Sabtu, 30 Oktober 2010

Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan : "Dari Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Michael Foucault hingga Syekh Muhyiddin Al-Arabi

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Dimanakah posisi kita saat ini? Apakah pencari pengetahuan ataukah pemilik otoritas pengetahuan?

Penguasaan pengetahuan kadang membawa kita terjebak dalam Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan itu sendiri. Tanpa kita sadari sedang terjebak dalam jebakan itu. Semua itu bersumber dari dialektika pemikiran yang tidak dilandasi nilai, etika, dan yang lebih penting adalah prinsip keterbukaan. Pada akhirnya ruang diskusi berubah menjadi ruang debat yang saling menghakimi, saling menjatuhkan serta saling menyalahkan. Lebih ironis lagi adalah ada yang sudah mengklaim kedaulatan Tuhan dengan bertindak sebagai hakim untuk menjatuhkan vonis SESAT dan KAFIR…!!!

"Pengetahuan adalah kuasa" diterjemahkan dari istilah paling populer itu .. knowledge is power (Francis Bacon). Siapa yang memiliki pengetahuan, maka ia memiliki kuasa. Dari itu, manusia berusaha untuk mendapatkan pengetahuan, karena dengannya ia akan dapat meraih kuasa. Sementara mereka yang berkuasa pula akan menghalangi pesaingnya untuk memiliki pengetahuan. Karena pengetahuan telah menjelma sebagai Ilmu dan Seni mempengaruhi orang. Bagi pihak yang menghalang sesuatu pengetahuan untuk diketahui umum, alasannya antara ialah untuk memelihara ketenteraman. Ini karena ada kalanya pengetahuan itu mendatangkan bahaya. Akhirnya apa yang dikatakan baik atau buruk adalah penilaian subjektif. Dalam hal ini knowledge is power, berkaitlah pula dengan ignorance is bliss. Maknanya ialah kejahatan itu ketenteraman. Dengan tidak mengetahui sesuatu perkara, mungkin ia lebih mendatangkan ketenteraman. Sehingga kritik dan protes bisa dieliminir dari pihak-pihak yang berbeda pandangan (oposisi).

“Keangkuhan”, “merasa paling benar”, dan “klaim universalitas”, adalah kata-kata yang pas untuk kita alamatkan kepada wacana, pendapat, dan analisis yang dipertontonkan secara refresif dalam nalar subyektif. Apa yang sering disampaikan dalam perdebatan pengetahuan dalam berbagai literatur dari wacana adalah sebuah bentuk “kolonialisme” wacana, hegemonisasi kultural, dan “pemaksaan” pendapat yang menganggap “yang lain” (otherness) sebagai “Salah dan Sesat”. Kadang kala Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan dipertontonkan dalam wajah kebenaran umum (Mayoritas), sehingga yang sedikit (Minoritas) dianggap sebagai sempalan atau kaum tersesat. Inilah logika binarian dalam nalar atau tesis kaum Aristotelian. Sebuah wacana, penafsiran dan pengetahuan dianggap sah dan benar jika telah mampu menundukkan atau mengalahkan wacana atau penafsiran lainnya. Kadang yang sering kali terjadi adalah jika satu kalangan yang berada pada posisi tidak menguntungkan (tidak didukung oleh kecerdasan, wawasan dan penguasaan pengetahuan yang memadai) sering memindahkan objek dialektika atau serangan bukan lagi terhadap wacana yang diperdebatkan namun terhadap individual atau kepribadian (ad hominem). Persoalannya bahwa pengetahuan itu sesungguhnya objektif dan independen. Ia menjadi subjektif karena telah masuk dalam nalar ruang dan waktu (nalar sejarah). Faktanya Pengetahuan tidak dapat dinilai BENAR atau SALAH karena pertimbangan logika (penafsiran) apalagi voting (mayoritas vs minoritas). Pengetahuan akan menemukan kebenarannya berdasarkan lokalitas ruang dan waktu sehingga tidak bisa dipaksakan. Seorang Muhammad SAW. mampu membalikkan logika pengetahuan masyarakat quraisy dalam waktu cepat itu karena pendekatan komunikasi, momentum dan situasi yang memungkinkan beliau mampu melakukan hal tersebut. Demikian halnya seorang Galileo dan Copernicus yang mampu membalikkan kebenaran mayoritas versi gereja dan menjadi pandangan baru meskipun butuh waktu yang lama untuk diterima sebagai sebuah kebenaran baru.

Foucault, dalam teori kekuasaan memberi penjelasan bahwa, kekuasaan selalu terartikulasikan pada ilmu pengetahuan dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Sebagai contoh cacat kuasa ilmu pengetahuan adalah ketika berabad lalu gereja yang mengatakan bahwa bumi datar, memiliki kuasa dan pengetahuan. Lantas mereka membantai orang-orang yang mengatakan bumi itu bundar seperti bola. Padahal kebenarannya? Kita bisa sampai pada pemahaman bahwa Pengetahuan selalu bersangkutan dengan kekuasaan. Pertautan yang tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan. Coba kita pikirkan, berbekal pengetahuan psikologi, seseorang psikolog mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain. Demikian juga dengan seorang dokter. Dengan bekal pengetahuan kedokteran ia memiliki kuasa untuk memvonis status kejiwaan dan kesehatan seseorang. Begitu pula yang terjadi dengan dengan seorang ahli teologi, fiqih dan kalam. Dengan bekal pengetahuan fiqih dan kalam ia telah menjadikan dirinya sebagai hakim otoritatif untuk masalah-masalah keagamaan. Ada bagusnya jika itikad yang melandasi otoritas itu baik, namun bagaimana jika disusupi oleh sentimen dan i'tikad tidak baik?

Pembentukan wacana merupakan media perjumpaan sekaligus kontestasi antara pihak yang dominan dan pihak yang resisten. Pihak dominan membangun wacana dan memproduksi makna secara hegemonik. Wacana hegemonik tidak selalu bersifat destruktif-negatif, bisa jadi digerakkan oleh kepentingan kemaslahatan banyak orang. Jadi makna-makna tersebut tidak selalu diperuntukkan bagi kepentingan pihak dominan. Setiap kelompok berkontestasi mendaulat dirinya menjadi pemilik otoritas untuk menafsirkan, mendefinisikan, dan menyisipkan makna. Ironisnya, seringkali produksi makna terkait dengan kepentingan kelompok yang beroperasi di baliknya. Atas dasar itu, makna adalah hasil produksi yang dikontestasikan. Subjektivitas “bermain” dalam proses konstruksinya. Dalam rekonstruksi wacana yang hegemonik dengan kuasa pengetahuannya sering melahirkan tragedi-tragedi besar. Misalnya eksekusi Socrates oleh penguasa Athena. Juga eksekusi Galileo oleh pihak gereja karena pemahamannya yang berbeda dengan otoritas gereja. Demikian halnya eksekusi Syaikh Manshur al Hallaj serta Syaikh Siti Jenar dalam pergolakan pemikiran Islam oleh pihak penguasa.

Hegemoni wacana dan kuasa pengetahuan mulai dipraktekan dalam tradisi islam ketika terjadi benturan pemikiran antara kelompok Mu’tazillah (mutakallimun) dengan kalangan asy’arian terkait penafsiran teologi Islam. Puncak dari benturan pemikiran ini adalah dialektika pemikiran antara dua tokoh utama berbeda jaman yakni Imam Al-Ghazali yang menyerang kalangan filosof muslim dengan buku Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para Filosof) dan kemudian dibalas dengan buku Tahafut Al Tahafut (Kerancuan didalam Kerancuan) oleh Ibnu Rushd. Oleh para pengikut Al-Ghazali (kelompok mayoritas yang didukung pihak penguasa), Ibnu Rushd malah dicap sesat, dimaki, dituduh dan difitnah dengan berbagai dakwaan. Oleh orang-orang ini Ibnu Rushd dituduh sebagai pengacau keimanan dengan menyebarkan ilmu-ilmu Yunani. Rakyat Cordoba yang termakan fitnah kelompok ini mengejek dan menghina Ibnu Rushd dengan berbagai kalimat buruk dan tuduhan yang tidak berdasar.

Pernah satu kali, ketika Ibnu Rushd melaksanakan shalat Ashar bersama sahabatnya, dia diejek dan diusir dari masjid Cordoba. Masyarakat membakar karya-karyanya. Dan pada puncaknya, Khalifah al-Mansur yang menjadi penguasa di Cordoba waktu itu, sepakat dengan tuduhan masyarakat ini dan kemudian menghukum Ibnu Rushd. Sebagai hukuman atas “kesalahannya” Khalifah al-Mansur memerintahkan Ibnu Rushd untuk dibuang ke perkampungan Yahudi “Lucena”. Memang setahun setelah hukuman itu dikeluarkan, para ulama mengadakan protes agar Ibnu Rushd dibebaskan karena diantara kalangan ulama itu banyak yang meyakini kalau Ibnu Rushd tidak bersalah. Tekanan dari ulama yang pro Ibnu Rushd tersebut membuat Khalifah al-Mansur mengeluarkan surat pengampunan terhadap Ibnu Rushd. Klimaks dari pertarungan ini memang menggusur peran para pengikut Ibnu Rushd dari perkembangan Ilmu Pengetahuan peradaban Islam dalam periode waktu berikutnya. Namun efeknya sungguh dahsyat. Pelarian intelektual muslim akibat intimidasi penguasa Islam ke negeri-negeri eropa seperti Italia dan Francis melahirkan masa pencerahan (enlighment) atau yang kita kenal sebagai Renaisance Eropa sebagai tonggak awal berkembangnya peradaban Eropa. sebaliknya terjadi kemunduran dalam peradaban Islam. Hegemoni wacana dan kuasa pengetahuan makin menemukan maknanya di era pemikiran modern ketika rezim NAZI dibawah tangan Joseph Gobels menggunakan wacana dan pengetahuan sebagai alat “propaganda” dan “Agitasi”. Dan untuk pertama kalinya Hegemoni Wacana dan Kuasa Pengetahuan benar-benar dipraktekan dalam perang modern dengan metode yang sistematis dan terstruktur. So, haruskah kita terjebak dalam kasus-kasus seperti diatas?

