan sebab itu "universal", menyentuh siapa saja, di mana saja. Tapi mampukah sebuah revolusi berhasil tanpa seruan yang universal? Di Iran, sebenarnya kerangka Islam itu juga punya sifat-sifat universal. Kita menemukannya dalam pemikiran Ali Shariati dan Mehdi Bazargan. Yang tragis ialah bahwa bersama tenggelamnya peran pemikiran Ali Shariati dan tersisihnya orang seperti Bazargan, kian terputus pula pertalian peninggalan Khomeini dengan yang universal: "Islam" menjadi hanya "kami", tak lagi "kita".

Tapi apa boleh buat: revolusi bukan sekadar penjelmaan "ide yang abadi" tentang kemerdekaan dan keadilan. Revolusi meletus dari kehidupan yang tak terkait dengan langit. "Hak untuk mempunyai hak" tak diberikan satu kekuasaan yang ada dari luar sejarah. Hak itu ditegakkan atau direbut mereka yang merasa terjepit. Itu sebabnya revolusi tak bisa dipesan. Seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Ia buah yang panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Tapi selalu jadi cacat dalam tambo manusia: dalam proses itu, pergeseran dari "kita" ke "kami" tak terelakkan. Revolusi harus mengukuhkan batas antara "kami" dan "mereka"-dan di situ, "kita" ditiadakan. Dengan kata lain, ada pembungkaman yang terjadi, ketika yang universal-kemerdekaan, keadilan, harga diri-dilembagakan dalam program partai, ideologi negara, atau hukum. Kaum revolusioner akan harus menentukan siapa yang masuk kemerdekaan, keadilan, dan harga diri itu dan siapa yang harus dikeluarkan.

Ibarat "batu domino", kejatuhan Presiden Ben Ali dari Tunisia terus menjalar ke beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Husni Mubarak mendapat giliran kedua sebagai imbas dari revolusi rayat Mesir yang terinspirasi dari revolusi "melati"nya Tunisia. Dua revolusi ini memperteguh negara-negara lain di kawasan ini untuk menggulingkan rezim yang memerintah negara mereka yang dikenal diktator dan memerintah dengan "un-limited". Bahrain yang kesultanan itu mendapat giliran berikutnya. Yaman pun tak ketinggalan. Libya juga bergolak bahkan "ceritanya" semakin menarik karena Qaddafi menggunakan militer sebagai ujung tombak-nya agar tak bernasib seperti Ben Ali dan Husni Mubarak. Irak tak masuk "pesakitan" dalam siklus pergolakan ini. Beberapa media Barat justru melihat Iran yang akan merasakan efek domino Tunisia dan Mesir ini, termasuk bila Bahrain, Libya serta Yaman memiliki "garis sejarah" yang sama dengan Tunisia dan Mesir, maka Iran dibawah rezim Mullah dipandang akan "jatuh". Setidaknya demikian yang sering dipublish beberapa media "barat". 14 Februari lalu, media Barat melaporkan rakyat Iran turut bangkit - berdemonstrasi - untuk menentang rezim Mullah Republik Islam Iran. Al-Jazeera turut melaporkan antara lain 20 ribu demonstran membanjiri jalan-jalan raya di Teheran. Mak Cik Hillary Clinton pun sempat "girang" bahwa demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Iran. Benarkah ? Tapi lihatlah foto-foto dibawah ini yang di-upload bulan Februari 20011 ini - bandingkan satu "tempat" dengan "tempat" lainnya :


Revolusi "Melati" Tunisia .... dan Ben Ali "lari" ke Jeddah dan kemudian stroke (Januari 2011)

Mesir ......... Husni Mubarak akhirnya "tak kuase !" (Februari 2011)


Rakyat Yaman memperlihatkan "tinju" mereka pada Presiden Abdullah (Februari 2011)

Gejolak rakyat Bahrain (Februari 2011)

Lalu dalam tanggal 14 Februari 2011 ini, terjadi demonstrasi dalam "bentuk lain" di Iran .... bila tak percaya, lihat foto dibawah ini :











Adakah demonstrasi di Iran ini sama dengan demonstrasi di Tunisia, Mesir, Bahrain, Libya dan Yaman ?