Terakhir beta ingin sampaikan kisah tentang Syaikh Agung Muhyiddin Ibnu Arabi. Ja'far ibnu Yahya dari Lisabon memutuskan menjumpai Guru Agung Sufi untuk belajar pengetahuan. Ia-pun melakukan perjalanan dari Mekkah sebagaimana pemuda lainnya. Di sana ia bertemu dengan orang asing misterius, seorang laki-laki mengenakan jubah hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia berbicara apa pun: "Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat masyhur. Tetapi engkau mencarinya di Timur ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal yang tidak benar dalam pencarianmu." Ia mengirim Ja'far kembali ke Andalusia, untuk menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Hatim-Tai. "Dia itulah Guru Agung". Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia mencarinya, Ja'far menemukan keluarga Tai di Murcia dan bertanya kepada putranya. Ja'far tahu bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di Lisabon ketika dirinya berangkat pergi. Akhirnya ia menemukannya di Seville. "Di sana," ujar seorang pendeta, "Itulah Muhyiddin." Ia menunjuk kepada seorang pelajar muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi (Hadis), tampak tergesa-gesa keluar dari ruang kuliah. Ja'far sangat bingung, tetapi dihentikannya pemuda tersebut dan bertanya, "Siapakah Guru Agung?" "Aku membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan itu," jawabnya. "Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai?" tanya Ja'far sedikit meremehkan. "Benar.""Jika demikian aku tidak membutuhkanmu." Tiga puluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat Ja'far memasuki ruang kuliah Syeikh Agung, Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai. Muhyiddin melihatnya ketika masuk, dan berkata: "Sekarang aku siap menjawab pertanyaanmu dulu, sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan itu. Tigapuluh tahun lalu Ja'far, engkau tidak membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak membutuhkan diriku? Orang Berjubah Hijau mengatakan ada sesuatu yang salah dalam pencarianmu. Yaitu WAKTU dan TEMPAT." Ja'far ibnu Yahya lantas menjadi salah seorang murid al-Arabi yang terkemuka.

:: dari diskusi facebook (c) A. Mony. Foto (Muhyiddin Al-Arabi/google.com). Referensi tambahan, Ira M. Lapidus (1999) dan Marshal G. Hodgson (1996)

Jumat, 29 Oktober 2010

Mengenang Mohammad Arkoun

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Mohammed Arkoun, salah seorang pemikir Islam, akhirnya menyerah. Setelah melewati masa yang panjang, ia tak lagi mampu melawan kanker yang mendekam di tubuhnya. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (14/9) malam di Paris, Prancis. Di sisi lain, usianya memang telah merambat senja, 82 tahun.

Terlepas dari pro dan kontra mengenai dirinya, Arkoun telah menorehkan pemikiran Islam di sepanjang karier akademisnya. Tak jarang ia melontarkan kritik tajam. Ia, misalnya, menyatakan bahwa Islam terperangkap dalam diskusi tentang isu-isu yang bukan pada zamannya dan gagal menghadapi realitas. Berpijak pada hal inilah kemudian Arkoun mencoba mengombinasikan antara Islam dan modernitas. Agar Islam mampu merespons zaman. Ia membedakan antara teks-teks Alquran yang sakral dengan beragam penafsiran mengenai kitab tersebut. Menurut the Daily Star, ia pun membawa perspektif humanis dalam studi-studi Islam. Ia becermin pula pada masa kebangkitan di Eropa maupun revolusi Prancis. Hingga kemudian, kritik pun terlontar dari mulutnya terhadap sejumlah sarjana Muslim. Menurut dia, ada sebagian dari mereka yang tak mampu melihat sejarah Islam secara kritis dan ilmiah. Layaknya sarjana Barat melakukannya terhadap agama Kristen. Padahal, Alquran mendorong manusia untuk mencari pengetahuan. Namun, sayangnya sebagian sarjana Muslim yang berlaku begitu rigid. Arkoun berbicara soal benturan, yang sering dimanfaatkan oleh segelintir politikus atau penguasa demi menggapai kepentingannya sendiri-sendiri.

Dalam sebuah konferensi di Roma, Italia, lelaki kelahiran Taourit-Mimoun, sebuah desa kecil di wilayah Kabylia, timur laut Aljazair, ini mengatakan, tragedi sejarah seperti konflik Arab-Israel dan situasi di Irak serta wilayah Timur Tengah lainnya, merupakan buah dari aliansi politik yang dirancang secara rapi. "Kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi. Tak sekadar pada akibat, tetapi juga penyebabnya," katanya seperti dikutip Middle East Online. Ia pun menegaskan, kondisi di Timur Tengah bisa jadi pula akibat para penguasa di sana menjalin kerja sama dengan mereka yang melakukan kendali di wilayah tersebut. Arkoun menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa Inggris dan Prancis, sebaik ia menuliskannya dalam bahasa Arab. Dengan pemikirannya yang ingin terkadang dianggap menggugat kemapanan, tak jarang sejumlah kalangan berseberangan dengannya dan menyebutnya bukan seorang Muslim.

Hal yang sama dialami oleh rekan-rekan sepemikiran dengannya, yaitu Abu Zayd dan Muhammad Abid Al-Jabri. Harian the National, dalam tulisannya untuk mengenang Arkoun, mengatakan, Arkoun kerap membahas isu-isu sensitif seperti budaya Arab, Islam, dan sekularisme, serta hukum agama dari sisi epistimologi dan antropologi. Harian tersebut memberi catatan pula mengenai bahasa yang digunakan Arkoun dalam tulisannya, yaitu Prancis. Sebagai seorang yang lahir di Aljazair dan fasih menulis dengan bahasa Prancis, ia membuka diri untuk dikritik. Ia dianggap menulis dengan bahasa kolonial. Prancis pernah menduduki Aljazair. Namun, melalui sikapnya, Arkoun ingin menunjukkan sesuatu. Ia tak ingin ada sesuatu yang disakralkan atau diinstitusionalkan. Dan, Arkoun tak berharap pemikiran seperti mengendap di dalam otaknya. "Hal inilah yang mengundang kekaguman orang terhadapnya," demikian the National.

Sejak awal ilmu pengetahuan memang menarik minat Arkoun. Desa kecil tempat ia tinggal tak membuatnya berkecil hati menimba ilmu. Setelah menuntaskan pendidikan dasarnya, ia kemudian melanjutkan studinya. Ia akhirnya mengeyam pendidikan tinggi di University of Algiers. Di perguruan tinggi ini, Arkoun mendalami literatur Arab, hukum, filsafat, dan geografi. Melalui bantuan Louis Massignon, salah satu pengajar di universitas tersebut, Arkoun kemudian melanjutkan pendalaman bahasa dan literatur Arab di Sorbonne University, Prancis. Usai menyelesaikan belajarnya, ia mengajar di sejumlah universitas sebelum akhirnya pada 1980 ia ditetapkan sebagai profesor di Sorbonne Nouvelle Paris III. Ia mengajar tentang sejarah pemikiran Islam dan mengembangkan sebuah disiplin ilmu tersendiri, yaitu Islamologi terapan. Sejak 1993, ia merupakan profesor emeritus di Sorbonne. Di samping itu, ia terus menyampaikan kuliahnya ke seluruh dunia. Pada 2008, ia memimpin proyek "History of Islam and Muslims in France from the Middle Ages to the Present time", sebuah pekerjaan yang bersifat ensiklopedis dan melibatkan banyak sejarawan dan peneliti. Di Prancis, sosok dan pemikiran Arkoun sangat dihormati. Berbagai jabatan mentereng di bidang ilmu pengetahuan ia duduki. Ia masuk sebagai anggota Panitia Nasional Prancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Arkoun juga anggota Majelis Nasional Prancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Prancis. Gelar kehormatan universitas seperti Officier des Palmes Academiques pun ia rengkuh. Dan tentu saja, Arkoun menduduki kursi direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle.

Sumber : republika.co.id/28 september 2010

Rabu, 20 Oktober 2010

In the Age of Divorce

Oleh : Muhammad Ilham

Gunnar Myrdal dalam bukunya Asian Drama : An Inquiry into the Poverty of Nations mensyinyalir bahwa kebangkitan ekonomi di benua Asia berkorelasi dengan memburuknya eksistensi institusi keluarga. Ini berbeda dengan beberapa penelitian dengan kasus Indonesia, diantaranya Sukrisno Hadi (2000), Sylvia Astuti (2001) dan Sylvia Chen (2005) - yang menyimpulkan bahwa ada korelasi signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat perkawinan. Tingkat perekonomian semakin membaik, maka jumlah perkawinan akan semakin meningkat secara signifikan. Sebaliknya, dalam suasana ekonomi mandeg, jumlah perceraian justru menjadi tinggi. Dalam masyarakat yang "maju", sebagaimana yang disinyalir Myrdal, ekonomi membaik, ternyata situasi perkawinan bukan membaik, malahan memburuk. Di negara-negara maju (dan gejalanya sudah mulai terasa di Indonesia) perceraian - sebagaimana halnya perkawinan dan ulang tahun - telah menjadi industri atau bussines. Cerai dan embel-embelnya telah tumbuh berkembang menjadi industri bagi para lawyer, travel agent, percetakan kartu undangan, wartawan infotainment (khusus bagi untuk selebritis). Cerai yang dahulu dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan menjadi parameter status sosial seseorang, kini telah menjadi biasa. Bagi kalangan selebritis, perceraian berkorelasi dengan tingkat popularitas. Bahkan, perceraian yang baru "isu" bisa menjadi berita populer dan selebritis yang diisukan itu menjadi kerap tampil di media massa. "Cerita ranjang" yang seharusnya tidak dipublikasikan, justru dengan bangga dan bahagia diceritakan dan menjadi santapan publik.

Dalam tradisi ilmu sosiologi (khususnya sosiologi keluarga) belakangan ini, defenisi keluarga terpaksa "direvisi ulang". Pemahaman keluarga telah kembali kepada zaman biadab. Masyarakat, terutama di negara-negara maju, telah biasa mendapati keluarga yang "non-konvensional" seperti keluarga satu jenis (homoseksual atau lesbian), single parent, dan samen leven atawa kumpul kebo. Bahkan di Indonesia, beberapa selebritis memproklamirkan diri mereka sebagai pengikut Samen Leven dan dengan bangga memperkenalkan anak-anak hasil samen leven mereka. Ada pula selebritis yang tidak percaya sama sekali dengan institusi keluarga, membiarkan perutnya "buncit" tanpa diketahui siapa pemegang "hak paten"nya dan ketika ditanya "Why", maka mereka akan menjawab, "Saya aja tak ambil pusing dengan siapa ayah bayi yang saya kandung, mengapa kalian banyak yang usil". Enteng, tanpa beban. Dan ini hampir setiap hari ditonton oleh masyarakat. Krisis ekonomi adalah lahan utama bagi ahli ekonomi. Itu wajar dan sudah semestinya. Maka krisis keluarga ini harus menjadi lahan utama tokoh agama. Kesadaran semua tokoh dan pemimpin ummat beragama untuk reformasi agama (tentunya : berdasarkan tekstual dalam konteks perubahan sosial) akan dapat menjadi drug of choice (obat manjur) untuk melindungi anak cucu kita dari penderitaan "krisis keluarga" dalam membina keluarga in the age of divorce (tahun mewabahnya perceraian).

Sosiologi Kekerasan (Sebuah Pengantar)

Oleh : Muhammad Ilham

Telaah-lah kembali kekayaan normatif kultural nusantara, pasti akan kita jumpai bahwa sejak zaman dahulu, kita telah disuguhkan makna cinta damai. Cinta damai itu "dipatrikan" dalam berbagai lembaran-lembaran filologis, katakanlah, seperti tambo dan hikayat. Artinya, sebagai sebuah bangsa, secara historis dan kultural, bangsa Indonesia memiliki basis cinta damai. Tapi yang terjadi adalah sejarah pertumbuhan bangsa ini nyaris tak pernah lepas dari kekerasan dan darah. Mulai semenjak awal kerajaan-kerajaan di Nusantara sampai dengan era Indonesia pasca-kemerdekaan, berbagai kekerasan dengan berbagai motif dan bentuk terjadi setiap saat. Dalam perspektif sosiologi politik, kekerasan terjadi karena negara dan masyarakat gagal dalam mengelola dan menyikapi keragaman. Padahal, bagi Indonesia yang sudah ditakdirkan beragam, justru pluralitas itu yang seharusnya dijadikan potensi untuk memperkuat dan mengimplemen tasikan slogan Bhineka Tunggal Ika. Mengamati berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah Air, beragam kegundahan pun muncul, sehingga seorang guru bangsa seumpama Prof.Dr. Ahmad Syafii Ma'arif bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah marah, tersinggung,merusak milik orang lain, membunuh, dan membakar? Mengapa perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala masalah di negeri ini?

Dalam kajian-kajian sosiologi (dalam hal ini psikologi sosial), khususnya yang berhubungan dengan konflik sosial, kekerasan sering timbul dari problem bawah sadar manusia. Apa yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu adalah berbagai bentuk kebencian, permusuhan, perasaan cemburukarenakeberhasilanorang lain,dan seterusnya. Proses bawah sadar ini akan mudah meledak bila ada faktor pemicu, bahkan yang remeh sekalipun. Dalam konteks agama, ada banyak penyebab kekerasan di kalangan penganut agama, misalnya manipulasi agama untuk tujuan politik atau tujuan lain, diskriminasi berlandaskan etnis atau agama, serta perpecahan dan ketegangan sosial. Selain itu, ada maslah kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan pembangunan. Benarlah yang dikatakan Budi Hardiman bahwa pelaku kekerasan adalah manusia-manusia yang dicirikan oleh ketakberdayaan dirinya sebagai individu dan oleh kelemahan dalam komunitasnya. Kekerasan terjadi karena krisis makna dalam diri manusia. Lalu ketika merasa diri mereka tak bermakna, ego mereka pun mengecil dan panik. Di situlah tindakan kekerasan potensial diledakkan.

Dalam pandangan psikoanalisis, setiap kekerasan terjadi karena dipicu oleh sebuah kekuatan dalam diri manusia itu sendiri, yakni kekuatan psikologis yang bersemayam, yang mengobarkan semangat menyerang dan merusak (destruktif). Tindakan agresi manusia ini, seperti tampak pada penjelasan Freud, merupakan wujud nyata dari talenta (bawaan) manusia.Legitimasi “aku” sebagai pihak yang harus diselamatkan merupakan pilihan tak terhindarkan. Perilaku agresif lalu dilihat sebagai hal yang manusiawi (fitrah) dan mewujud dalam “insting libido seksual”. Dimensi “aku” yang melahirkan pelbagai kekerasan di tengah keluarga ini adalah mempertahankan dan menyalurkan hasrat diri dari kecemasan-kecemasan atau neurosis yang mengganggu dirinya, baik dari dalam maupun luar keluarganya. Kekerasan terjadi akibat adanya sekelompok orang yang tidak senang dengan perdamaian. Cara-cara kekerasan yang digunakan adalah bukti nyata mereka ingin menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Kata-kata “damai” mudah diucapkan tapi begitu sulit diterapkan. Kekerasan selalu melahirkan kecurigaan antara golongan masyarakat yang satu terhadap yang lain. Tentu saja para pelaku kekerasan bisa secara detail memahami dampak ini dan bukan tidak mungkin target inilah yang mereka harapkan. Dengan kecurigaan satu dan lainnya, konflik-konflik terpendam lainnya mudah dipicu. Upaya damai tidak meresap.

Para pelaku kekerasan hanya bisa bahagia kalau ada yang meraungraung kesakitan, atau tewas mengenaskan. Dengan akal sehat, tindakan ini sangat jauh menyimpang dari kemanusiawian. Para pemimpin negara, dengan demikian, harus menyadari bahwa di antara kita hidup sekelompok orang yang memiliki kehidupan tidak normal, dan secara sosial mereka bahagia jika sudah melakukan tindakan anomi. Abnormalitas ini tidak bisa dibiarkan, dan seharusnya bertindak cepat untuk menghukum mereka yang antiperdamaian ini. Tanpa sadar, berbagai realitas ini menunjukkan bahwa kaum “teroris” sering berhasil mempermainkan kinerja aparat. Aparat dibuat kerepotan untuk menciptakan situasi yang aman dan damai. Kini rasa aman menjadi barang langka di Bumi Pertiwi ini. Belum ada yang bisa bekerja maksimal untuk mendeteksi dini segala bentuk kekerasan seperti ini. Senjata telah diselewengkan fungsinya untuk menghancurkan kehidupan. Bila ia dipegang oleh orang-orang abnormal, ia hanya akan digunakan untuk melahirkan kebencian. Kondisi kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak menghargai minoritas, pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan keadilan membuat manusia mudah frustrasi. Rasa frustrasi akut ini akan membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan masa depan. Belajar dari pengalaman ini seharusnya negara tidak lagi boleh gagal dalam menyelesaikan konflik antarwarga. Konflik terjadi karena perbedaan cara pandang. Maka bukan perbedaan itu yang harus dimatikan sebagaimana cara Orde Baru, melainkan bagaimana mengelolanya menjadi aset bangsa yang produktif.

Referensi : unisosdem (2010), Coser (1987) ........... sebagai bahan teori bagi mahasiswa saya di kelas Mata Kuliah Pendekatan Sejarah Sosial

Senin, 18 Oktober 2010

Seni Berperang Minangkabau

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Sun Tzu adalah seorang ahli strategi militer terkenal bangsa Cina yang menulis buku “The Art of War”, sebuah buku mengenai strategi militer klasik yang dapat diaplikasikan dalam banyak bidang mulai dari bisnis hingga pemasaran.

Di Minangkabau juga terdapat sebuah buku tentang strategi militer yang mengajarkan kepada pasukan Belanda cara berperang lebih baik dalam melawan orang-orang Minang yang menjadi buku wajib untuk dibaca perwira-perwira Belanda yang ditugaskan ke Sumatera Barat. Kapten Hendriks menulis dalam catatan-catatannya yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku “Berperang di Sumatera” pada tahun 1881. Buku itu merupakan petunjuk-petunjuk bagaimana berperang di Minangkabau berdasarkan banyak kekalahan dan pengalaman pahit Belanda dimasa lalu. Belanda boleh jadi sangat paham dalam berperang di Jawa namun karakteristik orang Jawa dalam berperang sangatlah berbeda dengan orang Minangkabau demikian juga dalam pengetahuan tentang peralatan perang. Pasukan Jawa lebih banyak mengandalkan mobilitas yang tinggi dan besarnya pasukan sehingga perang-perang di tanah Jawa lebih banyak dihabiskan Belanda untuk mengejar musuh.