Referensi : Goenawan Mohammad (2/2011) Sumber foto : www.al-jazeera.com/mehr.com

Kamis, 24 Februari 2011

Nawawi Gelar Soetan Ma'moer : "Feminis Laki-Laki Minangkabau"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Jika kita menelusuri sejarah pendidikan ala Eropa di Minangkabau, tentu kita akan tersua dengan nama Nawawi Soetan Ma’moer. Beliau adalah guru pribumi yang paling menonjol di Kweekschool (Sekolah Radja) Fort de Kock. Beliau sering pula dipanggil Engkoe Nawawi. Guru atau Angkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer dilahirkan di Padang Panjang tahun 1859 dari pasangan Malim Maradjo, seorang menteri cacar, asal Koto Gadang dengan istrinya yang berasal dari Tiku. Awalnya ia masuk sekolah rendah (2 tahun) di bawah asuhan keras ayah tirinya, Soetan Radjo Ameh. Tahun 1873 ia tamat dari sekolah rendah dan langsung melanjutkan studinya ke Sekolah Raja (Kweekschool) di Bukittinggi tahun 1873. Waktu itu Pemerintah berencana untuk mengirim Nawawi melanjutkan studinya ke Belanda, tapi entah kenapa tiba-tiba rencana itu tidak jadi (lihat: Java Bode, 20 November 1928). Tahun 1877 Nawawi lulus dan berhasil menggondol ijazah guru. Kemudian beliau diangkat menjadi guru sekolah rendah dengan gaji 20 gulden (f 20) sebulan. Pada tahun 1879 beliau diangkat menjadi guru bahasa Melayu di almamaternya dengan gaji f 75 sebulan. Pada tahun 1883 Nawawi lulus ujian menjadi guru pembantu (hulponderwijzer). Dengan ijazah hulpacte, kemudian beliau diangkat menjadi guru pembantu (hulponderwijzer) tingkat satu di almamaternya, suatu posisi yang cukup tinggi bagi orang pribumi dalam struktur pendidikan sekuler di Hindia Belanda zaman itu. Gajinya naik menjadi f 150 sampai f 400 sebulan.

Nawawi menulis beberapa buku dalam bahasa Melayu dengan J.L.van der Toorn, salah seorang kepala sekolah Kweekschool Bukittinggi dan T. Kramer, salah seorang kolega Belandanya yang lain. Nawawi juga pernah menjadi anggota (lid) Komisi Sekolah Belanda di Sumatra Barat dan anggota Dewan Kotapraja (Gemeenteraad) Bukittinggi. Karena dedikasinya yang tinggi di bidang pendidikan, Nawawi menerima penghargaan bintang perak dari Departemen Pendidikan dan Ibadat (Departement van Onderwijs en Eëredienst), bintang emas dari Gubernur Jendral Hindia Belanda, dan bintang Oranje Nassau dari Ratu Belanda, Wilhelmina. Pada tahun 1907 Departemen Pendidikan dan Ibadat memberi kesempatan kepada Nawawi untuk mengunjungi Pulau Jawa untuk menambah wawasan. Ia mengunjungi Candi Borobudur dan Mendut. Nawawi adalah salah seorang feminis laki-laki dari Minangkabau. Beliaulah ayah Minangkabau pertama yang menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah Eropa. Di akhir abad ke-19 umumnya gadis-gadis Minang dipingit oleh orang tua dan keluarga matrilinealnya di rumah, untuk kemudian dikawinkan dalam usia muda. Nawawi melangggar tabu: anak perempuannya, Syarifah (anak ke-4, putri ke-3), disekolahkan di E.L.S. (De Europeesche Lagere School di Bukittinggi, lalu diteruskan ke Kweekschool Bukittinggi tahun 1907. Kemudian Nawawi mengirim Syarifah ke sekolah Kristen Salemba School di Batavia. Nawawi meninggal pada hari Minggu, 11 November 1928, di Bukittinggi, setelah menderita sakit tidak begitu lama. ”Semua pemuka setempat, polisi, pandu, murid-muridnya dan banyak orang lain datang melawat [melayat]” begitu kenang cucunya Mien Soedarpo (1994:24). Nawawi Soetan Ma’moer adalah seberkas jejak dalam sejarah transfer ilmu pengetahuan Barat kepada masyarakat Minangkabau. Sebagaimana suratan tangan kaum guru pada umumnya, jasa-jasa Engkoe Nawawi mungkin tak begitu banyak disebut dalam hingar bingar wacana politik : jasa seorang guru lebih banyak tercatat dalam hati murid-muridnya.