Orang-orang Minang sangat ahli dalam perang benteng hingga lebih senang bertahan dalam benteng-benteng dan memanfaatkan keadaan alam sebagai pertahanan. Orang-orang Minang jarang sekali menyerang pasukan Belanda dilapangan terbuka, mereka biasanya menyerang saat pasukan Belanda sedang dalam barisan dan mereka juga biasa untuk bertahan sampai mati walaupun memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Senjata yang biasa dipakai oleh rakyat Minangkabau adalah senapan, keris, kelewang, tombak dan sumpit (tidak pernah memakai anak panah yang beracun, yang dipakai adalah getah aren yang akan membuat luka menjadi sakit seperti terbakar). Rakyat Minangkabau memakai ranjau dari bambu-bambu yang sangat runcing untuk dipasang dijalan yang diduga akan dilalui musuh. Tetapi sistem pertahanan yang terpenting adalah pagar-pagar yang terdiri dari bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat sehingga mereka dapat mengamati gerak musuh tanpa terlihat. Pohon bambu berduri ini bila sudah berumur empat tahun akan menjadi hutan berduri panjang yang mustahil untuk ditembus, namanya adalah bambu aur. Hendriks juga menulis agar pasukan Belanda jangan sekali-kali mengejar musuh yang sedang melarikan diri dari Benteng mereka karena kebanyakan ini adalah jebakan, dimana sebuah pasukan yang lain telah disiapkan menunggu dan bersembunyi dalam semak, bebatuan maupun perbukitan. Bila sebuah daerah telah kalah, mereka juga jarang menyerahkan diri, biasanya mereka bertahan dihutan hingga berbulan-bulan dan menyerang transportasi logistik pasukan Belanda dimalam hari.

Sebuah catatan yang dimuat dalam “Berperang di Sumatera” ini adalah tentang kehebatan orang - orang Padri yang hanya dengan pasukan berkekuatan 30 orang mampu memukul mundur pasukan Belanda yang berjumlah 2000 serdadu. Pada peperangan dengan Pauh didiskripsikan bahwa kampung Pauh dikelilingi benteng dari tembok batu setebal 5 meter dengan tinggi yang bervariasi antara 3 sampai 5 meter. Seorang letnan Belanda bernama Boelhouwer dalam bukunya “Kenang-kenangan Sewaktu di Sumatera Barat tahun 1831 - 1834″ yang diterbitkan di Belanda tahun 1841 melukiskan pertahanan Bonjol sebagai berikut:

“Bonjol terletak diatas bukit berbentuk segi empat panjang yang dipisahkan oleh sebuah sungai dengan aliran yang deras. Tiga sisi Bonjol dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi kurang lebih 3 meter. Tembok luar terdiri dari batu-batu besar yang merupakan tembok benteng yang kokoh dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-benteng di Eropa. Diantara kedua tembok benteng itu dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter. Diatas tembok benteng itu ditanami bambu berduri yang sudah hampir berupa hutan duri yang tidak dapat ditembus. Orang-orang Padri menempatkan pengintai dan penembak jitu dibalik bambu berduri ini untuk memantau pergerakan pasukan Belanda. Dibeberapa tempat terlihat meriam-merian kaliber 12 pon dengan pedati beroda kayu tanpa jari-jari untuk mengangkutnya dan didekat meriam tersebut terdapat batu bulat sebagai pengganti peluru. Sungguh mengherankan bagaimana mereka dapat membawa meriam sebesar itu keatas bukit sedangkan kami (maksudnya Belanda) hanya mampu membawa meriam kaliber 3 pon, itupun harus dipereteli. Diluar Bonjol terdapat mesjid berbentuk segi empat yang dibangun tanpa paku dan besi dengan atap terdiri dari 5 lapis yang makin lama makin kecil dan tertutup sirap, bahan yang sama dengan yang dipakai untuk atap gereja - gereja di Eropa dan dapat menampung kurang lebih 3000 orang. Bila ada kemauan, bangsa Minang ini dapat mencapai kemajuan setara dengan Eropa”.

Dengan semua kelebihan dan kemampuan yang dimiliki seharusnya mustahil Minangkabau dapat ditaklukkan oleh Belanda. Bangsa Aceh dan tentara kerajaan Majapahitpun gagal untuk menaklukkan Minangkabau. Tetapi sungguh disayangkan bahwa bangsa kita ini tidak pernah juga kekurangan pengkhianat, orang yang berjuang untuk kepentingan pribadi dan sesaat. Belanda sangat berhasil memelihara sifat bangsa kita yang bobrok seperti gampang dibeli, mudah dihasut, senang dibodohi, senang disogok dan disuap. Mereka juga cukup berhasil dalam memperalat adat dan mengikis demokrasi di Minang dengan memperkenalkan budaya aristokrasi. Sangat disayangkan juga bahwa belum ada satupun buku tentang penjajahan Belanda yang mendalam, bila ada akan segera terlihat bahwa Belanda adalah bangsa yang hebat dalam membodohi bangsa lain dan suatu tantangan bagi ahli sejarah untuk membuat buku seperti itu sebagai cermin menghindari kesalahan-kesalahan dimasa lalu untuk kepentingan dimasa depan.

Sumber : (c) A.M. Historya - kompasiana.com cq. diskusi di fb Suharmen - Oktober 2010

Minggu, 17 Oktober 2010

Ketegasan in the Last Minute

Oleh : Muhammad Ilham

Tulisan ini tidak berpretensi untuk "membela" SBY. Bagaimanapun juga, sebagai manusia, dalam pandangan publik, ia memiliki kelemahan sekaligus kelebihan. Pencitraan dan sifat peragu, merupakan dua "brand-icon" yang selalu dilekatkan pada menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Dalam 6 tahun terakhir masa jabatannya (5 tahun SBY-JK dan 1 tahun SBY-Boediono), seluruh aktifitas politik - baik formal maupun informal - selalu dikaitkan dengan dua hal diatas, pencitraan dan peragu itu. Walau sebagian orang mengatakan SBY penuh perhitungan, sehingga karakter penuh perhitungan ini terkesankan menjadi sosok peragu. Sesuatu hal yang biasa dalam ranah politik. Seluruh Presiden "mengalami" hal seperti ini. Gus Dur yang dianggap "tegas", justru dipandang sebagai orang yang "grasak-grusuk" tanpa perhitungan dan kalkulasi normal (karena sering kebijakan Gus Dur "diluar kenormalan"). Dalam tulisan ini, saya tidak ingin masuk dalam ranah perdebatan tentang dua hal yang dilekatkan pada SBY tersebut. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, dalam bulan ini ada dua kebijakan SBY yang membuat orang "menganga" sekaligus ingin mementahkan anggapan selama ini bahwa putra Pacitan ini bukanlah Presiden peragu, justru "sedikit gila" karena mengambil dua kebijakan di menit-menit terakhir (last minute). Ini bermula dari Timur Pradopo dan kemudian pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda.

Nominasi calon Kapolri, yang menjadi sumber spekulasi panas elite politik dalam bulan Oktober ini, dijawab SBY dengan memilih Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo. Beberapa jam menjelang munculnya nama Timur Pradopo sebagai calon Kapolri tunggal, terlihat kejadian luar biasa yang bisa dibaca publik, institusi Polri harus bekerja maraton di hari terakhir untuk mengurus Pradopo. Pangkat Irjen dinaikkan ke Komjen untuk menduduki jabatan kepala bagian pemeliharaan keamanan yang merupakan pos bintang tiga. Di menit-menit terakhir pada hari yang sama nama Komjen Pradopo dikirim ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Di menit-menit akhir juga, SBY membatalkan kunjungan ke Belanda. Di saat sebagian rombongan sudah berada dalam pesawat, pembatalan diumumkan. Menurut editorial Media Indonesia (MetroTV), itulah dua ketegasan yang lama dirindukan dari seorang SBY. Kritik bahwa Presiden Yudhoyono adalah peragu dijawab dengan dua ketegasan yang diambil in the last minute. Untuk dua perkara itu, patutlah diacungi jempol. Nama Timur Pradopo dipilih SBY untuk menegaskan sikapnya, paling tidak dalam dua hal penting. Hak prerogatif menentukan Kapolri tidak boleh diaduk-aduk interes politik kalangan koalisi. Dan, reformasi kepolisian tidak boleh diganggu ego angkatan yang menjadi penyakit kronis dalam rekrutmen di lembaga penegak hukum itu. Mudah-mudahan Pradopo, dalam bahasa Metro TV, tidak diganjal kepentingan partai-partai yang menggumpal dan ngumpet di DPR.

Lalu soal pembatalan kunjungan ke Belanda. Itu adalah keputusan yang tepat. Belanda harus diberi tahu bahwa seorang presiden yang berkunjung tidak semata dijamin keamanannya oleh polisi dan seluruh sistem sekuriti di negeri itu. Juga tidak cukup hanya dengan keyakinan bahwa presiden dari negara mana pun memiliki imunitas. Belanda perlu memahami juga bahwa yang datang berkunjung adalah seorang presiden yang berhak atas kenyamanan dan kesantunan. Di mana harga diri SBY sebagai pemimpin bangsa Indonesia bila nanti disambut dengan demonstrasi yang tidak santun? Pantaskah seorang presiden yang berkunjung diancam akan ditangkap atas kasus pelanggaran HAM yang mengada-ada? Yang mengenal dan memelihara RMS adalah Belanda. Karena itu, Belanda-lah yang harus membereskan RMS, bukan Indonesia. Demi harga diri bangsa, pembatalan itu benar adanya. Bangsa ini mendambakan ketegasan dalam banyak perkara, apalagi berkaitan dengan kehidupan bernegara dan berbangsa. Soal Kapolri dan pembatalan kunjungan ke Belanda adalah contoh sedikit dari kerinduan publik pada banyak ketegasan-ketegasan lain dari SBY pada masa yang akan datang.

:: Politisi PDI-P Gayus Lumbuun dan Kwik Kian Gie mengatakan bahwa pembatalan kunjungan SBY ke Belanda sebagai bentuk "penakut" SBY (padahal selam ini, bila SBY melakukan kompromi terhadap segala sesuatu yang menyinggung nasionalisme, selalu dikatakan sebagai Presiden kurang nasionalis. Sementara itu, beberapa anggota DPR yang selama ini dianggap sebagai "petualang politik" Senayan, justru menganggap bahwa pengajuan nama Timur Pradopo sebagai Calon Kapolri sebagai "merusak sistem". ! Ah ... politic is who get what how and when, demikian Harold Laswell.

Sumber : Metro TV dan Media Indonesia

Komparasi Eropa pada Perang Dunia II dan Sekarang dalam "Lanskap Photography"

Edit ulang : Muhammad Ilham

Perang Dunia ke II menghadirkan Jerman sebagai "aktor utama". Selama Perang Dunia II, Jerman menyerbu sebagian besar wilayah Eropa dengan menggunakan taktik baru yang disebut "Blitzkrieg" (perang kilat). Taktik Blitzkrieg mencakup pengerahan pesawat terbang, tank, dan artileri. Pasukan-pasukan ini akan menerobos pertahanan musuh menyusuri front yang sempit. Kekuatan udara menghalangi musuh untuk menutupi celah pertahanan yang lowong. Pasukan Jerman mengepung pasukan lawan dan memaksa mereka untuk menyerah. Dengan menggunakan taktik Blitzkrieg, Jerman menaklukkan Polandia (diserang pada bulan September 1939), Denmark (April 1940), Norwegia (April 1940), Belgia (Mei 1940), Belanda (Mei 1940), Luksemburg (Mei 1940), Prancis (Mei 1940), Yugoslavia (April 1941), dan Yunani (April 1941). Selanjutnya, sejarah kemudian mencatat, Eropa dan kawasan Asia Pasifik, diharu biru oleh perang yang - dalam sejarah- tercatat sebagai salah satu perang yang banyak memakan korban. Dibawah ini, ada beberapa foto yang memberikan pesan tentang Perang Dunia ke II di daerah "asalnya" yaitu Eropa (menggabungkan dua buah foto, Eropa masa Perang Dunia II - dalam bulatan hitam putih - dan Eropa sekarang).



Reichstag, Berlin - Gedung Parlemen

Stasiun sub-way Frankfurter Allee

Berlin - Germany


Leningrad - Rusia

Viena - Switzerland

Moscow - Rusia



Vienna - Istana Hoffburg




Berlin, Simpang Vilhelminenhofshtrasse & Edisonshtrasse

Praha, Ceko



Sumber : www.google.com/cnn.com - "sebagai bahan tambahan buat mahasiswa saya di Kelas Sejarah Dunia : Peradaban Eropa Modern".

Jumat, 15 Oktober 2010

SUTAN SJAHRIR yang Pendek dengan Sorotan Mata Ramah dan Bersahabat

Oleh : Muhammad Ilham

Sutan Sjahrir itu lahir di Padang Panjang, 5 Maret 1909. Sjahrir digambarkan berperawakan pendek: 1,60 cm lebih sedikit, punya bakat untuk gemuk, suka tertawa lepas, dengan sorotan mata ramah dan bersahabat (Rosihan Anwar, 2010)


Rasanya, membedah Syahrir tak putus-putusnya. Ini semua tak terlepas dari posisi kuncinya sebagai salah seorang founding fathers Indonesia, disamping tentunya, sosok kakak Rohana Kudus ini, memang tokoh inspiratif. Hidupnya penuh dengan "mozaik-mozaik" yang tidak akan habis-habisnya utuk dibedah dan dikritisi. Kehadiran buku Sutan Sjahrir - Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ini, menjadi bukti bahwa betapapun sudah cukup banyak buku tentang Syahrir ini hadir, tetap pembicaraan tentangnya masih terlampau dangkal untuk diselami. Jaap Erkelens yang menulis salah satu kata pengantar menuliskan bahwa buku ini merupakan buku ketiga dan terakhir dari rangkaian buku untuk mengenang "satu abad" Bung Karno (2001), Bung Hatta (2002), dan Bung Sjahrir (2009). Terkait dengan seratus tahun kelahiran ketiga tokoh tersebut, ketiga buku tersebut masing-masing memuat seratus foto secara kronologis, sekaligus melengkapi kisah yang tertulis. Meskipun ada catatan mengenai pemilik atau sumber foto, sayangnya tidak terlacak fotografer atau the man behind the camera dari foto-foto tersebut. Buku ini ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris sekaligus. Sosiolog-Antropolog Ignas Kleden dalam pengantarnya menyebutkan bahwa dari tulisan-tulisan Sutan Sjahrir timbul kesan bahwa bagi Sjahrir, politik merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Bagi Sjahrir, politik tidak untuk merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu. Riwayat hidup dan pemikiran Sutan Sjahrir sudah diterbitkan dalam berbagai buku. Rosihan Anwar melengkapi kisah hidup Sjahrir sejak lahir hingga wafat dengan kisah-kisah di seputar kehidupan Sjahrir dan kondisi pada zaman itu. Pekerjaan Rosihan sebagai wartawan sejak jaman pendudukan Jepang memberinya kesempatan bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan, tentunya termasuk Sutan Sjahrir, dan menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia, seperti perundingan dan penandatanganan Perjanjian Linggarjati.

Sjahrir disekolahkan di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan. Selanjutnya Sjahrir meneruskan pendidikannya ke Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling (jurusan Budaya Barat Klasik atau jurusan A) di Bandung. Sekolah setingkat SD, SMP, dan SMA tersebut menggunakan bahasa Belanda. Setamat dari AMS Bandung, Sjahrir belajar di Fakultas Hukum Gemeente Universiteit van Amsterdam dan kemudian mendaftar ke Universiteit Leiden. Dia jarang mengikuti kuliah, tetapi serius mempelajari Sosialisme. Sjahrir bersahabat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial-Demokrat, dan Maria Duchâteau, istri Sal, yang kelak dinikahi Sjahrir di Medan. Pernikahan ini hanya sebentar, orang Belanda memaksa Maria kembali ke Negeri Belanda. Di Negeri Belanda, Sjahrir bertemu dengan Mohammad Hatta yang belajar di Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam. Hatta adalah ketua Perhimpoenan Indonesia, organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908. Sjahrir bergabung dan menjadi sekretaris perhimpunan pada Februari 1930. Sementara itu, Ir. Soekarno ditangkap dan dipenjarakan pada akhir Desember 1929. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Soekarno dibubarkan. Kader yang menentang pembubaran PNI membentuk wadah baru Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Pendidikan atau PNI-Baru. Sjahrir dan Hatta berpendapat bahwa mereka harus membantu PNI-Pendidikan. Pada akhir Desember 1931, Sjahrir tiba di Bandung. Pada bulan Agustus 1932, Hatta kembali ke Tanah Air dan mengambil alih kepemimpinan PNI-Pendidikan. Sjahrir mengurangi keterlibatannya di PNI-Pendidikan dan berencana melanjutkan studi ke Negeri Belanda. Ternyata rencana itu tidak pernah terlaksana. Tahun 1934 Belanda menangkap 13 orang aktivis PNI-Pendidikan termasuk Hatta dan Sjahrir. Tanggal 23 Januari 1935 mereka diangkut ke Boven Digoel.

Tahun 1936-1942 Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Surat-surat Sjahrir ke istrinya Maria Duchâteau selama dalam tahanan dan pembuangan disunting dan dibukukan dengan judul Indonesische Overpeinzingen (1945). Buku tersebut diterjemahkan oleh HB Jassin dengan judul Renungan Indonesia (terbit 1947 dan 1951). Sejak akhir tahun 1949 Sjahrir tidak lagi memegang jabatan resmi kenegaraan. Sebagai warganegara biasa, Sjahrir mengembangkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan di Yogyakarta 12 Februari 1948 akibat perbedaan dengan tokoh-tokoh pro komunisme. PSI hanyalah partai kecil, bersifat partai kader, anggotanya terbatas di daerah perkotaan. Pada Pemilu 1955 PSI kalah. Dalam kehidupan pribadi, pada tahun 1948 Sjahrir bercerai dengan Maria Duchâteau. Pada tanggal 26 Mei 1951 Sjahrir menikah dengan Siti Wahyunah Saleh (Poppy), mantan sekretarisnya, di Kairo. Sejak 1949, Poppy belajar ilmu hukum di Universiteit Leiden dan ilmu sosial di London School of Economics. Poppy adalah kakak Soedjatmoko.

Sementara itu, Soekarno semakin berkuasa. Pada 21 Juli 1960 Soekarno menegaskan bahwa PSI dan Masyumi harus dibubarkan. Pada tanggal 16 Januari 1962 Sjahrir dan beberapa orang ditangkap, pada mulanya ditahan di Jakarta, dan kemudian dipindahkan ke tahanan di Madiun. Pada tahun 1962 Sjahrir sempat dirawat di RSPAD Gatot Subroto karena tekanan darah tinggi. Setelah keadaannya membaik, pada tahun 1963 dan 1964 Sjahrir dipindahkan ke penjara Jl. Keagungan dan tahun 1965 dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jl. Budi Utomo. Kemudian Sjahrir terkena stroke. Poppy mengusahakan agar Sjahrir bisa berobat ke luar negeri. Soekarno mengizinkan, dengan status Sjahrir tetap sebagai tahanan. Tanggal 21 Juli 1965 keluarga Sjahrir bertolak menuju Swiss. Di Zurich, Sjahrir tidak dapat berbicara, tetapi tetap mengikuti tayangan televisi, mendengarkan siaran radio, membaca surat kabar. Sjahrir tetap mengikuti perkembangan dunia dan keadaan di Indonesia. Setelah koma selama tujuh hari, Sjahrir meninggal dunia pada tanggal 9 April 1966. Sjahrir dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional dan mendapat persetujuan untuk pemakaman negara dengan penghormatan penuh. Poppy menyetujui pemakaman negara. Jenazah Sjahrir dibawa dengan pesawat terbang melalui Amsterdam, Frankfurt, Kairo, dan Bangkok. Tanggal 17 April 1966, jenazah Sjahrir tiba di bandara Kemayoran dan disemayamkan di rumah duka. Tanggal 19 April 1966 Sjahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di akhir kata perpisahannya pada pemakaman sahabatnya Sutan Sjahrir, Bung Hatta berpesan: "Pemuda Indonesia, tanamlah dalam hatimu , Sjahrir Pahlawan Nasional Indonesia". Dan ..... bukan hanya untuk para pemuda, seluruh anak bangsa ini, sangat layak dan harus membaca buku ini.