Sumber :
(c) Suryadi - diketik ulang dari Singgalang/Minggu-13 Februari 2011

Sabtu, 19 Februari 2011

Perempuan Perkasa dalam "Dekapan" Sejarah : Rohana Koedoes & Keumala Hayati

Oleh : Muhammad Ilham

Mungkin artikel ini terlambat saya posting. Sehingga "substansi" tulisan kehilangan momentum. Tapi bak kata "secondan-hidup" eksistensialist Jean-Paul Sartre, Simione de Beavoir, "tulisan tak pernah kehilangan momentum, momentum-lah terkadang yang tidak pernah ditulis". Ribet, tapi pas. Demikian halnya dengan artikel ini, bercerita tentang perempuan. Harusnya bukan bulan ini, walau bulan ini adalah bulan apresiasi terhadap IBU. Sementara, saya ingin bercerita tentang PEREMPUAN ...... sang EMPU yang tegar dalam sejarah. Tapi sayang, banyak para Empu ini yang tidak terekam dengan baik dalam layar sejarah. Ah ..... betul juga ungkapan Massima Haina, wanita pemikir Tunisia, "layar sejarah hanya merekam laki-laki". Indonesia mengenal tokoh-tokoh "Empu" tegar, namun tak mendapat porsi memadai dalam catatan sejarah. Sebutlah, Roehana Koedoes. Ia tak selalu muncul di layar radar sejarah. Atau, kalaupun ada yang mencatat, keberadaan catatannya sangat terbatas, atau terselip entah di mana.

Siapa Roehana Koeddoes? Dalam pengantar bukunya yang berjudul Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat (2001), Fitriyanti menuliskan demikian: "Di awal abad ke-19, di mana sekitar hampir 99 persen perempuan di Tanah Melayu masih buta huruf, hidup di tengah ajaran agama dan adat istiadat dengan penafsiran yang sempit dan cenderung picik, serba mengekang kemajuan perempuan, terpuruk dalam kebodohan, Roehana kecil sudah mengajari teman-temannya bermain sambil membaca di usia 8 tahun pada tahun 1892." Lalu: "Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan, mengalami berbagai benturan sosial dengan pemuka adat, agama, dan masyarakat umum, Roehana dipuji dan dikagumi tetapi sekaligus difitnah dan dicaci-maki sehingga terpaksa meninggalkan kampung halamannya." Roehana, seperti disebutkan dalam subjudul buku yang sama tapi edisi yang diterbitkan empat tahun kemudian, adalah perempuan yang pernah menjadi wartawan pada masa hidupnya. Berdasarkan catatan yang tersedia, tak ada perempuan lain yang menjalani profesi yang sama sebelum itu, atau pada masa yang sama; dengan kata lain, dialah perempuan pertama yang berprofesi sebagai wartawan. Dia tak pernah bersekolah formal. Tapi dia mengerjakan sesuatu yang tak remeh bagi kaumnya, dan karena itu juga bagi bangsanya, walau luput masuk ke dalam buku sejarah dengan gegap gempita.

Perempuan lain bisa disebut juga, sebagai contoh: Keumala Hayati atau Malahayati. Pada masa kekuasaan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil di abad 16, persisnya selama 17 tahun antara 1589 dan 1604, Malahayati adalah panglima yang memimpin armada kerajaan. Pasukannya terdiri atas sekurang-sekurangnya seribu Inong Balee, pasukan yang terdiri atas para janda prajurit. Jabatan itu bukanlah hiasan belaka. Sebuah laporan dari masa itu menyebutkan armada di bawah pimpinan Malahayati berkekuatan 100 kapal perang bersenjata meriam. Sebagian dari kapal-kapal itu mampu mengangkut 400-500 orang. Ini termasuk armada yang terkuat di Asia Tenggara kala itu. Malahayati-lah, atas perintah Sultan, yang menyerbu armada kapal dagang bersenjata dari Belanda pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada 1599. Sultan Aceh merasa kepercayaannya dikhianati oleh dua bersaudara ini, yang memanipulasi perdagangan, mengacau, dan menghasut.