Inspired : Rosihan Anwar (2010), B. Saraswati (2008)

Panggil Aku Kartini Saja

Oleh : Muhammad Ilham

Biografi ini mengajak mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domenstik rumah seperti dia adalah gadis pingtan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun (Nukilan di Sampul Belakang)


Salah satu kelebihan Pramudya Ananta Toer adalah kekayaan imajinatifnya untuk menyederhanakan kekeringan analisis antara fakta-fakta sejarah. Di tangan sastrawan yang "dipinggirkan" sejarah Indonesia ini, beberapa fakta sejarah mampu dihadirkannya dengan deskripsi-naratif bahkan deskriptif-analitis yang membuat para pembacanya tidak bosan. Bacalah misalnya, Arok-Dedes, Pram bisa "menyambung" pengetahuan para pembaca tentang pertanyaan yang selama ini selalu muncul, "mengapa Dedes yang cantik dan berasal dari kelas Brahmana, mau dan setuju suaminya - Tunggul Ametung - dibunuh oleh Arok yang berasal dari kelas Sudra, dan selanjutnya menjadi suaminya". Dari buku-buku sejarah textbook yang selama ini kita kenal, pertanyaan ini tidak terjawab. Karena disamping faktanya tidak begitu banyak, sejarawan memiliki "ketakutan" terjebak dengan analisis yang penuh subjektif. Apalagi berhubungan dengan langgam bahasa sastra (katakanlah Novel) memiliki potensi yang menjebak itu. Namun, Pram justru mampu menjawab pertanyaan tersebut (terlepas dari benar-tindaknya). Dan beberapa Novel Sejarah karya Pram yang lain, katakanlah Tetralogi, Arus Balik dan Gadis Pantai, misalnya, mengajak kita memahami "jiwa zaman" kala peristia yang dinarasikan Pram tersebut terjadi. Dan, Pram mampu menghadirkannya dengan analisis logis dengan bahasa yang menarik.

Demikian juga dengan buku Panggil Aku Kartini Saja. Buku yang menjadi bacaan favorit istri saya ini, memperlihatkan kemampuan Pram menghubungkan fakta-fakta sejarah dengan imaginatif, tapi "terkesan" logis. Dengan "ruang yang terbatas", karena Pram menulis Novel Sejarah dalam masa pembuangannya di Pulau Buru, Pram mampu melahirkan karya ini dengan baik. Tak terbayangkan oleh saya, bila ia diberi akses luas untuk melacak arsip-arsip Kartini di Belanda, misalnya, tentu Pram akan lebih mampu menghadirkan Novel Sejarah yang luar biasa tentang Kartini. Buku "panggil aku Kartini saja" sebenarnya masih ada kelanjutannya (jilid III dan IV) tetapi naskah tersebut hilang di tahun 1965. Jadi apa yang terekam atau tergambarkan di sini mengenai Kartini hanya sebagian dari apa yang akan diungkapkan oleh Pram.

Pram mengawali buku ini saat Perang Jawa (Diponegoro) berakhir. Perang yang paling mahal dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda meminjamkan hutang kepada Hindia Belanda sebesar Æ’ 37 juta ditambah bunga. Nilai uang jatuh dan Javasche Bank yang baru didirikan menghadapi kebangkrutan. Muncullah Johannes van den Bosch mengusulkan cultuurstelsel untuk mengisi kas Hindia-Belanda. Cultuurstelsel yang pada kenyataannya menjadi tanam paksa kemudian menghisap bumi dan rakyat Hindia Belanda. Untuk pertama kali pemerintah Hindia Belanda mempergunakan kekuasaannya dan "kewibawaannya atas penduduk dijadikannya alat untuk mengeksploitasikan Jawa pada waktu itu secara modern". Petani-petani pribumi menjadi terlalu miskin dan bahkan terusir dari tanah garapannya yang berubah menjadi perkebunan partikelir (swasta).

Kemudian muncul golongan liberal seperti Multatuli, E.S.W. Roorda van Eisinga, Dr. Ds. Baron ban Hoëvell yang menghendaki kelongaran dari cara memerintah Pribumi. Mereka menghendaki pendidikan yang lebih banyak lagi bagi para amtenar, Eropa, dan Pribumi. Tingkat pengajaran dan pendidikan pada waktu itu sangat rendah di kalangan penduduk bangsa Eropa, apalagi di kalangan Pribumi. Yang ada hanya sekolah-sekolah Nasrani yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran di surau-surau. Sekolah Belanda Gubernemen pertama didirikan di Weltevreden (tahun ?). Baru dua tahun kemudian sekolah tersebut terbuka bagi sejumlah kecil Pribumi pilihan, bahkan anak bupati pun masih sulit mendapatkan bangku. Seolah Bumiputra atau sekolah Melayu gubernemen mulai didirikan tahun 1849 di Jepara, Pasuruhan, dan Padang. Di Makasar dan Maros tahun 1853, di Banjarmasin tahun 1863, di Ambon tahun 1607. Waktu itu bahasa Belanda merupakan satu-satunya bahasa ilmu pengetahuan. Pada tahun 1902 di seluruh Jawa dan Madura hanya ada 4 orang bupati yang pandai menulis dan berbicara bahasa Belanda; salah satunya adalah ayah Kartini. Di luar para bupati ada satu-dua orang yang maju, misalnya Raden Saleh.

Dengan latar belakang inilah Kartini lahir dan besar. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879. Beliau termasuk orang Indonesia yang beruntung pada zamannya. Karena kedudukan ayahnya, Kartini dapat mengenyam pendidikan formal di sekolah, meskipun hanya sampai pada tingkat dasar, karena setelah itu Kartini masuk dalam pingitan. Kartini sendiri sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, bahkan kalau perlu ke negeri Belanda, tetapi sayang ayahnya tidak mengijinkan. Pada awal berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda, hanya anak-anak dari keluarga ningrat/bergelar saja yang bisa masuk sekolah. (THS, cikal bakalnya ITB, pun tidak terkecuali; mahasiswanya adalah siswa-siswa yang memiliki gelar, termasuk Soekarno yang memiliki gelar "Raden", kalau tidak salah.) Dalam masa pingitan, Kartini melakukan hal-hal yang disukainya seperti membatik, melukis, membaca, dan juga belajar bahasa Prancis. Ayahnya yang membuka kesempatan bagi Kartini dan saudari-saudarinya untuk melihat dunia luar (ke Batavia, mengunjungi kapal "Sumatera" di pelabuhan, memberi bacaan) sekaligus mempunyai hak veto atas putri-putrinya yang berhak mengatakan "tidak" atas kehendak para putri ini.

Kartini pandai berbahasa Belanda, baik lisan maupun tulisan, dan sudah terkenal di kalangan orang Belanda dan Indonesia tentang bahasa Belandanya yang baik. Bahkan di masa hidupnya, surat-suratnya ingin diterbitkan oleh Mr. Abendanon, tetapi Kartini menolak. Beliau sadar bahwa seorang putri Jawa yang bisa berbahasa Belanda dengan baik adalah istimewa. Kartini tidak mau diistimewakan. Beliau merasa sebagai bagian dari rakyat dan memang beliau sendiri yang mengucapkan, "Panggil aku Kartini saja - itulah namaku". Pikiran Kartini berkisar pada rakyat, keseniannya, penyakitnya, pendidikannya, perempuannya, perlakuan yang diterima rakyat, dan lain-lain. Dan semua itu disampaikan dalam bahasa Belanda yang runut. Kartini juga pernah diminta untuk menulis di majalah. Menulis menjadi jalan keluar bagi Kartini untuk mengeluarkan isi hati dan pikirannya. Andaikan Kartini hidup lebih lama lagi, tentu tulisan-tulisannya akan lebih banyak lagi.

Meskipun hanya berpendidikan SD, lingkup pemikiran Kartini meluas melampaui lingkungan kamar dan rumahnya. Sebagai salah satu orang yang terkemuka di zamannya, melalui surat-suratnya ke orang Belanda (dalam bahasa Belanda) Kartini menjadi corong kondisi rakyat Hindia Belanda. Sayang sekali, ayahnya yang bertindak sebagai pembuka gerbang kesempatan bagi Kartini untuk mengecap dunia luar adalah sekaligus penutup gerbang tersebut. Wikipedia menyebutkan Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri. Kartini wafat pada usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putra pertamanya (September 1904). Himpunan surat-surat Kartini diterbitkan tahun 1911 dengan judul "Door Duisternis tot Licht". Pada tahun 1923 buku ini telah mengalami cetak ulang ke-4. Terjemahan bahasa Melayu (tahun ?) "Habis Gelap Terbitlah Terang" dilakukan oleh Baginda Abdoellah Dahlan dan Baginda Zainoedin Rasad, dan pada penerbitan selanjutnya dibantu Soetan Moehammad Zain serta Baginda Djamaloedin Rasad.

Inspired : Pramudya Ananta Toer (2000), B. Saraswati (2008)

RADJA KETJIL-nya Rosihan Anwar

Oleh : Muhammad Ilham

Storia e Storia Contemporania, demikian kata filosof-sejarawan Italia, Bennedicto Croce. Sejarah memiliki keterikatan masa kekinian. Perilaku dan tingkah polah ummat manusia, bisa dicari benang merah"nya dengan apa yang telah berlaku dalam rekaman sejarah masa lalu. Orang yang memiliki kearifan tinggi, sebenarnya harus belajar dari peristiwa sejarah - historia vitae magistra. Dan, buku - tepatnya novel - yang ditulis wartawan senior kelahiran Minangkabau ini tetap relevan dengan kondisi sekarang. Perebutan kekuasaan (bisa dalam bentuk yang lain seumpama pilkada, misalnya), pertikaian, masih mewarnai keseharian kita. Novella sejarah yang ditulis Rosihan Anwar ini hendaknya dijadikan peringatan dan pelajaran bagi generasi muda Indonesia agar terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Meskipun subjudulnya "Badjak Laut Di Selat Malaka", tapi buku ini tidaklah menceritakan petualangan para bajak laut, tetapi tentang perebutan kekuasaan di Kerajaan Johor. Memang, di masa mudanya. Berawal dari kisah "homo sapiens" yang bernama Radja Ketjil. Ia hidup mengembara di laut dan di darat di dipelbagai bagian Nusantara. Ia berteman dengan orang-orang Illanun, Balanini, perompak-perompak laut dari Tobelo dan Galela, menahan kapal-kapal orang kulit putih lalu merompaknya habis-habisan. Bajak laut yang berasal dari berbagai tempat seperti Johor, Jambi, Palembang, Minangkabau, bukanlah bajak laut yang asal merompak, melainkan mereka membawa amanat membela rakyat terhadap kaum penjajah asing yang datang dari Barat seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis (kayak Robin Hood-lah kira-kira).

Rosihan yang dikenal sebagai "mbah-nya wartawan ini" memulai kisah ketika Radja Ketjil sudah berkuasa di Kerajaan Siak yang berkedudukan di Bengkalis, hendak menyerang Johor. Bergantian datang orang Bugis dan kemudian Raja Negara, Temenggung Kerajaan Johor, dari Singapura menawarkan bantuan. Tentu saja tawaran bantuan ini tidak cuma-cuma, tetapi ada imbalannya. Johor jatuh ke tangan Radja Ketjil pada tanggal 17 Maret 1717. Dikisahkan pada waktu itu sebuah kapal perang Portugis sedang berlabuh di Johor. Kapal itu milik Gubernur Portugis, Albuquerque Coelho - apa ada hubungan dengan Paolo Coelho - yang baru diangkat untuk Macao. Dikisahkan bahwa Sultan Johor kemudian menyerah dan dijadikan bendahara. Radja Ketjil lalu menikahi salah seorang putri bendahara, yang diperkirakan sebagai siasat untuk mengambil hati orang-orang Johor, yaitu untuk mencegah pembangkangan di masa mendatang. Daing Parani, orang Bugis yang menawarkan bantuan tetapi kemudian ditinggal Radja Ketjil ketika menyerang Johor, kemudian menagih janji agar diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda. Radja Ketjil menolak. Daing Parani kemudian menikahi putri bendarahara juga. Persengkokolan baru pun dibuat, yaitu antara anak laki-laki bendahara (ipar Radja Ketjil dan Daing Parani) dan Daing Parani untuk menggulingkan Radja Ketjil. Tetapi usaha kudeta ini bisa dipatahkan. Radja Ketjil memindahkan pusat kerajaan ke Riau. Rupanya persetukuan Tongku Soleiman (putra bendahara) dan Daing Parani untuk merebut kekuasaan Kerajaan Johor masih berlanjut. Orang-orang Bugis mendadak muncul di Riau. Radja Ketjil berhasil diperdayakan di Pulau Linggi dan kerajaannya di Riau berhasil direbut.

Cerita diakhiri dengan utusan Radja Ketjil berhasil membawa keluar istri Radja Ketjil dan istri-istri para pengikutnya sehingga dapat bergabung dengan Radja Ketjil dan para pengikutnya di pengasingan. Begitulah kehidupan suku-suku bangsa di Nusantara, yang tidak henti-hentinya saling bertikai, berebut kekuasaan. Pertikaian terus menerus ini dimanfaatkan Belanda dengan politik "divide et impera". Suatu suku bangsa diminta membantu menumpas pemberontakan suku lain. Homo Homini Lupus, nampaknya berlaku dari masa dulu hingga sekarang. Orang Maluku diminta berperang ke Sumatera. Orang Jawa diminta berperang ke Sulawesi atau Sumatera. Demikian seterusnya. Suku-suku bangsa yang tidak bersatu dan terpecah-belah, dan dibuat untuk terus bersengketa, sehingga mudah dikuasai/dijajah. Rasanya, walau buku ini diterbitkan dalam masa "Jadul", tapi tetap aktual hingga sekarang.

Rabu, 13 Oktober 2010

Akar Masalah

Oleh : Muhammad Ilham

"Namanya juga akar, tak mungkin satu, pasti banyak dan berkelindan, bila hilang atau dipotong satu, akan tumbuh juga ... kok" (Celotehan seorang teman di sebuah lepau kala minum Cappucino sehabis sholat Isya, pada suatu malam)

"Menyelesaikan masalah korupsi dan radikalisme, mudah sekali, cari akar masalahnya, maka akan selesai !!", setidaknya demikian yang sering saya dengar dalam berbagai dialog di media televisi. Berbagai persoalannya rasanya "terselesaikan" dengan formula "Akar Masalah". Bila dahulu - ketika saya masih kecil - sering juga terdengar, sesuatu yang jelek-busuk-tak berfungsi, lebih baik dipotong atau dibuang, habis perkara !. Resep sederhana ... akar masalah dan buang, habis perkara. Bila Jonstein Gardner mampu memudahkan "dunia Filsafat" yang demikian rumit dalam novel fiksi-nya Dunia Sophie atau Johannes Surya yang "men-simple-kan Fisika sehingga mengasyikkan", maka ini banyak pengamat-pengamat kita belakangan ini "memudahkan" semua hal.

Rasanya, celotehan teman saya diatas menjadi "matching". Teringat saya kala sekolah dahulu. Guru biologi saya mengatakan bila menebang akar pohon akan mematikan seluruh pohon itu. Dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, sulit mengandaikan bahwa pemerintahan akan efektif kalau korupsi dikikis habis dengan cara apa pun. Dapat dibayangkan bahwa kalau korupsi diberantas dengan tangan besi dalam waktu singkat, birokrasi akan kehilangan demikian banyak pegawai, di samping hilang juga sistem insentif yang selama bertahun-tahun dimungkinkan oleh korupsi. Akibatnya, seluruh birokrasi mungkin akan macet total, baik karena kekurangan tenaga maupun karena ketiadaan sistem insentif alternatif. Argumentasi ini bukan bermaksud membenarkan korupsi, melainkan ingin memperlihatkan bahwa sukar sekali menentukan suatu keadaan sebagai akar masalah sosial, karena kalau akar itu dicabut, mungkin tumbuh pohon baru yang lain sama sekali wujudnya.

Demikian juga dengan radikalisme. Radikalisme - entah mengapa - selama ini mudah mendapat penganut, karena dengan itu muncul harapan bahwa banyak soal akan segera teratasi kalau akar persoalan dibereskan. Kesulitannya adalah bahwa akar itu mungkin tidak ada karena segala soal telah jalin-menjalin, sehingga apa yang tidak menjadi akar di Jakarta dapat menjadi akar di Ambon, Palu, Tarakan dan sebaliknya. Demikian pun, sikap militan yang lahir dari radikalisme itu tidak memberi banyak ruang untuk pikiran kritis, yang sering kali menimbulkan kesan reseh tetapi tidak membawa penyelesaian cepat dan spektakuler. Hubungan antara militansi dan kritik bersifat saling meniadakan. Orang yang kritis tidak pernah akan terlalu militan karena dia selalu berusaha mengambil jarak terhadap soal, bahkan terhadap perjuangannya sendiri. Sebaliknya, orang yang militan tidak boleh terlalu kritis, dan kalau perlu sedikit dogmatis. Dia harus yakin akan apa yang dikerjakan dan diperjuangkannya. Radikalisme antara lain disukai karena dia mematikan sikap kritis yang meletihkan itu, di samping memberi harapan bahwa penyelesaian tuntas dapat dicapai dengan satu serangan kepada akar masalah. Mencari akar persoalan dapat menimbulkan sikap totaliter. Kalau kita menganggap bahwa akar semua persoalan sudah ditemukan, akan muncul anggapan berikutnya bahwa kita berhak memaksa orang lain turut membereskan akar persoalan tersebut, dan tidak memberi kemungkinan bahwa orang-orang lain mengangggap soal lain sebagai masalah yang lebih penting untuk ditangani. Uniknya, sikap totaliter ini sering tidak menimbulkan rasa-bersalah, karena sekelompok orang merasa telah menemukan kebenaran dan kemudian merasa harus menyampaikan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan dengan kekerasan. Dalam sosiologi berlaku peribahasa "siapa yang hanya mempunyai palu sebagai alatnya di tangan akan mengubah semua orang menjadi paku, dan siapa yang hanya mempunyai sapu sebagai alatnya akan mengubah semua orang menjadi sampah".