Dua perempuan, dua macam perjuangan di medan laga, apa pun rupa medan laga itu, tidak selalu berupa perang. Tapi sesungguhnya mereka tak sendiri. Masih ada sejumlah perempuan lain, barangkali banyak, seperti mereka. Belum lagi yang masih absen dari berbagai wujud catatan historis dan hanya diketahui (atau malah hanya diingat) di lingkungan lokal. Dengan mereka itu, pastilah beragam pula rupa pertarungannya. Perjuangan, pergulatan, atau pertarungan mereka itu sesungguhnya sulit untuk diabaikan, atau dianggap biasa saja. Roehana memimpin Oetoesan Melajoe, koran khusus perempuan di Padang. Melalui tulisan-tulisan di koran yang terbit pertama kali pada 10 Juli 1912 ini, beraneka macam, kebanyakan menekankan pentingnya perempuan menempuh pendidikan, Roehana berusaha memberikan pencerahan bagi kaumnya. Dan dia melakukannya tatkala belum ada seorang pun perempuan yang mendahuluinya. Tetapi kepeloporan seperti itu, yang bisa terjadi di mana saja, selalu menghadapi halangan yang kukuh. Secara tak langsung, apa yang dia lakukan telah menggoyahkan peraturan adat yang sudah mapan. Apalagi, "Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Kotogadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan," katanya. Yang menjadikan Roehana terlihat menonjol adalah keteguhan hatinya betapapun tekanan yang mesti dihadapi luar biasa. Roehana sebenarnya beruntung. Juga Malahayati. Atau perempuan-perempuan lain yang telah mendapatkan tempat dalam sejarah, sekalipun mungkin belum sepadan dengan apa yang mereka lakukan; sebagian dari mereka pun bisa dibaca riwayatnya dalam buku. Walau begitu, mesti diakui bahwa pengetahuan mengenai mereka belum sepenuhnya tersiar luas. Dan kenyataannya, setiap kali orang bicara mengenai perempuan dan kepeloporan atau kepahlawanan, nama yang selalu disebut ya itu-itu juga.

Demi menyebarkan pengetahuan yang telah ada itu diperlukan lebih banyak lagi tindakan. Pada saat yang sama, usaha yang lebih keras juga merupakan keniscayaan demi memberi "kesempatan sejarah" bagi mereka yang kebetulan namanya belum terdengar, atau malah hanya terdengar dan belum ada satu dokumentasi pun yang merekam perjuangan mereka. Kita memerlukan lebih banyak warga di "kampung para perempuan perkasa" demi menunjukkan kenyataan penting: bahwa di negeri ini, di masa lalu yang gelap pun, ada perempuan yang telah sadar akan hak-haknya dan karenanya, dengan melawan segenap resistensi tradisi, adat, dan agama, berusaha memberikan penerangan bagi kaumnya. Kenyataan itu seharusnya bisa menjadi dasar bagi tegaknya kesempatan yang lebih baik yang lebih luas bagi perempuan di masa modern ini.

Foto : Rohana Koedoes dan suaminya, Abdoel Koedoes/Kemala Hayati (Sumber : google.picture.com)

Izinkan Saya (Sekedar) Mengagumi Ahmadinedjad


Kenalkan BRO ... nama saya Mahmoud Ahmadinedjad


Azam al-Sadat Farahi Ahmadinedjat, istri Ahmadinedjad.
Baginya, Ahmadinedjad adalah "anugerah terindah dari Tuhan"


Sambutan rakyat Turki pada Ahmadinedjad


Histeria rakyat Libanon pada Ahmadinedjad

Sambutan rakyat Nicaragua

Pakistan


Pengagum Ahmadinedjad yang berdesak-desakan kala kunjungan Ahmadinedjad ke Jakarta

Para Amoy Shanghai histeris pada Ahmadinedjad

Kuala Lumpur




Al-Qur'an di tangan



Orang Ibrani memiliki peribahasa yang berbunyi : התפוח לא נופל רחוק מהעץ. Orang Perancis akan mengatakan tel père tel fils, telle mère, telle fille. Sementara orang Spanyol akan mengucapkan de tal padre tal hijo. Dan orang Minangkabau akan mengatakan : "aia hujan turun ka tirisan. Mehdi, anak sulung Mahmoud Ahmadinedjad kelihatannya mengenakan jaket 5 dollar yang sama seperti bapaknya. Di belakang beliau, anak kedua Presiden Ahmadinejad, Ali-Reza. Mereka tidak pernah mau mendompleng nama besar ayah mereka dan memanfaatkan posisi orang tua mereka. Bagaimana dengan sambutan rakyat negara lain terhadap Presiden yang pernah dimiliki Indonesia ? Lalu bagaimana dengan anak-anak mereka.
.......... Sudah selayaknya kita memanfaatkan potensi idola dari in-group.