Analogi tersebut melukiskan betapa berbahayanya mengklaim menemukan akar persoalan, karena apa yang menjadi akar pada dasarnya adalah apa yang dianggap sebagai akar masalah. Pemilihan dan penetapan anggapan ini memang didasarkan pada sejumlah pengetahuan. Tetapi apa jadinya kalau pengetahuan tersebut keliru, sementara kita telah mengorbankan demikian banyak orang? Sukarno menganggap akar masalah adalah bahwa bangsa ini tidak cukup revolusioner, dan akibatnya ekonomi berantakan tidak keruan. Soeharto menganggap akar masalah adalah ketidakstabilan politik dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan akibatnya adalah hak-hak demokratis menjadi porak-poranda. Habibie menganggap akar masalah adalah keterbelakangan teknologi, dan akibatnya adalah pemborosan yang fantastis dengan proyek pesawat terbang yang ternyata sulit dijual. Gus Dur mungkin berpendapat akar masalah adalah disintegrasi, dan kenyataannya kerusuhan di berbagai wilayah tetap berlanjut dan Jakarta mengalami berbagai ledakan bom. Kalau kita sekarang menganggap akar masalah adalah politik, sangat mungkin kita tidak akan pernah dapat mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan ini. Sebaliknya, kalau kita menganggap akar masalah adalah ekonomi (dan politik harus mengalami moratorium), maka jebakan kepada developmentalisme ala Orde Baru kembali disiapkan dengan sebaik-baiknya. Wallahu 'alam !

:: Inspired ... I. Kleden (2008) dan Gus Dur (2007)

Minggu, 10 Oktober 2010

Engku Nawawi Soetan Makmoer (1859-1928) : "Verdienstelijk Man Overleden Engkoe Nawawi, R.O.N"

Oleh : Muhammad Ilham

Kaum Feminis di Sumatera Barat (baca : Minangkabau) sudah seharusnya mencatat bahwa Engku Nawawi adalah "pahlawan", karena beliaulah untuk kali pertama menyekolahkan anaknya gadisnya ke sekolah Eropa. Pada akhir abad ke-19 M., umumnya gadis-gadis Minangkabau "dipingit" oleh keluarganya yang berbasiskan matrilineal ini, untuk kemudian (dalam banyak kasus) dikawinpaksakan pada usia yang belia. Engku Nawawi mendobrak adat "lapuk" itu dengan memasukkan anak gadis-nya Syarifah Nawawi ke ELS (De Europeesche Lagere School) di Bukittinggi dan seterusnya ke Kweekschool tahun 1907. Lebih "mencerahkan" dan "mendahului" ayah RA. Kartini.

Java Bode, 20 November 1928 - Zondag, 11 dezer, is te Fort de Kock opruim 70 jarigen leeftijd overleden Engkoe Nawawi gepensionneerd onderwijzer aan de Kweekschool aldaar, een zeer geacht ingezetene te stede en stede en een voormanvan zijn stam en land. Engkoe Nawawi kan geacht worden de primus te zijn onder zijn langenooten, hij was de eerste leerling van de normaalschool en idem van de Kweekschool en later ook de eerste onderwijzeraan deze inrichting. Voorts was hij de eerste inlandsche onderwijzer, die de hulpacte haalde en verder nog de eerste in vele andere opzichten. Ook de eerste van het corps, onderwijzers, wien en, koninklijke onderschleiding mocht ten deel vallen. Aan de hand van de B.T. ootleenen wij hier een en ander uit zijn leven en carriere. Toen de regeering het voornemen koesterde om de zonen van Atjehsche hoofden een opleiding te geven als die voor andere landaarden, werd wijlen Engkoe Nawaw, toenmaals reeds onderwijzer aan de Kweekschool te Fort de Kock, gekozen om als opvoeder der Atjehsche jongelieden werder naar Fort de Kock gezonden, die bij Engkoe Nawawi hun intrek namen en dan ook van het begin tof het eind hun opvoeding en studie an hem persoonlijk genoten. de regering beloonde de verdiensten van dezen paedagoog door hem de kleine zilveren ster te kennen, en veel later gewerd hem ook het ridderkruis van de Oranje Nassau Orde. Ook toen hij gepensioneerd was, was Engkoe Nawawisteeds de vraagbaak, niet allen va het department van onderwijs, maar van het bestuur in de Minangkabau. Hij was adviseur van de bestuursambtenaren in allerlei aangelegenheden en vanaf den controleur tot den resident van Sumatera's Westkust konden erverzekerd van zijn, dat zij nimmer tevergeefs bij den ouden Engkoe Nawawi om raad kwarnen. In het sociale leven in Fort de Kock en omstreken is hij een zeer geziene figuur. Hij was lid van den gemeenteraad, zat in onderscheidene commissies en besturen van sociale en economische vereenigingen.

(Kemarin, kita soedah beritakan, tentang meninggalnja engkoe Nawawie pada hari Minggoe jang baroe laloe di Fort de Kock
(Bukittinggi sekarang: pen.). Beliau itoe menoetoep mata dalam oesia 70 tahoen. Hikajatnya penoeh mengandoeng arti, bagi kemadjoean soematra. Ialah jang selamanja masoek "de primoes (jang pertama dan banjak hal)". Menjadi moerid jang pertama dari sekolah kelas doea, mendjadi moerid jang pertama dari Normaalschool, jang pertama dari Kweekschool kemoedian mendjadi goeroe poela dari beberapa loesin hal-hal lainnja. Dalam sekolah rendah sampai ke sekolah Radja, ia senantiasa terpoedji, hingga dimaksoed oleh pemerintah mengirimkan beliaoe ke negeri Belanda, oentoek melandjoetkan peladjaran mentjapai acte goeroe Belanda, seperti dikirim oleh pemerintah ketika itoe kenegeri Belanda toean Raden Kamil dari Java, Willem Iskandar dari Tapanoeli. Malang nasibnja, ketika galeranja akan tiba dikirim ke Nederland (katika iotoe beliaoe menjadi goeroe Kweekschool), pemerintah bertoekan pemikiran, tidak hendak mengirim ke Nederland lagi, tetapi memberi kesempatan kepada beliaoe itoe belajar di Fort de Kock, dari goeroe-goeroe Kweekschool. Tidak berapa lama beliaoepun membuat examen laloe loloes dalam oedjian oentoek goroe Belanda ............. ).

Engku Nawawi yang bergelar Sutan Makmur dilahirkan di daerah Padang Panjang pada tahun 1859. Nama ayahnya Malim Maharadjo, orang Koto Gadang (sebuah daerah historis yang banyak melahirkan figur historis Minangkabau seperti Sutan Syahrir, Rasuna Said dan Agus Salim). Malim Maharadjo waktu itu berprofesi sebagai Mantrei Cacar, sebuah jabatan yang secara sosiologis menempati kelas menengah. Sementara ibunya berasal dari Tiku. Hingga umur 7 tahun, Nawawi tinggal bersama ayah dan ibunya. Setelah itu, ia diasuh oleh Pak Cik-nya, Mangkuto Bandaharo yang bekerja sebagai pakHuismeester selama 2 tahun di Lolo Alahan Panjang. Selama dua tahun ini, Nawawi bersekolah di Supayang. Setelah ayahnya meninggal, dan ibunya kemudian kawin lagi, Nawawi kemudian dididik oleh ayah tirinya yang sangat "keras" menyekolahkan anak-anaknya - Soetan Radjo Emas. Dibawah didikan keras sang ayah ini, Nawawi menamatkan Sekolah Melayu-nya. Tahun 1873, Nawawi masuk Sekolah Radja di Bukittinggi (Fort de Kock). Tahun 1877, beliau menamatkan pendidikan dengan memperoleh ijazah guru. Tak lama kemudian, Nawawi diangkat menjadi guru di Sekolah Melayu yang kemudian berubah menjadi Sekolah Agam I.

Dalam sejarah intelektual Minangkabau, Nawawi merupakan orang pertama yang memperoleh ijazah hulpacte, tahun 1882. Kira-kira tahun 1889, beliau diangkat menjadi hulponderwijzer va der gersten di Sekolah radja. Tahun 1901, tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai tahun diperkenalkannya ejaan van Ophuysen. Prof. Charles Andrian van Ophuysen, seorang ahli Bahasa Melayu menyelesaikan proyek besarnya dengan dibantu oleh dua orang pribumi, Engku Nawawi dan Muhammad Thaib Sutan Ibrahim, kedua-duanya orang Minangkabau yang kala itu mengajar Bahasa Melayu. Mereka bertiga menyusun Kitab Logat Melajoe selama lebih kurang lima tahun. Tahun 1908, Engku Nawawi meyalin ke Bahasa Melayu Gedenkboek Kweekschool Fort de Kock. Beliau kemudian pensiun tahun 1916 setelah "berkhidmat" menjadi guru selama lebih kurang 33 tahun. 11 Nopember 1928, Engku Nawawi meninggal dunia di Bukittinggi (sebagaimana yang ditulis majalah berabahas Belanda Java Bode diatas).

Selama hidupnya, Engku Nawawi menikah sebanyak tiga kali. Pertama dengan "gadis" asal Air Bangis (sebuah daerah yang terletak di pantai barat Pasaman Barat) dan yang kedua di Padang. namun pernikahannya dengan dua orang gadis asal Air Bangis dan Padang ini tidak berlangsung lama. Barulah pernikahannya yang ketiga, Nawawi langgeng merawat pernikahan tersebut dengan dara gadis asal Payakumbuh, Chatimah. Dalam sejarah minangkabau, anak Engku Nawawi dikenal sebagai perempuan pertama yang sekolah di Sekolah Radja, yaitu Syarifah Nawawi, tahun 1907 (tentang Syarifah Nawawi, lihat artikel di Website Ilham Cluster. Syarifah Nawawi ini adalah perempuan yang sangat "dikagumi" Tan Malaka, teman satu kelasnya di Sekolah Radja, bahkan Tan Malaka boleh dikatakan jatuh cinta). Engku Nawawi pernah menerima anugerah bintang Oranje Nassau, suatu kehormatan yang sangat sulit digapai oleh orang Indonesia ataupun Eropa.

Sumber : Arsip Nasionali RI/Java Bode : Algemeen Dagblad vor Nederlandsch-Indie & Salam Radjo Endah (2008), www.ulama-minang.blogspot.com (Ilham Cluster). Foto : 1 - Teater Sekolah Radja Fort de Kock, 1928. Foto 2 - Murid Sekolah Raja Fort de Kock, 1925. Sumber : KITLV